PERCAKAPAN 29
BILA ENGKAU MEMANDANG TUHAN, TUHAN AKAN MEMANDANG ENGKAU
Siapa yang mempunyai kesadaran penuh dan mengembangkan kemampuan wiwekanya, tidak akan mengalami penderitaan dan tidak akan dihinggapi rasa takut. Hanya orang yang mempunyai keterikatan kepada badan ban benda akan mengalami rasa takut dan penderitaan. Karena itu, Krishna menyuruh Arjuna mengembangkan pandangan yang menyeluruh.
________________________________________
Pandangan yang menyeluruh ini diistilahkan dengan kata Sudarshana yang juga berarti 'pandangan yang baik'. Dewasa ini manusia mempunyai tiga jenis pandangan. Yang pertama adalah pandangan yang berorientasi lahiriah. Pandangan ini dangkal; orang semacam itu hanya melihat penampilan luar orang lain seperti pakaian dan perhiasan yang dipakai, roman muka, ukuran tubuh dan ciri-cirinya, kekhasan suara, dan sebagainya. Pandangan ini semata-mata berorientasi pada dunia yang kasat mata.
Pandangan yang kedua adalah pandangan batin. Pandangan ini tidak melihat ciri-ciri luar orang lain. Orang mempunyai pandangan ini melihat tingkah laku orang lain dari pencerminan sikap, tabiat, tindak tanduk, dan ekspresinya. Karena itu orang ini orang yang mempunyai pandangan batin berusaha mengetahui perasaan yang timbul dari hati seseorang dan buah pikirannya, sebagaimana tercermin dari apa yang dikatakan dan dilakukannya. Dengan kata lain, orang yang berorientasikan batin melihat gejala lahirlah yang mencerminkan keadaan batin. Sikap orang yang berpandangan demikian yaitu ia selalu berbicara dan bertindak menurut perasaan dan pikirannya.
Pandangan yang ketiga adalah pandangan atma. Orang yang mempunyai pandangan atma tidak membatasi persepsinya hanya pada penampilan lahirlah orang lain atau pada perasaannya seperti yang tercermin dari perbuatan dan ekspresinya, namun orang tipe yang ketiga ini telah mengembangkan pandangan yang terpadu. Ia melihat kemanunggalan batin, kesadaran Tuhan yang ada pada setiap manusia. Walaupun ada perbedaan fisik dan perbedaan tingkah laku. Ia menyadari bahwa perasaan, pikiran, dan ciri-ciri tingkah laku semuanya mengalami perubahan dan pergantian. Karena itu orang dengan pandangan atma tidak tertarik atau merasa senang atau tidak senang pada wujud fisik atau ekspresi orang lain. Pandangannya terpusat sepenuhnya kepada Tuhan sebagai penghuni (tubuh). Ini merupakan pandangan yang suci.
Orang yang mempunyai presepsi yang utuh seperti itu menjadi alat Tuhan. Bukan saja ia menjadi alat Tuhan, tetapi sesungguhnya ia merupakan Tuhan sendiri. Kata Upanishad, orang yang menyadari Brahman menjadi Brahman. Karena itu, orang yang mempunyai pandangan demikian suci mempunyai sifat ketuhanan. Manusia akan menjadi seperti apa yang dilihat atau dibayangkannya. Untuk menjadi seorang stithaprajna, orang yang mempunyai kebijaksanaan tertinggi, engkau harus mengembangkan pandangan yang terpadu atau sudarshana dan terus menerus merenungkan keesaan diri sejati yang berada dalam segala keanekaragaman lahiriah. Karena itu Krishna memerintah Arjuna agar selalu mengarahkan pandangannya kepada atma dan memegang teguh pandangan yang utuh itu dalam keadaan apa pun.
