Kamis, 03 Februari 2011

PERCAKAPAN 34 SINGKIRKAN KESADARAN BADAN DAN WUJUDKAN KESADARAN TUHAN

PERCAKAPAN 34
SINGKIRKAN KESADARAN BADAN DAN WUJUDKAN KESADARAN TUHAN
Dunia ini dipenuhi oleh Tuhan. Sarat dengan ketuhanan. Dunia ini juga dipenuhi oleh karma atau kegiatan. Karma adalah kekuatan ciptaan, kekuatan hidup, suatu kekuatan yang langsung berasal dari Tuhan.
________________________________________

Bila kekuatan hidup mengambil wujud maka akan terciptalah badan. Hidup yang mengenakan bermacam-macam badan ini juga disebut karma. Badan terbentuk atas dasar sebagai perbuatan yang dilakukan pada kelahiran-kelahiran yang telah lalu. Engkau menerima badan manusia agar dapat menikmati buah perbuatanmu yang lampau; dengan demikian perbuatan mengikatmu pada siklus kelahiran dan kematian. Engkau akan bertanya, jika kita ingin bebas dari keterikatan ini, apakah kita harus mengikuti jalan karma, ataukah kita harus meniadakan karma?? Pertanyaan ini dijawab dengan jelas dalam Bhagawad Gita. Kita harus menempuh jalan karma, yaitu melalui perbuatan.
Seperti telah dikatakan sebelum ini, seseorang menerima badan manusia agar dapat menikmati buah dari perbuatan yang telah dilakukan sebelumnya. Badan berkaitan langsung dengan karma, tidak ada artinya di luar karma. Badan berarti karma dan karma berarti badan. Badan merupakan lapangan untuk segala perbuatan, ia merupakan karmakshetra, tetapi Tuhan adalah lapangan karma yang suci dan mulia. Tuhan adalah Dharmakshetra. Waktu dan tempat karma diatur oleh alam. Maka dalam karma itulah Tuhan, manusia, dan alam menyatu. Segala sesuatu di dunia ini adalah hasil karma. Itulah sebabnya Upanishad menyatakan, “Bersujudlah kepada karma.” Apakah baik atau buruk, kebajikan atau dosa, segala karma adalah perwujudan kekuatan Tuhan. Karena itu seseorang Yogi menerima apapun yang terjadi padanya, baik atau buruk, sebagai kehendak Tuhan dan beranggapan bahwa berbuat baik adalah kewajibannya yang utama.
Engkau harus melakukan segala perbuatanmu dengan tujuan menyucikan hidupmu. Hanya karena rahmat Tuhan engkau mendapat kesempatan berbuat baik dan dengan demikian dapat menyucikan hidupmu. Melalui ajaran Tuhanlah engkau mendapat kesempatan dan petunjuk yang suci ini. Karena itulah kitab suci ini disebut Bhagawad Gita. Gita berarti nyanyian. Nyanyian siapakah itu? Nyanyian Tuhan. Semua yang mendengar nyanyian ini akan dapat mengatasi kesedihan dan penderitaan. Entah di medan pertempuran atau di tempat lain, bila nyanyian suci ini dikidungkan, duka cita akan sirna.
Perbuatan berubah menjadi Yoga bila dilakukan sebagai persembahan kepada Tuhan. Hal ini diungkapkan dalam doa yang diucapkan oleh seorang suci. “Oh Tuhanku yang terkasih, Engkau adalah atma, diriku sendiri. Akal budiku adalah istriMu. Badanku adalah rumah-Mu. Segala kewajibanku sehari-hari adalah persembahanku kepada-Mu. Nafasku adalah pujiku kepada-Mu. Kemana pun aku pergi aku mendekati-Mu. Apapun yang aku ucapkan adalah mantra untuk mengagungkan Engkau. Setiap perbuatan kulakukan sebagai puja bagi-Mu. Orang suci itu adalah seorang yogi yang agung. Ia mempersembahkan setiap perbuatannya kepada Tuhan dan dengan demikian segala perbuatannya menjadi ibadah.
Bila engkau menjadikan perbuatanmu suatu kegiatan yang suci, pantas untuk dipersembahkan kepada Tuhan, maka perbuatannya itu menjadi Anaasakti Yoga. Para Yogi menyadari keagungan anaasakti yoga, karena itu mereka berusaha menyucikan setiap perbuatannya untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Menjelang perang besar, Krishna memerintah Arjuna, “Arjuna, engkau harus bertempur. Tetapi sambil bertempur engkau harus selalu mengingat aku dan jadikan setiap gerakanmu sebagai persembahan kepada-Ku. Itulah yang menyenangkan Aku.” Arjuna mematuhi perintah itu dan bertempur dengan selalu mengingat Krishna.
Agar dapat mencapai tujuan, engkau harus memperoleh kasih Tuhan. Sesungguhnya menyenangkan Tuhan adalah tujuan seorang bakta. Itulah tugasnya yang paling penting; ia harus yakin bahwa setiap perbuatan yang dilakukannya akan menyenangkan Tuhan. Krishna mengajarkan, “Taatilah perintah-Ku dan kerjakan tugasmu.” Dengan mematuhi perintah Tuhan dan bertempur, perbuatan Arjuna menjadi Yajnya 'kurban suci'. Sebagai perbandingan, ada cerita tentang Raja Daksha dalam kitab Bhagawatam. Ia ingin menyelenggarakan Yajnya namun ia tidak mematuhi Shiwa dan menghina Beliau, di samping itu ia juga melanggar perintah para Resi, yaitu orang-orang yang arif dan bijaksana. Ia menyelenggarakan yajnya dengan egoisme dan keterikatan. Rasa keakuannya mengubah yadnya itu menjadi peperangan.
Sekarang engkau mengetahui bahwa karena Arjuna mematuhi perintah Tuhan dan bertempur, perjuangannya menjadi yajnya. Tetapi bagi Daksha yang melakukan yajnya dengan melanggar perintah Tuhan, yajnyanya menjadi peperangan. Apakah perang itu dan apakah yajnya? Segala perbuatan yang dilakukan sebagai persembahan kepada Tuhan menjadi yajnya? Tetapi perbuatan yang dilakukan dengan melanggar perintah Tuhan, yang bertentangan dengan ajaran kitab suci, dilaksanakan dengan rasa keakuan dan kecongkakan, dan dilakukan hanya untuk memperdalam kebencian serta keterikatan....semua perbuatan semacam itu menjadi pertempuran dalam perang, walaupun perbuatan itu sendiri mungkin merupakan yajnya. Bila penderitaan dan kebencian diucapkan, dan kata-kata itu akhirnya menjadi perang mulut, maka akan timbul pertempuran. Biang keladi semua ini adalah keterikatan dan nafsu yang timbul karena menyamakan diri dengan badan.
Krishna berkata, “Arjuna, patuhilah perintah-Ku. Lepaskan dirimu sama sekali dari kesadaran badan ini. Engkau harus berhenti menyamakan dirimu dengan tubuh. Badan itu penuh lendir dan kotoran. Engkau bukan badan ini; badan ini hanya bersifat sementara dan cepat berlalu. Engkau adalah saksi, sang penghuni, atma yang ada dalam dirimu. Badan setinggi enam kaki (±1,8m) ini bukan engkau. Engkau adalah pribadi kosmos; engkau tanpa batas. Badan ini lahir dan mati, tetapi engkau adalah atma yang tidak lahir dan tidak mati. Engkau bukanlah individu yang terbatas, yang dipengaruhi oleh perjalanan waktu. Engkau adalah wujud yang paling cemerlang yang telah menaklukkan dan menguasai waktu. Bedakanlah antara yang kekal dan tidak kekal! Bedakanlah kebijaksanaan dan ketidaktahuan! Bedakan antara kebenaran dan kepalsuan! Sadarilah sifatmu yang sejati. Celaan dan pujian hanya berkaitan dengan tubuh; hal itu tidak kekal. Untung rugi hanya menyangkut perbuatan, bukan atma. Janganlah menghiraukan hal-hal seperti itu. Hadapilah suka dan duka dengan ketenangan yang sama. Hanya dengan bila engkau dapat menyeimbangkan pikiran, engkau akan mampu mencapai tujuan dan menjadi stithaprajna“. Begitulah Krishna mengajarkan kepada Arjuna pengetahuan yang tertinggi, perbedaan antara kebenaran dan ketidakbenaran pengetahuan mengenai yang kekal dan yang tidak kekal.
Tuhan ada di mana-mana. Beliau Maha Tahu, Beliau meliputi segalanya, Maha Kuasa; tidak terbatas pada tubuh. Kekuasaan Beliau tidak terbatas pada karma yang dilakukan pada tubuh. Tuhan itu bukan hanya badan tertentu yang lahir pada jaman Treta dan bernama Rama, atau suatu badan dalam jaman Dwapara yang disebut Krishna. Inkarnasi tersebut hanya merupakan contoh untuk diteladani oleh umat manusia. Tetapi prinsip ketuhanan tidak terbatas pada tubuh tertentu; Tuhan Maha Ada dan Maha Mengetahui. Berulang kali kebenaran ini telah diajarkan kepada umat manusia. Krishna memberitahukan hal ini kepada Arjuna. Krishna berkata, “Arjuna, pada jaman dahulu kala berabad-abad yang lampau, Aku telah mengajarkan Bhagawad Gita kepada Surya, Dewa Matahari. Kemudian Manu mendengarnya dari Surya. Ikshwaktu mengetahui Gita dari Manu, yaitu ayahnya. Kemudian Ikshwaktu mengajarkan Gita ini kepada para raja yang menjadi resi. Setelah itu secara berlahan-lahan, sedikit demi sedikit pengetahuan ini tersembunyi dan pada suatu saat hilang. Tetapi pengetahuan kuno yang suci itu jugalah yang aku ajarkan sekarang ini.”
Ketika Arjuna mendengar hal ini, timbul rasa bingung. Ia mulai berpikir, “Surya adalah tokoh purwakala, sedangkan Krishna lahir pada jaman ini. Bagaimana mungkin Krishna mengajar Surya yang sudah demikian lama berlalu itu?” Pada saat Arjuna berpikir seperti itu, Krishna yang mengetahui pikiran dan hati segala makhluk, segera berbicara. Kata Beliau, “Arjuna, Aku mengerti kebingunganmu.” Dengan tersenyum Beliau melanjutkan, “Ketahuilah Arjuna, Aku bukanlah badan ini. Aku adalah Yang Maha Esa yang tidak dilahirkan. Aku menguasai waktu dan ruang, Aku tidak dibatasi oleh keadaan. Aku ada di segala jaman, sepanjang waktu. Karena engkau mengira bahwa Aku adalah badan ini, engkau mengira bahwa Aku hanya ada dalam jaman dwapara ini. Tetapi sesungguhnya segala jaman berada dalam diriKu.” Krishna melanjutkan, “Arjuna, jangan membatasi Aku pada wujud badan ini dan waktu ini. Badan berubah, tetapi Aku tidak pernah berubah: Aku mengenakan tubuh yang berbeda-beda pada masa yang berbeda untuk melaksanakan karma dan memenuhi misi tertentu.” Pada saat Arjuna mendegar hal ini, timbullah pengertian spiritual dalam dirinya dan ia menyadari prinsip ketuhanan yang kekal dan tidak berubah.
Tidak semua orang bisa mengerti kemahatahuan Tuhan. Bahkan orang yang berminat spiritual pun hanya mendasarkan pandangan mereka pada kegiatan lahiriah seorang Avatar, yaitu kegiatan yang dapat mereka lihat, dan mereka menganggap Beliau sebagai individu, suatu wujud tertentu. Karena mereka menyamakan diri dengan tubuhnya, maka mereka pun menyamakan Tuhan dengan suatu wujud tertentu. Mereka berspekulasi tentang masa depan inkarnasi Tuhan dan tidak menyadari kemaha-adaan serta kemahatahuan Tuhan. Pandangan ini keliru. Krishna memerintah Arjuna, "Jangan berpikiran sempit dan perluaslah wawasanmu. Engkau dapat mulai dengan pengertian wujud pribadi, tapi jangan berhenti sampai di situ. Jangan menghabiskan seluruh hidupmu hanya memikirkan pribadi-pribadi."
"Dari konsep individu engkau harus meningkat kepada konsep masyarakat, yang lebih penting daripada individu. Individualitas dan kepribadian itu terbatas pada nama dan rupa, tetapi pikiranmu harus membumbung tinggi melampaui nama dan rupa. Capailah dan hayatilah prinsip ketuhanan yang sarat dengan darma. Engkau masih memandang segala sesuatu dalam kerangka dwaita atau dwalitas sehingga hidupmu masih mencerminkan sifat mendua itu: engkau terpaku pada nama dan rupa, pada subyek dan obyek.
Berusahalah meningkatkan diri dari dwaita ke wishishtadwaita, dari sifat mendua ke sifat manunggal, sambil tetap mengingat bahwa tujuan akhir yaitu kebijaksanaan tertinggi non-dualisme murni atau kesadaran adwaita. Berusahalah melihat prinsip ketuhanan yang esa di segala tempat dan dalam segala sesuatu hingga engkau menyadari kebenaran akhir bahwa hanya atmalah yang ada, bahwa hanya diri sejatilah yang nyata.
Buddha juga mengajarkan kebenaran yang agung ini. Beliau tidak menyebut Weda atau menggunakan istilah Wedanta, namun Beliau menghayati serta memperlihatkan semangat dan jiwa Weda. Mula-mula Beliau mengatakan, "Buddham sharanam gacchami," "Aku berlindung pada buddhi, kemampuanku untuk menimbang dan membeda-bedakan." Ini berkaitan dengan manusia secara perseorangan dan membicarakan kepribadian yang terbatas. Kemudian perlahan-lahan beliau menambahkan, "Sangham sharanam gacchmi," artinya, "Aku berlindung pada masyarakat." Beliau menyadari bahwa perasaan yang berhubungan dengan individu dan pertimbangan pribadi berorientasi pada kepentingan diri sendiri dan merupakan pandangan yang sempit sehingga manusia tidak mencapai kemajuan rohani yang diharapkan.
Janganlah menganggap pribadi ini segala-galanya; Ia hanya merupakan setetes air dalam lautan. Dalam hal ini juga Krishna juga mengatakan, "Arjuna, lapangkanlah hatimu. Milikilah pandangan yang luas. Masukkanlah seluruh masyarakat dalam wawasanmu." Masyarakat tidak mempunyai wujud tertentu; masyarakat adalah kumpulan pribadi-pribadi. Bila sejumlah besar individu bergabung, mereka menjadi masyarakat. Swami sering berkata, "Perluasan adalah hidup-Ku." Bila engkau meluaskan hidup pribadimu hingga tidak terbatas maka ia menjadi sifat Tuhan: dengan kata lain, kembangkanlah dan luaskanlah wawasan hidupmu sehingga akhirnya mencapai sifat Tuhan. Karena itu Krishna berkata kepada Arjuna, "Hiduplah dalam masyarakat, layanilah masyarakat, dan kembangkanlah pikiran yang luas."
Arti masyarakat dalam suatu negara mungkin berbeda dengan artinya negara lain, dan suatu masyarakat yang disebut dengan nama tertentu berbeda dengan masyarakat dengan nama lain. Jadi engkau akan mendapati bahwa ada keterbatasan dalam masyarakat, dan masyarakat itu sendiri tidak menghantar engkau menuju ketidakterbatasan. Karena itu Sang Buddha menambahkan lagi, Dharma sharanam gacchami," artinya, "Aku berlindung pada dharma, aku berlindung pada kebenaran dan kebajikan." Dharma yang digunakan di sini mempunyai arti yang sangat luas; artinya kekuatan yang menunjang seluruh dunia. Bila engkau mendalami arti umum kata dharma itu, engkau akan menemukan bahwa dharma adalah sifat dasar segala sesuatu; kebenaran utama. Segala sesuatu yang dimaksud di sini adalah atma yang kekal, Tuhan sebagai penghuni. Karena itu, arti darma yang lebih dalam dapat ditemukan pada sifat Tuhan. Berlindung pada darma adalah menjadi satu dengan sifat Tuhan. Telah dikatakan bahwa maya adalah perwujudan Tuhan, tetapi lebih tepat jika dikatakan bahwa darma adalah perwujudan Tuhan. Itulah wujudnya. Itulah sebabnya Krishna menyatakan, " untuk menegakkan darma aku datang berulang-ulang." Darma mengungkapkan sifat ketuhanan yang luas dalam segala aspeknya yang mulia.
Krishna memerintahkan Arjuna, " Majulah melampaui perasaan individu yang sempit ini. Jangan menjadikan badanmu sebagai dasar seluruh hidupmu. Badan hanya merupakan pembungkus , suatu alat. Badan hanyalah wujud yang engkau lihat dengan mata manusiawimu. Luaskanlah wawasanmu. Kembangkanlah pandangan batinmu; capailah pandangan Tuhan. Bila pandanganmu dipenuhi dengan Tuhan, maka seluruh ciptaan akan tampak sebagai Tuhan bagimu. Jadikanlah darma itu sebagai wawasanmu, maka wawasanmu akan menjadi wawasan Tuhan; kemudian engkau akan melihat seluruh ciptaan sebagai Tuhan sendiri. Sebagai pribadi engkau adalah pangeran, termasuk ksatria. Berjuang untuk melindungi keadilan dan bertempur adalah tugasmu. Namun engkau tidak perlu keluar dan mengundang pertempuran. Kurawalah yang telah menyatakan perang terhadap engkau. PetunjukKu kepadamu ialah agar engkau menghormati kewajibanmu, dan sementara melaksanakan tugasmu, patuhilah seluruh perintahKu. Dengan demikian tugasmu akan dijiwai oleh darma."
