Senin, 20 September 2010

Moksa

Di era Reformasi ini kalau kita lihat perkembangan di masyarakat semua orang ingin bicara, setiap orang diberikan berbicara pasti mengeluarkan konsep macam-macam, kadang-kadang agak ektrim dan tidak ada relevansinya dengan reformasi, para pengamat politik, ekonomi, hukum, militer semua berbicara sesuai dengan bidangnya.

Permasalahan yang timbul adalah semua konsep2 tidak dapat diakomudir oleh pemerintah akibat adanya perbedaan interprestasi, ada yang ingin dalam mengatasi krisis ini melalui pertahap, ada yang menginginkan secara total sehingga dalam implementasinya masih Trail And Error mencoba coba melakukan terapi kira2 mana yang lebih sesuai.Pemerintahan Habibie sudah memberikan kelonggaran2 dalam berbicara karena pada saat orde baru kebebasan berbicara sangat dikekang sampai2 ada semacam anekdot kalau sakit gigi sebaiknya berobat di Singapura, akibat orang tidak boleh buka mulut.

Setelah tumbangnya orde baru masalah kebebasan ini mulai dilakukan oleh pemerintah tahanan2 politik mulai dibebaskan, daerah operasi militer (DOM) mulai dicabut, masalah HAM mulai dipulihkan, kebebasan berserikat mulai dilaksanakan dengan berdirinya banyak partai. Kebebasan adalah hak azasi manusia yang perlu dihormati bagi setiap bangsa, untuk mencapai kebebasan membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit.

Untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda membutuhkan banyak pengorbanan baik material maupun moril dan membutuhkan waktu yang agak lama, tidak bisa dalam waktu yang singkat dan sejarah mencatat baru tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia dapat memproklamirkan kemerdekaannya pada hal perjuangan pembebasan bangsa dari penjajah sudah dilakukan bertahun tahun lamanya dari perjuangan Sultan Agung sampai Budi Utomo.

Kebebasan bagi umat manusia selalu didambakan oleh semua agama dan didalam agama Hindu kebebasan bukan dalam arti pisik saja tetapi kebebasan dalam lahir maupun batin. Kebebasan dalam agama Hindu adalah kebebasan dalam kehidupan terlepas dari keterikatan2 duniawian, bebas dari hukum karma, bebas dari penjelmaan kembali (reinkarnasi), sehingga umat hindu dalam mencapai kebebasan membutuhkan proses yang cukup panjang selama hidupnya dan kemungkinan setelah reinkarnasi beberapa kali. Untuk membebaskan diri dari keduniawian ini saja membutuhkan pengorbanan2, setiap langkah gerak kehidupan harus berdasarkan Dharma yaitu kebenaran dan tidak mengikatkan diri dengan materi. Saat sekarang pada kali yuga orang2 berlomba lomba untuk mengumpulkan harta, tujuan hidup mereka mencari kesempatan untuk mengumpulkan harta se banyak2nya bila mana perlu sampai tujuh turunan, sehingga menggunakan dengan segala cara. Dalam mengumpulkan harta mereka menggunakan praktek2 KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), dengan cara yang tidak halal yang mengakibatkan negara banyak dirugikan sehingga negara kita saat ini banyak utangnya sulit dibayangkan bagaimana anak cucu kita yang akan membayarnya disamping sumber daya alam hutan, pertambangan sudah hampir habis dikuras, minyak bumi cadangannya hanya 18 tahun lagi mungkin beberapa tahun kita sebagai Negara yang net importir bahan bakar minyak(BBM).

Pengaruh kali yuga ini sangat besar dalam kehidupan masyarakat dewasa ini, sebab kali yuga ini orang selalu bersifat meterialistis , hanya 25 % orang menjalankan dharma yaitu kebenaran tidak seperti yuga2 yang lain yaitu Kerta Yuga, Traita Yuga dan Dwapara Yuga. Apabila saat sekarang kali yuga ini dalam kehidupan kita selalu melaksanakan kebenaran yaitu dharma maka hasilnya akan berlipat ganda, seperti kalau kita sembahyang pada hari2 raya Hindu atau Purnama Tilem hasilnya jauh lebih besar dari hari2 biasa. Maka kesempatan kali yuga ini umat Hindu sebaiknya setiap melakukan tindakan harus berdasarkan kebenaran, bebaskan diri dari adharma, bebaskan diri dari keterikatan2 bebaskan diri dari materialistis dan keduniawian sehingga kita tercapai tujuan yaitu kebebasan abadi yaitu moksa.

Pengertian Moksa.

Dalam agama Hindu kita percaya adanya Panca Srada yaitu lima keyakinan yang terdiri dari, Brahman, Atman, Karma Pala, Reinkarnasi, dan Moksa
Moksa berasal dari bahasa sansekreta dari akar kata "MUC" yang artinya bebas atau membebaskan. Moksa dapat juga disebut dengan Mukti artinya mencapai kebebasan jiwatman atau kebahagian rohani yang langgeng. Jagaditha dapat juga disebut dengan Bukti artinya membina kebahagiaan, kemakmuran kehidupan masyarakat dan negara.

Jadi Moksa adalah suatu kepercayaan adanya kebebasan yaitu bersatunya antara atman dengan brahman. Kalau orang sudah mengalami moksa dia akan bebas dari ikatan keduniawian, bebas dari hukum karma dan bebas dari penjelmaan kembali (reinkarnasi) dan akan mengalami Sat, Cit, Ananda (kebenaran, kesadaran, kebahagian).

Dalam kehidupan kita saat ini juga dapat untuk mencapai moksa yang disebut dengan Jiwan Mukti (Moksa semasih hidup), bukan berarti moksa hanya dapat dicapai dan dirasakan setelah meninggal dunia, dalam kehidupan sekarangpun kita dapat merasakan moksa yaitu kebebesan asal persyaratan2 moksa dilakukan, jadi kita mencapai moksa tidak menunggu waktu sampai meninggal.

Mencapai Moksa.

Untuk mencapai moksa seseorang harus mempunyai persyaratan2 tertentu sehingga proses mencapai moksa dapat berjalan sesuai dengan norma2 ajaran agama Hindu. Dalam mencapai Moksa dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
1. Dharma.
Dalam ajaran agama Hindu yang terdapat dalam Catur Parusanta dijelaskan bahwa tujuan dari kehidupan adalah bagaimana untuk menegakkan Dharma, setiap tindakan harus berdasarkan kebenaran tidak ada dharma yanglebih tinggi dari kebenaran. Dalam Bagawad Gita disebutkan bahwa Dharma dan Kebenaran adalah nafas kehidupan. Krisna dalam wejangannya kepada Arjuna mengatakan bahwa dimana ada Dharma, disana ada Kebajikan dan Kesucian, dimana Kewajiban dan Kebenaran dipatuhi disana ada kemenangan. Orang yang melindungi dharma akan dilindungi oleh dharma maka selalu tempuhlah kehidupan yang suci dan terhormat.
Dalam zaman edan saat ini semua orang mengabaikan kebenaran, orang sudah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, krisis moral sudah meraja lela dimana mana, kebenaran dan keadilan sudah langka, orang sudah tidak mengenal budaya malu, semua perbuatannya dianggap sudah benar dan normal. Sebenarnya Dharma tidak pernah berubah, Dharma telah ada pada zaman dahulu, zaman sekarang dan zaman yang akan datang, ada sepanjang zaman tetapi setiap zaman mempunyai karateristik lain2 dalam melakukan latihan kerohanian (spiritual). Untuk Kerta Yuga latihan kerohanian yang baik adalah melakukan Meditasi, untuk Treta Yuga latihan kerochanian yang baik adalah dengan melakukan Yadnya atau kurban, untuk Dwapara latihan kerochanian yang baik adalah dengan melakukan Yoga yaitu upacara pemujaan dan untuk Kali Yuga latihan kerochanian yang baik adalah dengan melakukan Nama Smarana yaitu mengulang ngulang atau menyebut nama Tuhan yang suci.
2. Pendekatan kepada Yang Widhi Wasa
Untuk mendekatkan diri kehadapan Yang Widhi Wasa ada beberapa cara yang dilakukan Umat Hindu yaitu cara Darana (menetapkan cipta), Dhyana (memusatkan cipta), dan Semadi (mengheningkan cipta). Dengan melakukan latihan rochani , terutama dengan penyelidikan bathin, akan dapat menyadari kesatuan dan menikmati sifat Tuhan yang selalu ada dalam diri kita. Apabila sifat2 Tuhan sudah melekat dalam diri kita maka kita sudah dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa sehingga segala permohonan kita akan dikabulkan dan kita selalu dapat perlindungan dan keselamatan.
3. Kesucian.
Untuk memperoleh pengetahuan suci, dan menghayati Yang Widhi Wasa dalam keberagaman dinyatakan dalam doa Upanishad yang termasyur : Asatoma Satgamaya, Tamasoma Jyothir Gamaya, Mrityorma Amritan Gamaya yang artinya, Tuntunanlah kami dari yang palsu ke yang sejati, tuntunlah kami dari yang gelap ke yang terang, tuntunlah kami dari kematian ke kekekalan.
Setiap kita melakukan kegiatan2, kita biasakan untuk memohon tuntunan kehadapan Yang Widhi Wasa agar kita selamat dan selalu dilindungi. Pekerjaan apapun kita lakukan, apabila kita bekerja demi Tuhan dan dipersembahkan kehadapan Yang Widhi Wasa, maka pekerjaan tersebut mempunyai nilai yang sangat tinggi. Dengan menghubungkan pekerjaan tersebut dengan Yang Widhi Wasa, maka ia menjadi suci dan mempunyai kemampuan dan nilai yang tinggi.
Tujuan dari kehidupan kita adalah agar atman terbebas dari triguna dan menyatu dengan Para atman. Didalam Weda disebut yaitu Moksartham Jaga Dhitaya Ca Iti Dharmah yang artinya adalah tujuan agama (Dharma) kita adalah untuk mencapai moksa (moksa artham) dan kesejahteraan umat manusia (jagadhita).
Ciri2 orang yang telah mencapai jiwatman mukti adalah.
a. Selalu mendapat ketenangan lahir maupun bathin.
b Tidak terpengaruh dengan suasana suka maupun duka
c Tidak terikat dengan keduniawian.
d Tidak mementingkan diri sendiri, selalu mementingkan orang lain (masyarakat banyak).

Untuk mencapai moksa juga mempunyai tingkatan2 tergantung dari karma (perbuatannya) selama hidupnya apakah sudah sesuai dengan ajaran2 agama Hindu. Tingkatan2 seseorang yang telah mencapai moksa dapat dikatagorikan sebagai berikut.
1. Apabila seorang yang sudah mencapai kebebasan rochani dengan meninggalkan mayat disebut Moksa.
2. Apabila seorang yang sudah mencapai kebebasan rochani dengan tidak meninggalkan mayat tetapi meninggalkan bekas2 misalnya abu, tulang disebut Adi Moksa.
3. Apabila seorang yang telah mencapi kebebasan rochani yang tidak meninggalkan mayat serta tidak membekas disebut Parana Moksa.


Catur Marga.

Untuk mencapai Moksa beberapa cara yang dapat ditempuh sesuai dengan bakat dan bidang yang digeluti saat ini yang disebut dengan Catur Marga ada juga yang menyebutkan dengan Catur Yoga yaitu empat jalan yang ditempuh untuk mencapai Moksa. Adapun keempat Catur Marga terdiri dari :
1. Jnana Marga Yoga.
Pada saat sekarang peranan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sangat menentukan dalam pembangunan nasional disamping ilmu pengetahuan lainnya. Setiap negara akan berusaha sekuat tenaga dengan menggunakan resource yang ada untuk berkompetisi dalam bidang IPTEK, siapa yang menguasai IPTEK maka merekalah yang menguasai dunia ini. Kata Jnana artinya adalah kebijaksanaan filsafat atau pengetahuan, Yoga berasal dari urat kata YUJ yang artinya menghubungkan diri.
Jadi Janana Marga Yoga artinyga jalan untuk mencapai persatuan atau pertemuan antara Atman dengan Paramatman (Tuhan) berdasarkan atas pengetahuan (kebijaksanaan filsafat) terutama mengenai kebenaran dan pembebasan diri dari ikatan duniawi (maya). Dalam kehidupan ini kita memilih profesi pekerjaan kita sesuai dengan bakat yang diberikan oleh Sangyang Widhi Wasa dan latar belakang pendidikan kita atau pekerjaan yang sangat menarik yang kita geluti saat ini, sebab bakat yang diberikan oleh Tuhan adalah anugrah yang sangat tinggi nilainya yang merupakan hasil Karma kita dahulu sebelum kita Reinkarnasi sebagai manusia. Apabila kita ingin mengabdi kan diri dibidang ilmu pengetahuan, perlu diperhatikan adalah ilmu pengetahuan yang dapat membantu umat manusia dalam mengatasi kehidupan ini.
Sebagai ilustrasi dapat disampaikan sebagai berikut.
Pada zaman sekarang banyak manusia mengalami kesulitan dalam mengatasi penyakit, banyak penyakit yang belum diketemukan obatnya seperti AID, lever hati, tumor, kanker dan lain lainnya. Perkembangan ilmu kedokteran tidak dapat mengejar penyakit2 yang timbul dalam masyarakat, peralatan rumah sakit masih menggunakan peralatan tradisional sehingga angka kematian di negara kita sampai sekarang masih cukup tinggi.
Para dokter yang bergerak dibidang kesehatan harus terus menerus melakukan penelitian atau Research And Development (R&D) sehingga semua kesulitan masyarakat dapat diatasi dengan baik dan murah dengan diketemukan obat2 yang mujarab. Seseorang yang mempunyai profesi dalam bidang kedokteran ini disebut dengan Jnana Marga Yoga dimana ilmu yang diabdikan demi kepentingan umat manusia.
2. Karma Marga Yoga.
Cara atau jalan untuk mencapai moksa (bersatunya Atman dengan Brahman), dengan selalu berbuat baik, tetapi tidak mengharapkan balasan atau hasilnya untuk kepentingan diri sendiri (amerih sukaning awah) disebut Karma Marga Yoga. Dalam Karma Marga Yoga, kita sebagai umat Hindu setiap tindak tanduk kita melakukan karya harus demi kepentingan masyarakat banyak dan jangan ada suatu keinginan untuk menikmati hasilnya, sebab kalau kita selalu berpikir hasilnya akan timbul keterikatan2, kalau keterikatan2 telah tumbuh dalam jiwa kita, maka ketenangan akan menjauh dari kenyataan, sehingga jiwa kita akan diracuni oleh Sad Ripu yaitu enam musuh utama manusia yang terdiri dari Kama, Lobha, Mada, Moha,Kroda, Matsarya (napsu, loba, kemarahan, kemabukan, kebingungan,iri hati). Didalam Bhagawad Gita disebutkan bahwa berulang kali Krisna berkata kepada Arjuna, lakukan tugasmu, lakukanlah pekerjaan yang benar tetapi jangan ingin menikmati hasil pekerjaan itu. Tujuan Krisna memberikan wejangan kepada Arjuna agar jangan melihat hasil nya adalah, kita sebagai pelaku benar2 dalam bekerja semua perbuatan kita yaitu karma diubah menjadi Yoga sehingga kegiatan tersebut membawa kita menuju persatuan dengan Tuhan maka ini disebut dengan Karma Marga Yoga. Apabila seseorang sudah dapat melakukan pekerjaan tanpa melihat hasilnya maka ia akan menjadi orang yang benar2 bijaksana (Stithaprajna), yang tidak terpengaruh dengan keadaan suka dan duka atau gembira dan sedih.
Perbuatan adalah karma , setiap orang lahir dari karma, hidup dalam karma dan mati dalam karma, karma sumber dari baik dan buruk dosa atau kebajikan, laba atau rugi, kebahagiaan atau kesedihan, sebenarnya karmalah penyebab kelahiran, maka karma dalam kehidupan merupakan masalah yang sangat penting.
Sebagai ilustrasi dapat diceritrakan sebagai berikut.
Diumpamakan badan kita adalah sebuah jam dinding, dan nafas kita adalah pegasnya yang menyebabkan jarum jam dapat berputar, dan baterynya adalah tenaga manusia. Tanpa nafas dan tenaga, manusia tidak dapat berbuat apa apa yaitu berkarma, maka perbuatan (karma) sangat tergantung dengan nafas (pegas) dan tenaga (batery). Dengan kekuatan batery (tenaga) maka jarum jam yang terdiri dari tiga jarum yaitu jarum yang paling panjang disebut jarum detik, jarum yang menengah disebut dengan jarum menit dan jarum yang paling pendek disebut jarum jam. Ketiga jarum akan berputar dengan kecepatan yang berbeda beda dan saling ketergantungan satu sama lainnya, tetapi masing2 jarum akan berputar sesuai dengan fungsinya.
Apabila jarum detik telah berputar 60 kali maka jarum menit akan mengikuti berputar hanya sekali, demikian saat jarum menit telah berputar 60 kali maka jarum jam akan berputar sekali demikian seterusnya dengan menggunakan kelipatan 60. Setiap gerakan jarum detik kita umpakan adalah karma (perbuatan), untuk gerakan jarum menit kita umpamakan adalah perasaan dan untuk gerakan jarum jam kita umpamakan adalah kebahagiaan. Untuk mencapai suatu kebahagiaan yang terus menerus kita harus selalu berbuat (berkarma) baik, setiap tindakan kita selalu tanamkan kebaikan yang menyebabkan perasaan kita mendapat rangsangan kebaikan tersebut sehingga kita merasa senang.
Apabila perasaan kita telah mencapai kesenangan terus menerus akibat kita selalu berbuat (karma) baik terhadap seseorang, maka menyebabkan kita akan mencapai kebahagiaan, sebab karma (perbuatan), perasaan, dan kebahagian saling keterkaitan seperti ketiga jarum jam berputar saling ketergantungan satu sama lainnya.
Makin banyak kita ber karma baik maka perasaan dan kebahagian akan selalu mengikuti seperti perputaran jarum jam, apabila jarum detik tidak bergerak jangan harap jarum menit bergerak apalagi jarum jam Kebahagian akan dicapai dalam kehidupan ini apabila kita selalu berkarma baik
3. Bakti Marga Yoga.
Jalan atau cara untuk mencapai moksa atau kebebasan, yaitu bersatunya Atman dengan Tuhan dengan melakukan sujud bakti kehadapan Yang Widhi Wasa. Bakti adalah cinta yang mendalam kepada Tuhan, bersifat tanpa pamerih sedikitpun dan tanpa keinginan duniawi apapun juga. Bagi umat Hindu untuk melakukan Bakti Marga Yoga dengan menyanyikan nama2 Tuhan secara ber ulang2, bergaul dengan orang2 Suci yang mempunyai bakti, konsentrasi pikiran setiap saat kepada Tuhan, dan jalan Bakti ini adalah yang paling mudah dilakukan. Seperti setiap hari kita melakukan Trisandya dengan mengucapkan Gayatri Mantra tiga kali sehari.
Untuk menanamkan rasa Bakti kehadapan Yang Widhi Wasa , sebaiknya anak mulai kecil dididik mengucapkan Mantra Gayatri dengan memberi penjelasan makna dan arti masing2 bait, sehingga meresap dalam pikiran mereka dan dapat menuntun ajaran2 kebenaran (Dharma). Kalau belum hafal sebaiknya dibaca saja dan usahakan dengan suara yang lembut sehingga benar2 meresap dalam hati sanubari kita dan bayangkan Brahman ada dalam pikiran dan renungkan secara terus menerus selama melagukan Gayatri Mantra Dengan selalu melantunkan Gayatri Mantra terus menerus , maka kita seolah olah menyatu dengan Tuhan atau bersatunya Atman dengan Tuhan., sehingga kita mendapat ketenangan, kedamaian, keselamatan dan kesejahteraan.Dalam melakukan Bakti Marga Yoga terutama upacara piodalan di Pura2 diseluruh Indonesia, masyarakat Hindu sudah mempunyai cara upacara bakti (persembahyangan) secara baku, dimanapun kita melakukan persembahyangan sudah tersusun sama, dan Mantra Gayatri selalu dilantunkan sebelum persembahyangan dimulai.
Pada saat Pendeta melakukan upacara piodalan juga dinyanyikan lagu2 warga sari sebagai pemujaan kehadapan Yang Widhi Wasa yang mempunya makna adalah agar sebelum persembahyangan dimulai kita sudah mulai rasakan menyatunya Atman dengan Brahman.
4. Raja Marga Yoga.
Jalan untuk mencapai moksa menurut agama Hindu dapat dilakukan melalui Tapa, Brata, Yoga, dan Semadi. Untuk mengendalikan diri dengan melakukan latihan2 untuk mengatasi Sadripu disebut dengan Tapa, Brata, sebab apabila Sadripu kita sudah dapat kendalikan maka jalan mencapai moksa lebih mudah. Disamping mengendalikan Sad Ripu, kita juga melakukan latihan2 untuk dapat menyatukan Atman dengan Tuhan yang disebut dengan Yoga dan Semadi, dengan melakukan konsentrasi yang setepat tepatnya dalam ketenangan dan suasana syandu sempurna sehingga kita dapat menyatu dengan Tuhan.
Sebagai ilustrasi dapat diceritrakan sebagai berikut.
Didalam suatu pesraman di Hutan rimba ada seorang resi yang bernama Resi Suka yang memberikan dharma wecana kepada murid2nya yaitu yoga, semadi diantara murid2 nya ada seorang raja bernama raja Jenaka.Raja Jenaka disamping mempunyai kerajaan yang sangat besar dan kaya juga berkeinginan belajar spiritual (Yoga,semadi) kepada Resi Suka yang sangat terkenal ilmu spiritualnya. Banyak ujian2 yang diberikan kepada para siswanya agar dapat mencapai moksa dalam kehidupan ini dengan meninggalkan keduniawian dengan melepaskan semua keterikatan2 sehingga Atman menyatu dengan Brahman.Pada suatu hari Resi Suka agak terlambat memberikan dharma wecana sehubungan Raja Jenaka ada keperluan kerajaan yang sangat mendesak yang tidak boleh diwakili. Resi Suka dengan sengaja menunggu Raja Jenaka, ingin menguji kesabaran para muridnya apakah dapat mengekang sad ripu sebagai dasar pelajaran Yoga
Dari pengamatan Resi Suka banyak para muridnya gelisah dan gusar dan kadang2 timbul marah tidak sabar menunggu sampai ada yang protes bahwa pelajaran dimulai saja, mengapa kita di beda2kan orang biasa dengan raja Setelah raja datang dharma wecana baru dimulai dan resi Suka memberikan wejangan, kita harus dapat mengendalikan sad ripu sehingga kita dapat ketenangan bathin. Setelah dharma wecana selesai maka pelajaran dilanjutkan dengan yoga, semadi, dan pelajaran ini harus dilakukan dengan konsentrasi pikiran secara penuh.
Dengan suasana hening sepi hanya suara jengkrik yang kedengaran, para muridnya sedang asyik melakukan yoga semadi, tiba2 Resi dengan berteriak bahwa sedang ada kebakaran di kota kerajaan, murid2nya pada bubar berlari lari pergi ke kota kerajaan ingin menyelamatkan harta dan rumahnya yang kebakaran. Tetapi raja Jenata tidak bergeming sedikitpun, dia telah masuk dalam keadaan Semadi, beliau berbahagia dalam Atman.
Resi mengamati wajah raja dengan perasaan sangat gembira. Setelah beberapa murid2 yang lari kembali bahwa dikota tidak ada kebakaran dan resipun memberikan penjelasan arti dari peristiwa tersebut. Penundaan mulainya dharma wecana adalah untuk menghormati raja, karena beliau telah menghapuskan keakuannnya kebanggaannya dan mempunyai kerendahan hati dan melatih mengendalikan sadripu dan berhasil dengan baik dan ini perlu dicontoh oleh semua muridnya. Dan peristiwa kebakaran di kota kerajaan sebenarnya tidak pernah terjadi, peristiwa kebakaran adalah rekayasa Resi dan ini merupakan ujian dari Resi Suka.Kalau mau berhasil sebagai seorang spiritual (Yogi) harus berani melepaskan semua keduniawian yaitu keterikatan2, tanpa ada kemauan untuk menghilangkan keterikatan2 ini tidak mungkin tercapai tujuannya yaitu sebagai seorang Yogi.
Semua latihan2 ini membutuhkan ketekunan, tulus iklas, kesujudan iman dan tanpa pamerih. Pada akhir2 ini banyak generasi muda sudah melakukan latihan2 Yoga dan Semadi, dan buku2 penuntun untuk yang baru memulai belajar Yoga dan Semadi sudah cukup banyak beredar di toko2 buku, dan suasana ini sangat membantu bagi umat hindu untuk belajar masalah spiritual melalui Raja Marga Yoga.
Diantara keempat Marga Yoga tersebut diatas semuanya adalah sama tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya, umat Hindu dapat memilih dari keempat Marga Yoga tersebut tergantung dari bakat masing2 dan jalan yang satu akan berhubungan dengan yang lain semuanya akan mencapai tujuan yang sama yaitu Moksa.