Menurut tradisi kuno di India ada suatu upacara kereta yang diselenggarakan oleh semua tempat ibadat di desa dan di kota. Dalam upacara itu patung perwujudan Tuhan yang ada di tempat ibadat diarak. Mula-mula dibuat sebuah kereta yang besar untuk tujuan ini dan dihiasi seindah-indahnya. Di dalamnya disediakan tempat duduk yang bagus untuk patung Tuhan itu. Pada hari rayanya, patung perwujudan Tuhan itu dipindah ke dalam kereta dengan upacara dan doa yang sesuai. Kemudian kereta di arah dengan meriah di jalan raya dan ditarik oleh umat dengan didahului oleh tari-tarian, musik, dan nyanyian. Sepanjang jalan orang-orang mempersembahkan hormat bakti kepada Tuhan dengan menyalakan lampu-lampu suci dan melakukan aarati.
Ribuan orang datang dari kampung-kampung sekitarnya untuk menyaksikan arak-arakan kereta ini. Mereka terdiri dari tiga jenis manusia. Yang pertama yang jumlahnya terbanyak, memusatkan seluruh perhatian mereka pada kereta dan keindahannya. Yang kedua adalah orang-orang yang terutama memperlihatkan ekspresi dan tingkah laku para peserta, penarik kereta, para pendeta, dan para penari. Kelompok yang ketiga merupakan jumlah yang terkecil, adalah mereka yang mengetahui tujuan upacara itu. Hanya kelompok kecil itu yang melihat prinsip ketuhanan yang ada pada patung-patung di kereta. Tentu tujuan upacara ini adalah menyemayamkan patung Tuhan. Tanpa ada patung Tuhan dalam kereta, upacara itu tidak akan berarti apa-apa. Patung itu mewakili sang penghuni, yaitu Tuhan sendiri. Namun tidak banyak orang yang memusatkan seluruh perhatiannya pada ketuhanan itu.
Kebanyakan hanya melihat bagian luar kendaraan, hiasannya, dan hal-hal lain seperti pakaian patung, pakaian penari serta pemain musik, kejenakaan mereka, dan segala bunyi-bunyian serta warna-warni yang memeriahkan upacara. Sebagian terbesar pengunjung hanya melihat yang ada di luar. Tetapi ada pula yang memperlihatkan segi ritualnya dan sajian yang dipersembahkan seperti pemecahan kelapa, lampu, dupa, dan rasa bakti yang tercurah pada upacara itu. Jumlah orang yang mempunyai pandangan dan minat seperti itu jauh lebih kecil daripada mereka yang terutama memperhatikan dekorasi kendaraan, tari-tarian, drama, serta segala perlengkapan dan hiasan yang berhubungan dengan perayaan itu.
Tetapi patung perwujudan Tuhan yang dipasang dalam kereta, yang mengendarai kereta, dan yang menghuni kereta, hanya dapat dilihat oleh segelintir manusia yang penuh bakti, yang mendambakan penampakan suci Tuhan. Dalam keramaian orang yang datang berbondong-bondong untuk menyaksikan perayaan ini, orang yang seperti dikatakan tadi dapat dihitung dengan jari satu tangan. Bagi mereka segala hiasan luar, segala bunyi-bunyian dan hiruk-pikuk arak-arakan merupakan penghambat untuk mendapatkan penglihatan wujud Tuhan yang patungnya berada dalam kereta.
Apakah makna yang lebih mendalam mengenai kereta ini? Berapakah jumlah kereta semacam itu? Kereta yang dibicarakan di sini adalah badan manusia. Jadi tidak hanya satu kereta, melainkan berjuta-juta. Setiap hari kereta ini berkeliling di jalanan melewati rumah-rumah dengan membawa pengendaranya dalam perjalanannya itu. Selama ini engkau mengembangkan pandangan sedemikian rupa sehingga engkau hanya melihat tubuh dan roman muka yang mengungkapkan berbagai keadaan emosi. Engkau belum belajar mengembangkan penglihatan batin, suatu pandangan yang melihat penghuni dalam kereta badan ini serta mengetahui siapa dia sebenarnya. Jarang sekali orang yang berusaha memandang lebih jauh ke dalam, melampaui lapisan luar dan aspek fisiknya, dan lebih dalam daripada emosi serta sifat mental seseorang, untuk mencoba menemukan prinsip atma yang suci yang ada dalam diri manusia.