Ketika memberi pelajaran kepada Arjuna, Krishna memperlihatkan wujud darma yang hakiki. "Arjuna, sifat api adalah membakar, jika api tidak membakar, ia bukan api. Begitu pula es mempunyai sifat dingin. Kalau tidak dingin engkau tidak dapat mengatakan itu es. Atau manis adalah sifat gula. Kalau tidak terasa manis, barang itu mungkin garam, atau tepung, tetapi bukan gula. Begitu pula kematian adalah wajar bagi setiap tubuh manusia. Bila badan manusia mendekati akhir yang menjadi kewajarannya, mengapa engkau merasa sedih dan cemas? sama seperti membakar itu wajar bagi api, dingin itu wajar bagi es, dan manis itu wajar untuk gula, demikian pula kematian wajar bagi setiap tubuh manusia. Tanpa memperlihatkan wujud badan sanak keluargamu itu, bertempurlah, tetapi laksanakan hal itu dengan selalu mengingat sifat-sifat stithaprajna. Bila engkau ingin mencapai kedamaian, engkau harus menghancurkan keakuan dan keterikatanmu, juga engkau harus menjauhkan segala khayalan, tetapi jangan menjauhi Tuhan! Patuhilah segala perintahnya maka engkau akan menyadari sifat sejati umat manusia."
Darma, sifat ketuhanan yang merupakan sifat alamiah dalam diri manusia, akan menghancurkan maya. Swami telah mengatakan bahwa dalam kata manusia (Inggris : man ) huruf m berarti maya dihilangkan, huruf a berarti atma dilihat, dan n berarti nirwana tercapai. Dengan kata lain, dilenyapkan ego atau rasa keakuan, dapatkan penampakan Tuhan, dan manunggallah dengan kebahagiaan atma. . . inilah yang merupakan tugas manusia. Engkau harus terus menerus merenungkan hal ini. Kedamaian tidak bisa ditemukan di pasar. Bukan barang yang bisa dibeli atau dimenangkan seperti kerajaan. Kedamaian sudah ada dalam sifatmu sendiri, ada dalam dirimu. Engkau hanya akan dapat menemukannya bila engkau cari dalam diri sendiri. Karena itu jauhkanlah wawasan lahir dan kembangkan wawasan batin. Wawasan lahir hanya untuk binatang, bukan untuk manusia; manusia sejati memiliki wawasan batin." Karena itu, Krishna memerintahkan kepada Arjuna, " Sucikanlah hidupmu dengan mengembangkan potensi manusia yang mulia ini dan arahkanlah pandangan ke dalam batin!"
Kita telah mendengar cerita Resi Narada yang pada ulanya terus menerus mengalami keresahan. Narada mahir dalam berbagai macam ilmu. Ia menguasai 64 jenis ilmu dan telah menerapkan kemahirannya itu; namun ia tidak merasakan kedamaian dalam hatinya. Ia mulai berpikir, "Mengapa aku resah terus, mengapa aku terus diserang rasa khawatir? Aku telah menguasai segala jenis ilmu. Aku mengetahui semua bidang pengetahuan manusia, namun tetap aku tidak dapat melenyapkan kesedihan hatiku." Ia lalu menghadap Sanat Kurmara dan mohon penjelasan sebab-sebab kesedihan serta kekhawatirannya. Yang pertama ditanyakan oleh Sanat Kumara adalah, "Apakah kepandaianmu?" Narada menjawab, "Saya telah mempelajari dan menguasai segala macam ilmu pengetahuan; tidak ada bidang ilmu yang belum saya kuasai." Kemudian Sanat Kumara berkata, "Baik sekali, jadi engkau telah menguasai ilmu tentang diri sejati, yaitu atmawidya?" Narada menjawab, "Belum, kecuali atmawidya, yang lainnya sudah saya kuasai semua." Lalu Sanat Kumara menjelaskan, "engkau hanya akan mengalami kedamaian batin dengan pengetahuan atma. Hanya bila engkau mengetahui hal itu, engkau dapat meraih yang lain-lain, dan hanya bila engkau telah menguasai ilmu tersebut, engkau akan mengetahui segala sesuatu lainnya... hanya dengan menguasai pengetahuan atmalah engkau dapat dikatakan terpelajar. Kalau tidak demikian, engkau tetap berada dalam alam ketidaktahuan, walaupun engkau telah menguasai berbagai macam ilmu. Apa gunanya menguasai semua ilmu pengetahuan itu tanpa mengetahui satu ilmu yang paling diperlukan?" Ada sebuah contoh.
Pada sebuah desa akan diadakan perkawinan. Nyonya rumah yang akan menyelenggarakan upacara pernikahan itu berkata kepada tetangganya, "Ibu, kami akan mengadakan upacara perkawinan besar-besaran di rumah kami. Kami telah mengundang klub musik Bombay yang sangat terkenal. Di samping itu juga telah kami undang penyanyi-penyanyi ternama. Beberapa tukang masak jempolan akan menyiapkan hidangan untuk peristiwa itu akan kami dirikan tenda yang besar sekali untuk itu. Suatu pesta pernikahan yang sangat hebat. Anda harus hadir. Anda akan sangat gembira menghadiri pesta ini. Suatu perayaan yang sangat unik." Setelah mendengar semuanya itu, tetangganya berkata, "Wah, hebat benar. Pasti saya akan datang." Kemudian ia bertanya, "saya ingin tahu siapa pengantin prianya?" Pertanyaan ini dijawab, "Calon pengantin pria belum ada kepastian."
Untuk suatu pernikahan, calon mempelai pria sangat penting. Jika pengantin pria belum ada, lalu siapa yang akan dinikahkan di tenda itu? Apa gunanya band musik, juru masak, penyanyi dan pendeta, jika tidak ada yang dinakahkan? Pertama calon mempelai pria harus sudah pasti, kemudian yang lain-lain diperlukan. Begitu pula jika tidak ada kedamaian dalam hati, apa gunanya memiliki sekian banyak ilmu? Sanat Kumara berkata kepada Narada, "Hanya dengan memperoleh pengetahuan atma, engkau akan mencapai kedamaian.
Dewasa ini manusia mudah menjadi mangsa raga dan dwesha, yaitu rasa suka dan rasa benci. Ia dikuasai dengan keserakahan dan diliputi oleh keakuan (ego). Lihatlah keadaannya dan apa yang dilakukannya! Ia merasa makhluk yang penting di dunia. Ia mengkhayal bahwa tidak ada orang yang lebih hebat dari padanya. Karena khayalan ini ia tidak mampu lagi mengadakan pertimbangan sehingga bahkan tidak mampu mengerti kebingungannya. Ia beranggapan bahwa ialah yang melakukan segala-galanya. Ia mengira bahwa ia dapat membeli dunia ini dan dapat berbuat sekehendak hatinya. Tetapi buka dialah yang memutar dunia ini. Ia tidak memiliki kekuatan itu, untuk tujuan baik dan jahat. Yang menciptakan dunia ini yang melindungi dunia ini yang menjadi bapak dunia ini yang menjadi ibu dunia ini yang menguasai dunia ini... Beliaulah yang mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk memutar dunia ini. Bagi seluruh alam yang bergerak maupun tidak bergerak, hanya ada satu yang berkuasa. Ini adalah kebenaran amat penting yang harus disadari oleh setiap manusia.
Jangan biarkan dirimu diliputi oleh kegembiraan dan kemarahan sehingga engkau kehilangan rasa damai. Kesedihan, kehilangan, sakit, kekhawatiran, semua itu adalah cobaan untuk membantu engkau mengatasi kelemahan pada dirimu. Cobaan itu akan memperlihatkan engkau kuat iman, tabah, dalam menanggung penderitaan, dan tidak terpengaruh olehnya. Tidak ada gunanya jika engkau hanya lulus ujian yang diadakan oleh badan perguruan engkau harus lulus dan ujian yang diberikan oleh hidup itu sendiri. Telah dikatakan, "Setelah menguasai segala ilmu pengetahuan, hanya orang dungulah yang tidak mengetahui pikirannya sendiri." Ilmu apapun yang telah dikuasai, orang yang jahat tidak akan mendapat sifat yang baik dari pengetahuannya itu. Lalu apakah guna semua ilmunya? Setelah mendapat ilmu-ilmu yang tidak berguna itu ia hanya memperoleh kemampuan berdebat. Mengapa harus mempelajari begitu banyak ilmu yang tidak ada gunanya? Sebaliknya, berusahalah sekuat tenaga mempelajari tentang segala sesuatu yang tidak akan punah; itulah pendidikan yang mempunyai nilai yang kekal. Pengetahuan apakah yang memungkinkan engkau mengetahui hal yang tidak akan mati? Pengetahuan itu adalah pengetahuan atma, pendidikan itu adalah pendidikan atma. Atma tidak mati juga tidak lahir. Setiap makhluk yang lahir akan mengalami perubahan dan akhirnya pasti mati. Seluruh alam ini dan isinya mempunyai wujud tertentu. Karena ia mempunyai bentuk, ia akan mengalami perubahan. Engkau harus berusaha mencapai tingkat itu yang tidak akan mengalami perubahan sama sekali. Untuk itu engkau harus memperoleh pengetahuan tentang diri sejati yang esa, engkau harus mempelajari atma widya.
Pada suatu hari di suatu desa ada seorang tua yang bodoh. Ia meninggalkan desanya dan pergi mengadakan perjalanan yang jauh. Belum pernah ia bepergian dengan kereta api. Bahkan selama hidupnya ia belum pernah melihat kereta api. Sekarang ia menunggu kereta api di stasiun. Kereta api datang dengan beberapa gerbongnya. Orang desa sangat heran melihat kereta api itu." Gerobaknya banyak benar," pikirnya, "Jalannya begitu cepat dan tidak jatuh terguling di atas rel yang begitu sempit, padahal manusia sulit berjalan di atas rel itu". Beratus-ratus orang menunggu akan naik kereta api itu. Barang yang dibawa setiap penumpang sangat banyak. Orang desa itu duduk merenung, "Bagaimana kereta itu bisa mengangkut begitu banyak penumpang dan barang? Mengapa mereka membawa barang begitu banyak? Bersama para penumpang lain ia naik. Setelah menaruh barang-barang mereka di atas rak atau di lantai kereta, para penumpang mulai duduk, mengobrol, serta beristirahat.
Orang desa itu berpikir, "Sungguh kejam orang-orang ini! Mengapa mereka membebani kereta yang malang ini dengan menaruh barang-barang itu lalu duduk santai?" Maka orang tua itu duduk sambil tetap menyunggi bawaannya. Kereta api cukup membawa dia; setidak-tidaknya ia dapat membawa barangnya sendiri dan tidak menambahkan beban pada kereta yang sudah sarat muatan ini. Seorang penumpang bertanya, Pak, mengapa barangnya disunggi? Taruh saja dan Bapak bisa beristirahat." Jawab orang tua itu, "Kalau kereta api itu sudah mengangkut begitu banyak barang, saya tidak ingin menambah bebannya, maka barang saya tetap saya suggi dan akan saya bawa sendiri." Apa pun yang engkau lakukan dengan barang-barangmu, kereta tetap mengangkut dirimu dan barang-barangmu, kereta tetap mengangkut dirimu dan barang yang engkau bawa. Dengan menjinjing barangmu, engkau tidak memperingan beban kereta api itu. Jadi, engkau bisa meletakkan barangmu dan menikmati perjalanan. Orang tua itu memiliki hati yang lembut dan belas kasihan, tetapi ia tidak memiliki akal dan pertimbangan.
Krishna berkata kepada Arjuna, "Walaupun engkau sangat pandai, meskipun engkau mempunyai kemampuan mengendalikan nafsu, sekalipun engkau telah mencapai berbagai prestasi yang hebat dan memiliki berbagai ketrampilan, engkau tetap mengalami kesulitan. Ini dikarenakan engkau belum memahami prinsip ketuhanan. Selama engkau belum memahami ketuhanan, engkau tidak bisa lepas dari penderitaan. Jika engkau ingin melepaskan diri dari kesedihan serta penderitaan dan mendapat rahmat Tuhan, engkau harus mematuhi perintah-Ku. Pertama ingatlah bahwa engkau bukan badan. Alat-alat indera ini tidak ada hubungannya dengan engkau; indera itu berkaitan dengan badan. Gunakanlah badanmu untuk bekerja, tetapi jangan kau samakan dirimu dengan badan, dan kerja itu. Engkau lahir pada badan ini sebagai akibat perbuatanmu yang lampau, yaitu karmamu, dan engkau harus menggunakan badan ini untuk melaksanakan karma. Karena itu bangkitlah! Bangunlah! Kerjakan tugasmu. Lakukan Kegiatan dan persembahkan kepada-Ku. Akulah yang akan menerima akibat perbuatanmu. Jauhkan sifat mementingkan diri, tegakkan keadilan, teguhkanlah imanmu! Itulah darma dari zaman ke zaman. Jika engkau mematuhi perintah-Ku, aku akan melindungi engkau.
"Aku ingin menjelaskan satu hal lagi. Dhrishtarashtra yang buta, ayah pada Kurawa, mempunyai 100 putra, namun seorang pun tidak ada yang hidup untuk melaksanakan upacara perabuannya. Mengapa demikian? Semua anak itu adalah putra Tuhan, tetapi Dhrishtarashtra menganggap semuanya itu putranya. Arjuna, engkau pun adalah saudara mereka. Engkau menipu dirimu sendiri dengan mengira bahwa badan ini adalah milikmu sedangkan sebenarnya bukan milikmu sama sekali. Dengan menganggap engkau adalah badanmu ini, engkau diliputi oleh kebutaan seperti Dhristarashtra. Suatu kedunguan yang luar biasa. Jika engkau tidak melenyapkan kedunguan ini, engkau tidak akan mampu mencapai kebijaksanaan. Engkau harus mengembangkan kemampuan pertimbangan dan penyelidikan batin agar mendapat pengetahuan."
"Di dalam badanmu terdapat hati spiritual, dan dalam hati itu bersemayam Tuhan. Juga dalam tubuhmu ada jiwa. Keduanya, Tuhan dan jiwa tampaknya terpisah dalam badanmu, tetapi bekerja sama, memainkan peran masing-masing dalam drama besar. Keduanya kadang-kadang bersama dan berpisah lagi sebagaimana diatur oleh sutradara yang menulis drama itu. Sutradara menetapkan peran yang berlainan untuk baik dan buruk, kebajikan dan dosa, tetapi sebenarnya hanya ada satu Tuhan yang memainkan semua peran. Dari segi kesadaran badan, ada jiwa di dalamnya dan ada Tuhan dalam hati. Selama engkau mengira dirimu adalah badan, keduanya tetap terpisah dan memainkan peran masing-masing. Segera setelah khayal itu lenyap, keduanya manunggal menjadi satu prinsip ketuhanan yang meliputi segala sesuatu. Bila engkau menyingkirkan khayalan kesadaran badan ini makan engkau menyatukan jiwa dan Tuhan. Lalu engkau akan menetap dalam kesadaran Tuhan dan mengalami kebahagiaan yang abadi."
Dengan ajaran ini Krishna dapat memberi Arjuna pengetahuan yang diperlukan untuk menjadi stithaprajna dan mengajarkan cara-cara untuk mencapai kebahagiaan nondualitas. Beliau berkata, "Arjuna, sadarilah selalu bahwa segala sesuatu yang ada dalam alam semesta ini merupakan eksistensi yang satu itu juga. Jangan biarkan pikiran dan perasaanmu menjauhkan engkau dari rasa kemanunggalan dan ketenangan bathin ini. Lepaskan hatimu dari kesedihan dan kegembiraan, rasa suka dan rasa benci. Jangan terpengauh oleh celaan atau pujian. Perlakukan semua orang sama."
Krishna berkata kepada Arjuna, "Jika engkau mempunyai keyakinan yang teguh bahwa segala sesuatu dalam alam ciptaan ini adalah perwujudan Tuhan maka engkau akan menjadi seorang stithaprajna dan engkau akan mencapai pengetahuan yang tertinggi. Arjuna, laksanakanlah segala perintah-Ku dan jadilah stithaprajna!".

PERCAKAPAN 33 MENGEMBANGKAN PANDANGAN BATIN

PERCAKAPAN 33
MENGEMBANGKAN PANDANGAN BATIN
Baik engkau sibuk melakukan pekerjaan di dunia atau telah meninggalkan urusan keduniawian, yang terutama harus kau perhatikan bukanlah pekerjaan yang kau lakukan atau tidak kau lakukan, tetapi apakah engkau telah mampu melenyapkan sampai keakar-akarnya segala kecenderungan yang tersembunyi dalam lubuk hatimu.
________________________________________

Lenyapnya vasana yaitu berbagai kotoran yang tersimpan dalam-dalam pada dirimu adalah tujuan utama segala sadhana 'latihan rohani'. Itu juga merupakan tujuan yoga, yaitu membersihkan dirimu dari raga dan dwesha, kejahatan kembar, yaitu keterikatan dan kebencian yang bercokol dalam dirimu. Jika engkau pergi begitu saja ke hutan atau gua tanpa melakukan latihan rohani yang tepat untuk melenyapkan musuh dalam dirimu, maka suka atau tidak keinginan-keinginan atau musuh tersembunyi itu akan terus menimbulkan pikiran atau perbuatan yang bersifat mengikat dirimu. Kotoran itu tetap berada dalam dirimu sebagai benih dalam hatimu dan menimbulkan pikiran yang penuh dengan rasa suka atau tidak suka, nafsu atau khayalan, akibatnya akhirnya engkau lupa akan sifat manusiawimu yang sebenarnya.