Penutup.

Menjalankan Spiritual dalam kehidupan sehari hari sering mengalami kendala, banyak pertanyaan2 yang timbul terutama generasi muda, apakah kita melakukan kegiatan spiritual harus mengurangi kegiatan untuk mencari harta yaitu bekerja (karma). Ada juga yang berpendapat bahwa melakukan kegiatan spiritual sebaiknya dilakukan setelah MPP (masa persiapan pensiun) disamping banyak waktu juga tanggung jawab atau kewajiban sudah berkurang. Pada saat bekerja aktif dimana ada suatu jabatan tidak memungkinkan untuk melakukan kegiatan spiritual karena disibukkan dengan pekerjaan2 yang kadang menyimpang dari Dharma akibat tugas yang membutuhkan untuk mengambil keputusan sesuai dengan kebutuhan atasan (manajemen. Pada hal pada saat menjabatlah memanfaatkan kesempatan untuk menegakkan Dharma yaitu kebenaran2, setiap keputusan yang diambil harus menguntungkan masyarakat banyak. Kadang2 banyak orang yang tidak sabar dalam mengumpulkan harta dalam bidang pekerjaannya dengan mengambil jalan pintas yaitu KKN (korupsi, kolusi, nep
otisme), pada hal dalam mengumpulkan harta tidak harus ber KKN banyak jalan atau cara yang ditempuh asal mau sabar dan tetap berlandaskan Dharma. Banyak orang kaya tanpa KKN tetapi mereka berhasil dalam bidang profesinya dan hasil kekayaannya mereka manfaatkan untuk orang banyak dengan mendirikan Yayasan untuk orang yang tidak mampu (fakir miskin) atau mendirikan Sekolah2 yang dapat menunjang Pendidikan bangsa demi masa depan rakyat Indonesia.

Untuk mencapai moksa dapat memilih diantara Catur Marga Yoga apakah melalui Jnana Marga Yoga, Karma Marga Yoga, Bakti Marga Yoga dan Raja Marga Yoga sesuai dengan kemampuan serta bidang yang digeluti saat ini Pada saat perang Berata Yuda selesai dimana kemenangan berada dipihak Pandawa, semua musuh2 sudah kalah perang tinggal Pendawa yang hidup. Yudistira sebagai pemimpin Pandawa memutuskan pergi kehutan untuk mengasingkan diri dengan maksud mendekatkan diri kehadapan Yang Widhi Wasa dengan Raja Marga Yoga salah satu Catur Marga Yoga. Arjuna sebagai orang yang bijaksana yang mempunyai Visi dan Misi jauh kedepan menganjurkan kepada Prabu Yudistira agar kembali untuk memimpin kerajaan, siapa yang akan memimpin kerajaan, seandai nya semua keluarga Pandawa pergi kehutan, padahal untuk mencapai kemenangan perang Brata Yuda dalam menegakkan Dharma sudah banyak pengorbanan baik jiwa maupun raga, banyak pahlawan2 yang telah berguguran dalam perang.

Untuk mencapai moksa tidak harus pergi kehutan melakukan Semadi, Yoga, didalam kerajaanpun dengan berbuat dan menegakkan kebenaran yaitu Dharma dapat mencapai Moksa. Keterikatan adalah Moha, kebebasan adalah Moksa, selama kita masih menderita keterikatan, Moksa tidak mungkin dapat dicapai. Kadang2 kita agak sulit melepaskan keterikatan2, dan ini memerlukan latihan2 secara rutin. Untuk mengendalikan Sad Ripu saja tidak mudah, membutuhkan kesabaran dan ketekunan dan kita selalu melakukan introspeksi terhadap diri kita sendiri sampai dimana kita telah melakukan latihan2. Apalagi kita akan melakuan Catur Marga Yoga memang membutuhkan mental yang tangguh tidak mudah menyerah dan kita harus tahu kemampuan kita terutama bakat yang dikarunia oleh Yang Widhi Wasa sehingga dalam melaksanakan salah satu Catur Marga kita tidak mendapat halangan atau kendala sehingga dengan waktu yang relatif singkat kita sudah dapat melakukan dengan sempurna walaupun belum mencapai Moksa tetapi kita sudah rasakan hasilnya.

Rasionalitas Pemujaan Dewa-Dewa.

AYAH,DENGAN SEGALA HORMAT, BAGAIMANA SEORANG DAPAT MENDUKUNG PEMUJAAN DEWA-DEWA?

Nak, bahkan Adi Shankaracharya, rasul besar philsafat Adwaita, tidak menganggap remeh praktek pemujaan Dewa-dewa. Untuk memulainya, orang-orang ada pada tingkat yang berbeda untuk memahami kebenaran. Orang-orang biasa yang hanya mengerti mitologi, sangat sulit untuk menyadari fakta bahwa hanya ada satu Tuhan. Mari kita ambil energi listrik sebagai contoh. Aku dapat menjelaskannya kepadamu dengan mudah dengan bantuan theori electron, sementara ibuku memahaminya dengan sebuah pernyataan bahwa "listrik mengalir

seperti air." Subyek yang sama tapi ibuku dan aku memahaminya dalam dua bentuk yang berbeda sekalipun kami berdua memiliki hasil yang sama bila menggunakan energi listrik.

Lagi pula, Krishna sudah menjanjikan bahwa sekalipun kamu memuja seribu bentuk Tuhan, melalui semua bentuk itu kamu sesungguhnya memuja Dia – bukan Krishna sang Awatara, tapi Krishna Yang Maha Kuasa.

Akhirnya, dengan kode etik Hindu, para Yogi diperingatkan untuk tidak merusak kepercayaan rakyat. Menurut agama Hindu, bila orang memiliki keyakinan yang kuat atas idealnya, dia akhirnya akan menemukan kebenaran. Jadi betapapun tampak remehnya cara memujanya, kebenaran akhirnya akan datang kepadanya.

Pemujaan orang-orang Hindu terhadap Dewa-Dewa mirip sekali dengan pemujaan ornag-orang Katolik atas para santo pelindungnya. Orang-orang Katolik memuja santo-santo seperti Saint Jude, Saint Anthony dan Saint Sophia dan lain-lain untuk membantu mengatasi berbagai problem yang berbeda. Orang Hindu memuja Ganesha untuk menghilangkan segala hambatan, Lakshmi untuk kemakmuran, dst.

APAKAH TIDAK ADA MASALAH DALAM PEMUJAAN BANYAK DEWA ITU?

Seperti kukatakan sebelumnya, tidak ada masalah mengenai pemujaan Dewa-Dewa, tapi satu yang perlu diperhatikan oleh seorang pemuja adalah perasaan bahwa satu bentuk Tuhan tertentu lebih tinggi dari bentuk Tuhan yang lain. Dalam bhakti kepada Tuhan, seorang diharapkan untuk menghilangkan "ke-akuan" ("I-ness"), atau menghapus ego. Sebaliknya bila seseorang mengembangkan ego dengan berperang untuk Tuhannya, maka seluruh dasar dari bhakti Yoga hilang lenyap sama sekali. Ego adalah ego, apapun bentuknya, dan adalah baik sekali bagi seorang bhakta untuk sejak awal menyadarinya dan menghapuskannya.

Ingatlah perkelahian antara penganut Waisnawa dan Siwaisme yang hanya membuat agama Hindu mundur sampai akhirnya Adi Sankaracharya mengembalikannya kepada kejayaannya dewasa ini. Jadi kamu boleh memuja Istha Dewatamu (personal God) tapi coba melihatnya dalam semua bentuk dari Tuhan. Dengan demikian kamu akan mampu membangun keesaan dari Tuhan dan juga sekaligus menghilangkan egomu yang merupakan batu penghalang bagi perkembangan spiritualmu.

Rasionalitas Pemujaan Dewa-Dewa.

AYAH,DENGAN SEGALA HORMAT, BAGAIMANA SEORANG DAPAT MENDUKUNG PEMUJAAN DEWA-DEWA?

Nak, bahkan Adi Shankaracharya, rasul besar philsafat Adwaita, tidak menganggap remeh praktek pemujaan Dewa-dewa. Untuk memulainya, orang-orang ada pada tingkat yang berbeda untuk memahami kebenaran. Orang-orang biasa yang hanya mengerti mitologi, sangat sulit untuk menyadari fakta bahwa hanya ada satu Tuhan. Mari kita ambil energi listrik sebagai contoh. Aku dapat menjelaskannya kepadamu dengan mudah dengan bantuan theori electron, sementara ibuku memahaminya dengan sebuah pernyataan bahwa "listrik mengalir

seperti air." Subyek yang sama tapi ibuku dan aku memahaminya dalam dua bentuk yang berbeda sekalipun kami berdua memiliki hasil yang sama bila menggunakan energi listrik.

Lagi pula, Krishna sudah menjanjikan bahwa sekalipun kamu memuja seribu bentuk Tuhan, melalui semua bentuk itu kamu sesungguhnya memuja Dia – bukan Krishna sang Awatara, tapi Krishna Yang Maha Kuasa.

Akhirnya, dengan kode etik Hindu, para Yogi diperingatkan untuk tidak merusak kepercayaan rakyat. Menurut agama Hindu, bila orang memiliki keyakinan yang kuat atas idealnya, dia akhirnya akan menemukan kebenaran. Jadi betapapun tampak remehnya cara memujanya, kebenaran akhirnya akan datang kepadanya.

Pemujaan orang-orang Hindu terhadap Dewa-Dewa mirip sekali dengan pemujaan ornag-orang Katolik atas para santo pelindungnya. Orang-orang Katolik memuja santo-santo seperti Saint Jude, Saint Anthony dan Saint Sophia dan lain-lain untuk membantu mengatasi berbagai problem yang berbeda. Orang Hindu memuja Ganesha untuk menghilangkan segala hambatan, Lakshmi untuk kemakmuran, dst.

APAKAH TIDAK ADA MASALAH DALAM PEMUJAAN BANYAK DEWA ITU?

Seperti kukatakan sebelumnya, tidak ada masalah mengenai pemujaan Dewa-Dewa, tapi satu yang perlu diperhatikan oleh seorang pemuja adalah perasaan bahwa satu bentuk Tuhan tertentu lebih tinggi dari bentuk Tuhan yang lain. Dalam bhakti kepada Tuhan, seorang diharapkan untuk menghilangkan "ke-akuan" ("I-ness"), atau menghapus ego. Sebaliknya bila seseorang mengembangkan ego dengan berperang untuk Tuhannya, maka seluruh dasar dari bhakti Yoga hilang lenyap sama sekali. Ego adalah ego, apapun bentuknya, dan adalah baik sekali bagi seorang bhakta untuk sejak awal menyadarinya dan menghapuskannya.

Ingatlah perkelahian antara penganut Waisnawa dan Siwaisme yang hanya membuat agama Hindu mundur sampai akhirnya Adi Sankaracharya mengembalikannya kepada kejayaannya dewasa ini. Jadi kamu boleh memuja Istha Dewatamu (personal God) tapi coba melihatnya dalam semua bentuk dari Tuhan. Dengan demikian kamu akan mampu membangun keesaan dari Tuhan dan juga sekaligus menghilangkan egomu yang merupakan batu penghalang bagi perkembangan spiritualmu.

Raja Yoga

APAKAH RAJA YOGA?

Raja Yoga pada intinya adalah satu jalan yang sangat ilmiah untuk mencapai (mengejawantahkan) Tuhan. Dalam jalan ini, Tuhan kurang lebih dianggap sebagai energi murni. Reshi Patanjali, pengarang dari Yoga Sutra, adalah orang pertama yang mensistematisasi praktek-praktek dari Yoga ini.

Patanjali mendefiniskan Yoga sebagai "Chitta-Writti-Nirodha." Yoga artinya "persatuan dengan yang suci" atau "moksha" (salvation). Chitta artinya "pikiran." Writti artinya "penyederhanaan " (modifications) atau "getaran" (vibrations). Nirodha artinya "penghentian" (stoppage), "penekanan" (suppression), atau "penahanan" (restraint). Jadi menurut Reshi Patanjali, persatuan dengan yang suci atau moksha berarti penghentian dari getaran-getaran, atau penyederhanaan pikiran. Menurut Patanjali, penyederhanaan pikiran adalah lima lapis dan pada hakikatnya bisa sakit bisa juga tidak sakit. Kelima lapis itu adalah Pengetahuan Yang Benar, Pengetahuan Yang Salah, Khayalan, Tidur dan Ingatan.