Badan manusia bukanlah merupakan kereta satu-satunya. Badan binatang seperti anjing, harimau, atau gajah juga kereta. Sesungguhnya tubuh setiap makhluk adalah kereta. Umpamanya, Shiwa digambarkan menunggang Nandi, lebih jantan. Lembu jantan itu kendaraan Shiwa. Namun bila engkau melihat lembu jantan engkau tidak membayangkan Shiwa, tetapi Beliau ada di sana. Bila engkau melihat tikus, engkau tidak memikirkan Ganesha, tetapi Ganesha juga ada di sana mengendarai tikus. Tikus adalah kendaraan Ganesha, maka tikus juga merupakan kereta tempat Tuhan duduk bersemayam. Begitu pula singa, gagak, anjing, ular, elang, dan binatang serta burung lainnya digunakan sebagai kendaraan bagi aspek Tuhan yang berlainan. Sebenarnya setiap makhluk hidup adalah kereta yang membawa Tuhan dalam arak-arakan. Sekarang ini engkau hanya melihat keretanya. Engkau memusatkan seluruh perhatianmu pada hiasan luar. Dalam zaman ini seluruh waktumu habis untuk menghias kereta dan memikirkan kenyamanan serta kenikmatan jasmani. Akibatnya engkau hanya memperhatikan perbedaan-perbedaan yang tampak dan tidak berusaha melihat penghuni di dalamnya.
"Karena itu, Arjuna," kata Krishna, "Ketahuilah bahwa semua orang yang engkau risaukan ini hanyalah kereta belaka. Apakah ia kakek, saudara, sepupu, atau siapa saja, mereka itu hanya kereta. Sesungguhnya engkau hanya melihat berbagai kereta dalam bentuk sanak keluarga. Pandanganmu tertutup dan hanya melihat badan jasmani, tetapi orang suci seperti engkau tidak boleh terpaku pada penampilan luar. Engkau harus memusatkan pikiran pada penghuni yang ada dalam diri setiap manusia. Hanya dengan demikianlah pandanganmu akan menjadi suci. Pandangan suci itulah yang melandasi kejayaanmu. Hanya orang yang memiliki pandangan suci dapat mencapai sukses besar. Arjuna, orang menilai bayangan sama dengan bendanya sendiri; mereka menilai pantulan sama dengan benda yang dipantulkan. Itu tidak benar. Objek yang tidak berubah dan suci adalah atma. Nilainya tidak terhingga dan tidak dapat diukur, sedangkan kesemarakan luar semua tubuh ini, dan segala pikiran, perasaan, serta tingkah laku yang diperlihatkan oleh tubuh-tubuh ini hanya bayangan belaka. Semua itu hanya bayangan, tidak berisi dan tidak kekal."
Bila Arjuna menilai bayangan begitu tinggi, maka ia bertindak sangat bodoh. Tetapi sesungguhnya Arjuna bukan orang yang bodoh. Dalam bab kedua Bhagawad Gita Krishna menamakan Arjuna seorang Kripanah. Arti umum kata Kripanah ini adalah orang yang miskin dan sengsara. Tetapi kata-kata ini tidak dapat dipakai untuk melukiskan Arjuna. Sudah tentu Arjuna tidak miskin, juga tidak sengsara dalam arti keduniawian. Dalam hal kekayaan duniawi, ia telah memiliki kekayaan yang berlimpah-limpah; ia tidak pernah kekurangan apa pun juga. Arti lain kata kripanah ialah kikir. Tetapi sebagaimana telah dijelaskan oleh Swami sebelumnya, arti ini juga tidak melukiskan Arjuna. Arjuna tidak kikir, bahkan ia meninggalkan segala harta benda yang dimilikinya. Ia berkata kepada Krishna, "Aku tidak menginginkan kerajaan ini. Walaupun seluruh alam ini ditawarkan kepadaku, tidak akan aku terima. Lebih baik aku meminta-minta untuk hidup, daripada membunuh orang-orang ini. Arjuna telah mencapai tingkat penyangkalan diri seperti itu. Maka kata kikir sama sekali tidak mengena untuk melukiskan sifat Arjuna.