Gita telah mengajarkan bahwa jika engkau mampu melenyapkan keinginan dan kecenderungan yang bercokol dalam hatimu maka engkau dapat dengan leluasa melakukan tugas apa saja tanpa keinginan menikmati hasilnya. Dengan demikian engkau tidak akan terikat oleh karma yang engkau lakukan. Dengan kata lain, engkau akan terbebaskan sama sekali dari hasil kerjamu. Orang yang tidak mengerti kebenaran ini dan akhirnya meninggalkan tugas dan kegiatannya di dunia, akan terperosot ke dalam kelesuan dan kemalasan. Namun Gita telah berulang-ulang mengingatkan bahwa dalam dunia spiritual sama sekali tidak ada sifat bermalas-malas. Gita mengajarkan anaasakti yoga, yaitu yoga melakukan kegiatan tanpa kepentingan pribadi dan tanpa terpengaruh oleh perasaan pribadi. Dalam anaasakti yoga itu engkau sama sekali tidak mengindahkan kepentingan pribadi dan hasil yang timbul dari pekerjaan yang engkau lakukan. Itu berarti bekerja dengan penuh konsentrasi sejauh kemampuan untuk mencapai yang terbaik, tetapi semua perbuatanmu itu kau tujukan untuk melayani serta mengabdi Tuhan dan selalu didasari atas kesadaran Tuhan.
Anaasakti yoga bahkan lebih tinggi daripada nishkama karma yang telah dijelaskan dalam bab kedua dalam Bhagawad Gita. Nishkama karma adalah suatu tahap dengan sifat tidak menginginkan atau mengharapkan hasil pekerjaan yang engkau lakukan. Engkau tidak akan dapat mencapai tingkat nishkama karma selama vasana yang timbul dari perbuatan-perbuatanmu yang lalu tidak menunjang kemajuan spiritual. Pertama engkau harus melenyapkan segala sifat buruk yang berkaitan dengan perbuatan yang tidak baik dan menggantikannya dengan sifat-sifat baik yang berhubungan dengan berbagai perbuatan yang baik. Bila engkau telah mantap dalam tingkat pengabdian tanpa pamrih dan engkau hanya melakukan perbuatan yang baik, engkau dapat melangkah ke tahap nishkama karma. Di sini engkau meninggalkan buah segala perbuatanmu. Sesudah itu dengan sendirinya engkau akan mencapai tingkat anaasakti yoga.
Apakah rahasia yang terkandung dalam melakukan pekerjaan? Gita telah menjelaskan bahwa hanya dengan berbuat baik, melalui sat karma, kecenderungan buruk dapat dihilangkan. Gita menasehatkan agar engkau hanya melakukan perbuatan-perbuatan yang baik untuk menyucikan hatimu. Tetapi lebih dari itu, Gita menyatakan bahwa hati yang betul-betul suci hanya dapat dicapai dengan mempersembahkan segala perbuatanmu kepada Tuhan. Setiap pekerjaan yang engkau lakukan harus dipersembahkan kepada Tuhan; hanya dengan demikianlah hatimu akan suci sepenuhnya. Ada suatu contoh, makanan yang telah dimasak dan disiapkan dengan berbagai cara, tetap merupakan makanan biasa, dan bila kau makan begitu saja, engkau akan terkena akibat yang baik atau buruk dari makanan itu. Tetapi jika sebelum makan, makanan itu dipersembahkan lebih dulu kepada Tuhan, maka makanan itu menjadi prasadam, yaitu makanan yang sudah diberkati, dan menjadi pemberian suci dari Tuhan. Begitu pula semua pekerjaan yang engkau lakukan sepanjang hari termasuk karma biasa. Tetapi bila engkau melakukan pekerjaan itu, pekerjaan sekecil apapun, sebagai persembahan kepada Tuhan dan hasilnya bukan demi kesenanganmu melainkan untuk menyenangkan Tuhan, maka karma itu akan menjadi karma yoga dan juga merupakan yajnya, yaitu kurban suci. Hanya dengan karma yoga semacam itu engkau akan dapat membersihkan dirimu dari segala kecenderungan jahat serta menjadikan hatimu suci.
Bagaimanakah seharusnya kualitas perbuatan yang engkau persembahkan kepada Tuhan? Seberapa suci seharusnya perbuatan itu? Sebelum memberikan sesuatu kepada seseorang, engkau berusaha mengetahui apakah barang itu akan berguna, apakah ada nilainya, apakah suci dan akan dihargai, dengan kata lain apakah benda itu akan diterima dengan senang hati. Bila engkau demikian hati-hati ketika akan memberikan sesuatu kepada orang lain maka betapa engkau harus lebih berhati-hati bila akan mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan sendiri? Betapa persembahan itu harus murni dan suci sekali? Betapa persembahan itu harus menyenangkan dan sesuai dengan kehendak-Nya? Kita tidak boleh mempersembahkan sembarang barang atau sembarang perbuatan kepada Tuhan. Sebelum engkau mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan, pertama-tama engkau harus membersihkannya, menyucikan dan memuliakannya. Dengan demikian persembahan itu akan sesuai bagi Tuhan.
Misalnya engkau ingin mempersembahkan setangkai bunga mawar kepada Tuhan, pertama engkau memilih bunga yang baik dan harus. Kemudian kau bersihkan serangga pada bunga itu. Lalu kau buang duri dan daun-daunnya yang kurang baik. Dengan berbagai cara engkau berusaha membuat persembahan itu seindah dan sesuci mungkin. Setelah itu barulah kau persembahkan kepada Tuhan. Setiap perbuatan yang kau lakukan harus seperti bunga yang kau persembahkan kepada Tuhan. Seperti harumnya bunga, demikian pula hendaknya perbuatanmu harus semerbak dengan keharuman cinta kasih dan kesucian. Seperti keindahan dan kesucian bunga yang engkau persembahkan, begitu pula perbuatanmu harus baik dan suci. Itulah karma yoga yang sejati Bhagawad Gita mengajarkan agar engkau hanya mempersembahkan perbuatan seperti itu kepada Tuhan.
Engkau harus mampu membedakan antara perbuatan yang bijaksana dan perbuatan yang tidak bijaksana. Untuk itu engkau harus mengerti perbedaan antara kebijaksanaan dan kebodohan. Sangkhya menyebutkan tentang perpaduan antara kebijaksanaan dengan kebijaksanaan, artinya meningkatkan kebijaksanaan individu dan menyatukannya dengan kebijaksanaan alam semesta. Setiap orang yang ingin menghayati Tuhan secara langsung harus mengembangkan kebijaksanaan ini dan bersamaan dengan itu juga mengembangkan sejumlah sifat- yang penting. Sifat-sifat khas seorang stithaprajna, yaitu orang yang memiliki kebijaksanaan spiritual, adalah kesabaran, ketetapan hati, kesucian lahir batin, kasih yang tidak mementingkan diri, selalu menyadari kehadiran Tuhan, kerinduan pada Tuhan, dan enam sifat yang dikenal sebagai harta spiritual, yaitu sama 'pengendalian pikiran', dama 'pengendalian indera', uparati 'perasaan yang suci karena telah meninggalkan segala keinginan dan nafsu duniawi, titiksha 'kesabaran, ketabahan dan sifat yang tidak mengindahkan segala hal yang berlawanan seperti suka dan duka, shraddha 'iman yang teguh', dan samadhana 'konsentrasi dan kebahagiaan yang timbul dari ketenangan pikiran'. Kita akan membahas sifat yang pertama yaitu kesabaran.
Kesabaran atau ketabahan merupakan salah satu dari sifat-sifat yang sangat penting yang harus dimiliki dan diamalkan oleh setiap orang. Banyak raja binasa karena meninggalkan sifat kesabaran ini. Bahkan maharesi pun kehilangan pahala spiritualnya karena melalaikan sifat ini. Tidak sedikit orang cerdik pandai hancur karena mengabaikan sifat yang tidak ternilai itu. Kesabaran dapat dianggap sebagai tameng dan baju zirah yang paling penting untuk menghadapi perjuangan hidup. Jika manusia tidak memiliki kesabaran, dengan cepat ia akan kehilangan semua sifat kemanusiaannya. Telah engkau ketahui bahwa sifat sabar itu merupakan ciri khas yang penting pada stithaprajna, seorang yang agung dan memiliki kebijaksanaan abadi; tanpa kesabaran tidak mungkin menjadi atau tetap sebagai stithaprajna.
Keteguhan hati atau dengan kata lain kemauan dan kebulatan tekad merupakan syarat untuk mengembangkan kesabaran. Keteguhan hati ini tidak boleh disamakan dengan sifat keras kepala. Dalam tugas suci, dalam hal-hal yang berhubungan dengan kerohanian, keteguhan dan ketetapan hati adalah suatu kualitas pikiran yang tidak diliputi oleh khayal dan kegoyahan. Hambatan apapun yang dihadapi, kesulitan dan masalah apapun yang timbul, seorang yang mempunyai keteguhan hati tetap bertekad melaksanakan tugas yang telah dilakukannya hingga ia mencapai tujuan. Jika engkau tidak mempunyai keteguhan hati ini maka kesabaran tidak akan mempunyai landasan dan tidak dapat mengikat. Kesabaran dan keteguhan laksana anak kembar, yang satu tidak bisa hidup tanpa yang lain. Tanpa keteguhan hati, kesabaran tidak akan tumbuh, dan tanpa kesabaran, keteguhan akan merosot menjadi kecongkakan.
Sekarang kita ungkap kesucian. Seperti halnya engkau melakukan berbagai perbuatan untuk membersihkan tubuhmu, begitu pula engkau harus melakukan berbagai perbuatan yang baik untuk menyucikan pikiranmu. Melalui perbuatan baik ini engkau dapat melenyapkan keterikatanmu dan perasaan suka atau tidak suka yang mencemari pikiranmu dengan ahamkara. Hanya bila sifat-sifat buruk ini dihilangkan, engkau akan dapat mencapai pengendalian diri. Seperti halnya kura-kura dapat mengeluarkan tangan dan kakinya dari tempurung, atau memasukkannya kembali, engkau pun harus mampu mengendalikan inderamu dan menggunakannya bila diperlukan. Gita telah menegaskan bahwa hal ini pun merupakan sifat yang sangat penting pada seorang stithaprajna.
Dalam bidang kegiatan atau karma itulah seseorang memperlihatkan wataknya dengan jelas dan terungkaplah kualitas atau manusia apa sebenarnya it itu. Itulah sebabnya nishkama karma dianggap sangat penting. Seperti cermin dapat menunjukkan tipe wajahmu, perbuatanmu menunjukkan jenis perasaanmu. Bila engkau berurusan dengan orang lain, dengan mudah engkau dapat mengetahui sifat-sifatnya bila engkau memperhatikan perbuatannya. Mungkin seseorang tampaknya sattvik, tenang, dan lembut. Mungkin juga ia kelihatannya suka berkorban. Mungkin engkau beranggapan bahwa ia seorang yang suci hatinya. Tetapi perbuatannya mungkin menunjukkan hal yang sangat berlawanan. Perbuatannya mungkin menunjukkan sifat binatang atau bahkan sifat setan. Perbuatannya mengungkapkan sifat yang sebenarnya. Sebaliknya orang lain mungkin kelihatan bengis. Ada orang yang kelihatan kaku, kasar, dan kurang etiket atau tata karma, tetapi dalam perbuatannya ia menunjukkan belas kasihan dan sifat-sifat mulia yang lain, maka engkau harus menyimpulkan bahwa ia seseorang yang sattvik. Maka jika engkau ingin mengetahui apakah sifat yang dominan dalam diri seseorang itu sattva, rajas, atau tamas, perhatikanlah tindak tanduknya. Perbuatannya itu akan menunjukkan sifatnya yang sebenarnya.
Gita telah menunjukkan jenis kegiatan yang harus dikerjakan dalam hidup sehari-hari. Gita tidak mengajarkan agar engkau meninggalkan segala-galanya, menjadi sanyasin, dan pergi ke hutan. Melainkan Gita menunjukkan bahwa setiap orang mempunyai tugas dan tanggung jawab yang penting untuk melakukan kegiatan yang berguna di dunia ini. Selanjutnya Gita mengatakan bahwa rahasia hidup manusia ialah mengetahui dan mengikuti jalan dharma, yang artinya melakukan tugas suci tanpa pamrih untuk membantu mengembangkan kesejahteraan sesama manusia. Gita menyatakan bahwa hidup manusia terletak pada perbuatannya. Kalau engkau tidak bekerja, engkau bahkan tidak dapat mempertahankan badanmu. Sebab itu, setiap manusia, baik orang awam maupun pencinta kerohanian, harus melakukan kegiatan dan bekerja. Namun pekerjaan yang engkau lakukan harus pekerjaan yang mulia; pekerjaan itu harus sesuai dengan prinsip dharma.
Engkau harus menjadikan kegiatanmu suatu karma yang bermanfaat bagi orang lain. Engkau harus melakukan kegiatan yang ideal dan mengamalkan kegiatan yang baik itu tanpa kepentingan pribadi. Hanya dengan demikianlah perbuatanmu dapat dianggap bersifat sattvik. Perbuatan yang sattvik itu termasuk nishkama karma. Tidak seorang pun dapat melakukan kegiatan tanpa sesuatu keinginan sama sekali. Engkau harus mengarahkan perbuatan dan keinginanmu untuk mencari dan menghayati Tuhan. Bila orientasi suci itu menjadi dasar segala perbuatanmu maka karma semacam itu tergolong yoga anaasakti. Itulah tingkat karma yang tertinggi yang mengantar engkau langsung ke tujuan. Tetapi pengaruh maya atau khayal tidak akan hilang. Ada dua shakti atau kekuatan yang membentuk maya. Yang satu disebut awarana, yaitu 'kekuatan yang menyelubungi', yang kedua wikshepa yaitu 'kekuatan mengelabui'. Kedua kekuatan ini tidak mempunyai bentuk
Pertama-tama kita tinjau awarana. Awarana adalah kekuatan yang menutupi atau menyelubungi. Bagaimana caranya? Dengan apa kekuatan itu menutup? Bagaimana engkau dapat membuka hal yang ditutupinya? Kalau kekuatan itu tidak mempunyai wujud, dengan apa ia menutupi? Bagaimana menghilangkan tutup itu? Pertanyaan ini tidak dapat dijawab. Maya bersifat gaib dan tidak dapat dijelaskan. Ia menimbulkan khayal dan kebingungan. Misalnya ada sepotong tali terletak di jalan dalam kegelapan engkau akan tertipu dan mengira tali itu seekor ular. Apakah yang menutupi tali itu? Cobalah pikir apa yang terjadi. Seketika engkau merasa ketakutan karena membayangkan ada ular di depanmu. Jadi dalam pikiranmu sendirilah tali itu terselubung oleh gagasan ular sehingga engkau merasa takut. Apakah betul ada ular? Tidak tidak ada ular. Jadi bagaimana mungkin tali itu tertutup oleh ular yang sebenarnya tidak ada dan tidak pernah ada? Itulah yang disebut khayalan.
Dalam keadaan apakah kekuatan khayal itu bisa mempengaruhi engkau? Hanya pada saat senja kala dalam keadaan gelap engkau membayangkan melihat ular yang sebenarnya hanya tali belaka. Dalam kegelapanlah khayal itu muncul dan menyelubungimu. Kenyataannya, tidak ada ular yang menyelubungi tali itu, tetapi khayalan menutupi pikiran seseorang sehingga persepsinya tidak jelas dan membingungkan pengertiannya. Khayalan ini adalah maya. Jika engkau menerangi tempat itu, engkau tidak akan melihat ular, melainkan hanya tali. Jadi dalam keadaan terang, khayal lenyap dan benda sebenarnya nampak. Sesuatu yang ada akan tetap ada, tidak pernah hilang atau berhenti eksistensinya. Ia tetap tidak berubah. Juga tidak ada pergantian sedikit pun pada eksistensi itu. Khayalan yang menyelubunginya yang timbul tenggelam. Wujud yang menyelubungi pikiran itu adalah wikshepa, kekuatan maya yang kedua. Wikshepa adalah proyeksi yang ditimpakan pada dasar yang tidak berubah. Dalam hal ini proyeksi itu ular. Pada saat yang lain proyeksi itu adalah sesuatu yang lain.
Suasana batin, kesedihan dan kesenangan, semua itu timbul tenggelam. Hal itu seperti sanak keluarga yang datang berkunjung tetapi mereka tidak tinggal selamanya. Begitu pula maya ini datang dan pergi sebagai khayal bagi manusia. Khayal dalam pikiranmu yang menyelubungi tali sehingga tali itu tidak nampak, disebut awarana, yaitu kekuatan menyelubungi. Bayangan yang diproyeksikan pikiranmu kepada tali adalah wikshepa, yaitu kekuatan proyeksi pikiran. Dengan memakai lampu engkau akan melihat tali itu, tali dan ularnya hilang. Jadi kedua aspek maya ini timbul dalam kegelapan dan lenyap dalam terang. Apakah dua kekuatan ini, awarana dan wikshepa, datang bersamaan ataukah pada saat yang berlainan? kekuatan menyelubungi dan memproyeksikan mungkin muncul dan lenyap pada saat yang sama, tetapi sebagaimana terjadi pada waktu tidur nyenyak, pada saat hanya kekuatan menyelubungi yang ada, dua kekuatan itu juga dapat datang dan pergi pada saat yang berbeda. Maya tidak dapat dijelaskan atau dipahami. Ia tidak mempunyai permulaan. Tetapi ia dapat hilang selamanya. Bila sinar pengetahuan meneranginya, maya akan lenyap, maka kenyataan tunggal yang tidak berubah-ubah akan tampak. Dengan memberikan ajaran yang agung ini kepada Arjuna, Krishna dapat membebaskannya dari belenggu khayalan serta membuatnya bersinar dengan kecemerlangan diri sejati.