Praktek Raja Yoga mulai sejak zaman Weda. Bhagawad Gita mengagungkannya dan memujinya mulai dengan pernyataan , "Raja Yoga, Raja Guhyan (rahasia yang dijaga bagaikan raja), Pawitram (yang amat disucikan), Uttamam (yang paling baik), Pratyakshawagaman (yang cepat memberi hasil), Dharmyam Kartum (setia kepada Dharma)..." (Bab 9:2)

AYAH, SIAPAKAH PATANJALI?

Pendiri Raja Yoga, yang diperkirakan hidup dari tahun 240 sampai 180 S.M. Ada perdebatan antara para sarjana mengenai apakah ia Patanjali yang sama dengan ahli bahasa yang menyusun komentar Mahabsya yang besar terhadap komentar kritis (Warttika) dari Katayana atas Tatabahasa Sansekerta dari Panini, atau tidak. Beberapa orang mengatakan dia tidak lain adalah reinkarnasi dari raja naga Anathan.

APAKAH YANG DICAPAI OLEH SEORANG YANG MEMPRAKTEKAN RAJA YOGA?

Dalam Raja Yoga, seorang bhakta (devotee) mencoba untuk mencapai satu keadaan di atas pikiran dan dalam satu cara mencoba untuk mencapai keadaaan tanpa pikiran (a mindless state). Sangat sulit untuk menjelaskan hal ini dalam kalimat sederhana. Seorang mahasiswa parapsikologi mungkin mampu memahami aspek ilmiah dari Raja Yoga lebih baik dari siapapun juga. Orang biasa yang keadarannya terbatas pada pikiran yang lebih rendah dapat membayangkan hanya citra-citra nyata dari obyek-obyek, yang berasal dari organ indriya. Secara singkat, bagi seorang Raja Yogi yang sempurna, berpikir adalah sebuah proses sukarela sepanjang waktu, tidak seperti kebanyakan dari kita yang memikirkan begitu banyak hal secara tidak sukarela. Kita berpikir tentang baik buruk pro kontra dari setiap masalah, bahkan bila kita tidak ingin memikirkan mengenai masalah itu sama sekali. Sebagai contoh, bila kita memutuskan untuk tidak memikirkan monyet-monyet untuk sejam yang akan datang, kita malah memikirkan monyet-monyet itu untuk sejam kemudian. Ini cara kerja pikiran kita sepanjang waktu.

Yoga Sutra Patanjali terdiri dari 196 sloka. Dalam bukunya Patanjali tidak pernah menyatakan atau menyebutkan bahwa inilah satu-satunya jalan untuk mencapai Tuhan, tapi secara tersirat mengatakan bahwa keadaan pikiran yang ia jelaskan, seperti juga pencapaian Tuhan, dapat dicapai pula oleh praktek-praktek keagamaan yang lain.

APAKAH DISIPLIN DAN LATIHAN DALAM RAJA YOGA?

Raja Yoga menyebutkan delapan jenis disiplin. Yama, Niyama, Asana, Pranayama, Pratyhara, Dharana, Dhyana dan Samadhi. Yama artinya menjauhkan diri dari semua kejahatan. Niyama artinya melaksanakan kesucian dan kepuasan hati. Asana artinya posisi yang tepat untuk meditasi. Pranayama terdiri dari mengeluarkan nafas panjang (Rechaka), menarik nafas panjang (Purakha), dan menahan nafas (Kumbhaka). Latihan ini dimaksudkan untuk dilakukan hanya di bawah bimbingan dari guru yang sudah mumpuni. Dalam latihan Pranayama, sang bhakta diharuskan untuk mengendalikan aliran hidup dalam badan. Pratyahara artinya penarikan atau penciutan dari organ indriya dari obyek-obyek indriya. Dhyana artinya meditasi.

Samadhi adalah keadaan yang terakhir. Dia yang melakukan meditasi mencapai Samadhi. Dalam keadaan itu, pikiran kehilangan identitasnya secara total dan mencapai keadaan tanpa bentuk, sekalipun ia dapat mencapai bentuk dari obyek apapun yang direnungkannya (kontemplasi). Dalam Samadhi, sang bhakta menyadari kebenaran yang terakhir. Nirwikalpa Samadhi dan Sawikalpa Samadhi adalah dua jenis Samadhi dengan mana para bhakta mencapai tujuan suci mereka.

Jnana Yoga

APAKAH JNANA YOGA ATAU DARSANA?

Jnana Yoga atau Darsana dikenal sebagai philsafat Hindu. Pada intinya ada enam sistem Jnana Yoga. Semuanya berdasar pada Weda-Weda dan dikembangkan dari teori reinkarnasi. Semua jalan menuju kepada keselamatan. Enam sistem Jnana Yoga adalah sebagai berikut :

1. Samkhya,
2. Yoga,
3. Mimamsa,
4. Vaisheshika,
5. Nyaya,
6. Vedanta. Sistem Vedanta selanjutnya dibagi menjadi sistem Advaita dan Dvaita.

1. Sistem Samkhya. Inilah sistem philsafat yang tertua di dunia. Sistem ini didirikan oleh Reshi Kapila. Sistem ini mengakui tidak ada Tuhan berpribadi (personal God). Sistem ini melihat alam semesta dengan kekuatan-kekuatan Purusha (jiwa) dan Prakriti (materi).

2. Sistem Yoga. Kata yoga berasal dari akar kata "Yuj," artinya "memasang kuk" (to yoke, bhs Bali "uga") atau "menggabungkan" (to join). Sistem Yoga mirip dengan sistem Samkhya. Idenya didasarkan pada dualisme (melihat alam semesta sebagai dua - subyek dan obyek) dan tidak bicara mengenai satu Tuhan berpribadi. Sampai tarap tertentu ia bicara mengenai Tuhan sebagai obyek tak bernyawa dengan kata "Itu" (It). Raja Yoga dan Hatha Yoga adalah Yoga yang paling penting.

3. Sistem Mimamsa. Tokoh-tokoh utama dari cabang philsafat ini adalah Reshi Kumarila dan Prabakara. Sistem Mimamsa didasarkan atas penghindaran kelahiran kembali. Mimamsa berarti mulainya Weda-weda. Pendiri sebenarnya dari sistem ini adalah Reshi Jaimini, murid dari Reshi Veda Vyasa. Jaimini menulis buku Mimamsa Sutra, yang merupakan buku paling berpengaruh dari sistem ini.

4. Sistem Vaisheshika. Ini artinya "kekhususan" (particularity). Sistem ini adalah aliran atomis dalam philsafat Hindu. Sistem in didirikan oleh Reshi Kanada, ia menulis buku Vaisheshika Sutra. Philsafat ini mengajarkan bahwa alam semesta ini dibuat dari sembilan unsur : bumi, air, udara, api, jiwa, pikiran, ether, ruang dan waktu. Tuhan tidak disebut-sebut dalam sistem ini. Tuhan hanya disebut sebagai "Itu" (Tat)

5. Sistem Nyaya. Sistem ini didirikan oleh Reshi Gauthama. Ia menulis buku yang disebut Nyaya Sutra. Sistem ini utamanya membahas analisis secara logika mengenai dunia dan sifatnya yang atheistik. Sistem ini menyerupai sistem Vaisheshika.

6. Sistem Vedanta. Vedanta artinya "akhir dari Weda-weda", mengindikasikan bahwa ini ditulis berdasarkan atas Upanishad-Upanishad yang ada sesudah Weda-Weda. (Sistem Mimamsa sebenarnya merupakan permulaan dari Weda-weda dan didasarkan atas ideologi Wedik). Sistem Wedanta didirikan oleh Reshi Badaryana (Veda Vyasa), yang menulis buku bernama Vedanta Sutra atau Brahma Sutra. Doktrin sentral dari Wedanta adalah Tuhan (Brahman) dan jiwa individu (Atman) adalah satu dan sama. Menurut sistem ini, tiada suatupun ada kecuali Brahman. Masalah manusia bukan dosa tapi kebodohan. Kebodohan atas sifat sebenarnya dari diri-sendiri menghasilkan lingkaran lahir dan lahir kembali tanpa akhir.

Philsafat Advaita dan Dvaita adalah dua cabang yang paling penting yang muncul dari sistem Wedanta. Tokoh terbesar dari philsafat Advaita adalah Reshi Adi Shankaracharya.

Melalui komentarnya atas Upanishad dan Brahma Sutra, Shankara mengukuhkan sistem Wedanta. Tokoh-tokoh besar dari sistem Dvaita adalah Reshi Ramanuja dan Madhva. Teori Shankara mengenai Advaita adalah bahwa hanya ada satu kenyataan (realitas) dan itu diketahui sebagai Brahman, sementara itu Ramanuja dan Madhva berpendapat bahwa realitas itu ada dua: yang bergantung dan tidak bergantung (dependent and independent). Tuhan adalah tidak bergantung (independent). Materi dan jiwa adalah tergantung kepada Tuhan dan dikendalikan oleh Tuhan.

Karma Yoga

APAKAH KARMA YOGA?

Kata Karma berasal dari kata Sansekerta Kri, artinya "melakukan" (to do). Kata karma memiliki banyak arti dalam agama Hindu. Disini arti kata karma adalah kerja. Kita melakukan karma sepanjang waktu. Ketika kita bernafas, ini adalah karma. Ketika kita berpikir, ini adalah sebuah karma. Karma-karma yang kita lakukan menentukan masa lalu, masa kini dan masa depan kita. Menurut agama Hindu, seluruh kewajiban yang telah ditetapkan adalah karma-karma baik bila itu adalah tugas-tugas yang secara populer dikenal sebagai Swadharma.

Menurut philsafat Samkhya, karma-karma kita dikendalikan oleh tiga kekuatan : Tamas, Rajas dan Sattwa. Tamas mewakili ketidak-aktifan (kemalsan). Rajas mewakili keaktifan atau aktifitas. Sattwa adalah keseimbangan dari keduanya. Karma Yoga meliputi pemanfaatan dari ketiga faktor ini secara wajar atau seimbang untuk melaksanakan pekerjaan kita dengan lebih baik.

Seperti telah kukatakan sebelumnya, jalan yang berbeda-beda untuk mencapai Tuhan dalam agama Hindu bukanlah terpisah secara ketat, tapi mereka saling mempengaruhi atau lebur satu sama lain. Demikianlah Karma Yoga banyak memerlukan Bhakti Yoga dan Jnana Yoga. Bab 3, 4, dan 5 Bhagawad Gita menjelaskan mengenai Karma Yoga.

SINGKATNYA, APA ITU KARMA YOGA?

Mencapai kebebasan melalui kerja yang tidak mementingkan diri sendiri yang dikenal dengan nama Nishkama Karma. Kerja yang mementingkan diri sendiri memperlambat pencapaian tujuan kita. Kerja tanpa mementingkan diri sendiri menuntun kita kepada tujuan kita. Jadi Karma Yoga adalah sistem untuk mencapai kebebasan melalui tindakan-tindakan tanpa mementingkan diri sendiri. Eisntein, Father Damien dan Ibu Theresa adalah beberapa orang Karma Yogin di luar agama Hindu.

APA YANG DIKATAKAN BHAGAWAD GITA MENGENAI KARMA YOGA?

Bhagawad Gita menyediakan tiga bab dan 114 sloka untuk menjelaskan Karma Yoga. Beberapa pokok-pokok penting adalah sebagai berikut :

Tiada seorangpun akan mencapai keadaan Nishkarmata (actionlessness - ketiadaan tindakan) dengan menghindari kerja.

Tindakan adalah hakikat dari semua mahluk dalam penciptaan Dia yang mengendalikan keinginan-keinginan daging atau tubuhnya dan melakukan kerja tanpa mementingkan diri sendiri adalah manusia terhormat.

Laksanakan kerja tanpa mementingkan diri sendiri, karena kerja demikian akan menjamin kebebasan (moksha) bagimu.

Lihatlah kepadaKu, aku adalah Tuhan. Tidak ada apapun yang harus Kulakukan dalam tiga dunia ini. Tiada sesuatupun dalam tiga dunia ini yang Aku perlukan atau tidak bisa Aku peroleh. Namun demikian aku bekerja sepanjang waktu.

Seorang manusia harus melakukan tugasnya (Swadharma). Seorang manusia akan celaka atau menderita bila ia melakukan tugas orang lain. Swadharma, betapapun remehnya, adalah lebih baik dari tugas orang lain.

Indriya adalah baik. Pikiran lebih baik dari indriya. Jiwa lebih baikdari pikiran.

Dalam bentuk apapun seorang manusia memujaKu, Aku akan menerimanya. Jalan manapun yang ditempuh oleh seorang manusia, pada akhirnya ia akan sampai padaKu.

Dia yang melakukan pekerjaan tanpa terikat pada hasilnya dengan menyerahkannya kepadaKu tidak akan tersentuh oleh dosa, sama seperti air jatuh di daun teratai tidak akan membasahi daun itu.

Tindakan tidak menodaiKu, tidak pula Aku mempunyai keinginan akan hasil-hasilnya. Dia yang mengetahui hakikatKu ini, tidak akan terikat oleh tindakannya.

Bhakti Yoga

APAKAH BHAKTI YOGA?

Satu dari Yoga atau jalan yang paling mudah untuk diikuti atau dipraktekkan adalah Bhakti Yoga. Bhakti berasal dari akar kata Bhaj yang berarti "terikat kepada" (to be attached to). Hubungan bhakti antara manusia dan Tuhan dijelaskan dalam enam bentuk yang berbeda :

1. Madhura Bhawa - cinta seksual
2. Kanta Bhawa - cinta isteri kepada suami
3. Shanta Bhawa - cinta anak kepada orang tua
4. Watsalya Bhawa - cinta orang tua kepada anak
5. Sakhya Bhawa - persahabatan
6. Dasya Bhawa - kasih pelayan kepada tuannya

Salah seorang pendukung besar dari Bhakti Yoga adalah Reshi Narada. Dia mengatakan dalam bukunya Narada Bhakti Sutra, "Seorang manusia yang mencintai Tuhan tidak memiliki keinginan atau penderitaan. Dia tidak membenci tidak pula hidup dalam semangat besar untuk memperoleh hasil apapun bagi dirinya sendiri. Melalui bhakti ia memperoleh kedamaian dan senantiasa bahagia dalam jiwanya." Dalam aspek tertinggi dari Bhkati Yoga, sang bhakta melakukan "penyerahan total kepada Tuhan." Krishna menjanjikan dalam Bhagawad Gita bahwa dia sendiri akan mengambil beban dari masalah sehari-hari dari seorang bhakta yang mendedikasikan dirinya kepada Tuhan dengan menyerahkan kehendak bebasnya. Janji Tuhan ini diulangi berkali-kali dalam Bhagawad Gita, dalam sloka-sloka yang berbeda. Thema penyerahan Total dari diri sendiri sering pula diulang-ulang dalam Injil.

APA YANG DICAPAI SEORANG BHAKTA DENGAN BHAKTI YOGA?

Seperti Yoga-yoga yang lain, tujuan akhirnya adalah keselamatan atau moksha. Bhakti juga secara tidak langsung menuntun kepada peleburan "Aku" atau ego.Menurut agama Hindu, ego adalah penyebab dari semua masalah.

SIAPAKAH PENDUKUNG UTAMA DARI BHAKTI YOGA?

Ada beberapa Reshi besar yang mempraktekkan Bhakti Yoga di India. Sedikit dari yang sangat terkemuka adalah Chaitanya, Tulsi Das dan Meera Dewi. Reshi Chaitanya dan Meera Dewi memuja Tuhan sebagai Krishna. Tulsi Das memuja Tuhan sebagai Rama. Salah seorang tokoh Bhakti di zaman modern ini adalah Sri Ramakrishna Paramahamsa. Dia memuja Tuhan sebagai Ibu Kali.

APAKAH BHAKTI LEBIH RENDAH DARI YOGA YANG LAIN?

Agama Hindu tidak pernah menyatakan bahwa suatu bentuk Yoga lebih tinggi dari yang lain. Sesungguhnya agama Hindu memandang rendah setiap upaya oleh orang fanatik yang mempraktekkan Jnana Yoga, Karma Yoga atau Raja Yoga yang menghina atau menyalahkan Bhakti Yoga. Dalam seluruh agama Hindu, kita juga dapat melihat bahwa seorang murid mengambil jalan atau yoga berbeda dari gurunya. Reshi Ashtawakra, yang adalah Awaduta (seorang Yogi yang sepanjang waktu melakukan perjalanan), adalah Guru dari Raja Janaka (yang memerintah sebuah negara), dan Raja Janaka adalah Guru dari Reshi Suka yang sesungguhnya adalah seorang Bhakti Yogi yang besar. Sama halnya, Guru Sri Ramakrishna Paramahamsa adalah Totapuri (seorang Awaduta) dan muridnya adalah Swami Wiwekananda, yang adalah seorang Raja Yogi.

Minggu, 19 September 2010

Adi Sankara

AYAH, AKU TAHU ANDA SANGAT TERTARIK DENGAN ADI SANKARA. AKU INGIN TAHU LEBIH BANYAK MENGENAI DIA.

Ya, anakku. Aku memang memuja dia bagaikan pahlawan. Dia pendiri dari philsafat Advaita. Dia adalah seorang suci dengan pengaruh seperti Kristus, tapi ia terkenal karena pendekatan philsafatnya dalam menafsirkan Weda-weda.

Dia adalah genius dalam segala bidang yang meninggalkan jejaknya dalam setiap aspek dari agama Hindu. Dia melaksanakan upacara kematian ibunya dan ia mengarang puisi dan doa-doa kepada dewa-dewi. Namun ia bicara tentang Brahman saja (yang sejati ada, pen) Swami Chinmayananda sering mengatakan , " Sankara mulai dimana Einstein berakhir." Demikian luasnya pengetahuan Sankara.

Dia lahir di Kaladi, kurang lebih enam mil dari Always, di negara bagian Kerala. Pada usia delapan tahun ia telah menguasai keempat Weda, dan pada usia duabelas tahun ia telah memahami seluruh kitab-kitab suci Hindu. Pada usia enam belas tahun ia telah selesai menulis banyak buku-buku penting, dan pada usia tiga puluh dua tahun ia meninggalkan dunia ini. Menurut para sejarahwan Barat Sankaracharya hidup antara tahun 788 dan 820 AD. Dikatakan bahwa ketika ia berumur delapan tahun ia pergi ke India Utara dan menjadi murid dari Gowinda Bhagavadpada, yang merupakan murid dari Gaudapada.

Kemudian Sankara pergi ke Banaras, dan disana Padmapada, Hastamalaka dan Totaka menjadi muridnya. Menurut beberapa orang, hari-hari terakhir dari Sankara dipergunakan di Kanchi, dimana ia meninggalkan badannya. Menurut beberapa orang, Sankara tidak pernah meninggal. Ia hanya hilang dari pandangan. Sekte Siwa percaya bahwa Sankara adalah Avatara dari Siwa.