Lalu apa arti kripanah yang sebenarnya bila digunakan untuk menggambarkan Arjuna? Kripanah berarti tidak mampu menilai, tidak bisa membedakan mana yang sejati dan mana yang tidak sejati. Seperti yang telah Swami katakan sebelum ini, kripanah dalam hal ini artinya ketidaktahuan. Arjuna menunjukkan ketidaktahuan. Tetapi bukan ketidaktahuan dalam keduniawian, melainkan ketidaktahuan dalam spiritual. Arjuna belum mengembangkan penglihatan batinnya. Untuk menyelamatkannya dari kesalahpahaman dan kebingungan yang pasti timbul bila tidak memiliki penglihatan batin, Krishna mengajarkan kepada Arjuna ilmu suci tentang atma dan memberitahukan latihan rohani yang haru dilakukannya agar dapat mencapai kebijaksanaan tertinggi ini.
Sebelum seorang petani dapat menanam tanaman di ladangnya, ia harus mengadakan berbagai persiapan. Sebelum bibit ditanam, tanah harus dibersihkan dari semak belukar, batu-batu dibuang, dan rerumputan dicabut, kemudian dibajak dan dialiri agar tanah menjadi gembur. Sang petani harus menentukan bibit apa yang cocok untuk ditanam serta pupuk apa yang bagus untuk menyuburkan tanah. Setelah semuanya dipersiapkan, akhirnya bibit ditanam. Karena itu, sebelum menanam, seluruh lahan harus dipersiapkan. Batu-batu dan rumput harus dibuang. Barulah bibit yang baik dapat ditanam agar menghasilkan panen yang baik. Begitu pula seorang pencinta kerohanian harus terlebih dahulu mempersiapkan ladang pertanian.
Pertama-tama ia harus menghilangkan semua pikiran buruk dan kebiasaan yang tidak berguna. Segala yang tidak baik harus digali keluar dan dibersihkan. Sesudah itu engkau harus mengairi ladang hatimu dengan air cinta kasih; air cinta kasih ini menjadikan hatimu lembut dan siap ditanami. Dengan bantuan latihan rohani, atau dengan kata lain, dengan sadhana, engkau harus membajak ladang hatimu dan memupuknya dengan iman agar ladang menjadi subur dan banyak mengandung zat-zat makanan bagi bibit tanaman yang akan tumbuh di ladang itu. Hanya bila semuanya ini telah dilakukan maka ladang hati siap ditanami. Bila hati dipenuhi oleh rumput-rumput pikiran yang rendah, kalau tanahnya gersang, keras, kering, dan kurang subur, bagaimana mungkin bibit yang baik dapat tumbuh di ladang itu dan berkembang subur sehingga menghasilkan panen yang melimpah?
Dalam kaitan inilah Krishna berkata kepada Arjuna, "Arjuna, engkau harus mengusahakan dan mengubah ladang hatimu. Engkau harus menghilangkan pandangan lahiriah. Tingkatkan aliran kasih kepada Tuhan, suci dan kokoh. Tanamlah benih nama Tuhan di hatimu maka engkau akan memperoleh panen melimpah kesadaran kemanunggalan karena tanaman itulah yang tumbuh paling baik di ladang hatimu; itu telah menjadi sifatnya. Dengan demikian engkau akan menjadi seorang stithaprajna, orang yang memiliki pengetahuan yang kokoh, dan engkau akan mencapai tujuan spiritualmu. Dalam taman hatimu itu engkau akan dapat menikmati buah moksa yang suci; saat itulah engkau tidak pernah mengalami rasa takut lagi.