Selama ini engkau hanya memiliki pengertian yang dangkal dan pandangan lahiriah. Namun yang penting adalah pandangan bathin. Hanya pandangan batinlah yang benar dan suci. Engkau tidak melihat kenyataan yang sebenarnya, kesejatianmu, karena engkau hanya memperhatikan penampakan lahiriah yang tidak kekal dan sama sekali lupa pada pandangan batin yang kekal. Tuhan mempunyai misi untuk mengembalikan pandangan batin yang suci itu. Inilah yang dilakukannya bila Beliau datang sebagai Avatar. Krishna berkata, "Anakku, apapun yang engkau lakukan di dunia ini, ketahuilah bahwa semua itu tidak kekal. Pada saatnya engkau akan mengetahui bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak kekal, bersifat sementara; hubunganmu, keterikatanmu, prestasimu, kepribadianmu, semua itu akan lenyap. Segala sesuatu akan hanyut dalam aliran waktu. Jika engkau berusaha berpegang erat dan melekat pada benda-benda yang juga akan hanyut ditelan arus waktu, bagaimana mungkin kau akan terselamatkan dan dapat mencapai kesempurnaan yang tidak terpengaruh oleh arus itu, yang bukan saja tidak akan pernah terkena pengaruhnya, tetapi yang selalu menguasainya. Arjuna, segala hal yang engkau pegang teguh, semuanya sedang hanyut. Yakinilah sedalam-dalamnya bahwa bila engkau mengikatkan diri kepada hal-hal yang bersifat sementara, engkau hanya menyia-nyiakan hidupmu, engkau menyia-nyiakan kesempatan yang telah diberikan kepadamu untuk mencapai keadaan yang kekal yang merupakan kenyataanmu yang sejati. Serahkanlah dirimu kepada Tuhan, berpeganglah pada eksistensi yang kekal, maka engkau pasti akan mendapatkan kebahagiaan yang abadi, kebahagiaan Tuhan.
Dengan cara ini Krishna mendorong Arjuna agar membebaskan dirinya dari keterikatan dan khayal yang mengacaukannya. Krishna berkata, "Arjuna, engkau sendiri harus menyucikan batinmu dan membuka selubung kebodohan yang meliputi dirimu. Ikutlah jalan kebajikan, bekerjalah demi kesejahteraan dunia dan persembahkan setiap perbuatanmu kepadaKu; Aku adalah dirimu yang sejati yang bersemayam dalam hatimu." Tidak ada cara yang mudah ditempuh oleh umat manusia selain jalan karma yoga, "jalan kegiatan". Engkau dapat mengikuti jalan pengabdian hanya bila engkau telah meletakkan dasar yang kuat melalui perbuatan yang baik. Dan hanya setelah engkau menyucikan batinmu serta meningkatkan pengabdianmu, engkau akan dapat menempuh jalan kebijaksanaan dan terus maju menuju ke tingkat yang tertinggi yaitu kesadaran Tuhan. Dalam berkarya itulah manusia meletakkan dasar untuk mencapai alam spiritual yang tertinggi atau untuk menceburkan dirinya ke jurang penderitaan yang terdalam: baik atau buruknya keadaan seseorang tidak dapat dilepaskan dari kaitannya dengan perbuatannya.
Sebagai bagian dari perbuatan itu engkau dapat melakukan yadnya dan yaga, yaitu berbagai macam upacara kurban suci dan ritual keagamaan sesuai dengan ajaran agama, tetapi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya hal itu hanya akan mengantar engkau sampai ke surga. Krishna menjelaskan kepada Arjuna bahwa ada alam yang jauh lebih tinggi dan jauh lebih suci daripada surga. "Janganlah menganggap surga itu tempat yang kekal", kata Krishna. "Bila pahalamu telah habis engkau harus meninggalkan surga dan kembali ke dunia. Surga hanyalah tempat sementara: engkau tidak dapat tinggal di sana selamanya. Mungkin engkau mengira bahwa di surga engkau dapat menikmati kebahagiaan lahir batin, tetapi sebenarnya kebahagiaan yang engkau peroleh di sana hanya lebih besar sedikit daripada kebahagiaan yang engkau alami di dunia. Ada suatu keadaan yang jauh melebihi surga dan jauh lebih suci. Alam atau keadaan itu tidak dapat dicapai dengan jalan menyadari bahwa dirimu yang sejati adalah Tuhan, dengan menghubungkan dirimu dengan Aku, dengan menyatukan dirimu pada Brahman. Untuk mencapai keadaan ini engkau harus menghilangkan hawa nafsu dan tidak mementingkan diri sendiri. Engkau harus melakukan segala kegiatanmu tanpa mengharapkan hasil apapun."
Bila engkau melakukan sesuatu selalu akan ada akibatnya, buah perbuatanmu itu. Tetapi tidak ada aturan yang mengatakan bahwa engkau sendirilah yang harus menikmati hasil perbuatanmu itu. Seorang kakek mungkin menanam pohon buah-buahan dan kakek itu mungkin sudah meninggal sebelum pohonnya berbuah. Tetapi buah pohon itu akan dinikmati oleh cucu-cucunya di kemudian hari. Itulah contoh yang menggambarkan bahwa orang yang melakukan perbuatan tidak menikmati hasil perbuatannya itu, melainkan orang lain yang menikmatinya. Dengan sadar kakek itu menanam pohon tanpa berharap akan menikmati buahnya: dengan pandangan yang luas ia menanam pohon itu di pekarangan agar buahnya dapat dinikmati oleh keturunannya; buah yang kelak sangat mereka sukai. Demikianlah hasil dari perbuatannya yang ikhlas itu dipetik oleh keluarga yang diturunkannya.
Apakah motivasi sang kakek menanam pohon itu? Mungkin ia melakukannya dengan tujuan sedikit agak mementingkan diri, yaitu agar dinikmati oleh keluarganya sendiri. Tetapi sifat mementingkan diri yang melakukan segala sesuatu hanya untuk dinikmati sendiri jauh lebih kasar dan nista daripada kepentingan kakek tadi. Perasaan yang menyebabkan seseorang melakukan kegiatan atau bekerja demi kesejahteraan orang lain selalu lebih tinggi dan lebih mulia daripada perasaan yang menyebabkan seseorang bekerja untuk kepentingannya sendiri sepenuhnya dan dengan harapan agar segala hasil kegiatannya dapat dinikmatinya sendiri. Dalam hal ini pun perbuatan si kakek harus dianggap lebih mulia daripada perbuatan orang yang bekerja untuk dirinya sendiri. Namun ada perbuatan yang jauh lebih tinggi; perbuatan di luar segala kepentingan pribadi, yaitu bila engkau melakukan pekerjaan sebagai persembahan kepada Tuhan. Itulah perbuatan yang paling mulia, dan itulah yang harus engkau lakukan. Engkau harus berusaha melaksanakan segala tugas dan kegiatanmu tanpa kepentingan dan keinginan pribadi, mempersembahkannya kepada Tuhan tanpa keinginan memetik buahnya. Itulah anaasakti yoga.
Bila engkau menggunakan akal budimu untuk merencanakan kegiatan yang buahnya dapat membawa manfaat bagi orang lain, seperti kakek yang menanam pohon untuk dinikmati oleh keturunannya, ini dinamakan buddhi yoga. Dalam buddhi yoga engkau memikirkan akibat perbuatanmu dan dengan demikian mendasarkan perbuatanmu pada daya penalaran budimu. Budi jauh lebih tinggi daripada pertimbangan pikiran dan perasaan rendah yang picik dan mementingkan diri sendiri. Namun di sini pun masih ada kepentingan pribadi. Bila engkau bebas sama sekali dari kepentingan pribadi, sama sekali menginginkan hasil, bekerja secara efektif dengan penuh kesungguhan, tanpa keterikatan atau keinginan, dan mempersembahkan segala kegiatanmu kepada Tuhan, maka engkau melaksanakan anaasakti yoga. Ini jauh lebih tinggi daripada buddhi yoga. Anaasakti yoga tidak mudah dilaksanakan oleh orang awam. Tetapi itu tidak berarti bahwa engkau tidak perlu berusaha mencapainya. Dengan kesungguhan hati dan rahmat Tuhan, hal yang tampaknya tidak mungkin akan dicapai. Jika engkau berlatih dan berusaha terus menerus, engkau akan mampu mencapai tingkat yang tinggi itu, yaitu anaasakti yoga, dalam segala kegiatanmu.
Agar berhasil dalam hal ini, penglihatan batin harus dikembangkan. Untuk mencapai kesadaran batin yang mantap, engkau harus selalu mengingat satu prinsip yaitu, bagaimana pun hebatnya usahamu mencari apakah di dunia fana ini atau dunia impian dan khayalan, atau di dunia apapun lainnya, ke manapun engkau memandang, yang engkau lihat adalah gabungan dan variasi 5 unsur itu dalam wujud kasar atau wujud halus. Kelima unsur itulah yang akan engkau temukan di mana-mana. Tidak ada unsur lain; tidak ada unsur yang keenam. Tetapi kelima unsur ini adalah pantulan cahaya Tuhan yang tidak terbatas. Unsur-unsur itu merupakan aspekNya; dasarnya adalah prinsip ketuhanan yang esa. Bila engkau melakukan segala perbuatanmu dengan kesadaran bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah perwujudan suci dari prinsip ketuhanan, maka kegiatanmu dengan sendirinya menjadi persembahan kepada Tuhan. Bila engkau selalu memiliki pemikiran yang begitu mulia pada waktu melakukan segala kegiatanmu, engkau mengubah pandangan duniawimu yang terbatas menjadi pandangan batin yang membebaskan sehingga menjadi manusia yang suci. Dengan terus menerus merenungkan bahwa prinsip ketuhanan ada di mana-mana, engkau dapat mengembangkan penglihatan batin sehingga dapat mantap dalam anaasakti yoga. Tetapi orang yang mempunyai penglihatan batin sangat jarang; bahkan pendeta dan kaum ulama yang hebat pun hanya mahir dalam prinsip keduniawian. Ada suatu cerita untuk menggambarkan hal itu.
Pada suatu ketika Raja Janaka mengadakan rapat para ulama besar. Banyak sarjana ternama hadir dalam pertemuan itu. Para cendekiawan dan ahli filsafat yang tersohor datang dari segala penjuru kerajaan. Ilmuwan-ilmuwan ternama yang sangat fasih dalam perdebatan berdatangan. Sejumlah orang berilmu yang sangat disegani di seantero dunia karena kehebatan pemikiran dan pembicaraannya, hadir dalam pertemuan yang diadakan di balairung istana. Pertemuan ini dihadiri oleh orang-orang yang berilmu demikian tinggi sehingga sama sekali tidak ada tempat bagi orang biasa. Sidang harian dipimpin oleh Raja Janaka sendiri, dan dari para peserta pilihan, hanya yang paling terkemuka dan punya nama diberi kesempatan berbicara serta menyampaikan pendapat. Dalam pertemuan agung dan mulia ini, Astawakra yang masih remaja mohon ijin hadir. Tetapi siapa akan mengijinkan? Ia tidak mempunyai surat pengantar atau rekomendasi untuk itu. Tidak ada guru besar atau sponsor yang membantunya. Satu-satunya pertolongan yang ia miliki ialah imannya yang mendalam kepada Tuhan.
Siapa pun juga yang percaya dengan teguh kepada Tuhan, tidak akan mendapat kesulitan yang besar. Mungkin ada hambatan untuk sementara, tetapi pada akhirnya ia pasti akan mencapai sukses. Selama tiga hari Astawakra menunggu di pintu istana yang dilalui oleh para peserta yang menuju ke balairung. Sambil menunggu Astawakra memperhatikan semua cerdik pandai yang terkenal di seluruh dunia, yang datang untuk menghadiri pertemuan itu. Walau pun hanya ilmuwan ternama yang diizinkan masuk, Astawakra tidak mau menyerah dan bertekad ingin ikut serta dalam pertemuan "Aku pun mempunyai kesempatan," katanya dalam hati, dan dengan sabar terus menunggu di pintu dari hari ke hari. Ada seorang ulama tua yang memperhatikan dan bersimpati kepada Astawakra. Ulama itu melihat Astawakra berdiri di pintu ketika ia masuk dan keluar setiap pagi dan sore. Cendikiawan tua yang baik hati itu memberitahu Raja Janaka tentang kehadiran pemuda remaja tersebut. Ia memberitahu Raja Janaka bahwa ada orang yang berdiri di luar berhari-hari, ingin ikut dalam pertemuan walaupun ia tidak memiliki kualifikasi yang diperlukan untuk ikut serta. Raja diberitahu bahwa orang itu masih muda belia, kelihatan belum punya pengalaman, dan juga tidak mengenakan tanda-tanda prestasi kesarjanaan, ia juga tidak mempunyai rekomendasi dari cendikiawan manapun juga yang hadir di situ. Pendeknya, orang itu tidak dikenal dan kualifikasinya tidak diketahui, namun ia tetap menunggu dan ingin masuk.
Raja Janaka menyuruh petugas untuk menemui anak muda yang menunggu di luar gerbang, agar di bawa masuk ke balairung. Tidak lama setelah Raja Janaka duduk dan sidang dimulai dengan tertib dalam suasana khidmat, Astawakra memasuki ruangan. Ketika hadirin melihat anak muda yang badannya bengkok-bengkok ini datang untuk ikut serta dalam pertemuan, sebagian besar cendikiawan yang hadir tertawa. Raja Janaka yang memperhatikan Astawakra dengan seksama pada waktu ia masuk, tidak ikut tertawa. Astawakra memandang ke kanan dan ke kiri, lalu tiba-tiba tertawa lebih keras dari orang-orang itu. Ledakan tawa Astawakra yang keras sangat tidak dapat diterima dan amat mengherankan pada cendikiawan; mereka menjadi tidak enak. "Mengapa anak ini menertawakan kita?" Pikir mereka. "Jelas kita punya alasan untuk tertawa jika melihat betapa menggelikan tampang anak itu, tetapi kita ini tidak kelihatan aneh, jadi mengapa ia tertawa?" Mereka sangat keheranan dan merasa jengkel dengan hal yang mereka anggap sebagai kekurangajaran anak itu.
Engkau sering mengalami hal seperti ini di dunia, yaitu bela orang melihat orang lain yang cacat, kelihatan jelek, dan kurang sedap dipandang mata, ia kan menertawakannya. Tingkah laku yang kasar itu adalah tanda ketidaktahuan. Sangat berbeda dengan senyum nais seorang anak yang masih murni. Seorang anak kecil yang digendong ibunya mungkin akan tersenyum pada orang berdiri di belakang sang ibu. Bila anak itu tersenyum, semua orang yang melihatnya akan ikut tersenyum. Senyuman anak seperti itu, yang membuat semua orang ikut tersenyum, timbul dari kesucian hati yang murni. Tetapi dalam balai pertemuan tadi, ketawa para ulama sangat berbeda dengan senyum anak yang masih suci. Balairung itu dipadati oleh ulama yang amat terkenal, para sarjana dengan prestasi ilmiah yang luar biasa, tetapi kepolosan seorang anak tidak dapat dijumpai di situ.
Para hadirin masih bertanya-tanya mengapa anak muda yang aneh yang baru masuk itu tertawa demikian keras. Salah seorang ulama berkata kepada Astawakra, katanya, "Oh orang asing, siapakah engkau? Kami tidak mengenal engkau. Ketika engkau memasuki ruangan, penampilanmu membuat kami tertawa. Engkau membalas tertawa lebih keras lagi. Apa alasanmu tertawa seperti itu. Apa yang lucu pada para cendekiawan kenamaan yang duduk di sini sehingga engkau terus tertawa?" Astawakra menjawab, "Saya datang pada pertemuan ini karena mengira bahwa pertemuan ini adalah suatu pertemuan suci yang diadakan oleh Raja Janaka yang tersohor untuk membicarakan ajaran kitab suci. Kalau saja saya tahu orang-orang macam apa yang hadir dalam pertemuan ini, saya tidak akan bersusah payah datang. Saya telah menunggu dengan sabar selama berhari-hari lalu memasuki ruangan ini dengan perkiraan bahwa para ulama terbesarlah yang hadir. Saya ingin sekali dapat ikut berada bersama orang-orang suci seperti itu. Tetapi sayang, yang saya jumpai hanya tukang-tukang sepatu di sini, orang-orang yang memperbaiki sandal dan bekerja memakai kulit".
Ketika para ulama mendengar kata-kata yang kasar ini, mereka menjadi amat geram, mereka merasa amat terhina oleh perkataan Astawakra. Namun Astawakra melanjutkan berbicara dengan nada yang sama, "Tukang sepatu adalah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan kalian. Tidak lain dari tukang sepatu, orang yang bekerja memakai kulit binatanglah yang akan memikirkan nilai kulit; orang lain tidak akan menghiraukan kulit. Kalian semua menertawakan kulitku dan tentu menganggapnya tidak ada harganya, tidak ada seorang pun dari kalian yang berusaha mengetahui keahlianku. Seharusnya para cendekiawan mampu melihat ke dalam, namun kalian tampaknya hanya memperhatikan bungkus luarnya saja. Jika kalian belum mengembangkan pandangan ke dalam melainkan hanya mengutamakan bagian luar maka kalian sama sekali tidak dapat dinamakan cendikiawan. Jika demikian kalian hanya tukang sepatu, ahli tentang kulit." Demikian kata Astawakra. Para cendekiawan tertunduk malu. Raja Janaka yang memahami benar-benar makna perkataan Astawakra, mempersilahkan ia duduk dan setelah itu memberi banyak penghormatan kepadanya.