Selama persinggahannya yang singkat di dunia ini, Sankara telah menulis banyak buku. Dia menulis komentar atas Bagawad Gita, Upanishad, Brahma Sutra dan Vishnu Sahasranama. Dia menulis dua buku manual bebas yang diberi nama Upadesashasri dan Vivekachoodamani. Ia juga menulis Adma Bodham dadn Bhaja Govindam. Dari semua sajak bhakti yang ia tulis, Saundarya Lahari adalah yang paling baik.

Dia juga mendirikan empat pertapaan (biara) di sudut-sudut India yang berbeda yang dikenal dengan nama Sankaramath. Keempat pertapaan itu adalah di Sringeri (Mysore), Bandrinath (Himalaya), Dwaraka (Gujarat) dan Puri (Orissa). Sankaramath di Kanchi (Tamil Nadu) adalah sebuah 'saka' (cabang) dari Sankaramath di Sringeri.

Sama seperti Jesus Kristus, Sankara datang bukan untuk menghancurkan tapi untuk memenuhi kekosongan spiritual di India selama satu periode waktu tertentu dalam sejarah India. Sankaracharya menghentikan serangan gencar dari agama Buddha atas ide-ide Hindu dan mengembalikan agama Hindu pada kejayaannya sebelumnya. Menurut dia,"hanya Brahman satu-satunya yang ada; semua yang lain adalah maya atau ilusi. Jiwatman atau jiwa individu adalah Brahman itu sendiri dan sama sekali bukan yang lain. Manusia diikat oleh lingkaran reinkarnasi yang tiada akhir disebabkan oleh kebodohannya.

Kebodohan adalah akar sumber dari segala masalah. Pengetahuan menghapuskan kebodohan dan membebaskan manusia dari ikatan."

Sankara juga mengatakan, "perbedaan antara manusia dengan Tuhan adalah masalah derajat. Pada hakikatnya mereka adalah satu dan mahluk yang sama. Itu yang ada dalam manusia disebut Atman, dan itu yang memeluk seluruh alam semesta dikenal sebagai Brahman. Mereka adalah satu dan sama seperti ruangan dalam cangkir dan ruangan di luar cangkir adalah satu dan sama."

Sama seperti Tao dalam Taoisme, Allah dari Islam dan Ayin dari mistik Yahudi, Brahmannya Sankara tidak memiliki sifat-sifat, tidak memiliki bagian bagian dan kesadaran, dan juga abadi. Bila kamu membaca tulisan Sankara mengenai Brahman dan tulisan Lao-Tse mengenai Tao, keduanya tampak sama.

Agama Hindu berutang cukup banyak kepada Sankara. Pengajarannya adalah perwujudan yang sebenarnya dari kebebasan mutlak, dan ajaran-ajaran itu tidak dibatasi hanya pada satu kelompok tertentu dalam agama Hindu. Kamu harus berupaya membaca dan mempelajari semua buku-bukunya dalam hidupmu.

AYAH, PERNAHKAH SANKARA MENJELASKAN KENAPA BRAHMAN, YANG SEMPURNA DALAM DIRINYA SENDIRI, MENCIPTAKAN DUNIA YANG TIDAK SEMPURNA DAN PENUH MASALAH?

Aku menyesal untuk mengatakan bahwa Adi Sankara tidak pernah enjelaskan pertanyaan ini dalam tulisan-tulisannya. Banyak Vedantis, termasuk istikus Aurobindo (1872-1950), telah menunjukkan masalah ini dengan teori-teori Sankara. Kenapa Brahman, yang sempurna dan lengkap dalam dirinya sendiri, mengembangkan jaring besar Maya atau ilusi dari esensinya sendiri? Bila Dia sempurna mengapa ketidak-sempurnaan datang dari dia? Bila Brahmannya Sankara mengatasi (transcends) semua perasaan-perasaan pribadi (personality feelings), bagaimana Dia membuat satu ciptaan dengan kesadaran? Menurut Aurobindo, Sankara tidak berhasil menjelaskan, atas prinsip-prinsip negativistiknya, mengapa Yang Mutlak harus turun kepada yang terbatas. Baik Mahabagawatam maupun Bhagavad Gita menyebut-nyebut hal ini dengan cara tidak langsung. Keduanya bicara mengenai ciptaan sebagai alat bantu atau perantara (instrumentality of creation). Srimad Mahabagavatam menyatakan bahwa adalah merupakan Leela (permainan suci) bagi Tuhan untuk menciptaan sesuatu. Bhagawad Gita, pada sisi lain menyatakan bahwa adalah bagian dari alam untuk mencipta dan melahirkan (to create dan procreate). Malangnya, tidak ada kitab suci yang dengan jelas menjawab pertanyaan "kenapa dan apa" tentang penciptaan itu. Demikian juga dalam Kitab Kejadian (Genesis) kita melihat penciptaan sebagai alat bantu atau perantara, dimana Elohim berobah menjadi Jehovah ("I am" atau "Aku ada") dan menciptakan alam semesta dalam enam hari. Dalam Vedanta Sutra kata Leela (Lila, pen) - Permainan Suci digunakan untuk menjelaskan penciptaan sebagai ekspresi tanpa keinginan dari Tuhan (desireless expression of God). Kenapa Tuhan ingin menyatakan (mengekspresikan) dirinya? Aku kira kita tidak akan pernah mendapat jawaban atas pertanyaanmu dari siapapun dengan kemampuan manusia (yang terbatas) di dunia ini.

Sankara sendiri mengatakan bahwa sebuah pertanyaan seperti yang kamu ajukan tidak mempunyai dasar, karena alam semesta materi ini sesungguhnya adalah ilusi atau Maya, hanya kilasan khayalan semata. Kamu dan aku memiliki masalah karena kita tidak mampu mengatasi kerudung besar dari Maya itu. Sankara tidak pernah mengatakan bahwa dunia ini tidak penting. Ia hanya menunjukkan fakta bahwa dunia yang kita lihat bukan dunia yang nyata. Dunia yang kita lihat senantiasa berobah. Duduk dalam mobilmu, satu mil dari sini, air yang kamu lihat di jalan sementara memang nyata, tapi bila kamu dating lebih dekat kepada air itu apa yang kamu lihat menjadi bayangan udara. Perampok dalam mimpi yang menyerang kamu adalah nyata dalam mimpi. Dalam mimpi kamu berkelahi melawannya. Tapi ketika kamu bangun, kamu akan berkata kepada dirimu sendiri, "ini hanya mimpi." Sankara mengatakan seseorang akan mengatakan hal yang sama mengenai dunia pada saat ia menyadari atau mencapai pengetahuan yang benar. Apapun kritik yang ditujukan terhadap aspek-aspek yang lebih halus dari Advaitanya Sankara, aku pribadi merasa philsafat Advaita akan tetap ada selamanya. Bila besok seorang manusia dibuat di laboratorium, tanpa bantuan sperma dari laki-laki dan ovum dari wanita, hampir semua agama terorganisasi di dunia ini akan runtuh. Tapi philsafat Advaita dari Sankara sendirian akan tegak tinggi pada hari itu. Bila pada saat itu Sankara dapat membangkitkan tubuhnya sendiri, ia akan berteriak, "Tuhan menciptakan ilusi tapi kini manusia sendiri mulai melakukan hal itu!" Pada hari itu hanya philsafat Advaita yang akan bersorak kegirangan, semua yang lainnya akan hancur luluh.

APAKAH PHILSAFAT DVAITA?

Philsafat ini adalah philsafat mengenai dualitas yang disebarkan oleh Madhva (1197 AD), yang percaya bahwa bhakti (devotion) kepada Tuhan adalah sangat penting. Menurut dia, dunia ini adalah nyata dan ada satu perbedaan antara manusia dengan Tuhan. Realitas menurut dia ada dua macam, yang bebas dan yang tidak bebas. Tuhan satu-satunya realitas yang bebas. Materi dan jiwa manusia tergantung dan dikendalikan oleh Tuhan. Jiwa itu aktif dan bertanggung jawab untuk kebebasannya sendiri dari kelahiran berulang kali yang tak terhitung melalui bhakti kepada Tuhan.

Ramanuja, rasul pertama dari philsafat Dvaita, lahir kira-kira tahun 1050 AD. Ia adalah pemuja Wishnu. Dia mengambil jalan tengah antara philsafat Advaita dengan Dvaita. Reshi Ramanuja mengatakan bahwa Tuhan bukanlah prinsip yang tidak memiliki sifat-sifat, sebagaimana dikatakan oleh Adi Sankara, tapi adalah satu Tuhan berpribadi (Saguna Brahman) yang dapat dicintai dan dimengerti melalui bhakti. Ia mendebat Adi Sankara yang menolak bhakti kepada Tuhan ini. Tapi pada saat yang sama, Ramanuja percaya pada posisi tradisonal dari Wedanta mengenai kesatuan dengan Tuhan Yang Mahakuasa. Ia percaya pada prinsip Jivatman (jiwa individu) dan Paramatman (jiwa absolut) dan persatuan dari jivatman ke dalam Paramatman untuk mencapai moksha. Baik philsafat Advaita maupun Dvaita masih berjaya di India dalam kedudukan terhormat yang sama bahkan sampai dewasa ini. (Masih ada lanjutannya)

AYAH, AKU BINGUNG. BILA PHILSAFAT ADVAITA DAN DVAITA BERBEDA, YANG MANA YANG BENAR?

Seperti telah kukatakan sebelumnya, adalah normal sekali-sekali untuk dibuat bingung oleh kedua sistem philsafat ini. Sesungguhnya, kedua philsafat ini adalah satu dan sama tapi mereka beda hanya menurut dataran dari mana kita memandang mereka. Bila aku melihat kamu dan sebuah robot sebagai satu bundel elektron dan proton, maka kamu berdua adalah satu dan sama. Tapi bila dilihat dari dataran yang lain mahluk manusia sangat berbeda sekali dengan robot yang tidak bernyawa. Keduanya benar, tapi mereka berbeda dalam dataran persepsi. Wajah seorang model sangat cantik di depan mata telanjang, tapi akan buruk sekali di bawah mikroskop elektron yang sangat kuat. Ketika dataran persepsi itu berobah kebenaran yang dilihatnya juga berobah.

Tengoklah kepada cahaya yang dapat dilihat. Sir Isaac Newton berkata, "Cahaya bergerak dalam garis lurus." Albert Einstein, dengan quantum teorinya, memproklamirkan kepada dunia, "Cahaya bergerak dalam pola gelombang." Sekarang kita mempelajari keduanya, teori Newton dan Einstein mengenai cahaya dan menggunakannya untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Pada satu sisi cahaya adalah satu gelombang tetap dalam gerakan, dan pada sisi lain cahaya yang sama itu terbuat dari partikel-partikel independen dalam gerakan. Memeriksanya lebih jauh, cahaya itu adalah satu radiasi elektromagnetik dalam jarak panjang gelombang (range wavelength) termasuk infra merah, cahaya ultraviolet dan cahaya yang dapat dilihat, dengan kecepatan kurang lebih tiga ratus miliar meter per detik bila ia berjalan dalam ruang hampa.

Tanpa persepsi dualitas tindakan tidak mungkin. Kita dapat memahami (perceive) dunia ini hanya karena dia adalah satu seri dari dualitas yang bertentangan (rwa bineda). Manusia hanya dapat bertindak dalam satu lingkungan subyek-obyek. Menurut Taoisme, Satu Yang Mutlak itu (the Absolute One) menjadi dua dalam ciptaan.

I Ching atau Buku tentang Perobahan dari China yang terkenal itu, melihat alam semesta ini sebagai Yin dan Yang atau laki-laki dan wanita. Yin adalah kekuatan phisik dan emosional, dan Yang adalah kekuatan spiritual atau intelektual. Mereka sesungguhnya adalah dua aspek dari satu kekuatan absolut, sama seperti kutub utara dan selatan dari sebuah magnet. Pengikut Tao mencoba untuk memperoleh keseimbangan yang wajar antara Yin dan Yang. Dikatakan bahwa pemuka awal dari sistem pasangan (binary system) yang terkenal itu, Orang Jerman jenius Gottfried Wilhelm Leibniz, dalam tahun 1666 meletakkan dasar dari komputer elektronik modern berdasarkan atas ide-ide yang ia terima dari I Ching mengenai Yin dan Yang. Menurut dia, "satu" mewakili Tuhan, "nol" mewakili kosong (void), dan dari satu ke kosong segala sesuatu datang sama seperti satu dan kosong dapat menjelaskan ide-ide matematika. Jadi dalam sirkit-sirkit yang terintegrasi dari komputer modern, kita dapat melihat sistem Advaita dan Dvaita.

Dengan menjaga tombol mocroscope eletronik pada sebuah komputer modern dalam posisi "on" atau "off", mewakili satu dan kosong, manusia sesungguhnya telah menciptakan satu dunia impian. Semua masalah-masalah rumit dunia ini oleh sebuah komputer elektronik hanya dilihat sebagai posisi "nol" dan "satu", sebagai "off" dan "on" dari sejumlah besar nomor tombol. Ini kedengaran mengagetkan pikiran, tapi itulah sesungguhnya kebenarannya. Aku harap dengan contoh-contoh di atas akan sangat mudah untuk memahami mengapa philsafat Advaita dan Dvaita mempunyai posisi penting yang sama bagi orang Hindu.

Dan lagi, tidak ada pemisahan yang ketat antara aliran philsafat. Adi Sankaracharya sendiri menulis beberapa puisi bhakti untuk bentuk-bentuk Tuhan yang berbeda. Sama seperti Taoisme, Adi Sankara tidak menolak dunia materi atau kehidupan yang biasa, tapi meminta para pengikutnya untuk mengunakan dunia materi dan kehidupan biasa itu mengatasi (transcend) dunia materi itu. Doktrin Maya, yang telah banyak sekali ditulis oleh Adi Sankara, tidak menyatakan bahwa dunia ini tidak nyata tapi bahwa persepsi kita mengenai dunia ini salah. Persepsi kita mengenai dunia ini adalah relatif, tergantung atas waktu, ruang dan penyebab (causation). Kata Maya biasanya dijelaskan oleh orang-orang suci Hindu sebagai "peniadaan" (negation) dan "karena itu ayo hentikan semua tindakan." Penjelasan semacam itu sangat jauh dari kebenaran dan melawan semua ajaran Bhagawad Gita. Kata ilusi berasal dari bahasa Latin yang berarti "memainkan permainan" (to play the game). Jadi kita tidak dapat menghentikan tindakan sampai tindakan secara alamiah berhenti dalam hidup kita atau sampai kita melihat "tidak-bertindak dalam tindakan dan tindakan dalam tidak-bertindak" (inaction in action and action in inaction) seperti dijelaskan dengan panjang lebar oleh Bhawagad Gita.

Kepada sebagian orang philsafat Advaita akan menarik dan kepada sebagian yang lain philsafat Dvaita akan menarik sesuai dengan sifat-sifat individu mereka masing-masing. Secara pribadi, aku merasa kedua philsafat ini merupakan bagian tak terpisahkan dari satu philsafat besar, seperti kutub utara dan kutub selatan dari sebuah magnet. Kedua philsafat ini membantu agama Hindu untuk secara sungguh-sungguh mengeksplorasi wilayah-wilayah tak dikenal dari hidup kita. (Masih ada lanjutannya, satu kali lagi)

APAKAH ANDA MENYIMPULKAN, AYAH, BAHWA ADVAITA MUNGKIN BENAR TAPI BAHWA DVAITA ADALAH SISTEM YANG DAPAT DIPRAKTEKKAN?

Aku kira aku telah menjelaskan hal itu. Anyway, mari kujelaskan sekali lagi. Bila kamu melihat philsafat Advaita dan Dvaita sebagai dua philsafat yang berbeda, maka Advaita adalah Kebenaran Mutlak. Tapi bila kita hidup dalam satu dunia hubungan subyektif - obyektif, kita dipaksa bertindak dibawah prinsip-prinsip Dvaita. Bahkan Sankara sendiri tidak sama sekali menolak prinsip-prinsip Dvaita, seperti ditunjukkan oleh contohnya yang termashur mengenai "tali dan ular" dalam komenternya atas Karika Gaudapada. Seorang manusia yang melihat seutas tali sebagai seekor ular dalam kegelapan dipaksa mengalami stres mental karena harus menghadapi seekor ular. Kemudian, ketika ia menemukan bahwa ular itu sesungguhnya hanya seutas tali, ia mungkin akan berpikir betapa bodohnya dirinya. Tapi tak seorangpun dapat menyalahkan orang itu karena melihat tali sebagai ular dalam kegelapan.

Seseorang mengalami mimpi melihat seekor harimau mengejarnya. Dalam mimpinya ia mencoba lari dari harimau itu. Tanpa bergerak seincipun dari tempat tidurnya, ia merasa lari bermil-mil jauhnya melalui hutan onak-duri, tapi ketika ia tiba-tiba terbangun ia berkata kepada dirinya sendiri, "ini hanya mimpi." Pengalaman menyedihkan yang ia alami dalam mimpi tiba-tiba hanya menjadi suatu kebodohan ketika ia bangun. Menurut Adi Sankara, kita akan merasakan hal sama mengenai dunia materialistik ini ketika kita bangun dari mimpi materialistik ini.

Pada saat yang sama, semua dari kita harus berjuang di dunia dualitas ini sepanjang kita melihat dunia ini sebagai dualistik dalam sifatnya. Berteriak-teriak mengenai Advaita tidak akan membuat kita menyadari kesatuan kita dengan alam semesta ini. Tapi, bersama Sankara, banyak sekali guru-guru telah menyatakan kemampuan mereka untuk melihat dunia ini sebagai Advaita - satu kesatuan (one entity). Para santo sufi adalah contoh sempurna. Bila kamu mencari, akhirnya kamu akan mencapai keadaan dari para Sufi itu dan Adi Sankara.

Adi Sankara

AYAH, AKU TAHU ANDA SANGAT TERTARIK DENGAN ADI SANKARA. AKU INGIN TAHU LEBIH BANYAK MENGENAI DIA.

Ya, anakku. Aku memang memuja dia bagaikan pahlawan. Dia pendiri dari philsafat Advaita. Dia adalah seorang suci dengan pengaruh seperti Kristus, tapi ia terkenal karena pendekatan philsafatnya dalam menafsirkan Weda-weda.

Dia adalah genius dalam segala bidang yang meninggalkan jejaknya dalam setiap aspek dari agama Hindu. Dia melaksanakan upacara kematian ibunya dan ia mengarang puisi dan doa-doa kepada dewa-dewi. Namun ia bicara tentang Brahman saja (yang sejati ada, pen) Swami Chinmayananda sering mengatakan , " Sankara mulai dimana Einstein berakhir." Demikian luasnya pengetahuan Sankara.