Bila engkau mempunyai keyakinan yang kokoh dan pandangan yang menyeluruh, dan bila engkau memikirkan prinsip ketuhanan yang ada dalam dirimu, engkau tidak akan mabuk oleh kesenangan atau berkecil hati karena duka; maka dalam kondisi itulah engkau tidak akan mempunyai rasa takut atau abhaya. Bhaya artinya 'takut'; abhaya artinya 'tidak takut'. Ada kata lain, nirbhaya, yang artinya 'tidak ada rasa takut'. Walaupun kelihatannya sama, tetapi kedua kata itu mempunyai arti yang sangat berbeda. Nirbhaya adalah menghilangkan rasa takut. Sebagai contoh, jika engkau melihat tali melingkar di tanah waktu gelap. Meskipun barang itu hanya tali, dalam keadaan tidak begitu terang engkau menyangkanya ular. Karena takut ular itu akan menggigit engkau, engkau menyalakan lampu senter agar dapat melihat lebih jelas, juga agar mengetahui apakah ular itu ular berbisa. Tetapi begitu cahaya bersinar, engkau melihat yang sebenarnya, engkau tahu bahwa itu bukan ular, hanya seutas tali, maka rasa takutmu lenyap sama sekali. Merasa takut dan kemudian tidak merasa takut, keduanya hanya pengalaman sementara, datang dan pergi.
Rasa takut hanya merupakan khayal yang diciptakan oleh pikiran; tidak ada rasa takut juga khayal yang diciptakan oleh pikiran. Salah lihat menimbulkan rasa takut; menyadari kesalahan dan memperbaikinya akan menghilangkan rasa takut. Dua kata ini, bhaya dan nirbhaya, dihubungkan dengan rasa takut dan lenyapnya rasa takut. Sedangkan abhaya sama sekali tidak ada hubungannya dengan kedua pengertian itu. Abhaya berarti berani; suatu keadaan yang tidak berubah, tidak pernah mengalami rasa takut. Seseorang yang abhaya tidak pernah mengalami rasa takut. Seseorang yang abhaya selalu sadar akan kesejatiannya; bagi orang seperti itu tidak mungkin ada rasa takut. Engkau tidak boleh menganggap sifat abhaya itu hanya sebagai tidak adanya rasa takut. Dalam keadaan tak kenal takut itu, orang yang bersangkutan tidak menyadari adanya eksistensi yang lain. Orang merasa takut hanya kalau ada eksistensi yang lain, tetapi bagi seorang yang memiliki abhaya, sama sekali tidak ada eksistensi yang kedua. Karena itu, keberanian dihubungkan dengan kesadaran yang menyatu, yaitu adwaita, tidak ada dua, melainkan selalu hanya satu. Hanya bila engkau berada dalam tingkat adwaita seperti itu engkau akan sungguh-sungguh berani.
Bila engkau melupakan dirimu yang sejati, jika engkau melupakan atma, engkau akan menderita rasa takut. Bila engkau hanya mengingat dunia dan bukan Tuhan, engkau akan menderita ketakutan. Bila engkau dipenuhi keinginan, nafsu, dan keterikatan, engkau akan menderita ketakutan. Sebaliknya, jika engkau selalu asyik merenungkan kenyataan adikodrati ini, engkau akan bebas sepenuhnya dari rasa takut; engkau tidak akan takut kepada apa pun. Maka engkau akan selalu dalam keadaan abhaya, tanpa rasa takut. Krishna berkat, "Arjuna, hanya ada satu hal yang harus engkau pupuk. Engkau tidak perlu meningkatkan pandanganmu terhadap dunia yang fana; engkau tidak perlu terus mengembangkan pikiranmu. Engkau hanya perlu mengembangkan pandangan kepada Yang Maha Esa yang ada di mana-mana dalam setiap makhluk. Jika engkau mengetahui hal itu, dan jika engkau mengingatnya, maka engkau tidak akan terkena siklus yang tiada putusnya antara takut dan menghilangkan rasa takut, antara bhaya dan nirbhaya. Selama engkau masih mempunyai pandang yang keliru bahwa dunia ini nyata dan terdiri dari berbagai objek yang terpisah-pisah, pandanganmu akan teselubung dan engkau akan merasa takut. Tetapi bila engkau menyadari kebenaran keesaan seluruh ciptaan, engkau akan bersifat abhaya, selama-lamanya tidak kenal takut. Seorang seperti engkau harus bijaksana, harus menjadi stithaprajna dan tidak lagi mengalami rasa takut.