Seperti keadaan pada waktu itu, keadaan di dunia ini sekarang pun demikian pula. Bagaimana pun hebatnya seseorang, ia hanya memiliki pandangan lahir atau pandangan luar. Ia tidak berminat mengembangkan pandangan batin. Bila ia meneliti seseorang, ia hanya memperhatikan penampilan fisiknya, kekayaannya, kedudukannya, pendidikan, kersarjanaannya, dan sebagainya. Sebaliknya jika Tuhan meneliti seseorang, Beliau melihat kemurnian hatinya, Beliau memperhatikan kedamaian batinnya. Engkau pun harus mengembangkan pandangan batin seperti itu dan mencari kedamaian hati. Bagaimana pun keadaannya engkau tidak boleh cepat terbawa luapan emosi. Engkau harus memberi waktu sehingga perasaan yang lebih mulia timbul dari dalam dirimu dan terungkap.
Misalnya ada seseorang yang menghina atau menyakiti hatimu; apakah engkau kehilangan karena perbuatannya itu? Janganlah engkau bereaksi dengan luapan emosi. Jika engkau tetap tenang, seluruh kemarahan orang itu dapat tercurah dengan bebas. Tetapi jika engkau mencoba menghalangi perasaan orang itu dengan mencegahnya melepaskan kemarahannya, ini dapat menimbulkan situasi yang berbahaya. Contohnya, ada orang sakit; karena merasa mual maka ia muntah dan mengeluarkan semua isi perutnya. Apa yang menyebabkan ia sakit dan muntah? Tidak lain karena ada kotoran, ada racun yang masuk ke perutnya. Kalau ada kotoran maka akan ada kuman-kuman, akibatnya orang menjadi sakit dan kesehatannya menurun. Karena itu, perlu sekali kau jaga agar tubuhmu jangan sampai kumasukkan kotoran. Badan mempunyai kemampuan untuk segera memuntahkan dan mengeluarkan racun yang masuk. Bila badan bereaksi secara alamiah dengan memuntahkan racun, maka keliru kalau diberikan obat untuk menghentikan muntah. Bila diberi obat, racun itu tidak akan dimuntahkan, melainkan tetap tinggal dalam perut dan segera meracuni seluruh badan. Karena itu semua kotoran harus dibiarkan keluar dan jangan dihalangi dengan pemberian obat. Setelah semua kotoran keluar, barulah diberi obat.
Setelah muntah dan mualnya hilang, orang itu akan merasa sangat lemah. Maka ia akan mengerjakan apa pun yang engkau suruh; pada saat itulah ia akan patuh kepadamu. Jadi itulah cara yang terbaik yang harus dilaksanakan bila seseorang memuntahkan racun. Begitu juga bila seseorang sangat marah dan memuntahkan racun dalam bentuk kemarahan itu. Biarkanlah ia membuat seperti itu; jangan dihalangi. Apapun yang ia ingin ia katakan, biarlah ia keluarkan semuanya. Sampai marahnya keluar semua, engkau harus tetap tenang dan sabar. Mengapa engkau membiarkan dirimu ikut terbawa luapan emosi? Jika engkau tidak merasa jengkel, kesabaranmu akan menimbulkan perasaan damai dan kebahagiaan dalam hatimu. Ini suatu pengalaman surgawi; mengapa engkau tidak ingin menikmati kebahagiaan perasaan seperti itu?
Sifat sabar adalah sifat yang paling penting. Dari semua sifat baik manusia, kesabaran dan ketabahanlah yang paling utama. Swami telah berkali-kali mengatakan bahwa kesabaran dan ketabahan adalah kebenaran, kesabaran adalah kebajikan, kesabaran adalah tanpa kekerasan, kesabaran adalah kebahagiaan. Kesabaran sesungguhnya sama nilainya dengan apapun yang dapat kau jumpai di seluruh alam ini. Jika seseorang memiliki kesabaran dan ketabahan maka ia akan dapat memperoleh semua sifat penting yang lain seperti penguasaan pikiran, penguasaan nafsu, meninggalkan segala keinginan, keteguhan hati, iman, dan konsentrasi. Dalam bahas sansekerta sifat-sifat ini disebut sama, dama, uparati, titiksha, shraddha dan samadhana; semua sifat ini membentuk keadaan batin yang murni. Untuk membersihkan badan engkau menggunakan sabun dan air, bedak, dan berbagai wangi-wangian. Untuk mencapai kesucian batin engkau harus mengembangkan keenam mutiara spiritual tadi dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kesucian batin sangat penting; bahkan jauh lebih penting daripada kesucian badan. Tuhan ada di dalam dan di luar. Seluruh tempat Tuhan harus disucikan dan dikeramatkan, di dalam maupun di luar. Maka Tuhan yang bersemayam dalam dirimu akan melindungi engkau ke mana pun engkau pergi.
Dalam Sankhya Yoga Krishna mengajarkan sifat-sifat yang menjadikan kita seorang stithaprajna, seorang yang ideal, yang mantap dan kokoh dalam kebijaksanaan. Swami telah menyebutkan hal itu, namun beliau akan mengulangnya kembali, yaitu sebagai berikut:

Sama : kedamaian batin.
Dama : pengendalian indera atau nafsu.
Uparati : meniadakan keinginan.
Titiksha : tabah dalam segala keadaan; artinya, betapa pun besar cobaanmu bagaimana pun keadaannya, engkau tetap tabah, tidak terperdayakan dan tidak tergoyahkan.
Shraddha : kepercayaan yang kokoh pada ajaran kitab suci manapun, perkataan guru dan orang-orang suci yang agung yang telah lebih dulu menempuh bidang spiritual.
Samadhana : puas dan senang dalam segala keadaan serta selalu memusatkan pikiran.
Hanya bila engkau dapat memusatkan pikiran (samdhana), engkau dapat mengembangkan ketabahan dan keteguhan (titiksha). Hanya bila engkau memiliki keteguhan hati, engkau dapat mengembangkan iman yang kuat (shraddha). Kalau imanmu kuat, engkau akan mengalami perasaan yang suci dan dapat meniadakan keinginan (uparati). Hanya bila engkau muak pada benda-benda duniawi engkau akan memiliki pengendalian indera (Dama). Maka setelah engkau mencapai pengendalian indera, engkau akan mendapat keadaan batin (sama). Bila ada kedamaian batin maka terdapat kesucian lahir dan batin. Dan bila ada kesucian lahir batin maka timbul kesabaran yang tetap akan menjadi sifatmu, kemudian dengan sendirinya engkau akan berada dalam keadaan tentram dan damai. Karena itu engkau harus berusaha mengembangkan sifat-sifat utama ini karena amat penting untuk mencapai kemajuan rohani.
Dengan hanya menghafalkan ayat-ayat Gita ini engkau tidak akan mencapai kemajuan yang berarti. Di samping menghafal, satu atau dua petunjuk yang diberikan harus dilaksanakan. Hanya dengan demikianlah keharuman Gita akan meresap ke dalam hatimu. Swami mengharapkan agar semua ajaran mulia yang telah engkau dengan dan nikmati setiap hari ini engkau laksanakan sehingga sifat-sifat itu mengakar dalam hatimu dan dapat kau wujudkan sebagai bagian dari hidupmu sehari-hari.

PERCAKAPAN 32 KARMA YOGA - TIDAK INGIN MENIKMATI HASILNYA

PERCAKAPAN 32
KARMA YOGA - TIDAK INGIN MENIKMATI HASILNYA
Berulang kali Krishna berkata kepada Arjuna, "Arjuna, lakukan tugasmu. Lakukanlah pekerjaan yang benar. Tetapi jangan ingin menikmati hasil pekerjaanmu itu."
________________________________________
Di dunia ini semua pekerjaan dilakukan untuk memperoleh ganjaran atau dengan kata lain, untuk mendapat hasil. Jika pekerjaan itu tidak mendatangkan hasil, manusia tidak akan bekerja sama sekali. Apakah keberatan Krishna bila Arjuna menginginkan hasil pekerjaannya? Bila semua orang melakukan pekerjaan untuk mendapatkan hasil, apakah arti yang lebih mendalam ajaran Krishna kepada Arjuna untuk bekerja tanpa mengharapkan ganjaran? Tujuan Krishna adalah agar segala karma atau perbuatan yang dilakukan oleh Arjuna diubah menjadi yoga sehingga kegiatan itu membawanya menuju ke persatuan dengan Tuhan. Ajaran Krishna adalah agar perbuatan Arjuna tidak hanya berupa karma, tetapi kegiatan itu harus menjadi sarana bagi Arjuna untuk mencapai tujuan spiritualnya, dengan kata lain agar perbuatannya itu menjadi karma yoga.
Bila engkau melakukan perbuatan dengan kesadaran badan, yaitu bila engkau menyamakan dirimu dengan manusia yang berbuat, maka perbuatan itu tidak akan menjadi karma yoga. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan perasaan ego, merasa bahwa aku yang berbuat, atau dengan rasa keterikatan, yaitu merasa itu perbuatanku, maka semua perbuatan semacam itu hanya akan mengakibatkan kesedihan.
Perbuatan semacam itu hanya menyebabkan keterikatan yang lebih mendalam. Tetapi bila engkau mengubah perbuatanmu menjadi yoga, engkau akan terbebaskan dari ikatan. Bagaimanakah perbuatan itu bisa menjadi yoga? Semua perbuatan yang dilakukan sebagai persembahan kepada Tuhan, tanpa merasa diri sebagai pelaku, akan berubah menjadi yoga.
Berbagai macam kesulitan akan timbul bila manusia bekerja dengan rasa keakuan. Dalam batinmu mungkin engkau merasa, "Akulah yang melakukan pekerjaan ini maka aku harus menikmati hasilnya. Aku bekerja, jadi aku berhak mendapat bayaran. Tentu aku mempunyai hak atas ganjaran dari pekerjaan yang aku lakukan." Perasaan semacam itu hanya akan memperkuat rasa ego, rasa 'aku' dan 'punyaku'. Jika rasa 'aku' dan 'punyaku' makin menjadi-jadi, kebahagiaan atma akan semakin berkurang. Untuk menghancurkan egoisme, Krishna menyuruh Arjuna mengubah segala perbuatannya menjadi yoga.
Bagaimana caranya merubah perbuatan menjadi yoga? Engkau harus bersikap impersonal, tidak terpengaruh oleh perasaan pribadi; engkau harus memusatkan pikiran pada perbuatan dan tidak memikirkan hasilnya, sama sekali tidak berharap memetik hasilnya. Dengan rasa tidak menginginkan hasil itu engkau dapat menyelesaikan tugas apa pun. Misalnya ada contoh Raja Janaka. Dalam kehidupannya beliau menunjukkan bahwa jika manusia melakukan pekerjaan tanpa ingin memetik hasilnya dan tanpa kepentingan pribadi maka hasilnya akan sangat mulia. Sementara memerintah dan memikul tanggung jawab yang berkaitan dengan tugas itu, Raja Janaka melakukan segala kewajibannya dengan bersikap hanya sebagai saksi. Karena melakukan perbuatan tanpa terikat pada hasilnya maka beliau menjadi rajayogi, seorang raja yang suci dan seorang yogi. Setiap perbuatan yang dipersembahkan kepada Tuhan dan dilakukan tanpa kepentingan pribadi menjadi yajnya 'korban suci' dan karena itu dapat disebut yoga. Tetapi jika perbuatan itu dilakukan dengan rasa kepentingan pribadi dan rasa pamrih, maka ia tidak berbeda dengan roga, yaitu penyakit. Sumber penyakit semacam itu adalah keterikatan. Keterikatan menimbulkan kebencian dan kemarahan. Inilah setan-setan yang akan menutup sifat-sifat kemanusiaanmu.
Setiap orang demikian halnya bila raga dan dwesha atau dengan kata lain bila rasa suka dan benci mulai muncul dalam dirinya, perasaan itu akan menimbulkan segala kecenderungan yang jahat dan ia akan lupa pada sifat manusianya yang sejati. Karena itu Krishna memerintahkan kepada Arjuna, "Lakukanlah tugasmu tanpa rasa keterikatan. Jangan terpengaruh oleh perasaan pribadi. Bila engkau mengerjakan tugas tanpa disertai kepentingan pribadi, hasil pekerjaan itu tidak akan menyentuh engkau. Begitulah Aku mengatur tiga alam ini. Tidaknya engkau mampu mengatur satu keluarga seperti itu? Berusahalah meyakini bahwa jika engkau tidak mengharapkan ganjaran, engkau akan dapat menyelesaikan tugas-tugas yang besar dan mulia. Tetapi bila engkau mempunyai keterikatan dengan hasil pekerjaan, engkau akan menemui kekecewaan. Jika engkau mendapat hasil yang engkau harapkan, engkau akan gembira sekali. Jika engkau tidak berhasil, engkau bersedih hati. Berusahalah menguasai rasa sedih dan gembira itu. Jadilah seorang stithaprajna, orang yang benar-benar bijaksana. Jangan kau biarkan dirimu hanyut terbawa perasaan gembira dan sedih.
Tidak ada manusia yang tidak melakukan perbuatan. Setiap orang mempunyai badan manusia dengan tujuan yang jelas yaitu untuk bekerja. Untuk menyucikan badan, engkau harus melakukan hanya pekerjaan yang baik. Setiap perbuatan akan menghasilkan buah. Engkau harus menyadari bahwa kebahagiaan yang kau peroleh dalam melaksanakan pekerjaan jauh lebih besar daripada kebahagiaan dalam memetik buah perbuatan itu. Misalnya, suatu keluarga mengadakan puja, yaitu upacara suci. Selama kegiatan itu berlangsung, mereka tidak akan merasa lelah. Walaupun ada diantara mereka yang sedang menderita sakit panas, mereka tidak peduli; mereka asyik sepenuhnya dalam upacara itu. Pada saat-saat itu tidak seorang pun merasa lelah. Tetapi bila engkau mengunjungi keluarga itu setelah upacara tersebut usai, engkau akan melihat mereka semua kecapaian dan lesu.
Engkau mendapatkan kebahagiaan ketika melakukan suatu kegiatan, tetapi engkau tidak mengalami kebahagiaan seperti itu setelah pekerjaan itu selesai. Engkau tertipu oleh rasa bahwa ada kebahagiaan dalam memetik buah perbuatan. Tetapi sesungguhnya tidak ada kegembiraan apapun juga dalam hasil itu. Kebahagiaan yang kau kira kau dapatkan dari hasil perbuatan itu hanyalah bayangan; bayangan kebahagiaan yang sejati; hanya suatu khayalan. Bukan kebahagiaan abadi yang engkau cari. Bila perbuatan itu sendiri bersifat sementara dan fana, hasilnya pun hanya merupakan bayangan belaka.
Barangkali engkau mengira bahwa dengan beramal, ikut dalam berbagai upacara agama, atau dengan bertirakat, engkau akan mendapat mencapai surga. Tetapi Krishna mengatakan bahwa surga itu hanya sementara. Beliau berkata "Arjuna, ada yang lebih besar daripada surga. Aku tidak mengatakan bahwa engkau harus berhenti melakukan kurban suci, tirakad, melakukan upacara agama, dan sebagainya. Engkau harus melaksanakan hal-hal itu sebagai bagian dari tugasmu. Namun kerjakanlah semua tugasmu untuk kesejahteraan dunia. Jangan melakukan perbuatan atas dasar kepentingan pribadi. Lakukan setiap kegiatan dengan ikhlas, tanpa pamrih, dengan mengutamakan kedamaian, kesejahteraan, dan kemakmuran umat manusia. Jangan memikirkan soal mencapai surga; tujukan pikiranmu untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, melampaui surga. Surga hanya dapat dinikmati selama pahala kebajikanmu masih ada. Bila pahala itu habis engkau harus kembali ke bumi. Karena itu hentikanlah keinginanmu akan surga yang bersifat sementara dan tidak kekal. Tumbuhkanlah rasa dekat dan cinta kepada Tuhan. Manunggallah dengan Dia; itulah yang paling penting. Asas ketuhanan jauh lebih mulia daripada surga. Bila engkau mengerti rahasia karma dan melakukan segala perbuatanmu untuk tujuan yang baik, engkau akan dapat mencapai kesucian."
Bhagawad Gita tidak mengajarkan engkau agar engkau menjauhi tugas-tugas duniawi dan menjadi pertapa. Ada orang yang beranggapan bahwa seharusnya Gita tidak diajarkan kepada anak-anak sebab mungkin anak-anak itu akan mengira keduniawian ini harus ditinggalkan dan pergi ke hutan. Banyak orang menderita karena mempunyai pikiran yang keliru semacam itu. Tetapi banyak sekali yang mengajarkan Gita. Apakah mereka semua menjadi pertapa? Apakah mereka itu menjauhi keduniawian? Arjuna yang mendengar ajaran Bhagawad Gita langsung dari Krishna, apakah ia menjadi sanyasin? Arti yang mendalam ajaran Bhagawad Gita harus dimengerti dalam kaitannya dengan sifat manusia yang diungkapkan di dunia dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan ajaran Gita yang terpenting adalah untuk membawa kebijaksanaan yang tertinggi. Bhagawad Gita menjadikan Wedanta falsafat hidup dan meningkatkan kehidupan sehari-hari ke taraf wedanta. Gita tidak hanya mengajarkan falsafah dan kerohanian dalam kehidupan sehari-hari, tetapi Gita juga memasukkan kehidupan sehari-hari dalam falsafah dan kerohanian. Maka kerohanian dan kehidupan sehari-hari saling mengisi.