Dia lahir di Kaladi, kurang lebih enam mil dari Always, di negara bagian Kerala. Pada usia delapan tahun ia telah menguasai keempat Weda, dan pada usia duabelas tahun ia telah memahami seluruh kitab-kitab suci Hindu. Pada usia enam belas tahun ia telah selesai menulis banyak buku-buku penting, dan pada usia tiga puluh dua tahun ia meninggalkan dunia ini. Menurut para sejarahwan Barat Sankaracharya hidup antara tahun 788 dan 820 AD. Dikatakan bahwa ketika ia berumur delapan tahun ia pergi ke India Utara dan menjadi murid dari Gowinda Bhagavadpada, yang merupakan murid dari Gaudapada.

Kemudian Sankara pergi ke Banaras, dan disana Padmapada, Hastamalaka dan Totaka menjadi muridnya. Menurut beberapa orang, hari-hari terakhir dari Sankara dipergunakan di Kanchi, dimana ia meninggalkan badannya. Menurut beberapa orang, Sankara tidak pernah meninggal. Ia hanya hilang dari pandangan. Sekte Siwa percaya bahwa Sankara adalah Avatara dari Siwa.

Selama persinggahannya yang singkat di dunia ini, Sankara telah menulis banyak buku. Dia menulis komentar atas Bagawad Gita, Upanishad, Brahma Sutra dan Vishnu Sahasranama. Dia menulis dua buku manual bebas yang diberi nama Upadesashasri dan Vivekachoodamani. Ia juga menulis Adma Bodham dadn Bhaja Govindam. Dari semua sajak bhakti yang ia tulis, Saundarya Lahari adalah yang paling baik.

Dia juga mendirikan empat pertapaan (biara) di sudut-sudut India yang berbeda yang dikenal dengan nama Sankaramath. Keempat pertapaan itu adalah di Sringeri (Mysore), Bandrinath (Himalaya), Dwaraka (Gujarat) dan Puri (Orissa). Sankaramath di Kanchi (Tamil Nadu) adalah sebuah 'saka' (cabang) dari Sankaramath di Sringeri.

Sama seperti Jesus Kristus, Sankara datang bukan untuk menghancurkan tapi untuk memenuhi kekosongan spiritual di India selama satu periode waktu tertentu dalam sejarah India. Sankaracharya menghentikan serangan gencar dari agama Buddha atas ide-ide Hindu dan mengembalikan agama Hindu pada kejayaannya sebelumnya. Menurut dia,"hanya Brahman satu-satunya yang ada; semua yang lain adalah maya atau ilusi. Jiwatman atau jiwa individu adalah Brahman itu sendiri dan sama sekali bukan yang lain. Manusia diikat oleh lingkaran reinkarnasi yang tiada akhir disebabkan oleh kebodohannya.

Kebodohan adalah akar sumber dari segala masalah. Pengetahuan menghapuskan kebodohan dan membebaskan manusia dari ikatan."

Sankara juga mengatakan, "perbedaan antara manusia dengan Tuhan adalah masalah derajat. Pada hakikatnya mereka adalah satu dan mahluk yang sama. Itu yang ada dalam manusia disebut Atman, dan itu yang memeluk seluruh alam semesta dikenal sebagai Brahman. Mereka adalah satu dan sama seperti ruangan dalam cangkir dan ruangan di luar cangkir adalah satu dan sama."

Sama seperti Tao dalam Taoisme, Allah dari Islam dan Ayin dari mistik Yahudi, Brahmannya Sankara tidak memiliki sifat-sifat, tidak memiliki bagian bagian dan kesadaran, dan juga abadi. Bila kamu membaca tulisan Sankara mengenai Brahman dan tulisan Lao-Tse mengenai Tao, keduanya tampak sama.

Agama Hindu berutang cukup banyak kepada Sankara. Pengajarannya adalah perwujudan yang sebenarnya dari kebebasan mutlak, dan ajaran-ajaran itu tidak dibatasi hanya pada satu kelompok tertentu dalam agama Hindu. Kamu harus berupaya membaca dan mempelajari semua buku-bukunya dalam hidupmu.

AYAH, PERNAHKAH SANKARA MENJELASKAN KENAPA BRAHMAN, YANG SEMPURNA DALAM DIRINYA SENDIRI, MENCIPTAKAN DUNIA YANG TIDAK SEMPURNA DAN PENUH MASALAH?

Aku menyesal untuk mengatakan bahwa Adi Sankara tidak pernah enjelaskan pertanyaan ini dalam tulisan-tulisannya. Banyak Vedantis, termasuk istikus Aurobindo (1872-1950), telah menunjukkan masalah ini dengan teori-teori Sankara. Kenapa Brahman, yang sempurna dan lengkap dalam dirinya sendiri, mengembangkan jaring besar Maya atau ilusi dari esensinya sendiri? Bila Dia sempurna mengapa ketidak-sempurnaan datang dari dia? Bila Brahmannya Sankara mengatasi (transcends) semua perasaan-perasaan pribadi (personality feelings), bagaimana Dia membuat satu ciptaan dengan kesadaran? Menurut Aurobindo, Sankara tidak berhasil menjelaskan, atas prinsip-prinsip negativistiknya, mengapa Yang Mutlak harus turun kepada yang terbatas. Baik Mahabagawatam maupun Bhagavad Gita menyebut-nyebut hal ini dengan cara tidak langsung. Keduanya bicara mengenai ciptaan sebagai alat bantu atau perantara (instrumentality of creation). Srimad Mahabagavatam menyatakan bahwa adalah merupakan Leela (permainan suci) bagi Tuhan untuk menciptaan sesuatu. Bhagawad Gita, pada sisi lain menyatakan bahwa adalah bagian dari alam untuk mencipta dan melahirkan (to create dan procreate). Malangnya, tidak ada kitab suci yang dengan jelas menjawab pertanyaan "kenapa dan apa" tentang penciptaan itu. Demikian juga dalam Kitab Kejadian (Genesis) kita melihat penciptaan sebagai alat bantu atau perantara, dimana Elohim berobah menjadi Jehovah ("I am" atau "Aku ada") dan menciptakan alam semesta dalam enam hari. Dalam Vedanta Sutra kata Leela (Lila, pen) - Permainan Suci digunakan untuk menjelaskan penciptaan sebagai ekspresi tanpa keinginan dari Tuhan (desireless expression of God). Kenapa Tuhan ingin menyatakan (mengekspresikan) dirinya? Aku kira kita tidak akan pernah mendapat jawaban atas pertanyaanmu dari siapapun dengan kemampuan manusia (yang terbatas) di dunia ini.

Sankara sendiri mengatakan bahwa sebuah pertanyaan seperti yang kamu ajukan tidak mempunyai dasar, karena alam semesta materi ini sesungguhnya adalah ilusi atau Maya, hanya kilasan khayalan semata. Kamu dan aku memiliki masalah karena kita tidak mampu mengatasi kerudung besar dari Maya itu. Sankara tidak pernah mengatakan bahwa dunia ini tidak penting. Ia hanya menunjukkan fakta bahwa dunia yang kita lihat bukan dunia yang nyata. Dunia yang kita lihat senantiasa berobah. Duduk dalam mobilmu, satu mil dari sini, air yang kamu lihat di jalan sementara memang nyata, tapi bila kamu dating lebih dekat kepada air itu apa yang kamu lihat menjadi bayangan udara. Perampok dalam mimpi yang menyerang kamu adalah nyata dalam mimpi. Dalam mimpi kamu berkelahi melawannya. Tapi ketika kamu bangun, kamu akan berkata kepada dirimu sendiri, "ini hanya mimpi." Sankara mengatakan seseorang akan mengatakan hal yang sama mengenai dunia pada saat ia menyadari atau mencapai pengetahuan yang benar. Apapun kritik yang ditujukan terhadap aspek-aspek yang lebih halus dari Advaitanya Sankara, aku pribadi merasa philsafat Advaita akan tetap ada selamanya. Bila besok seorang manusia dibuat di laboratorium, tanpa bantuan sperma dari laki-laki dan ovum dari wanita, hampir semua agama terorganisasi di dunia ini akan runtuh. Tapi philsafat Advaita dari Sankara sendirian akan tegak tinggi pada hari itu. Bila pada saat itu Sankara dapat membangkitkan tubuhnya sendiri, ia akan berteriak, "Tuhan menciptakan ilusi tapi kini manusia sendiri mulai melakukan hal itu!" Pada hari itu hanya philsafat Advaita yang akan bersorak kegirangan, semua yang lainnya akan hancur luluh.

APAKAH PHILSAFAT DVAITA?

Philsafat ini adalah philsafat mengenai dualitas yang disebarkan oleh Madhva (1197 AD), yang percaya bahwa bhakti (devotion) kepada Tuhan adalah sangat penting. Menurut dia, dunia ini adalah nyata dan ada satu perbedaan antara manusia dengan Tuhan. Realitas menurut dia ada dua macam, yang bebas dan yang tidak bebas. Tuhan satu-satunya realitas yang bebas. Materi dan jiwa manusia tergantung dan dikendalikan oleh Tuhan. Jiwa itu aktif dan bertanggung jawab untuk kebebasannya sendiri dari kelahiran berulang kali yang tak terhitung melalui bhakti kepada Tuhan.

Ramanuja, rasul pertama dari philsafat Dvaita, lahir kira-kira tahun 1050 AD. Ia adalah pemuja Wishnu. Dia mengambil jalan tengah antara philsafat Advaita dengan Dvaita. Reshi Ramanuja mengatakan bahwa Tuhan bukanlah prinsip yang tidak memiliki sifat-sifat, sebagaimana dikatakan oleh Adi Sankara, tapi adalah satu Tuhan berpribadi (Saguna Brahman) yang dapat dicintai dan dimengerti melalui bhakti. Ia mendebat Adi Sankara yang menolak bhakti kepada Tuhan ini. Tapi pada saat yang sama, Ramanuja percaya pada posisi tradisonal dari Wedanta mengenai kesatuan dengan Tuhan Yang Mahakuasa. Ia percaya pada prinsip Jivatman (jiwa individu) dan Paramatman (jiwa absolut) dan persatuan dari jivatman ke dalam Paramatman untuk mencapai moksha. Baik philsafat Advaita maupun Dvaita masih berjaya di India dalam kedudukan terhormat yang sama bahkan sampai dewasa ini. (Masih ada lanjutannya)

AYAH, AKU BINGUNG. BILA PHILSAFAT ADVAITA DAN DVAITA BERBEDA, YANG MANA YANG BENAR?

Seperti telah kukatakan sebelumnya, adalah normal sekali-sekali untuk dibuat bingung oleh kedua sistem philsafat ini. Sesungguhnya, kedua philsafat ini adalah satu dan sama tapi mereka beda hanya menurut dataran dari mana kita memandang mereka. Bila aku melihat kamu dan sebuah robot sebagai satu bundel elektron dan proton, maka kamu berdua adalah satu dan sama. Tapi bila dilihat dari dataran yang lain mahluk manusia sangat berbeda sekali dengan robot yang tidak bernyawa. Keduanya benar, tapi mereka berbeda dalam dataran persepsi. Wajah seorang model sangat cantik di depan mata telanjang, tapi akan buruk sekali di bawah mikroskop elektron yang sangat kuat. Ketika dataran persepsi itu berobah kebenaran yang dilihatnya juga berobah.

Tengoklah kepada cahaya yang dapat dilihat. Sir Isaac Newton berkata, "Cahaya bergerak dalam garis lurus." Albert Einstein, dengan quantum teorinya, memproklamirkan kepada dunia, "Cahaya bergerak dalam pola gelombang." Sekarang kita mempelajari keduanya, teori Newton dan Einstein mengenai cahaya dan menggunakannya untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Pada satu sisi cahaya adalah satu gelombang tetap dalam gerakan, dan pada sisi lain cahaya yang sama itu terbuat dari partikel-partikel independen dalam gerakan. Memeriksanya lebih jauh, cahaya itu adalah satu radiasi elektromagnetik dalam jarak panjang gelombang (range wavelength) termasuk infra merah, cahaya ultraviolet dan cahaya yang dapat dilihat, dengan kecepatan kurang lebih tiga ratus miliar meter per detik bila ia berjalan dalam ruang hampa.

Tanpa persepsi dualitas tindakan tidak mungkin. Kita dapat memahami (perceive) dunia ini hanya karena dia adalah satu seri dari dualitas yang bertentangan (rwa bineda). Manusia hanya dapat bertindak dalam satu lingkungan subyek-obyek. Menurut Taoisme, Satu Yang Mutlak itu (the Absolute One) menjadi dua dalam ciptaan.

I Ching atau Buku tentang Perobahan dari China yang terkenal itu, melihat alam semesta ini sebagai Yin dan Yang atau laki-laki dan wanita. Yin adalah kekuatan phisik dan emosional, dan Yang adalah kekuatan spiritual atau intelektual. Mereka sesungguhnya adalah dua aspek dari satu kekuatan absolut, sama seperti kutub utara dan selatan dari sebuah magnet. Pengikut Tao mencoba untuk memperoleh keseimbangan yang wajar antara Yin dan Yang. Dikatakan bahwa pemuka awal dari sistem pasangan (binary system) yang terkenal itu, Orang Jerman jenius Gottfried Wilhelm Leibniz, dalam tahun 1666 meletakkan dasar dari komputer elektronik modern berdasarkan atas ide-ide yang ia terima dari I Ching mengenai Yin dan Yang. Menurut dia, "satu" mewakili Tuhan, "nol" mewakili kosong (void), dan dari satu ke kosong segala sesuatu datang sama seperti satu dan kosong dapat menjelaskan ide-ide matematika. Jadi dalam sirkit-sirkit yang terintegrasi dari komputer modern, kita dapat melihat sistem Advaita dan Dvaita.

Dengan menjaga tombol mocroscope eletronik pada sebuah komputer modern dalam posisi "on" atau "off", mewakili satu dan kosong, manusia sesungguhnya telah menciptakan satu dunia impian. Semua masalah-masalah rumit dunia ini oleh sebuah komputer elektronik hanya dilihat sebagai posisi "nol" dan "satu", sebagai "off" dan "on" dari sejumlah besar nomor tombol. Ini kedengaran mengagetkan pikiran, tapi itulah sesungguhnya kebenarannya. Aku harap dengan contoh-contoh di atas akan sangat mudah untuk memahami mengapa philsafat Advaita dan Dvaita mempunyai posisi penting yang sama bagi orang Hindu.

Dan lagi, tidak ada pemisahan yang ketat antara aliran philsafat. Adi Sankaracharya sendiri menulis beberapa puisi bhakti untuk bentuk-bentuk Tuhan yang berbeda. Sama seperti Taoisme, Adi Sankara tidak menolak dunia materi atau kehidupan yang biasa, tapi meminta para pengikutnya untuk mengunakan dunia materi dan kehidupan biasa itu mengatasi (transcend) dunia materi itu. Doktrin Maya, yang telah banyak sekali ditulis oleh Adi Sankara, tidak menyatakan bahwa dunia ini tidak nyata tapi bahwa persepsi kita mengenai dunia ini salah. Persepsi kita mengenai dunia ini adalah relatif, tergantung atas waktu, ruang dan penyebab (causation). Kata Maya biasanya dijelaskan oleh orang-orang suci Hindu sebagai "peniadaan" (negation) dan "karena itu ayo hentikan semua tindakan." Penjelasan semacam itu sangat jauh dari kebenaran dan melawan semua ajaran Bhagawad Gita. Kata ilusi berasal dari bahasa Latin yang berarti "memainkan permainan" (to play the game). Jadi kita tidak dapat menghentikan tindakan sampai tindakan secara alamiah berhenti dalam hidup kita atau sampai kita melihat "tidak-bertindak dalam tindakan dan tindakan dalam tidak-bertindak" (inaction in action and action in inaction) seperti dijelaskan dengan panjang lebar oleh Bhawagad Gita.

Kepada sebagian orang philsafat Advaita akan menarik dan kepada sebagian yang lain philsafat Dvaita akan menarik sesuai dengan sifat-sifat individu mereka masing-masing. Secara pribadi, aku merasa kedua philsafat ini merupakan bagian tak terpisahkan dari satu philsafat besar, seperti kutub utara dan kutub selatan dari sebuah magnet. Kedua philsafat ini membantu agama Hindu untuk secara sungguh-sungguh mengeksplorasi wilayah-wilayah tak dikenal dari hidup kita. (Masih ada lanjutannya, satu kali lagi)

APAKAH ANDA MENYIMPULKAN, AYAH, BAHWA ADVAITA MUNGKIN BENAR TAPI BAHWA DVAITA ADALAH SISTEM YANG DAPAT DIPRAKTEKKAN?

Aku kira aku telah menjelaskan hal itu. Anyway, mari kujelaskan sekali lagi. Bila kamu melihat philsafat Advaita dan Dvaita sebagai dua philsafat yang berbeda, maka Advaita adalah Kebenaran Mutlak. Tapi bila kita hidup dalam satu dunia hubungan subyektif - obyektif, kita dipaksa bertindak dibawah prinsip-prinsip Dvaita. Bahkan Sankara sendiri tidak sama sekali menolak prinsip-prinsip Dvaita, seperti ditunjukkan oleh contohnya yang termashur mengenai "tali dan ular" dalam komenternya atas Karika Gaudapada. Seorang manusia yang melihat seutas tali sebagai seekor ular dalam kegelapan dipaksa mengalami stres mental karena harus menghadapi seekor ular. Kemudian, ketika ia menemukan bahwa ular itu sesungguhnya hanya seutas tali, ia mungkin akan berpikir betapa bodohnya dirinya. Tapi tak seorangpun dapat menyalahkan orang itu karena melihat tali sebagai ular dalam kegelapan.

Seseorang mengalami mimpi melihat seekor harimau mengejarnya. Dalam mimpinya ia mencoba lari dari harimau itu. Tanpa bergerak seincipun dari tempat tidurnya, ia merasa lari bermil-mil jauhnya melalui hutan onak-duri, tapi ketika ia tiba-tiba terbangun ia berkata kepada dirinya sendiri, "ini hanya mimpi." Pengalaman menyedihkan yang ia alami dalam mimpi tiba-tiba hanya menjadi suatu kebodohan ketika ia bangun. Menurut Adi Sankara, kita akan merasakan hal sama mengenai dunia materialistik ini ketika kita bangun dari mimpi materialistik ini.

Pada saat yang sama, semua dari kita harus berjuang di dunia dualitas ini sepanjang kita melihat dunia ini sebagai dualistik dalam sifatnya. Berteriak-teriak mengenai Advaita tidak akan membuat kita menyadari kesatuan kita dengan alam semesta ini. Tapi, bersama Sankara, banyak sekali guru-guru telah menyatakan kemampuan mereka untuk melihat dunia ini sebagai Advaita - satu kesatuan (one entity). Para santo sufi adalah contoh sempurna. Bila kamu mencari, akhirnya kamu akan mencapai keadaan dari para Sufi itu dan Adi Sankara.