Engkau harus mengendalikan kecenderunganmu untuk melihat aspek luar. Yaitu badan dan tingkah lakunya, dan aspek pikiran dengan buah pikiran serta perasaannya, sebaliknya engkau harus mengembangkan pandangan ke dalam batin, kepada atma yang suci. Inilah pandangan yang baik, pandangan yang menyeluruh, yaitu sudarshana. Ada contoh yang baik mengenai hal ini dalam kitab Srimad Bhagawatham, yaitu cerita seekor gajah yang digigit buaya. Gajah ini = , Gajendra, mempunyai rasa keakuan yang besar dan ia yakin bahwa karena tenaganya sangat kuat, ia akan dapat melawan dan membebaskan dirinya dari gigitan buaya itu tetapi, di sini ada dua kenyataan yang harus diketahui; gajah sangat perkasa di darat, buaya sangat perkasa di air. Bila dalam air, gajah tidak begitu perkasa, dan bila buaya di darat, ia pun tidak begitu perkasa seperti di dalam air, tempat tinggalnya yang alami. Dalam hal ini karena buaya ada dalam air, ia dapat menggunakan segenap kemampuannya. Namun sang gajah Gajendra sangat sombong; ia mabuk karena keakuannya dapat menganggap tidak ada seekor buaya pun yang dapat menandingi gajah, si raja hutan. Ia tidak tahu bahwa dalam air buaya tidak dapat dilawan oleh gajah yang jauh dari daratan.
Lama sekali kedua binatang itu bergulat tanpa kenal lelah; akhirnya gajah merasa letih, kehabisan tenaga dan semangat. Selama itu ia merasa yakin sepenuhnya akan kemampuan fisik dan mentalnya, tetapi setelah kehabisan semuanya, ia mulai berdoa kepada Tuhan. Selama pandangannya diarahkan kepada badan, ia tidak memandang ke arah Tuhan. Selama ia yakin akan kemampuan fisik dan mentalnya, pikiran tentang Tuhan tidak muncul dan rahmat Tuhan tidak tercurah. Ketika gajah itu kehabisan tenaga serta semangat dan memohon pertolongan Tuhan, segera Wishnu mengirim senjata sudarshana-Nya dan membebaskannya dari malapetaka yang tengah mengancam. Sudarshana yang dibicarakan di sini tidak berarti cakra yang dipakai Wishnu sebagai senjata Beliau; sudarshana berarti penampakan yang suci. Bila engkau mengarahkan pandanganmu kepada Tuhan, Tuhan akan mengarahkan pandangannya kepadamu. Sudarhsana berarti memohon rahmat dan pandangan Tuhan bagimu. Kapankah engkau akan mendapat penampakan Tuhan serta dilimpahi dengan rahmat-Nya? Bila engkau meninggalkan segala keyakinan yang egosentris pada kekuatan fisik serta mentalmu, lalu seperti yang dilakukan oleh gajah Gajendra, menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan, memohon perlindungan-Nya dan mengalihkan pandanganmu sepenuhnya kepada-Nya.
Hanya bila engkau mengarahkan pandanganmu kepada Swami maka Swami akan mengarahkan pandangan-Nya kepadamu. Walaupun pandangan Swami jatuh kepadamu, jika pada waktu itu pandanganmu tidak terarah kepada Swami, engkau tidak akan mengalami pandangan-Nya yang penuh kasih. Sekarang ini seluruh pandanganmu terpusat pada aspek badan. Kecemerlangan sinar matahari mungkin ada di sekitarmu, tetapi sinarnya tidak masuk ke dalam kamarmu. Mengapa demikian? Engkau memasang gorden dan penutup jendelalah yang menahan sinar matahari. Hanya bela engkau membuka gorden dan penutup itu cahaya matahari akan masuk ke ruangan. Begitu pula engkau telah menutupi pandanganmu dengan kebimbangan, keakuan, dan gorden tebal kesadaran badan, karena itu sinar rahmat tidak dapat menembus dan masuk ke dalam hatimu. Mungkin engkau akan berkata, "Aku tidak memperoleh rahmat Tuhan." Bagaimana mungkin engkau mendapat rahmat-Nya jika engkau tidak mengarahkan pandanganmu kepada-Nya?