Kehidupan manusia tidak hanya menyangkut kegiatan sehari-hari dan kegiatan keduniawian; sama sekali tidak dimaksudkan untuk semata-mata memenuhi kebutuhan hidup. Bhagawad Gita mengajarkan kesucian hidup manusia; mengarahkan manusia untuk mencapai tujuannya yang terakhir. Gita mengajarkan manusia cara untuk mencari kehidupan di dunia sedemikian rupa sehingga ia dapat melampaui keadaan manusiawinya dan tidak terikat pada kelahiran selanjutnya. Engkau tidak akan terikat pada perbuatanmu bila lakukan tanpa pamrih, tanpa keinginan menikmati hasilnya. Bhagawad Gita mengajarkan pengalaman Anaasakti yang berarti "mengembangkan ketidakterikatan pada segala kegiatan dan kewajibanmu. Dengan Anaasakti ini perbuatanmu menjadi suci. Gita tidak mengajarkan agar engkau meninggalkan pekerjaan; sebaliknya Gita mengajarkan agar engkau melaksanakan tugas dan segala kegiatan sesuai dengan kedudukan dan fungsi dalam hidupmu. Tetapi engkau harus menjadikan tugas-tugas itu suci dengan mempersembahkannya kepada Tuhan.
Misalkan pekerjaan seorang juru masak. Ia melakukan tugasnya dengan baik dan masakannya akan enak bila perhatiannya ditujukan pada pekerjaan memasak itu. Tetapi kalau ia bekerja dengan hanya memikirkan soal gaji maka ia tidak akan memperhatikan pekerjaannya dan masakannya tidak akan enak. Namun jika ia memasak dengan pikiran Anaasakti, pekerjaannya menjadi pelayanan suci murni yang bermanfaat dan menyucikan, begitu pula bila engkau melakukan tugas, tugas apapun dengan penuh perhatian pada pekerjaan itu, kau lakukan sebagai persembahan kepada Tuhan, dan tanpa keinginan untuk menikmati hasilnya, dengan kata lain jika engkau mengerjakan pekerjaanmu dengan sikap Anaasakti maka pekerjaan itu akan menjadi suci dan mulia. Dengan sikap tidak menginginkan hasilnya, pekerjaanmu akan mantap dan engkau juga terus maju sehingga mencapai tujuan. Tetapi jika engkau mempunyai kepentingan pribadi dalam tugas yang engkau lakukan maka akan terjadi pasang surut pikiranmu akan berubah-ubah tidak mantap, dan keinginanmu akan tumbuh dengan cepatnya.
Krishna menjadikan Raja Janaka sebagai contoh yang ideal karena ia memerintahkan kerajaannya dengan sikap Anaasakti dan tanpa keterikatan sehingga mencapai kesempurnaan. Banyak orang yang hanya mempunyai pandangan keluar. Ada yang sudah mengembangkan pandangan ke dalam. Pandangan ke luar hanya melihat dunia maya di luar. Sedangkan pandangan ke dalam menyucikan pikiran dan mengisi hati sanubari dengan perasaan yang suci. Untuk mendapat pandangan ke dalam, sikap Anaasakti ini harus dikembangkan. Ada sebuah cerita mengenai hal ini.
Pada suatu hari ada seorang resi muda, Resi Suka, yang mengadakan perjalanan di sekitar Kota Mittilapura. Raja Janaka mendengar bahwa Resi Suka sedang berada dalam kerajaannya tetapi tidak tahu dimana tempat tinggalnya. Untuk itu ia mengirim beberapa orang guna menyelidiki tempat tinggal Suka. Hampir seminggu mereka berkeliling dalam kerajaan; akhirnya mereka dapat menemukan Resi Suka di sebuah dangau dalam hutan, dekat Kota Mittilapura. Janaka diiringi beberapa menterinya pergi menemui Suka. Janaka pergi ke sana tidak sebagai raja atau kaisar. Beliau pergi sebagai hamba Tuhan. Sudah lama Janaka meninggalkan rasa keakuannya dan sekarang Beliau bersikap sebagai sadhaka yang sederhana. Resi Suka sedang memberi ceramah kerohanian kepada murid-murid beliau. Dalam pertemuan itu Janaka berdiri sambil mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah petang tiba sebelum Janaka meninggalkan tempat itu Beliau menghampiri Resi Suka dan bertanya, "Swami, bolehkah saya ikut mendengarkan ceramah kerohanian ini setiap hari?" Resi Suka menjawab, "Janaka, kerohanian dan falsafah bukanlah milik pribadi seseorang. Siapa saja yang berminat, siapa saja yang senang mendengarkan ajaran ini, siapa saja ingin mencapai tujuan, berhak mendapat pengetahuan ini. Sudah tentu engkau boleh ikut. Silahkan datang!" Janaka kembali ke istana dan datang setiap hari mendengarkan ceramah itu.
Resi Suka ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Raja Janaka memiliki pandangan ke dalam, sedangkan kebanyakan orang hanya mempunyai pandangan keluar. Dengan tujuan ini beliau pindah ke tempat yang tinggi di dekat Mittilapura. Dari tempat itu tampak seluruh kota; di situ sang resi mendirikan gubuk kecil. Di tempat itu Resi Suka memberi pelajaran tentang Wedanta. Pada suatu hari, karena suatu tugas pemerintahan yang sangat penting, Raja Janaka terlambat datang. Resi Suka sengaja menunda ceramah beliau sampai Janaka datang. Resi Suka tidak memperhatikan orang banyak yang telah berkumpul menunggu ceramah dimulai. Untuk menunjukkan perhatiannya, Resi Suka bertanya pada beberapa orang, ingin mengetahui mengapa Raja Janaka belum datang. Di samping itu beliau menyuruh beberapa orang mencari berita mengapa raja terlambat. Resi sendiri berdiri di pinggir jalan menunggu kedatangan rombongan raja.
Orang-orang yang ada di sana mulai menggerutu. Para jemaah yang tua dan muda belia berbisik-bisik. Salah seorang berkata, "Lihatlah Resi Suka, beliau dianggap orang yang agung yang telah meninggalkan segala sesuatu, namun rupanya tidak benar. Sekarang beliau menunggu Raja Janaka. Semata-mata karena Janaka seorang raja, Resi Suka tidak memperhatikan kita dan sepertinya tidak mau memberi pelajaran kepada kita." Ada lagi yang berkata, "Coba lihat sikap Resi Suka yang aneh ini. Mengapa beliau terlalu mementingkan Raja? Bagi seorang resi, pantaskah membedakan raja atau orang biasa?" Resi Suka mendengarkan seluruh pembicaraan orang-orang itu. Sebenarnya beliau sengaja berbuat demikian untuk memberi pelajaran yang baik kepada mereka. Setengah jam telah berlalu. Dua jam lewat. Resi Suka masih menunggu kedatangan Janaka; sama sekali beliau tidak mau memulai ceramahnya.
Sementara itu orang-orang yang hatinya agak jahat, menunjukkan rasa dengki dan marahnya. Semua perasaan buruk yang ada dalam diri mereka, yang selama ini tersembunyi di dalam hati, sekarang mulai muncul keluar. Itulah yang diinginkan oleh Resi Suka karena hanya bila racun telah keluar dari hati mereka maka ajaran wedanta bisa masuk. Kalau kepala orang itu kosong, barulah ajaran suci bisa dimasukkan. Tetapi bila kepala orang penuh dengan pikiran-pikiran yang kotor, bagaimana ajaran suci bisa masuk? Tanpa lebih dulu mengosongkan kepala dari hal-hal yang buruk, hal-hal yang baik tidak bisa masuk. Maka Resi Suka menginginkan agar segala perasaan yang buruk ini keluar dan diungkapkan. Beliau ingin agar para murid beliau mencurahkan segala kotoran yang ada dalam pikiran dan perasaan mereka. Resi Suka tahu bila dalam pikiran mereka masih ada keterikatan dan perasaan yang buruk, ajaran beliau tidak akan terserap. Karena itu beliau membiarkan mereka mengalami proses pembersihan ini.
Sementara itu Janaka datang dengan cemas dan terburu-buru untuk menghadiri ceramah. Resi Suka melihat kedatangan Janaka. Dari jauh Janaka terlihat karena biasanya raja tidak datang tanpa pengiring. Walaupun Janaka tidak ingin membawa para menteri dan pembantu istana, namun mereka merasa perlu menjaga keamanan raja dan mengantarnya. Sesampainya di tempat ceramah, Janaka bersujud di hadapan guru dengan rendah hati mohon maaf atas keterlambatannya; kemudian raja membentangkan tikarnya dan duduk. Resi Suka segera memulai ceramah beliau. Para jemaah muda telah berkumpul dimana mulai merasa benci. Air muka mereka mulai berubah karena perasaan mereka terhadap Resi Suka dan Janaka. "Lihat Suka!" pikir mereka, "Beliau hanya ingin menyenangkan raja. Itulah ajaran wedantanya".
Resi Suka ingin memberi pelajaran kepada orang-orang yang berkumpul di sana yang mempunyai pikiran buruk seperti itu. Setelah ceramah beliau berjalan beberapa lama, tiba-tiba Resi berhenti dan berkata, "Janaka, lihatlah kerajaanmu. Kebakaran!" Raja Janaka yang dengan mata tertutup dan penuh konsentrasi mendengarkan ajaran suci, tidak memperhatikan kata-kata ini. Janaka memusatkan pikirannya kepada Wedanta, hanya pada Wedanta. Jemaah lain melihat api dan asap mengepul di atas kota. Beberapa dari mereka ingat akan keluarga dan hartanya lalu berlari menuju Mittilapura. Segala keterikatan yang bercokol dalam hati sanubarinya sekarang muncul ke permukaan dan jelas menampakkan diri. Beberapa saat kemudian Resi Suka memberitahu Janaka. "Janaka, api telah merembet ke istanamu." Janaka tidak juga memperhatikan perkataan Resi Suka; Janaka tidak bergerak dari tempat duduknya. Beliau memiliki rasa annasakti yang sejati, sama sekali tidak mempunyai keinginan dan minat pada segala hal yang bersifat duniawi. Minatnya hanya kepada atma; kecuali untuk manunggal dengan atma, Janaka tidak mempunyai keinginan lain.
Di antara mereka yang hadir dalam ceramah itu terdapat beberapa pendeta dan ulama yang terkenal luas. Resi Suka ingin menunjukkan kepada mereka bahwa mungkin mereka itu orang-orang pandai, tetapi mereka belum mampu menghilangkan keterikatannya. Ketika mereka melihat api, mereka ketakutan; mereka memohon kepada Raja Janaka, "Ya, Raja! Ya Raja!" Tetapi Janaka telah masuk dalam keadaan samadhi; beliau berbahagia dalam atma. Tampak kebahagiaan itu terpancar pada wajahnya. Janaka tidak tergoyahkan sedikit pun dari gagasan suci yang merupakan pemusatan pikirannya. Resi Suka mengamati keadaan Janaka dengan perasaan amat gembira. Setelah beberapa lama mereka lari ke Mittilapura kembali dan memberitahukan bahwa sebenarnya tidak ada kebakaran sama sekali. Lalu Resi Suka menjelaskan kepada mereka arti peristiwa yang telah terjadi.
Resi Suka berkata, "Baiklah anak-anakku, aku menunda dan tidak memulai pelajaran selama dua jam bukan karena Janaka itu seorang raja dan orang yang penting. Aku menunda karena Raja Janaka patut dihargai sebagai sishya yang sejati, dan aku merasa perlu menunggu orang seperti beliau karena beliau raja telah menghapuskan keakuan dan kebanggaan, karena memiliki kerendahan hati dan pengabdian, beliau mempunyai hak untuk menunda pelajaran itu. Engkau mendengarkan, tetapi engkau tidak mendengar apa yang dikatakan atau tidak mengamalkannya; karena itu engkau tidak punya kekuasaan seperti itu. Dari pada aku mengajar ratusan orang yang tidak berusaha mengamalkan ajaran ini, lebih baik aku mengajar satu orang yang betul-betul patut diajar, karena ia melaksanakan petuah ini dalam kehidupan sehari-hari. Apa gunanya mengajar orang yang diliputi oleh rasa keterikatan dan keakuan? Sama halnya dengan melempar batu ke dalam air. Bertahun-tahun batu itu berada dalam air, tetapi tidak setitik air pun terisap oleh batu itu. Seandainya pun aku hanya mempunyai satu murid seperti Janaka, bagiku cukup untuk memulai. Untuk apa mempunyai banyak batu yang bersinar tetapi tidak ada gunanya. Kalau ada satu batu permata yang benar-benar berharga, itu sudah cukup. Untuk apa tanah seluas sepuluh are tetapi gersang, cukup sepetak kecil, tetapi subur dan banyak menghasilkan. Jika seorang raja seperti Janaka dapat menjadi suci maka Beliau dapat mengubah seluruh kerajaannya dan menjadikannya kerajaan yang suci, sebagai contoh bagi seluruh dunia," Suka ingin menjadikan Raja Janaka seorang raja yang suci, seorang rajayogi dan bersamaan dengan itu memberikan pelajaran yang berharga kepada murid-murid congkak yang berkumpul di sekelilingnya.
Demikian pula maksud Krishna mengajarkan Gita kepada Arjuna. Arjuna juga seorang yang suci dan membuat dirinya layak menerima pelajaran itu karena watak dan cita-citanya yang luhur. Arjuna dapat menguasai nafsunya; dengan melaksanakan tapa, Arjuna mendapat kekuatan batin. Arjuna mempunyai kemampuan untuk mengatasi keterikatan duniawinya. Ia sangat cerdas dan mempunyai berbagai keahlian. Ia telah menyerahkan dirinya kepada Krishna dengan penuh kerendahan hati. Krishna menganggap Arjuna telah siap untuk menerima kebijaksanaan ini dan ingin menjadikannya seorang stithaprajna. Dengan maksud bahwa bila Arjuna dapat diperbaiki, seluruh dunia akan memperoleh manfaatnya, Krishna bersungguh-sungguh memberikan ajaran suci ini kepada Arjuna. Arjuna mempunyai kemampuan dan kebajikan untuk mencapai tingkat spiritual yang tinggi. Karena itulah ia diberi beberapa gelar.
Arjuna berarti manusia yang murni; nama lain berarti mempunyai hati yang suci; ada lagi yang berarti permata manusia. Ia mempunyai kemampuan yang demikian tinggi sehingga bila ia menghendaki ia dapat berbuat sesuatu yang bisa menggentarkan seluruh dunia; namun perbuatannya Selalu bersih, sesuai dengan darma. Ia memperoleh hak untuk menggunakan senjata yang bahkan tidak dapat dipegang oleh orang lain pada zamannya. Mula-mula senjata tersebut milik Shiwa. Senjata yang sangat ampuh itu, yang merupakan milik Shiwa pada zaman Threta, dan kemudian dimiliki oleh Raja Janaka, menjadi gandiwa pada zaman Dwapara. Dengan rahmat Shiwa, Arjuna mampu memperoleh senjata yang hebat itu. Krishna memilih seorang kesatria utama dan telah menjadi kehendak Beliau bahwa dengan mengajarkan Gita kepada Arjuna, seluruh dunia akan dapat memperoleh manfaatnya.
Seperti makanan, melalui mulut makanan itu kau berikan kepada perut. Lalu dari perut makanan itu beredar ke seluruh tubuh. Maka seperti halnya makanan itu mencapai seluruh bagian badan bila diberikan kepada perut, Gita diajarkan kepada seorang yang suci dan tidak mementingkan diri sendiri seperti Arjuna sehingga ajaran itu mencapai seluruh dunia. Salah satu nama Arjuna adalah Parthiwa yang artinya 'putra bumi'. Engkau semua adalah putra bumi. Karena Arjuna dapat dianggap sebagai tokoh terkenal yang mewakili umat manusia, maka dengan menjadikan dia seorang suci, Krishna merasa bahwa lambat laun seluruh dunia akan dapat diubah.
Dibandingkan dengan perbuatan biasa yang dilakukan dengan anggapan bahwa engkau adalah pelakunya, pekerjaan yang dilakukan tanpa keinginan untuk menikmati hasilnya, yaitu nishkama karma, jauh lebih agung. Anaasakti karma, yaitu perbuatan yang tanpa pamrih sepenuhnya, dilakukan tanpa dipengaruhi oleh perasaan pribadi dan tanpa keterikatan, bahkan jauh lebih agung daripada nishkama karma. Tetapi bila perbuatan itu seluruhnya dipersembahkan kepada Tuhan, bila karma itu menjadi yadnya atau kurban suci, maka perbuatan itu bahkan lebih suci lagi daripada yang lain-lain. Maka Krishna menyuruh Arjuna agar mempersembahkan segala perbuatannya kepada Tuhan. Ketika Arjuna telah mencapai tingkat evolusi ini, yaitu pada waktu Arjuna mempersembahkan seluruh perbuatannya kepada Tuhan, Krishna mulai mengajarkan Gita kepadanya.
Pada tahap pertama setiap manusia harus melaksanakan karma dan giat melakukan tugas sesuai dengan kemampuannya. Kita harus melakukan pekerjaan agar tidak menjadi malas. Orang malas sama sekali tidak berguna bagi masyarakat. Swami tidak senang dan tidak menganjurkan siapa saja bermalas-malasan. Pertama, engkau harus melakukan karma biasa. Kemudian engkau melakukan nishkama karma. Perlahan-lahan engkau mengubahnya menjadi yoga. Akhirnya yoga itu menjadi yajnya. Setelah menjadi yajnya engkau sudah meninggalkan segala-galanya. Mengubah karma menjadi yajnya dan mengubah kerja menjadi ibadah, adalah inti Bhagawad Gita.