Me-DIKSA (Upacara Seda-Raga)

dari Bhagawan Dwija :

Tanggal 05 Nopember 1999 saya melakukan upacara SEDA-RAGA yaitu suatu
upacara yang dilakukan sebelum "me-Diksa" menjadi Brahmana (Pandita).


1. Prosedur mati seperti wafatnya Panca Pandawa : mulai dari kaki
(Nakula-Sahadewa), suhu badan menurun-dingin (Arjuna), tenaga (Bima),
terakhir : Atman(Yudistira).
2. Yang memindahkan atman saya ke "daksina lingga" adalah Nabe saya
yang sudah berusia ketika itu 74 tahun. Mula-mula saya duduk didepan
beliau dan seluruh tubuh dibungkus kain kafan dengan rerajahan tertentu.
Setelah mati saya diusung oleh keluarga dan ditidurkan
di bale Gede, tetap dengan rurub dan di teben bale ada
banten lengkap pengabenan.
3. Nama-nama tempat yang saya lalui setelah mati
adalah (nama tempat ini kemudian hari baru saya
tanyakan ke Nabe, sesuai dengan pengalaman, ciri-ciri
yang dirasakan/dilihat) :
3.1. Tegal penangsaran : area yang luas kering seperti
padang pasir. Banyak orang yang berbaring tidak bisa
jalan. Kata Nabe kemudian, mereka adalah mayat-mayat
yang belum diupacarai Pitra Yadnya. Saya bisa jalan
terus karena segera setelah seda raga, Nabe nganteb
banten Tarpana dan memperlakukan badan saya seperti mengupacarai mayat
(tentu tanpa membakarnya)
3.2. Titi gonggang : jembatan tali yang bergoyang terus melewati
jurang sangat dalam dari mana api berkobar dan panas luar biasa. Dari
dasar jurang bergema teriakan minta ampun dan minta tolong. Kata Nabe,
teriakan itu adalah dari orang-orang yang berbuat dosa dan menerima
hukuman di neraka.
3.3. Kayu curiga : hutan dengan pohon-pohon besar berdaun
senjata tajam dan berbuah bola besi. Melewati dibawahnya senjata-senjata
tajam dan bola besi itu berjatuhan menimpa saya, sakit luar biasa. Kata
Nabe :makin banyak dosa (dari pikiran) ketika sebelum
mediksa maka akan makin sakit rasanya.
3.4. Alang-alang reges : lapangan luas sepanjang mata
memandang penuh rumput alang-alang, tetapi ketika
dilewati berubah menjadi taji yang sangat tajam.
Kaki/betis saya penuh luka dan berdarah, sakit sekali.
Kata Nabe : makin banyak dosa dari perkataan dan perbuatan, makin sakit
kaki ini melewati taji itu.
3.5. Banjaran kembang : taman bunga yang harum,
berbagai warna-warni bunga dan banyak bidadari
tersenyum-senyum ramah. Kata Nabe : Mereka yang bisa
sampai kesini sudah lulus dari tegal penangsaran, titi gonggang, kayu
curiga dan alang-alang reges.
3.6. Bale pengangen-angen : aula luas dimana banyak
sekali orang duduk bersila menunggu sesuatu. Kata Nabe
: mereka yang duduk-duduk itu belum dikenali oleh
Bhatara Kawitan karena belum disembah oleh
keturunannya. Disini lengan saya ditarik dengan kasar
oleh seorang raksasa dan disuruh duduk dilantai
dihadapan seorang pendeta yang duduk diatas singgasana
emas. Disamping pendeta itu berdiri seorang tua yang
berwibawa, berwajah kaku,tanpa ekspresi. Belakangan
Nabe mengatakan : raksasa itu bernama Sang Dorakala,
pendeta yang duduk di korsi singgasana itu Bhatara
Kawitan saya, dan yang berdiri disampingnya adalah
Sang Suratman.
3.7. Saya menyembah Bhatara Kawitan, setelah itu saya
diseret lagi oleh Sang Dorakala, lalu dibuang kesebuah
jurang yang gelap, saya melayang-layang beberapa saat
lalu samar-samar saya dengar suara Nabe : nak, metangi
nak, nanak, metangi, metangi. Lalu mendengar orang
menangis disekeliling saya, buka mata, dan ternyata
saya sudah kembali dari perjalanan itu yang total
selama 10 jam.


APA GUNANYA UPACARA SEDA RAGA ?
1. Untuk menghilangkan pengaruh buruk sad-ripu saya
2. Mengetahui jalan ke nirwana sehingga bila jadi
Sulinggih, nanti bisa menuntun atma-atma yang
diupacarai Pitra Yadnya dan bisa menasihati mereka.
Istilah di Lontar disebut : Ngentas atma. Jadi kalau
belum melalui upacara seda raga, belum bisa/boleh
muput Pitra Yadnya.
3. Kalau dihitung-hitung selama saya melingih sekitar
lima tahun, sudah ribuan atma saya antar ke nirwana
melalui jalan itu, kebanyakan dengan selamat, tetapi
ada juga yang terjatuh di titi gonggang. Hiiiiiii, ngeriiiiiiiiiiiiiiii.
Gituuuuuuuuuuuu ceritranya, jadi
saya ini seperti guide dari travel agent
...........ha.ha..ha..ha

Bhagawan Dwija.

KEPEMANGKUAN

1. ROKHANIAWAN HINDU
Dalam Agama Hindu seorang Pemangku atau Pinandita dinyatakan sebagai rokhaniawan . Rokhaniawan artinya orang yang rokhani atau jiwanya telah disucikan. Karena itu sebagai rokhaniawan , seorang Pemangku seyogyanya mendalami pengertian rokhaniawan, sehingga yang bersangkutan bisa menempatkan diri dan melaksanakan tugas pekerjaannya sesuai dengan tingkat kesuciannya. Berdasarkan tingkat penyuciannya, rokhaniawan Hindu dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu :

A. Rokhaniawan yang termasuk dalam golongan atau tingkatan Dwijati seperti Pedanda, Pandita, Sri Bhagawan, Empu, Rsi dan lain-lain yang pada umumnya dinamakan Sulinggih.

B. Rokhaniawan yang termasuk dalam golongan atau tingkatan Ekajati seperti Pemangku, Balian, Mangku Dalang dan lain-lain.

Disamping dua golongan tersebut diatas sesungguhnya masih ada satu golongan rokhaniawan yang ketiga yaitu termasuk dalam golongan atau tingkatan Trijati. Yang dimaksud dengan golongan Trijati adalah para sulinggih yang telah berkedudukan sebagai Guru Nabe. Mereka ini dipandang sebagai lahir tiga kali, yakni dari Ibu, dari ilmu pengetahuan dan kemudian diangkat menjadi Guru Nabe. Beliau mempunyai wewenang untuk meningkatkan sisyanya dari calon Pendeta menjadi Pendeta dalam tingkatan Dwijati.

A. Rokhaniawan Tingkat Dwijati
Kata Dwijati berasal dari bahasa Sansekerta ,Dvi dan Jati . Dvi berarti dua dan Jati berasal dari akar kata Ja yang berarti lahir. Dengan demikian Dwijati berarti lahir dua kali. Kelahiran yang pertama adalah kelahiran dari ibu kandungnya sendiri, sedangkan yang ke dua merupakan kelahiran dari kaki Dang Guru Suci atau Nabe setelah memperoleh Ilmu Pengetahuan Suci dan kerokhaniawan.

Dengan kata lain kelahiran yang ke dua hanya dapat terjadi setelah yang bersangkutan memperoleh ilmu pengetahuan suci dan kerokhanian melalui aguron-aguron (berguru/belajar) kepada seorang Nabe. Untuk kelahiran yang kedua ini, seorang calon sulinggih juga harus melakukan Nuwun Pada atau Metapak kepada Nabenya dalam suatu upacara yang disebut Mediksa atau Mepudgala. Selesai upacara Mediksa yang bersangkutan diberi gelar atau sebutan Pedanda, Pandita, Sri Bhagawan, Rsi, Empu, dan lain-lain. Kata Pandita berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti terpelajar, pandai, dan bijaksana atau orang yang arif lagi bijaksana.

Pelaksanaan upacara Mediksa yang memberikan gelar Pedanda, Pandita, Sri Bhagawan, Rsi, Empu, dan lain-lain itu, merubah status yang bersangkutan dalam ikatan disiplin sebagaimana tertuang dalam catur bandana dharma (empat ikatan disiplin kehidupan kerokhanian) meliputi :

a. Amari Aran :
Yang bersangkutan wajib merubah namanya sebagai walaka dengan nama baru sebagaimana diberikan oleh Nabenya.

b. Amari Sesana :
Yang bersangkutan harus maninggalkan tugas kewajibannya semula dan menggantikannya dengan sasana kawikon. Dalam hal ini seorang Sulinggih dibebaskan dari tugas kewajiban selaku warga masyarakat biasa.

c. Amari Wesa :
Yang bersangkutan harus mengganti identitas dirinya dengan identitas Pendeta, misalnya tidak boleh lagi bercukur. Juga harus mengikuti disiplin penggunaan pakaian waktu upacara dan penggunaan pakain sehari-hari.

d. Umulahaken Kaguru Susrusan :
Yang bersangkutan harus melaksanakan dengan ketat, taat, dan patuh serta brdisiplin mengenai ajaran Nabenya.

Sulinggih berwenang menyelesaikan segala macam upacara Panca Yajna. Kewenangan ini tidak terbatas hanya pada upacara rutin saja, tetapi juga untuk upacara yang bersifat pengesahan seperti perkawinan, pengangkatan anak dan lain-lain.

Untuk dapat melaksanakan tugas kewajibannya dengan penuh, maka seorang Sulinggih harus pula menjalani berbagai upacara peningkatan seperti Ngelinggihang Weda. Untuk dapat muput karya yang besar seperti upacara yang menggunakan Sanggar Tawang Rong Tiga, seorang Sulinggih harus memiliki kemampuan dalam penguasaan Weda yang disebut sebagai Apasang Lingga. Apasang Lingga maksudnya penguasaan tingkat tertentu atas Kitab Suci Weda. Setelah manguasai tingkatan Weda tertentu, maka tugas pokok Sulinggih adalah Ngeloka Palasraya yaitu melaksanakan tugas selaku sandaran umat untuk mohon bantuan dalam hal kehidupan keagamaan pada umumnya. Sulinggih menjadi tempat untuk minta petunjuk, seperti bagaimana tata cara mendirikan Pura, mendirikan rumah, menentukan hari-hari baik untuk sesuatu kegiatan dan lain-lain. Dalam hal ini Sulinggih juga wajib setiap hari secara terus-menerus meningkatkan kesucian dirinya, disamping mendoakan kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk di dunia. Tugas kewajiban ini dinamakan Nyurya Sewana dan harus dilaksanakan setiap hari.

Perlu ditambahkan pula bahwa secara teoritis ada pula Sulinggih yang tidak melaksanakan tugas baik muput karya maupun ngeloka palasraya. Sulinggih ini hanya berorientasi kepada “ngetut yasa” dan menjaga kesucian dirinya saja. Sulinggih ini dinamakan Wiku Ngaraga, maksudnya adalah bahwa pengetahuan kependetaannya hanya dipergunakan untuk kepentingan dirinya sendiri.

B. Rokhaniawan Tingkat Ekajati
Sebagaimana kata Dwijati, kata Ekajati juga berasal dari bahasa sanskerta eka dan jati. Eka berarti satu dan jati seperti sudah dijelaskan diatas, berasal dari akar kata ja yang berarti lahir. Jadi Ekajati berarti lahir sekali, yakni lahir hanya dari ibu kandungnya sendiri. Rokhaniawan yang tergolong dalam kelompok Ekajati antara lain adalah adalah Pemangku atau Pinandita. Parisada Hindu Dharma dalam Maha Sabha II tahun 1968 menetapkan bahwa Pemangku atau Pinandita adalah “pembantu yang mewakili Pendeta” ini merupakan istilah resmi dari Parisada Hindu Dharma Indonesia.

Untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka Pemangku perlu belajar atau berguru, namun tingkat pengetahuan yang dipelajarinya tidaklah setinggi Sulinggih. Kitab Suci Weda yang perlu dipelajari sangat terbatas, yakni hanya yang berhubungan dengan pengastawa saja. Sedangkan upacaara penyuciannya menjadi Pemangku cukup hanya dengan upacara pawintenan.

Upacara Pewintenan Pemangku dapat dilakuakan berulang kali, jadi berbeda dengan upacara padiksaan yang hanya boleh dilakukan sekali saja. Dengan mengikuti upacara pewintenan, seorang Pemangku tidak berubah statusnya sebagaimana halnya dengan Sulinggih. Seorang Pemangku masih boleh bercukur, boleh berpakaian sebagaimana layaknya anggota masyarakat biasa, masih mempunyai tugas dan kewajiban dalam hubungan kemasyarakatan sebagai seorang walaka. Namanya juga tetap dan tidak diganti. Hanya nama panggilannya saja sering ditambah dengan Mangku atau Jero Mangku atau Jero Gede atau sebutan lain sesuai dengan desa kala patra dan tingkat kepemangkuannya.

Seorang Pemangku tidak dibenarkan mempergunakan alat pemujaan seperti halnya seorang Sulinggih. Juga tidak dibenarkan mempergunakan mudra atau petanganan dalam mepuja. Seorang Pemangku memiliki sasana khusus yang tertuang dalam Lontar Kusuma Dewa, Sangkul Putih, Gegelaran Pemangku, Agem-Ageman Pemangku, dan lain-lain. Sedangkan Pemangku Dalang sasananya tertuang dalam Dharmaning Pedalangan, Panyudamalan, dan Nyapu Leger.


2. PERANAN PEMANGKU DALAM MASYARAKAT
Pemangku mempunyai peranan yang sangat penting dalam masyarakat beraagama Hindu. Dikatakan penting karena setiap upacara atau yajna, sepanjang tidak mempergunakan Sulinggih, maka Pemangkulah yang diminta bantuannya untuk nganteb upakara (banten). Memang tidak semua upacara harus diselesaikan oleh Pendeta dan atau Pemangku, sebab ada pula upacara-upacara kecil yang tidak mempergunakan jasa Sulinggih maupun Pinandita. Pada umumnya masyarakat sudah memahami tradisi dan kebiasaan, mana upacara yang harus dipuput oleh Pendeta, mana yang harus dihaturkan oleh Pemangku dan mana yang dapat dipersembahkan sendiri. Dalam hal dipergunakannya bantuan Pemangku, maka Pemangku tersebut berfungsi sebagai perantara antara umat yang punya kerja dengan Ida Sang Hyang Widhi dan Ida Bhatara Kawitan/Leluhur. Karena itu tugas Pemangku sering disebutkan sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus pelayan masyarakat. Dalam posisinya sebagai pelayan itulah Pemangku menduduki posisi yang sangat penting dan terhormat.

Mengingat peranan penting tersebut, maka seorang Pemangku diharapkan dapat menjadi panutan, dapat memberi contoh yang baik, bahkan jika mungkin harus dapat menuntun dan membina warga masyarakat untuk bisa lebih mendekatkan dirinya dengan dan selalu ingat kepada keagungan dan kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Itulah sebabnya, maka untuk bisa menjadi Pemangku tidaklah mudah, karena harus dipenuhi berbagai persyaratan.


3. PENGERTIAN PEMANGKU
Menurut keputusan Mahasaba Parisada Hindu Dharma ke 2 tanggal 5 Desember 1968, yang dimaksud dengan Pemangku adalah mereka yang telah melaksanakan upacara yadnya pawintenan sampai dengan adiksa widhi tanpa ditapak dan amari aran.

Kata Pemangku berasal dari kata “Pangku” yang disamakan artinya dengan “Nampa”, “Menyangga” atau “ Memikul Beban” atau Memikul tanggung jawab”. Dalam hal ini memikul beban atau tanggung jawab sebagai pelayan atau perantara antara orang yang punya kerja dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan atau Ida Bhatara Kawitan. Dengan kata lain, orang yang menerima tugas pekerjaan untuk memikul beban atau tanggung jawab sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sekaligus sebagai pelayan masyarakat itu dinamakan Pemangku.

Berdasarkan fungsinya, Pemangku dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu:

a. Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura, seperti Pemangku Sad Kahyangan, Pura dang Kahyangan, Pura Kahyangan Tiga, Pura Paibon, Pura Panti, Pura dadia, Pura Kawitan, Pura Pedharmaan, Merajan/sanggah dan lain-lain.

b. Pemangku Dalang, Pemangku tukang dan lain-lain yang sejenis.

Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura adalah Pemangku yang bertanggung jawab atas pelaksanaan yadnya di Pura, sedangkan Pemangku Dalang, Pemangku Tukang dan lain-lain (yang tidak dibahas lebih jauh dalam tulisan ini) adalah orang memikul beban atas tugas pekerjaan tertentu seperti pedalangan, tukang dan lain-lain.

Dengan tanggung jawab untuk melaksanakan yadnya di Pura, jelaslah bahwa seorang Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura mempunyai tugas yang cukup berat. Pemangku harus bertanggung jawab juga atas kesucian Pura dan lain-lain kegiatan yang berkaitan dengan Pura yang diemongnya. Pemangku harus selalu menjaga kesucian dirinya, harus selalu “mepeningan “ atau “asuci laksana” dengan selalu menjaga kebersihan dan kesucian jasmani maupun rokhaninya. Disamping itu Pemangku juga harus menjaga “Kelingsirannya” meskipun usianya masih muda dalam arti harus dapat memberi contoh yang baik, harus dapat menjadi manusia panutan dan selalu berfikir yang baik, berkata yang baik dan berbuat yang baik (mengamalkan ajaran Tri Kaya Parisudha).


4. MENGAPA HARUS ADA PEMANGKU
Sudah menjadi tradisi dalam masyarakat yang bergama Hindu bahwa untuk melaksanakan yadnya tertentu yang cukup besar, umat Hindu biasanya akan meminta bantuan Pendeta dan atau Pemangku.

Pendeta dan atau Pemangku dalam hal ini akan bertindak sebagai perantara antara yang punya kerja dengan Ida Sang Hyang Widhi dan Ida Bhatara Kawitan. Dalam hal ini Pendeta dan atau Pemangku akan bertindak sebagai Pemimpin Upacara. Untuk Pendeta dikatakan sebagai pemuput karya (menyelesaikan upacara), sedangkan untuk Pemangku dipergunakan istilah Nganteb Upakara (Banten), bukan muput karya.