Ada suatu kejadian kecil beberapa hari yang lalu. Ada seorang tua meninggal dalam suatu rumah tangga. Istri dan anak-anaknya sangat sedih. Mereka berdoa dan mengatakan, "Ya Tuhan, mengapa Engkau begitu kejam? Mengapa Engkau sedikit sekali melimpahkan rahmat-Mu kepada kami? Mengapa Engkau melupakan kami? Swami, karena Engkau tidak memberkati kami maka malapetaka ini menimpa diri kami." Tiba-tiba terdengar suara ajaib, "Mengapa engkau melupakan Aku? Engkau berkata Tuhan telah melupakan engkau, tetapi apakah engkau ingat kepada-Ku? Engkau berkata pandangan Tuhan tidak jatuh kepadamu, tetapi apakah engkau mengarahkan pandanganmu kepada-Ku?"
Jika engkau tidak memandang Tuhan, sudah tentu engkau tidak dapat melihat Tuhan. Jika Aku berdiri tepat di depanmu dan engkau berdiri tepat di depan-Ku dan kita saling memandang, apa yang akan kita lihat? Siapa yang akan engkau lihat dalam mata-Ku dan siapa yang akan Aku lihat dalam matamu? Kita saling melihat dalam mata masing-masing. Jika kita berdiri berhadap-hadapan, Aku melihat diri-Ku dalam matamu, dan engkau melihat dirimu dalam mata-Ku. Tetapi jika engkau berdiri di belakang-Ku, bagaimana dapat Aku melihat diri-Ku dalam matamu, atau engkau melihat dirimu dalam mata-Ku? Itu tidak mungkin. Karena itu berdirilah tepat di depan-Ku dan pusatkan pandanganmu kepada-Ku. Ketika pandangan Gajendra diarahkan kepada Tuhan, pandangan Tuhan bertemu dengan pandangannya karena pada waktu itu penglihatan Tuhan terarah kepadanya. Kalau hal itu terjadi, dengan sendirinya segala masalah teratasi.
Siapakah gajah ini? Gajah ini adalah kecongkakan dan kebanggaan. Bila manusia diliputi kecongkakan dan kebanggaan maka akan tumbuh keinginan. Keinginan dapat diibaratkan sebagai rasa haus. Kalau orang congkak ini merasa haus, ia mencari air keduniawian untuk di minum; ia memasuki samsara. Bahkan sebelum ia mendapatkan air itu, ia diterkam oleh keterikatan. Keterikatan dan rasa kemilikan adalah ibarat buaya yang menghabiskan tenagamu dan menyebabkan engkau bersedih hati. Sebelum memasuki air samsara, sebelum dibelenggu oleh berbagai keterikatan, engkau jarang sedih. Umpamanya, sebelum kawin seorang pemuda merasa bebas dan tidak punya beban. Tetapi setelah menikah, keterikatan datang bertubi-tubi. Ia harus mengurus istri, anak-anak, orang tua, mertua, dan sanak keluarga yang lain; segera ia merasa seolah-olah seluruh dunia menerkam dan menyeretnya ke dalam air.
Bila engkau memiliki keakuan dan kecongkakan, keinginan dan nafsu akan timbul; segera hal ini disusul oleh keterikatan, dan dari keterikatan ini timbul segala ikatan lainnya. Dengan keterikatan ini engkau akan kebingungan dan kacau sehingga engkau tidak dapat mengarahkan dirimu kepada Tuhan dan tidak dapat melihat-Nya. Hanya bila engkau mengarahkan pandangan kepada Tuhan, engkau akan dapat melihat-Nya. "Karena itu, Arjuna." Krishna berkata, "Janganlah membiarkan dirimu menjadi korban keterikatan ini. Jernihkan dan sucikan pikiranmu, senantiasa arahkan pandanganmu kepada atma, prinsip yang universal, Tuhan Yang Maha Esa yang ada dalam segala sesuatu. Pupuklah pandangan batin ini dalam dirimu. Jangan kau biarkan rerumputan dan semak-semak, yaitu keakuan dan kesadaran badan, tumbuh dalam hatimu. Melainkan tanamlah pohon rahmat Tuhan dalam hatimu. Arahkan pandanganmu kepada Tuhan. Jadikanlah ini tujuan dan sasaranmu."