Untuk melenyapkan sifat mementingkan diri, egoisme, kecongkakan, kebanggaan, rasa kepemilikan, keterikatan, kebencian, dan sifat-sifat beracun lainnya itulah ajaran Gita dalam wujud beraneka ragam telah membantu bermacam-macam manusia mengembangkan sifat yang suci. Gita dapat diumpamakan sebagai pohon yang mengabulkan segala keinginan. Apa pun yang engkau minta atau inginkan dari Gita akan diberi olehnya. Makna atau pengertian yang diberikan pada ajaran yang berbeda-beda dalam Gita tergantung pada pandangan dan tingkat persiapan spiritualmu. Tidak seorang pun dapat berkata bahwa ia mengetahui arti yang benar suatu ayat tertentu. Tidak seorang pun mempunyai wewenang untuk mengatakan bahwa tafsirnyalah yang benar. Ajaran Gita dapat digunakan oleh peminat kehidupan rohani pada tingkat apa saja. Karena itu Gita dapat dikatakan sebagai jantung hati Wedanta; Gita adalah intisarinya. Gita merupakan peti yang berisi emas; Gita adalah ibarat jalan penuh kembang; Gita memberi kekuatan kepada pencari kebenaran dan pengabdian yang tekun; Gita menolong mereka agar mampu mengarungi lautan kehidupan duniawi ini; Gita membantu mereka mengatasi segala kesulitan dan mencapai tujuan. Orang yang tidak memperdulikan ajaran Gita akan kehilangan kesempatan untuk mengetahui tujuan hidupnya.
Bagaimana pun perasaan seseorang, makna yang akan diperolehnya dari Gita akan sesuai dengan tingkat perkembangan spiritualnya. Misalnya, sebelum pembicaraan ini dimulai, pendeta mengucapkan mantra, "Suklam bhardharam Vishnum...." 'Kepada Wishnu yang berpakaian putih...' Vishnu artinya 'yang memenuhi segala sesuatu'; Beliau ada di mana-mana. Wishnu dikatakan berwarna seperti abu. Beliau juga digambarkan mempunyai warna seperti bulan, kebiru-biruan yang sama artinya dengan warna abu. Wishnu juga digambarkan mempunyai empat tangan dan wajah yang sangat rupawan dan suci. Wajah yang tidak menunjukkan luapan rasa gembira atau sedih. Itulah perasaan orang yang bertakwa dan dengan keadaan seperti itulah mereka berdoa kepada Tuhan. Tetapi orang-orang yang tidak bertakwa mungkin menggunakan kata-kata itu juga, walaupun citra yang mereka gambarkan dengan kata-kata ini mungkin sangat berbeda.
Suklam bhardharam berarti pula 'orang yang membawa pakaian putih'. Dalam keadaan apa pun engkau melihatnya, ini tidak memperlihatkan perasaan apa pun. Ia berwarna abu dan ia mempunayi empat anggota badan. Engkau dapat mengambil sifat-sifat itu lalu merangkumnya dan mengatakan bahwa kata-kata itu menggambarkan keledai. Keledai membawa pakaian putih dari tukang cuci, keledai mempunyai empat kaki, badan berwarna abu, dan wajah yang menarik. Ia tidak bertambat pada suatu tempat, engkau dapat melihatnya mondar-mandir di jalanan, di depan rumah, atau di mana saja. Itulah arti suklam bhardharam yang diberikan oleh orang yang tidak percaya. Apakah kata-kata itu melukiskan Tuhan atau seekor keledai tergantung pada bagaimana engkau memandangnya, apakah engkau seorang bakta atau bukan, dan apakah engkau menaruh perhatian terhadap masalah spiritual atau tidak.
Begitu pula Gita memberikan arti yang berbeda-beda kepada berbagai jenis manusia. Berdasarkan pada keadaan perasaanmu, makna yang engkau dapatkan akan sesuai dengan tingkat yang telah engkau capai dalam kehidupan rohani. Karena itu, Gita adalah pohon besar yang mengabulkan setiap keinginan. Ia merupakan sapi suci, memberikan susu berlimpah-limpah. Engkau dapat menerima ajaran apa pun dari Gita dan makna apa pun yang engkau kehendaki. Di laut terdapat banyak air, tetapi air yang dapat engkau ambil dari pantai tergantung pada besarnya tempat yang engkau bawa. Airnya sama yang berbeda hanya ukuran atau besar tempatnya. Begitu pula mungkin perasaanmu berbeda-beda, tetapi Bhagawad Gita tetap satu. Sifat dasarnya sama bagi semua orang; tujuannya yang suci ialah mengubah kemanusiaan menjadi ketuhanan. Engkau tidak boleh meremehkan kitab suci semacam itu. Engkau harus mendalami Gita dengan rasa bakti yang mendalam dan tekad untuk melaksanakan petunjuknya sepanjang hidupmu. Engkau harus mengidungkan ayat-ayatnya dengan perasaan yang sungguh-sungguh ikhlas dan pengertian yang baik. Dan engkau harus setiap hari mengamalkan sekurang-kurangnya satu atau dua ajaran yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian engkau akan mencapai kesempurnaan dalam hidupmu.

PERCAKAPAN 31 LAKUKAN TUGASMU SELALU DAN SUCIKAN SEGALA PERBUATANMU

PERCAKAPAN 31
LAKUKAN TUGASMU SELALU DAN SUCIKAN SEGALA PERBUATANMU
Krishna berkata, "Arjuna, engkau mempunyai tugas. Kerjakanlah! Tetapi jangan ingin menikmati hasil dari pekerjaanmu itu." Krishna tidak mengatakan bahwa tidak akan ada hasilnya. Pasti buahnya ada, tetapi buah itu bukan urusanmu; engkau tidak boleh menginginkannya. Karena itu, inti ajaran Krishna adalah engkau harus mengerjakan tugasmu, namun engkau harus melakukannya tanpa membayangkan hasilnya.
________________________________________
Setiap perbuatan mempunyai akibat atau hasil; dengan kata lain setiap perbuatan ada buahnya. Selanjutnya, buah itu melahirkan perbuatan baru. Rentetan perbuatan dan hasil, hasil dan perbuatan, yang tiada putusnya ini mewujud seperti rentetan benih dan pohon. Benih dan pohon juga timbul bergantian, benih menjadi pohon dan pohon menghasilkan buah atau benih. Tanpa benih engkau tidak bisa mendapat pohon dan tanpa pohon engkau tidak bisa mendapat benih. Begitu pula dengan perbuatan dan hasilnya. Ini merupakan siklus yang alamiah di dunia. Kalau demikian halnya, yang satu selalu mengikuti yang lain, mengapa engkau menaruh perhatian khusus pada buahnya? Tugas dan kewajibanmu adalah melakukan perbuatan yang baik tanpa memperhatikan hasilnya. Krishna berkata kepada Arjuna, "Dalam perang ini engkau tidak perlu merisaukan apa yang akan terjadi dengan bangsamu atau apa yang akan terjadi padamu. Lakukanlah tugasmu tanpa memikirkan hasilnya."
Dalam peperangan, prajurit memakai tameng dan baju perang. Barang-barang itu melindungi mereka dari senjata yang dilepaskan oleh musuh. Dalam perjuangan spiritual, engkau pun harus memakai semacam tameng dan baju perang. Dalam hal ini tamengnya adalah bakti dan kasih kepada Tuhan, dan baju perangnya adalah kebijaksanaan. Dalam perang biasa yang berhubungan dengan keduniawian, pertempurannya mungkin hanya berlangsung beberapa hari atau mungkin berlanjut sampai beberapa bulan, bahkan beberapa tahun, tetapi perjuangan spiritual berlangsung terus, tidak ada akhirnya. Perjuangan ini telah dilakukan oleh umat manusia sejak purbakala. Sejak zaman dahulu selalu ada pergulatan antara baik dan buruk, antara kebajikan dan perbuatan dosa, antara keterikatan dan kebebasan; manusia tak henti-hentinya berperang melawan perasaan keakuan dan kepemilikan, melawan perasaan benci dan cemburu, dan sifat-sifat buruk lain yang ada dalam dirinya. Egoisme dan keterikatan, khususnya, mempunyai kekuatan yang luar biasa; sifat-sifat itu amat berbahaya. Dibandingkan dengan sifat-sifat itu, orang yang melawannya tidak begitu kuat; ia sangat lemah. Bila orang yang lemah mencoba melawan musuh dan sifat yang begitu kuat, ia harus memakai tameng dan baju perang yang kuat sekali, Tameng dan baju perang yang ampuh yang harus engkau pakai dalam perjuangan spiritual ini adalah bakti dan kebijaksanaan; tameng semacam itu akan melindungi engkau dari musuh yang amat hebat.
Jika engkau memakai payung, engkau tidak akan terganggu oleh panas matahari. Bila engkau memakai sandal atau sepatu, engkau tidak khawatir akan menginjak duri. Bila engkau memakai tameng dan baju perang, engkau tidak akan takut menghadang senjata musuh. "Karena itu Arjuna," kata Krishna, "Dalam perjuangan batin ini engkau harus memakai tameng dan baju perang spiritual." Dalam Sankhya Yoga Krishna memberi Arjuna baju perang kebijaksanaan. Itulah ajaran pertama yang diberikan oleh Krishna. Ia berkata kepada Arjuna, "Segala keterikatanmu, segala keinginan untuk memiliki berbagai hal, bukan suatu kecenderungan yang baru engkau dapatkan kemarin atau kemarin dulu; kecenderungan itu telah ada dalam dirimu pada kelahiran-kelahiran sebelumnya, dan merekalah yang menjadi sumber kesengsaraan yang engkau alami.
Engkau tidak akan tahu kapan akhirnya engkau mampu melepaskan dirimu dari kesengsaraan yang disebabkan oleh hal itu. Tetapi jangan terlalu khawatir tentang hal ini. Jauh lebih baik jika engkau memusatkan pikiran untuk mengatasi kesedihan yang mungkin timbul di masa yang akan datang.
"Lazimnya engkau pergi ke dokter bila menderita sakit, tetapi jauh lebih penting bila pertama-tama engkau berusaha mencegah agar tidak terserang penyakit. Kata orang, pencegahan jauh lebih berharga daripada pengobatan. Dalam peperangan yang akan berlangsung ini engkau telah memakai baju perang. Baju itu dapat melindungi tubuhmu terhadap serangan musuh dari luar, tetapi bagaimana engkau dapat melindungi dirimu dari serangan musuh yang ada dalam dirimu sendiri? Untuk menyelamatkan dirimu engkau harus memakai baju kebijaksanaan. Engkau takut kepada musuh dari luar, tetapi engkau sama sekali tidak memikirkan musuh dalam dirimu. Jika engkau menyerah kepada musuh dalam dirimu, engkau tidak akan mampu menaklukkan musuh dari luar. Karena itu, pertama engkau harus mengalahkan musuh yang ada di dalam dirimu."
Sejak zaman dahulu musuh dalam diri sendiri ini telah mengalahkan manusia dan menyebabkan manusia menderita kesengsaraan. Selama engkau diliputi oleh egoisme dan keterikatan, engkau tidak akan dapat membebaskan dirimu dari kesedihan dan kesengsaraan itu. Selama ini engkau telah melakukan perbuatan yang keliru dan itulah yang menyebabkan segala penderitaanmu. Apakah ini berarti engkau harus menjauhkan diri dari segala kegiatan dan perbuatan? Tidak. Tidak ada pilihan lain kecuali berbuat; engkau haus melakukan perbuatan dan engkau bebas menikmati perbuatanmu itu, tetapi engkau harus melakukan segala perbuatanmu dengan benar. Karena itu penting sekali bagimu memahami prinsip-prinsip dengan benar.
Perbuatan adalah karma. Setia orang lahir dalam karma, hidup dalam karma, dan mati dalam karma. Karmalah sumber baik atau buruk, dosa atau kebajikan, laba atau rugi, kebahagiaan atau kesedihan; sebenarnya, karmalah penyebab kelahiranmu. Karma sesungguhnya adalah pencipta manusia. Karena itu engkau harus sangat berhati-hati dengan perbuatanmu. Seluruh hidupmu berkaitan dengan perbuatanmu. Karena itu engkau harus mengetahui pentingnya perbuatan dan lakukanlah segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Jangan mengira bahwa perbuatan itu soal yang tidak berarti. Mungkin permulaannya merupakan bibit pohon yang kecil, tetapi lama kelamaan ia akan menjadi pohon yang besar. Sebelum sebuah benih menjadi pohon, ia harus menembus keluar dari tanah tempat ia ditanamkan. Kemudian setelah menjadi pohon yang besar, ia memberikan buahnya kepadamu. Apakah buah itu memberikan kebahagiaan atau kesengsaraan kepadamu tergantung kepada benih yang engkau tanam. Untuk mendapat buah yang terbaik benih perbuatan yang engkau lakukan harus menembus tanah egoisme sehingga perbuatan itu dapat diubah menjadi yoga. Kemudian engkau akan memetik buah kebijaksanaan.
Apakah sumber egoisme itu? Mengapa engkau memiliki rasa keakuan? Egoisme timbul karena ketidaktahuan yang meliputi manusia. Setiap orang harus memikirkan sendiri dari mana asal keakuan itu, dari mana datangnya dan kemana perginya. Perhatikanlah contoh ini. Cahaya merambat dengan kecepatan 670 juta mil (kira-kira 1.132 juta km) per jam; dengan kelajuan ini cahaya merambat dengan kecepatan satu triliun mil setahun (kira-kira 1,6 triliun km). Kita menganggap matahari sangat dekat; jarak antara bumi dan matahari kira-kira 90 juta mil (kira-kira 152 juta km). Bagi kita cahaya matahari luar biasa terangnya, tetapi cahaya ini hanya dari satu matahari. Di langit ada milyaran matahari dan bintang; jarak ke bintang yang terdekat hampir 4 tahun cahaya atau kira-kira 23-24 triliun mil.
Bintang-bintang itu tampak sangat berdekatan satu dengan yang lain, tetapi sesungguhnya jarak antara dua bintang masa saja tidak kurang dari berpuluh-puluh triliun mil. Kerumunan bintan tampak seperti susu yang ditumpahkan di langit. Bintang yang dapat dilihat manusia dengan teleskop jumlahnya bermiliar-miliar. Masih banyak yang tidak dapat dilihat. Apa arti ukuran bumi kita ini jika dibandingkan dengan luas alam semesta yang berisi bermiliar-miliar bintang, tersebar di antara jarak bermiliar-miliar mil? Apa artinya bumi dalam tata surya dengan mataharinya, sedangkan matahari ini hanyalah salah satu bintang dari bermiliar-miliar bintang? Di bumi ini, betapa tidak berarti ukuran negara India. Apa artinya negara bagian Andhra Pradesh? Dalam negara bagian itu, betapa kecil distrik yang kita diami ini? Dan lebih kecil lagi kampung ini. Kemudian betapa kecil dirimu dibandingkan dengan luas kampung ini? Bila alam semesta ini demikian luas dan engkau demikian kecil, apa artinya rasa keakuanmu itu? Jika engkau betul-betul menyadari kemahaluasan alam semesta dihubungkan dengan ukuranmu yang amat sangat kecil, maka engkau mempunyai pikiran dungu seperti itu.
Mungkin engkau membanggakan badanmu. Tetapi badan itu hanya terdiri dari lima unsur. Pada suatu ketika badan itu akan musnah. Hanya penghuninya yang tetap. Ia tidak lahir dan tidak mati, ia tidak tumbuh dan tidak membusuk. Di mana-mana ia bersinar. Yang Maha Esa ini memancarkan kecemerlangan-Nya di seluruh alam. Telah dikatakan bahwa dalam keadaan tidak ada kedamaian pun sebenarnya ada kedamaian karena di balik segala sesuatu terdapat cahaya ini. Cahaya itu adalah paramjyohi 'nyala abadi yang selalu bersinar dalam diri kita'. Ia adalah penghuni dalam badan yang lembam ini. Lihatlah penghuni ini maka engkau tidak disesatkan oleh rasa sombong dan egoisme. Carilah yang kekal dan abadi; berlindunglah pada kaki suci Tuhan. Jangan terus menerus memikirkan badan dan merasa sombong. Badan ini penuh dengan penyakit dan selalu mengalami perubahan. Ia tidak mampu mengarungi lautan kehidupan dan tetap utuh. Badan ini hanya barang yang lembam; ia tidak lebih dari tujuh ember air, besi dari empat batang paku sepanjang lima sentimeter, fosfor dari 1.100 batang korek api, karbon (arang) yang terdapat pada empat pensil dan dua batang sabun. Bila engkau campur semua itu ditambah beberapa bahan lain, maka akan engkau dapatkan sebuah badan. Demikianlah badan hanya terdiri dari bahan yang lembam itu, tetapi ia dapat bergerak dan tampak hidup karena adanya penghuni di dalam.
Perhatikanlah jam dinding yang tergantung di tembok. Jam itu mempunyai tiga jarum; Jarum detik, jarum menit, dan jarum yang menunjukkan jam. Bila engkau memutar kuncinya, ketiga jarum itu akan bergerak sesuai dengan kecepatan masing-masing. Berapa lamakah jarum-jarum itu akan bergerak seperti itu? Jarum-jarum itu terus bergerak selama masih ada kekuatan per yang menjadi sumber tenaga. Pada saat tenaga itu habis, jarum-jarum itu akan berhenti pada tempatnya masing-masing. Badanmu dapat dibandingkan dengan jam dinding. Napas dapat dibandingkan dengan pegas. Perbuatanmu dapat dibandingkan dengan jarum detik, perasaanmu sebagai jarum menit, dan kebahagiaanmu ibarat jarum pendek. Kekuatan Tuhan yang ada di dalamlah yang memberi tenaga dan kehidupan pada semua itu. Dari contoh jam tersebut engkau dapat menjawab pertanyaan mengapa engkau berbuat sesuatu. Engkau ketahui bahwa jarum detik yang dapat diibaratkan sebagai perbuatanmu, bergerak sangat cepat dan membuat satu putaran selama 60 detik. Pada saat itu jarum menit yang merupakan perasaanmu bergerak sepernampuluh putaran. Dan hanya bila jarum detik telah membuat enam puluh putaran yang masing-masing berjumlah enam puluh detik, dan bila jarum menit telah membuat satu putaran, jarum pendek yang ibaratkan sebagai kegembiraan dan kebahagiaan suci, akan bergerak satu titik. Jarum pendek bergerak sangat lambat sehingga tidak kentara, walaupun engkau dapat melihat gerakan jarum menit dan jarum detik. Ada suatu rahasia dalam hal ini. Satu kali dalam satu jam ketiga jarum itu akan berimpit. Bila perbuatan yang dihubungkan dengan badan dan alam, dan bila kebahagiaan yang dikaitkan dengan Tuhan, semuanya bertemu, maka engkau akan mengalami manunggalnya manusia, alam dan Tuhan.