Mungkin timbul pertanyaan, mengapa ditimbulkan perantara untuk melaksanakan yajna. Apakah tidak boleh dilaksanakan sendiri tanpa perantara Pendeta dan atau Pemangku? Di atas telah dijelaskan bahwa penggunaan Pendeta dan atau Pemangku itu sudah menjadi tradisi. Tradisi ini mungkin timbul karena masyarakat Hindu sejak zaman dahulu sudah terbagi dalam kelompok-kelompok profesi. Kelompok Brahmana mempunyai profesi di bidang keagamaan dan karena itu dipandan sebagai kelompok yang paling memahami ajaran-ajaran agama termasuk tata cara upacaranya. Karena itu adalah wajar manakala Pendeta dinyatakan sebagai perantara antara umat yang punya kerja dengan Ida Sang Hyang Widhi dan atau Ida Bhatara Kawitan. Sementara itu, jika hanya dimintakan bantuan Pemangku, maka disini Pemangku akan berfungsi sebagai “wakil Pendeta” sudah tentu sebatas kewenangan yang dimilikinya. Sebagaimana sudah disinggung di atas istilah yang dipergunakan untuk Pemangku dalam kegiatan ini bukanlah “muput karya”, tetapi hanyalah nganteb banten saja.
Sudah menjadi kebiasaan pula bahwa untuk kegiatan upacara harian dan yajna yang kecil-kecil, umat Hindu biasanya melaksanakannya sendiri tanpa bantuan Pendeta ataupun Pemangku.


5. KAPAN PEMANGKU DIPERLUKAN
Pemangku diperlukan bantuannya pada waktu warga masyarakat melaksanakan upacara Panca Yajna (kecuali Rsi Yajna), khususnya jika tidak diminta bantuan Pendeta. Pada saat upacara Dewa Yajna, ketika warga melaksanakan piodalan, bantuan Pemangku sangat diperlukan, baik pada waktu ada Pendeta dan terutama apabila tidak dimintta bantuan Pendeta. Mengenai dipergunakannya Pendeta atau Pemangku, rupanya juga sudah merupakan tradisi bagi Pura-Pura trtentu. Pura-Pura yang cukup besar, biasanya mempergunakan Pendeta untuk muput karya. Sedangkan untuk Pura-Pura yang kecil, dipergunakan Pemangku sebagai penganteb banten. Bahkan ada pula Pemangku yang sama sekali tidak mempergunakan Pendeta maupun Pemangku. Ini nampaknya juga bidangmengikuti tradisi leluhur mereka sejak dahulu kala.

Dalam upacara Manusia Yajna, seperti upacara nelu bulanin, ngotonin dan lain-lain, demikian pula upacara Pitra Yajna, seperti ngaben, kemudian upacara Bhuta Yajna seperti melaksanakan pecaruan, bantuan Pemangku juga diperlukan. Untuk muput karya Manusia Yajna, Pitra Yajna, dan Bhuta Yajna termasuk di atas, sering pula diminta bantuan Pendeta, tergantung besar kecilnya tingkat upacara yang dilaksanakan.

Secara formal, memang tidak ada ketentuan yang baku, bahwa untuk upacara ini harus memakai Pendeta dan untuk upacara itu harus meminta bantuan Pemangku saja. Semuanya tentu tergantung dan terserah kepada hati nurani dan keyakinan mereka masing-masing. Biasanya kalau ingin lebih mantap, tentu warga akan minta bantuan Pendeta untuk muput karya.

6. SIAPA YANG BOLEH MENJADI PEMANGKU
Pemangku sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi hendaknya dipilih dari umat yang memiliki budhi luhur, moral dan mental yang tinggi. Seorang calon Pemangku hendaknya memiliki jiwa pengabdian yang tulus dan ikhlas serta selalu siap untuk ngayah tanpa memikirkan imbalan apapun. Jabatan Pemangku seyogyanya tidak dijadikan sebagai tameng untuk menutupi kelemahan pribadinya yang sesungguhnya kurang baik, sehingga dapat menjadi orang terpandang di masyarakat. Kalau ternyata ada yang bertindak seperti itu, maka yang bersangkutan dapat dikatakan sebagai penipu masyarakat. Karmaphala buruk yang harus ditanggung dikemudian hari tentu akan menjadi lebih besar lagi. Demikianlah, maka untuk menetapkan seseorang untuk menjadi Pemangku tidaklah sembarangan. Yang boleh dipilih menjadi Pemangku adalah mereka yang benar-benar memenuhi syarat. Disamping harus sehat secara rokhaniah, mereka juga harus sehat jasmaniah, tidak cedangga (cacat) bisu tuli atau sakit-sakitan. Sehat secara fisik ini sangata diperlukan, karena seorang Pemangku seringkali harus bekerja di tempat-tempat yang jauh dari tempat tinggalnya dan atau harus bekerja sampai larut malam.

Disamping itu, menurut Drs. I Ketut Wiana (Bali Post, 29 Oktober 2003) mereka yang akan dipilih atau ditunjuk menjadi Pemangku semestinya tidak mempunyai kebiasaan atau perilaku buruk seperti di bawah ini :

a) Suka mabuk karena kekayaannya (dhana)

b) Suka mabuk karena kepandaiannya (guna)

c) Suka mabuk karena keindahan rupanya (surupa)

d) Suka mabuk karena kebangsawanannya (kula-kulina)

e) Suka mabuk karena kemudaan-usianya (yowana)

f) Suka mabuk karena keberaniannya (kasuran)

g) Suka mabuk karena minuman keras seperti tuak, arak, bir, narkoba, dan lain-lain (sura)

Mereka yang mabuk dan arogan karena hal-hal termasuk di atas tidak selayaknya ditunjuk sebagai Pemangku. Artinya kalau ketujuh kemabukan di atas dapat dihindarkan, barulah orang itu dapat disebut sebagai orang yang telah memenuhi syarat. Seseorang yang telah mencapai keadaan rokhani yang bebas dari kemabukan itu dinamakan orang yang mahardhika artinya orang yang bebas dari kemabukan, orang yang bijaksana, suci dan berbudhi luhur, tegasnya sudah dapat melaksanakan pengendalian diri dengan baik. Dengan kata lain, jika seseorang belum dapat mengendalikan diri dengan baik, semestinya tidak ditunjuk menjadi Pemangku. Bahkan orang itu harus tahu diri untuk tidak mencalonkan diri menjadi Pemangku.


7. CARA-CARA MEMILIH PEMANGKU
Ada beberapa cara yang dapat dipakai untuk memilih Pemangku, antara lain :

1. Pertama adalah dengan cara nyanjan, yaitu dengan mempergunakan seseorang yang sedang kerawuhan. Namun menurut Ida Pandita Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi (SARAD No.10/2000) cara ini sebaiknya tidak dipergunakan lagi. Hal ini karena sulit membuktikan bahwa orang itu benar-benar kerawuhan Ida Bhatara. Sebaiknya digunakan saja cara lain yang lebih rasional dan sudah disahkan oleh PHDI, yaitu melalui pemilihan secara demokratis dengan cara penunjukan atas dasar kesepakatan bersama atau dapat juga dengan mempergunakan kewange seperti di bawah ini.

2. Kedua dengan cara mempergunakan kewangen. Dalam hal ini, Krama Dadia terlebih dahulu agar menetapkan beberapa orang calon Pemangku yang dianggap memenuhi persyaratan. Misalnya para calon Pemangku berusia cukup dewasa, berbadan dan berjiwa sehat, tingkah lakunya terpuji, mempunyai rasa pengadian yang tinggi dan lain-lain. Kepada para calon Pemangku ini dibagikan masing-masing satu kewangen. Tetapi di salah satu kewangen itu diisi rerajahan Ongkara yang diletakkan tersembunyi, sehingga tidak terlihat perbedaannya dengan kewangen yang lain. Kemudian kewange itu digunakan untuk memuja Ida Bhatara di Pura tersebut seraya mohon panugrahan. Setelah itu, satu persatu kewangen diserahkan kepada Pengurus Pura untuk dibuka dihadapan saksi dan Krama Dadia. Siapa yang kewangennya berisi rerajahan Ongkara, maka dialah yang dianggap terpilih sebagai Pemangku.

3. Ketiga adalah pemilihan Pemangku berdasarkan keturunan. Keturunan seorang Pemangku apalagi kalau sudah secara turun temurun menjadi Pemangku, dipandang sebagai orang yang sudah mempunyai jiwa kepemangkuan, jiwa pengabdian, jiwa pelayanan yang tinggi. Tentu orang yang dipilih itu hendaknya juga memenuhi persyaratan di atas. Meskipun yang bersangkutan adalah anak seorang Pemangku, tetapi kalau jiwanya tidak stabil, suka menipu, sering berbohong, sering mabuk-mabukan, suka berjudi, suka main perempuan dan lain-lain perbuatan atau perilaku buruk lainnya tentunya tidak patut dipilih menjadi Pemangku.

4. Keempat adalah pemilihan Pemangku secara demokratis berdasarkan penunjukan atas dasar suara terbanyak anggota Krama Dadia seperti telah disinggung dalam butir di atas. Cara ini pun harus pula memenuhi berbagai persyaratan di atas. Terlebih dahulu tentu harus ditetapkan beberapa calon yang telah memenuhi persyaratan. Misalnya jika ada tiga orang calon yang sudah memenuhi syarat, maka ketiga orang itu harus dipilih secara demokratis dalam suatu paruman Krama Dadia. Calon yang memeperoleh suara terbanyak harus ditetapkan menjadi Pemangku.

Demikianlah 4 cara yang dapat dipergunakan untuk memilih Pemangku. Boleh jadi masih ada cara lain, yang tidak disinggung disisni. Namun cara manapun yang dipergunakan, menunjuk atau mengangkat seorang Pemangku tentu ada kelebihan dan kekurangannya yang dalam tulisan ini tidak akan dibahas lebih jauh. Yang penting adalah bahwa seseorang yang terpilih sebagai Pemangku hendaknya tidak menepuk dada, menjadi besar kapala dan sombong karena merasa senang dalam pemilihan. Sebaliknya orang yang terpilih itu hendaknya semakin merendahkan diri dan tidak bersikap berlebihan atau over acting. Seseorang yang terpilih sebagai Pemangku harus melakoni hidup ini sewajarnya saja dan selalu berpegang kepada ajaran-ajaran Agama Hindu. Seorang Pemangku yang masih remaja tidak ada hambatan bila ingin menikah, namun setelah upacara pewiwahan dia bersama-sama isteri atau suaminya harus mewinten ulang dengan tingkat ayaban yang sama dengan yang dahulu atau dengan tingakat ayaban yang lebih tinggi.

Disamping itu, orang yang terpilih menjadi Pemangku seharusnya bersyukur karena telah terpilih menjadi pelayan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga terbuka kesempatan luas baginya untuk dikemudian hari – jika memenuhi persyaratan – akan menjadi orang suci. Untuk benar-benar bisa menjadi orang suci tentu yang bersangkutan harus membekali dirinya dengan ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan tentang agama, kerokhanian dan spiritual yang harus dapat diamalkan bagi kepentingan masyarakat.

8. PAWINTENAN PEMANGKU
Pawintenan atau Mawinten berasal dari kata “mawi” dan “inten”. Mawi adalah kata bahasa Kawi yang berarti bersinar, sedang inten berarti intan atau permata. Dengan demikian, maka orang yang sudah mawinten diibaratkan sebagai permata yang berkilauan karena lahir batinnya sudah disucikan. Mengapa perlu disucikan? Sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus pelayan masyarkat, seorang Pemangku harus bertanggung jawab atas kesucian Pura yang diemongnya. Karena itu sebelum diresmikan sebagai Pemangku, seseorang yang ditunjuk atau dipilih menjadi Pemangku terlebih dahulu harus disucikan dengan cara menjalani upacara penyucian diri yang dinamakan Upacara Pawintenan.

Seperti halnya dalam upacara lainnya, maka menurut I Made Wenten (Tetandingan Banten Manusia Yajna) Upacara Pawintenan Pemangku mempunyai tiga tingkatan, yaitu :

Pawintenan Sari

Pawintenan Mepedamel

Pawintenan Samkara Ekajati

a. Pawintenan Sari
Pawintenan Sari merupakan upacara Pawintenan yang paling sederhana. Upacara ini dilaksanakan hanya dengan memohon Wangsuhpada kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa di Pura dimana yang bersangkutan akan mejadi Pemangku. Pawintenan Sari harus disaksikan oleh Krama Dadia Pura yang bersangkutan. Pemangku yang diwinten dengan cara ini biasanya diberi nama panggilan atau julukan sebagai Bapa Mangku, Ketut Mangku, dan sebagainya.

Sasanan (kode etik) yang harus dijalankan oleh mereka yang telah Mawinten Sari adalah sebagai berikut :

\ Selalu berbuat dharma, sabar, jujur, berbudhi luhur, dan santun

\ Selalu teguh melaksanakan sastra agama, memahami trikona : Upatti – Sthiti – Pralinaning Sarwa Dewa

\ Bersikap kasih sayAng terhadap semua makhluk, tidak suka mabuk-mabukan, tidak suka berjudi, tidak suka berkelahi, tidak suka bertengkar, dan tidak bergaul dengan orang yang sering berbuat tidak baik

\ Tidak suka memperkosa orang lain

Perlu dijelaskan bahwa Pawintenan Sari dengan cara yang amat sederhana ini dalam praktek nampaknya tidak ditemukan lagi, karena semua Pawintenan Pemangku skarang ini dilaksanakan oleh Pendet, kecuali barangkali di daerah tertentu dimana tidak terdapat Sulinggih.

b. Pawintenan Mepedamel
Pawintenan MePedamel dilaksanakan oleh Pendeta yang sudah mempunyai wewenang untuk melaksanakan Loka Palasraya Pandita atau juga disebut Sang Hyang Yogi Swara selaku Panabean. Upacara ini harus disaksikan oleh :

$ PHDI Kecamatan dan Kabupaten

$ Pejabat Pemerintah setempat

$ Perangkat Desa Adat

$ Kantor Departemen Agama Kabupaten

$ Guru Rupaka dan keluarganya

Pemangku yang diwinten dengan tingkatan seperti ini diberi gelar atau julukan sebagai Jero Mangku dan diberikan wewenang untuk nganteb banten Dewa Yajna. Pada waktu nganteb banten, Pemangku diperkenankan menggunakan mempergunakan mempergunakan genta atau bajra.

Pemangku dengan julukan Jero Mangku ini tidak dibenarkan menyelesaikan upacara di luar Dewa Yajna, kecuali atas ijin dari Pendeta yang mewintennya. Disamping itu berdasarkan Lontar Sumuka, Pemangku dengan gelar Jero Mangku inijuga belum diperkenankan nganteb banten yang setingkat dengan upacara padudusan dengan banten bebangkit – pala gembal ke atas.

c. Pawintenan Samkara Ekajati
Pawintenan jenis ini merupakan Pawintenan untuk meningkatkan status Pemangku dengan title Jero Mangku menjadi Jero Gede selaku Pinandita. Upacara pawintenan ini dilakukan oleh Pendeta yang sudah mempunyai wewenang untuk melaksanakan Loka Palasraya Pandita atau yang disebut juga Sang Yogi Swara selaku Panabean (Guru Pengajian).

Sebelum Upacara Pawintenan dilaksanakan, maka calon Jero Gede terlebih dahulu harus mencari Pandita – Nabe sebagai Guru, dimana yang bersangkutan akan melaksanakan apa yang disebut maguron-guron. Pandita – Nabe itulah yang secara langsung membina dan mendidik sang calon dengan Dharma Pawikuan sesuai dengan beban fungsi dan jabatan yang akan dipangkunya.

Upacara Pawintenan Samkara Ekajati ini harus disaksikan oleh para Manggala Desa, sama seperti pesaksian Pawintenan Mepedamel seperti sudah diuraikan di atas.

Seorang Pemangku dengan julukan Jero Gede, jika telah memenuhi persyaratan tertentu dan dipandang sudah cukup memenuhi persyaratan untuk meningkatkan kesucian rokhani maupun jasmaninya, dikemudian hari dapat melakukan penyucian diri yang sifatnya lebih tinggi yang disebut Mapudgala Dwijati.

Sarana Pawintenan dan Artinya
Dalam Upacara Pawintenan Mepedamel dan Pawintenan Samkara Ekajati, seorang (calon) Pemangku akan diberikan sarana khusus berupa Selempot, Semaratih, Sirowista, dan Banten Pedamel. Bahkan unruk Upacara Pawintenan Samkara Ekajati, Pemangku termaksud diwajibkan menginjak Kepala Kerbau. Mungkin timbul pertanyaan, apakah arti dari semua ini? Berikut adalah penjelasannya menurut Prof. Dr. Ngurah Nala, MPH (SARAD No. 46/2004).

Dalam upacara Pawintenan Mepedamel, seorang calon Pemangku diwajibkan mengenakan selempot benang putih, sedangkan pada Upacara Pawintenan Samkara Ekajati harus mengenakan selempot benang tridatu (benang tiga warna : merah, putih, dan hitam). Dengan memakai selempot benang putih, maka calon Pemangku tersebut dipandang sebagai penganut ajaran Dewa Siwa (Siwa Sidhanta). Namun ini tidak berarti bahwa calon Pemangku tersebut tidak menghormati Dewa Brahma dan atau Dewa Wisnu. Sedangkan dengan memakai selempot benang tridatu, Pemangku tersebut dianggap akan mempunyai tugas kewajiban yang lebih luas, yaitu untuk memuja ketiga Dewa Trimurti yakni Brahma, Wisnu, dan Siwa yang masing-masing berstana di selatan, utara, dan timur, bahkan ditambah lagi dengan Dewa Mahadewa yang berstana di Barat. Dalam hal ini Pemangku tersebut akan bertugs memuja empat Dewa pengendali empat penjuru mata angina. Itulah sebabnya untuk Upacara Pawintenan Samkara Ekajati dipergunakan banten catur, sebagai simbul pemujaan kehadapan empat Dewa termasuk tadi.

Pada waktu pawintenan, ke badan Pemangku juga disentuh-sentuhkan selembar kain putih berisi gambar wayang dinamakan Semara Ratih sebagai lambing kasih sayang. Setelah itu Semara Ratih tersebut lalu diletakkan di pundak yang merupakan perlambang bahwa seorang Pemangku harus mampu dan siap memikul beban tugas kewajiban dengan penuh rasa kasih sayang kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta semua ciptaannya, baik yang berwujud manusia, tetumbuhan maupun panca mahabutha.

Disamping Semara Ratih, Pemangku juga diberikan banten pedamel yakni banten kecil yang terbuat dari jajan atau bahan-bahan yang dapat dimakan. Unsur rasa dari banten pedamel itu sangat penting artinya. Dengan banten pedamel yang isinya harus yang dimakan, seorang Pemangku diharapkan mampu merasakan sad rasa dalam melaksanakan tugas kewajibannya yaitu rasa manis, rasa asam, rasa pahit, rasa sepet, rasa asin, dan rasa pedas. Sad rasa disini tentu saja dalam arti kias, yang harus dapat sijiwai oleh seorang Pemangku dalam melakoni hidup maupun dalam melaksanakan tugas pekerjaannya sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus sebagai pelayan masyarakat.

Selanjutnya di kepala Pemangku diikatkan sebuah sirowista yang terbuat dari daun alang-alang yang berfungsi sebagai alat penyucian diri dan memusnahkan segala pengaruh negatif. Disamping itu sirowista merupakan juga lambang ardha-candra (bulan), sedangkan kepala Pemangku sendiri dipangdang sebagai lambang windu (matahari) dan bunga yang ada pada simpul sirowista sebagai lambang nada (bintang). Dan pucuk bunga kembang sepatu berwarna merah (lambang Brahma) dianggap paling ideal sebagai lambang nada tersebut. Ketiganya, (bulan, matahari, dan bintang) merupakan lambang alam semesta sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan memakai sirowista diharapkan agar Pemangku disucikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Mengenai bunga yang dipergunakan untuk sirowista dapat dijelaskan bahwa bunga itu sebenarnya boleh-boleh saja, artinya bunga apa saja boleh, asalkan bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan bebas dari rasa takut. Tetapi pada umunya yang lazim dipergunakan adalah pucuk bunga kembang sepatu yang berwarna merah (Brahma), disertai bunga berwarna putih (Siwa), dan bunga berwarna biru tua (Wisnu).

Dalam Upacara Pawintenan Samkara Ekajati, Pemangku juga diwajibkan menginjak kepala kerbau, yang melambangkan bahwa seorang Pemangku harus mampu menyerap kekuatan yang maha besar itu, maka seberat apapun tugas kewajibannya akan dapat dilaksanakan dengan baik.

Jenis Banten Pawintenan dan Maknanya
Untuk memperluas Pawintenan diperlukan berbagai jenis banten. Dan dilihat dari sudut banten yang dipergunakan, maka banten Pawintena Pemangku, dapat dibedakan dalam tiga jenis, tergantung dari banten ayaban yang dipakai :

ü Pawintenan Sari mempergunakan ayaban Banten Saraswati

ü Pawintenan Mepedamel mempergunakan ayaban Banten Bebangkit

ü Pawintenan Samkara Ekajati mempergunakan ayaban Banten Catur

Pawintenan dengan Banten Saraswati adalah penyucian diri dengan memuja Dewi Saraswati sebagai saktinya Dewa Brahma yang menciptakan ilmu pengetahuan. Sedangkan pawintenan dengan ayaban Banten Bebangkit adalah penyucian diri dengan memuja dua Dewa – Dewi yakni Dewi Saraswati dan Dewa Gana sebagai putra Bhatarar Siwa yang berfungsi sebagai pelindung umat manusia. Kemudian pawintenan dengan ayaban Banten Catur adalah penyusian diri dengan memuja empat Dewa yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Iswara, Dewa Mahadewa sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Pawintenan Pemangku Suami-Isteri
Pemangku suami isteri dalam melaksanakan upacara pawintenan hendaknya dilakukan bersama-sama oleh suami dan istrinya. Bila sebelum menikah laki-laki yang diwinten, maka setelah menikah, pawintenan suami istri harus dengan banten ayaban yang sama seperti ketika suaminya mawinten dahulu. Upacara pawintenan ulang bagi suami ini disebut pawintenan masepuh. Dalam suatu rumah tangga, tidak boleh ada suami atau istri yang salah seorang diantaranya tidak mawinten. Artinya kedua orang baik suami maupun istri haruslah sudah disucikan.

Pengendalian Diri Melalui Brata, Tapa, Yoga, dan Samadhi
Mereka yang sudah mawinten wajib melaksanakan pengendalian diri secara ketat dengan cara melakukan brata, tapa, yoga, dan samadhi. Makin tinggi tingkat pawintenannya, maka makin ketat pula tingkat pelaksanaan brata, tapa, yoga, dan semadhinya. Mungkin ada yang bertanya, apa yang dimaksud dengn brata, tapa, yoga, dan semadhi itu. Berikut adalah penjelasan secara singkat :

Ø Brata adalah usaha pengendalian diri dengan pengekangan hawa nafsu

Ø Tapa metupakan usaha pengendalian diri agar selalu berada dalam jalur ajaran-ajaran agama

Ø Yoga berarti pengendalian diri dengan tujuan agar selalu ingat dan karena itu selalu memuja kebesaran dan kemuliaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa

Ø Semadhi berarti pengendalian diri dengan penyerahan diri sepenuhnya kepada kemahakuasaan Tuhan

Untuk dapat melaksanakan brata, tapa, yoga, dan semadhi dengan baik, maka orang sudah mawinten, harus selalu memelihara kondisi lahir maupun batinnya dengan baik dan tertib agar tidak menjadi cemer. Yang dimaksud dengan cemer disini adalah :

è Cemer yang disebabkan oleh pikiran, perbuatan, dan perkataan yang menyimpang dari ajaran Agama

è Cemer yang disebabkan oleh kasepungan, yaitu keadaan cuntaka yang berasal dari luar dirinya

Misalnya menyantap suguhan di tempat orang meninggal atau ngaben dan atau turut memandikan layon orang yang meninggal termasuk dalam pengertian cemer tingkat kedua. Apabila menjadi cemer, maka orang yang sudah mawinten harus manyucikan diri kembali sesuai dengan tingkat kecemerannya, misalnya dengan cara meprayascitta saja atau bila perlu dengan mawinten ulang atau masepuh.

Bahkan I GB. Sugriwa dalam bukunya berjudul “Dwijendra Tatwa” menjelaskan ajaran Empu Sang Kaliputih yang menguraikan bahwa Pemangku tidak kena hokum cuntaka (sebel), tetapi dilarang menjenguk dan makan minum suguhan orang yang sedang kematian (namping watang).

Dalam kaitan ini, Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Nawa Sandhi (Raditya No. 82/2004) menegaskan bahwa Pemangku dan semua orang yang sudah mawinten jika memegang jenasah dan kaungkulin Tirtha Pengentas, maka pawintenannya harus diulangi kembali, dengan istilah di Bali disebut Masepuh dan tidak cukup dengan mabeakala, maprayascita, apalagi hanya mebanyuawangan saja. Mebanyuawangan hanya berlaku bagi orang lain (pelayat) yang bukan keluarga, yang dilakukan segera setelah pulang dari melayat. Jika sekiranya jenasahnya bermalam beberapa hari, maka setiap kali pulang melayat orang yang bersangkutan (bukan keluarga) harus mebanyuawangan. Banyu artinya air dan awing berarti pengentas kesucian. Banyuawang tirtha yang terbuat dari air kelapa gading muda yang diisi tepung tawar, semacam banten kecil yang terdiri dari arang jaja uli, beras putih, beras merah, daun dapdap diiris-iris disertai lis dan jejahitan daun kelapa muda.

Disamping brata, tapa, yoga, dan semadhi, orang yang sudah mawinten perlu juga memahami, mendalami, dan melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang yama-niyama brata (pengendalian diri), sad-ripu (enam jenis sifat yang buruk), sad-atatayi (enam jenis perbuatan yang kejam), trikaya Parisuddha, astabarata dan lain-lain.


9. NAMA PANGGILAN SEORANG PEMANGKU
Nama panggilan seorang Pemangku dibedakan sbb. :

Bapa Mangku, Made Mangku, Ketut Mangku, dll. adalah nama panggilan bagi Pemangku yang telah diwinten dengan Upacara Pawintenan Sari

Jero Mangku adalah nama panggilan bagi Pemangku yang telah diwinten dengan Upacara Pawintenan Mepedamel

Jero Gede adalah nama panggilan bagi Pemangku yang telah diwinten dengan Upacara Samkara Ekajati

Dalam prektek seorang Pemangku dinamakan pula Jan Banggul Ida Bhatara. Ada juga yang menyebutnya Jero Tapakan. Di luar Bali seorang Pemangku ada yang menamakannya Wasi. Tetapi ketiganya bukanlah nama panggilan, tetapi sebagai padanan dari kata Pemangku. Dalam Maha Sabha II PHDI tahun 1968, rokhaniawan Pemangku dinamakan Pinandita. Hal ini untuk menyamakan persepsi umat Hindu di Indonesia. Ketetapan itu untuk memberi arah dan pengertian yang jelas kepada umat. Pinandita tentu berbeda dengan Pandita atau atau Pendeta. Tegasnya Pinandita adalah Pemangku, sedangkan Pandita atau Pendeta adalah Sulinggih.

Tetapi baik Sulinggih maupun Pinanadita sangat diperlukan oleh umat Hindu. Hal ini karena persoalan hidup beragama dimasa depan nampaknya akan menjadi semakin kompleks. Karena itu umat Hindu memerlukan Pinandita dan atau Pendeta, bukan saja pada waktu bersembahyang atau melaksanakan upacara yajna. Dalam berbagai persoalan hidup dan kehidupan lainnya pun umat memerlukan pula tuntunan dari Pendeta dan atau Pemangku. Tujuannya tidak lain adalah agar semua umat manusia dapat hidup rukun dan damai, hidup tenang dan tentram, selalu dijauhkan dari perselisihan dan pertentangan, dijauhkan dari pikiran, perkataan, dan perbuatan yang tidak baik.

Itulah sebabnya mengapa seorang Pemangku perlu terus belajar dan belajar lagi. Agar benar-benar dapat menjadi seorang pelayan umat sekaligus pelayan Ida Sang Hyang Widhi, maka seorang Pemangku atau Pinandita tidak cukup hanya berbekal kemampuan untuk menghafal Puja Stawa saja. Janganlah berbangga diri, apalagi bersikap arogan dan merasa lebih dari orang lain, hanya karena sudah merasa lancer dan pandai mengucapkan Puja Stawa atau Mantram, yang barangkali juga belum diketahui maknanya. Sekali lagi, seorang Pemangku hendaklah tidak menutup diri dari ilmu, khususnya ilmu agama. Seorang Pemangku hendaknya juga menyiapkan diri dengan berbagai ilmu pengetahuan lain yang menyangkut berbagai persoalan tentang hidup dan kehidupan masyarakat.

Yang lebih penting lagi adalah bahwa seorang Pemangku atau calon Pemangku wajib membekali dirinya dengan moral dan mental yang luhur serta tangguh. Semua itu untuk dapat menegakkan swadharma dalam menuntun umat mewujudkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, sehingga benar-benar menjadi manusia panutan.


10. PAKAIAN PEMANGKU
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai Pemangku, pakaian Pemangku dibedakan untuk Pemangku dengan sebutan Jero Mangku dan dengan nama panggilan Jero Gede.

Pakaian Pemangku yang bergelar Jero Mangku pada waktu melakukan tugas kepemangkuan adalah :

v Destar (udeng) petak (putih)

v Kwaca (baju) petak (putih)

v Kampuh (saput) petak (putih atau kuning)

v Wastra (kain) petak (putih)

v Dandanan rambut magelung anyondong yang ditutup destar bongkos nangka

Pakaian Pemangku dengan gelar Jero Gede pada saat melaksanakan tugas sebagai Pemangku adalah :

v Dandanan rambut panjang magelung anyodong rapi, rambut meperucut menghadap ke belakang yang selalu ditutup destar putih

v Baju putih berbentuk jas tertutup tangan pendek atau kemeja putih tangan panjang

v Kampuh kuning

v Wastra putih, melelancingan


11. TINGKAT-TINGKATAN PEMANGKU
Berdasarkan besar kecilnya Pura yang diemong, Pemangku dapat dibedakan sbb. :

a) Pemangku Sanggah/Merajan adalah Pemangku yang bertugas di Sanggah atau Merajan keluarga

b) Pemangku Pura Paibon adalah Pemangku yang mendapat tugas untuk ngempon Pura Paibon, yang disungsung oleh sekitar 20 keluarga yang masing-masing telah memiliki Sanggah/Merajan tersendiri. Pemangku untuk Pura Paibon ini biasanya bergelar Jero Mangku

c) Pemangku Pura Dadia/Pura Panti/Pura Batur merupakan Pemangku yang mendapat tugas untuk ngempon Pura Dadia yang dinamakan pula Pura Panti atau ada juga yang menyebutnya sebagai Mangku Agung atau Mangku Gede, sama dengan gelar Pemangku di Pura Puseh, Pura Desa, dan Pura Dalem (Kahyangan Tiga Desa)

d) Pemangku Pura Kawitan adalah Pemangku yang mendapat tugas untuk ngempon Pura Kawitan. Pemangku ini bergelar Jero Gede atau ada juga yang menamakannya Ida Gede, sama dengan gelar untuk Pemangku di Pura Sad Kahyangan Jagad

Pemangku juga dapat dibedakan berdasarkan jenis Pura yang diemongnya, yaitu :

a) Pemangku Pura Sad Kahyangan

b) Pemangku Pura Dang Kahyangan

c) Pemangku Pura Kahyangan Tiga

d) Pemangku Sanggah/Merajan, Pemangku Pura Paibon, Pemangku Pura Dadia (Pura Panti atau Pura Batur), Pemangku Pura Kawitan, sebagaimana sudah dijelaskan diatas


12. HAK-HAK PEMANGKU
Sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus pelayan masyarakat, seorang Pemangku sudah selayaknya diberikan kebebasan dari kewajiban tertentu disamping juga hak-hak yang sepatutnya, sebagai imbalan atas pengabdiannya yang tulus dan ikhlas untuk ngayah tanpa pamrih :

1) Pemangku dibebaskan dari ayahan desa, sesuai dengan tingkat kepemangkuannya

2) Pemangku dapat menerima bagian sesari ataupun aturan sesangi dari Pura yang diemongnya. Pembagiannya adalah sebagai berikut :

¢ Sepertiga bagian untuk Pura, yang dapat dipergunakan untuk membeli perlengkapan Pura

¢ Sepertiga bagian untuk dibagikan untuk para Pemangku yang bertugas di Pura tersebut

¢ Sepertiga bagian untuk Pengurus Pura termasuk penjaga Pura dan petugas lainnya jika ada

3) Pemangku dapat menerima bagian hasil pelaba Pura, sepanjang Pura yang diemongnya memiliki pelaba Pura. Mengenai bagian yang dapat diberikan kepada Pemangku ditentukan oleh Pengurus Pura berdasarkan kesepakatan Krama Dadia


13. WEWENANG, TUGAS, DAN KEWAJIBAN PEMANGKU
Setiap umat manusia memiliki swadharma atau tugas kewajiban tersendiri. Demikian pula halnya dengan Pemangku. Adapun kewenangan Pemangku dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Menyelesaikan upacara pujawali atau piodalan sampai tingkat piodalan pada Pura yang diemongnya

b. Apabila Pemangku menyelesaikan upacara diluar Pura yang diemongnya atau upacara yajna itu diselenggarakan di luar Pura atau jenis upacara yajna tersebut bersifat rutin, seperti pujawali atau piodalan, Manusia Yajna dan Bhuta Yajna, yang seharusnya memepergunakan tirtha Sulinggih, maka Pemangku diperkenankan nganteb banten upacara termaksud dengan menggunakan tirtha Sulinggih

c. Pemangku berwenang menyelesaikan upacara rutin di dalam Pura yang diemongnya dengan cara mepuja atau mesa termasuk mohon tirtha kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan Bhatara-Bhatari yang melinggih atau yang distanakan di Pura tersebut, termasuk yajna membayar kaul dan lain-lain

d. Dalam penyelesaian upacara Bhuta Yajna atau Caru, Pemangku diberi wewenang menyelesaikan upacara Bhuta Yajna maksimal sampai dengan tingkat panca sata dengan mempergunakan tirtha Sulinggih

e. Delam berhubungan dengan menyelesaikan upacara Manusia Yajna, Pemangku diberi wewenang mulai dari upacara bayi lahir sampai dengan otonan biasa dengan menggunakan tirtha Sulinggih

f. Dalam hubungan dengan menyelesaikan upacara Pitra Yadnya, Pemangku diberi wewenang sampai mendem sawa sesuai dengan catur dresta

Dengan demikian Pemangku mempunyai wewenang untuk :

a. Nganteb Upakara/Upacara di Pura atau Kahyangan yang diemongnya

b. Dapat “ngeloka pala sraya”sampai dengan madudus alit, sesuai dengan tingkat pawintenannya


14. PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN NGANTEB UPAKARA
Pada saat akan nganteb baten, Pemangku terlebih dahulu katuran panguleman (pemberitahuan) berupa canangsari yaitu sebagai permakluman kehadapan Hyang Taksu (susuhanannya) bahwa Pemangku akan melaksanakan tugasnya untuk nganteb upakara (banten). Hal ini tentu tergantung dari desa kala patra atau kebiasaan atau tradisi setempat.

Selanjutnya penggunaan sarana bagi seorang Pemangku juga tidak sama di suatu daerah dengan daerah lainnya. Di daerah tertentu ada yang menggunakan sarana seperti di bawah ini :

1) Di suatu upacara (di tempat nganteb banten) disiapkan sebuah Daksina Pelinggih, peras, ajuman, lengawangi, buratwangi, dan canangsari berisi sesari, dengan jinah bolong 550 kepeng

2) Banten yang di tempatkan di Sanggar Surya (Sanggar Tawang) adalah banten suci lengkap, dan canangsari serta daksina

3) Untuk pengastawan tirtha dipergunakan sangku atau payuk anyar

4) Selesai nganteb banten, di rumah Pemangku disediakan labaan (pengluar) dan Daksina Pelinggih, untuk dihaturkan kehadapan Hyang Taksu sebagai pertanda bahwa upacara telah selesai

5) Banten upacara untuk nganteb terdiri dari :

\ Daksina Pejati, meruntun peras, ajuman, dan canangsari dengan sesantun 4000 kepeng jinah bolong

\ Dalam upacara pedudusan dilengkapi dengan banten bebangkit, pulegembal, gelarsanga, dan pasipatan

\ Suci alit, lengewangi, buratwangi, banyu awing

\ Bunga yang harum

\ Kalpika 33 biji

6) Piranti pemujaan terdiri atas :

\ Sebuah dulang kuningan atau dulang kayu yang dipergunakan khusus untuk itu

\ Sagku tempat tirtha

\ Pedupaan

\ Bajra/Genta

\ Tempat bija

\ Tempat bunga




(Dikutip dari buku DASAR-DASAR KEPEMANGKUAN "Suatu Pengantar dan Bahan Kajian bagi Generasi Mendatang" oleh Drs. K.M. Suhardana, diterbitkan oleh PARAMITA Surabaya 2006)