Alam digambarkan sebagai medan kegiatan; tempat itu memberi kesempatan kepada manusia untuk menyucikan pekerjaannya dan mencapai tujuan. Bila engkau melaksanakan 60 perbuatan yang baik, akan timbul satu perasaan yang baik. Karena itu untuk mendapatkan satu perasaan yang baik engkau harus melaksanakan begitu banyak perbuatan yang baik. Dan hanya bila engkau mempunyai 60 perasaan yang baik seperti itu, engkau bergerak selangkah seperti jarum pendek, yaitu mengalami suatu kebahagiaan yang sejati. Karena itu Krishna menyuruh Arjuna agar melakukan perbuatan-perbuatan yang baik. Bila engkau melakukan perbuatan baik yang tidak terhitung jumlahnya, kemungkinan engkau akan mengalami satu atau dua kali perasaan baik yang sangat memuaskan dan menetap dalam batinmu. Dan hanya bila engkau banyak mengalami perasaan yang baik seperti itu, engkau dapat mencapai kebahagiaan yang merupakan keadaan atma yang abadi. Karena itu, engkau harus banyak melakukan perbuatan yang baik. Badan telah diberikan kepadamu dengan tujuan khusus untuk melakukan perbuatan yang baik. Tidak mungkin (manusia) tinggal diam barang sesaat pun. Itulah sebabnya karma Kanda 'pelaksanaan kegiatan suci' termasuk upacara dan ritus persembahyangan sangat ditekankan dalam kitab suci Weda. Tetapi Karma Kanda tidak hanya mengajarkan tentang beramal, bertirakat, dan melaksanakan kurban suci. Di antara berbagai perbuatan yang diajarkan dalam karma Kanda, banyak yang harus dilakukan tanpa menginginkan hasilnya. Itulah yang dimaksud dengan karma yoga, yaitu melakukan perbuatan tanpa mengharapkan hasilnya.
Bila perbuatan dilakukan tanpa pamrih dan tanpa rasa keakuan, maka perbuatan itu dapat disebut karma yoga. Hilangkanlah rasa keakuan itu. Enyahkanlah sifat itu. Hilangkan keinginan untuk menikmati buahnya. Bila engkau melakukan perbuatan dengan sikap itu, perbuatan itu menjadi yajnya, bekerja dengan semangat pengorbanan, ini menjadi tapa atau penebusan dosa, dan menjadi yoga. Ketiga hal ini: yajnya, tapa, dan yoga, mempunyai pengertian yang sama. Setiap perbuatan yang dilakukan manusia harus disucikan seperti itu. Bernapas pun adalah suatu perbuatan; tanpa malakukan karma manusia tidak dapat hidup sedetik pun di dunia ini. Tetapi karma yang didasari oleh ego selalu akan sempit dan merusak, karena itu lakukanlah segala pekerjaan hanya dengan rasa pengorbanan dalam hatimu. Apakah hasilnya baik atau buruk, bermanfaat atau merugikan, tergantung pada jenis perbuatan yang engkau lakukan. Perbuatan itu sendiri tergantung pada perasaanmu. Selanjutnya perasaan itu tergantung pada pikiranmu. Dan pikiran tergantung pada makanan yang engkau makan. Karena itu urut-urutannya adalah: makanan menimbulkan pikiran, pikiran menimbulkan perasaan, kemudian menimbulkan perbuatan, dan akhirnya menimbulkan hasil. Maka jelaslah perlunya makan makanan yang suci, yang bersifat satvik. Inilah contohnya.
Misalnya engkau membuat api dalam melaksanakan upacara Weda. Asap yang keluar akan tergantung pada jenis api yang engkau buat. Asap yang mengepul itu akan menimbulkan awan. Uap air memadat dalam awan dan akan terjadi titik hujan. Tanaman tergantung pada hujan. Makanan yang dimakan tergantung pada tanaman. Akhirnya badanmu karena sama dengan makanan, tergantung pada makanan yang kau makan. Karena itu, makanan pun dapat ditelusuri kembali asalnya dari perbuatanmu, dalam hal ini, dari api yang engkau buat dan yajnya 'korban api' yang engkau persembahkan. Jika perbuatanmu baik maka kelahiranmu akan baik pula. Perbuatanmulah penyebab yang pertama dan kelahiran merupakan hasil terakhir. Dalam hubungan ini Krishna berkata, "Curahkan seluruh perhatianmu untuk melakukan perbuatan yang baik dan jangan kau perhatikan hasilnya." Hasil akan timbul dengan sendirinya, tetapi engkau harus memusatkan pikiran pada perbuatannya.
Dahulu engkau telah melakukan hal yang baik dan buruk, sebagai hasilnya kini engkau menikmati atau menderita akibatnya dalam bentuk kebahagiaan atau kesedihan. Bagaimana caranya menghilangkan kesedihan akibat perbuatan burukmu dahulu? Hanya dengan berbuat kebaikan engkau dapat menghilangkan penderitaan dan kesedihan ini. Itulah sebabnya mengapa perbuatan sangat penting adalah ajaran Weda. Perbuatan buruk harus diganti dengan perbuatan baik, dan akhirnya menjadi perbuatan tanpa pamrih, tidak ada kepentingan pribadi untuk menikmati hasilnya; dengan demikian perbuatan itu akan menjadi karma yoga dan membuat engkau manunggal dengan Tuhan. Jika engkau ceroboh atau menyia-nyiakan perbuatanmu, seluruh hidupmu akan sia-sia. Engkau diberi kehidupan agar dapat malakukan karma yang baik dan perbuatan yang ideal. Karma tidak berarti hanya melakukan kegiatan dengan badan. Karma adalah nama badan itu sendiri. Karena badan itu lahir sebagai akibat perbuatan yang dilakukan sebelumnya, salah satu arti karma ialah badan.
Badan adalah hasil perbuatan; ia ada hubungannya dengan waktu, keadaan, dan hal yang menyebabkannya. Tetapi ini hanya berlaku pada keadaan jaga. Dalam keadaan mimpi badan itu tidak giat, jadi tidak ada kegiatan sama sekali; hanya ada khayalan maya. Dalam mimpi semua indera tidak berfungsi. Dalam keadaan tidur nyenyak yang dinamakan alam kausal, bahkan pikiran tidak berfungsi. Di luar alam ini terdapat alam asal yang maha besar, mahakarana, yang melebihi alam kausal. Itulah ketuhanan. Uraian berikut dan akan menjelaskan hal itu.
Engkau sebagai siswa datang ke mari dari asrama yang jauhnya kurang lebih satu kilometer. Pada pukul 4.15 sore engkau berangkat dari asrama dan pukul 4.30 engkau sampai di Prasanthi Nilayam. Jadi diperlukan lebih kurang 15 menit bagi badanmu untuk berjalan dari asrama ke Prasanthi Nilayam. Tujuannya adalah untuk mendengarkan wejangan Swami. Setiap perbuatan yang engkau lakukan mengandung empat faktor yaitu: waktu, kegiatan, sebab atau tujuan, dan hasil. Waktu, sebagaimana engkau ketahui, 15 menit. Kegiatannya adalah berjalan dari asrama ke tempat sembahyang. Tujuannya adalah untuk mendengarkan ceramah Bhagawad Gita. Hasilnya, dengan demikian engkau menyucikan hidupmu. Dengan cara ini keadaan jaga dapat digunakan untuk meningkatkan spiritual.
Selanjutnya setelah ceramah selesai engkau kembali ke asrama. Sesudah makan malam engkau beristirahat di tempat tidur dan tertidur. Engkau bermimpi. Dalam mimpi itu engkau berjalan-jalan di kota Madras. Kapankah engkau berangkat dari asrama ke Madras dan berapa lama dalam perjalanan? Pertanyaan itu tidak dapat dijawab. Dalam hal ini tidak ada masalah waktu. Dengan apa engkau pergi ke sana? Dengan mobil, bis, atau kapal terbang? Pertanyaan-pertanyaan ini juga tidak dapat dijawab. Tidak ada kegiatan tertentu untuk perjalanan itu. Mengapa engkau pergi ke Madras? Engkau tidak tahu, tidak ada alasan yang jelas mengapa engkau berada di sana. Apa yang engkau nikmati di sana? Apa hasil perjalananmu? Itu pun tidak bisa engkau jawab. Tidak ada hasil tertentu yang engkau peroleh dari kegiatanmu yang dapat dilihat di sana. Maka dalam keadaan mimpi atau dalam alam mimpi tidak ada faktor waktu, kegiatan, tujuan, maupun hasil yang dapat dinikmati; semua itu tidak ada.
Kemudian, misalkan segera setelah engkau tidur, ada orang yang membangunkan engkau. Engkau terbangun dan menyadari bahwa engkau baru tertidur lima menit. Dalam waktu lima menit itu engkau bermimpi pergi ke Madras. Bagaimana mungkin, Tentu tidak mungkin. Mimpi itu hanya merupakan pengalaman mental. Engkau tidak melakukan perbuatan itu baik dengan badan maupun dengan inderamu. Pengalaman batin itu berhubungan dengan badan halusmu. Hanya badan kasar yang mempunyai empat faktor itu: waktu, perbuatan, sebab, dan keadaan. Engkau mengetahui bahwa faktor-faktor itu tidak ada dalam pengalaman batin atau pengalaman mental yang ada dalam keadaan mimpi. Hanya karena permainan pikiran engkau dapat menciptakan dunia baru. Piki8rkan menciptakan banyak orang di jalan raya di Madras, banyak kendaraan, dan benda-benda lainnya.
Pikiran mempunyai kekuatan yang luar biasa. Ia mempunyai kemampuan luar biasa untuk menciptakan apa saja atau menghancurkan apa saja. Semua perbuatanmu itu disebabkan oleh pikiran. Bila engkau mempersembahkan pikiranmu yang sangat hebat itu kepada Tuhan maka segala yang engkau perbuat telah dipersembahkan kepada-Nya. Bila engkau mempergunakan pikiranmu untuk memikirkan Tuhan, segala perbuatanmu menjadi suci.
Kata seorang maharesi, "Jika engkau mempersembahkan lagu pujian kepada Tuhan dan mempersembahkan nyala pelita kepada-Nya maka seluruh alam akan bersinar karena cahaya pelita itu." Engkau mengambil pelita dan mempersembahkan nyalanya kepada Tuhan. Pikiranmu yang terdiri dari berbagai keinginan dapat diumpamakan dengan minyak, sumbunya dapat diibaratkan sebagai kebijaksanaan. Suci yang engkau miliki; bila engkau gabungkan keduanya dengan menggunakan kebijaksanaamu untuk mengarahkan keinginanmu kepada Tuhan, maka engkau akan dapat memperoleh sinar yang memancar dari pelita itu. Untuk minyak dan sumbu itu harus ada suatu tempat. Badan dapat dianggap sebagai wadah yang menyimpan minyak keinginan pikiran dan sumbu kebijaksanaan. Kebahagiaan yang engkau rasakan adalah kecemerlangan sinar yang memancar dari lampu suci itu. Atau jika engkau ingin menyalakan minyak saja, juga lampu itu tidak akan menyala. Tetapi jika sumbu dihubungkan dengan minyak maka barulah lampu itu dapat dinyalakan sehingga timbul sinar.
Perbuatan dapat juga dibandingkan dengan minyak; ini dihubungkan dengan pikiran, perasaan, dan keinginan-keinginannya. Budi atau akal dapat pula dianggap sebagai sumbu; hubungannya dengan kebijaksanaan. Bila kedua hal ini: perbuatan dan budi, digabung, bila engkau membuat semua kegiatanmu menjadi perbuatan suci, mengikuti budi, maka engkau akan mendapat cahaya. Lampu mempunyai ciri sendiri-sendiri. Ciri-ciri itu hanya berkaitan dengan lampu dan dengan cahaya yang memancar dari lampu. Cahaya hanya mempunyai satu ciri; yaitu sifat menerangi seluruhnya. Sebaliknya, nyala mempunyai sifat yang berbeda-beda. Bila ada angin nyala akan bergetar. Bila kena air nyala api berbunyi. Kalau minyaknya kotor, nyala berasap. Kalau kena jarimu, nyala api akan membakar jarimu. Tetapi sinar Atma hanya mempunyai satu sifat yaitu menyinari setiap orang. Sinar itu sama untuk semua orang. Sinar itu disebut Atmajyothi yaitu sinar batin yang abadi; sifatnya suci, tidak punya sifat lain, dan sama bagi setiap orang. Sebaliknya, bagi nyala kehidupan, terdapat sifat-sifat pribadi yang dapat berubah-ubah dan menimbulkan kesulitan.
Ada tiga jenis perbuatan; perbuatan yang dinamakan Karma, Wikarma dan Akarma. Karma ibarat nyala api yang tetap. Kalau nyala itu bergerak dan goyang, ia menjadi Wikarma. Nyala yang suci, nyala Atmajyothi adalah Akarma. Akarma tidak menghasilkan buah. Kata Akarma berarti tanpa Karma, tetapi ini tidak berarti bahwa tidak ada perbuatan yang dilakukan. Bila engkau melakukan perbuatan dan memperlakukan semua orang sama, bila engkau tidak menginginkan hasil perbuatanmu dan bila engkau mempersembahkan segala sesuatu yang engkau kerjakan kepada Tuhan, maka engkau telah melakukan Akarma. Hal ini berlaku untukmu tugas-tugas duniawi maupun kegiatan-kegiatan keagamaan, seperti Yajnya dan upacara korban suci. Weda menyatakan bahwa berbagai kegiatan keagamaan yang didasari atas keinginan akan hasilnya, hanya akan mengantar engkau sampai ke sorga. Engkau tidak boleh beranggapan bahwa sorga akan memberikan kekekalan; Weda juga mengajarkan bahwa bila kebajikan telah habis, engkau harus kembali ke bumi. Mungkin engkau tidak sependapat dengan ajaran Weda tentang Karma ini, tetapi engkau tidak usah memperdebatkan masalah itu. Yakini saja bahwa bila engkau menginginkan hasilnya saja, hasil itu akan habis, dan perbuatan lain harus dilakukan terus menerus, tak pernah ada akhirnya.
Misalnya ada seorang anggota DPR yang ingin dipilih, jika ia terpilih, ia akan menjadi anggota selama lima tahun. Sementara waktu berlalu, masa jabatannya berakhir. Sesudah lima tahun masa tugasnya habis dan ia harus pulang. Begitu pula seluruh pahala perbuatan baik yang engkau peroleh dengan kegiatan-kegiatanmu dapat dibandingkan dengan masa jabatan yang terbatas selama lima tahun itu; pada akhirnya masa itu engkau harus kembali. Selama pahalamu masih ada, engkau dapat menikmati surga, tetapi jika pahala itu habis engkau jatuh kembali ke bumi. Karena itu, pada waktu menjelaskan tentang karma kepada Arjuna, Krishna berkata, "Jangan menginginkan hasil yang tidak kekal dari perbuatanmu, tetapi berusahalah mencapai pribadi kosmik yang tertinggi itu, sesudah itu engkau tidak perlu kembali lagi. Jika dalam hidupmu engkau selalu berjalan pulang pergi, kapan engkau akan mencapai tujuan? Ada suatu cerita untuk menggambarkan hal itu.
Ada seorang pencuri tertangkap pada waktu sedang beraksi dan dijebloskan ke dalam penjara. Keputusan hakim menyatakan bahwa ia harus menjalani hukuman kurungan selama enam bulan. Masa enam bulan segera berlalu dan tibalah saat ia harus dilepas. Petugas penjara datang dan berkata kepada pencuri, "Besok petang masa hukumanmu telah selesai dan engkau boleh bersiap-siap pulang. Ambil semua barangmu yang kami tahan dan siaplah pergi!" Pencuri tidak terlalu gembira mendengar hal ini, tetapi juga tidak sedih. Ia tidak begitu acuh karena ia tahu apa yang akan terjadi, "Biarkan saja barang-barang itu di sini," katanya. Petugas bertanya, "Kenapa engkau tidak mau membawa barang-barangmu?" Pencuri itu menjawab, "Tidak ada gunanya juga saya membawa barang-barang itu, satu dua hari lagi saya akan kembali. Tidak lama lagi Bapak akan melihat saya lagi di penjara ini. Karena hanya beberapa hari saja, mengapa saya harus membawa barang-barang itu?" Pencuri ini menyadari bahwa ia akan mencuri lagi lalu akan tertangkap dan dihukum lagi, dan pasti akan dijebloskan ke dalam penjara itu juga.
Begitu pula perbutanmu dapat dibandingkan dengan pencuri yang keluar masuk penjara. Dalam hidupmu ini engkau melakukan berbagai perbuatan; setelah itu engkau naik ke surga. Setelah masamu di surga habis, engkau kembali ke bumi lagi. Krishna berkata, "Proses naik turun ini tidak baik." Maka Beliau mengajarkan kepada Arjuna yang suci. Krishna mengajarkan agar ia mencari tempat yang kekal, tinggal di tempat kebenaran yang abadi dan tidak akan pernah kembali.