Minggu, 26 Desember 2010

Menjadikan Hindu sebagai Pandangan Hidup

Agama dan Pandangan Hidup

Secara kolektif, sebagai bangsa, kita dipersatukan oleh Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa. Sebagai pribadi setiap orang memiliki Pandangan Hidup-nya sendiri-sendiri. Apakah yang kita jadikan Pandangan Hidup kita? Apakah Agama yang kita anut? Idealnya memang demikian. Namun dalam kenyataannya, itu tidak terjadi secara otomatis. Oleh karena itu pertanyaan kita menjadi: Apa kita bisa menjadikan Agama yang kita anut juga sebagai Pandangan Hidup kita secara pribadi?

Jawabannya bisa jadi hanya kita yang tahu, mengingat itu merupakan isu yang amat pribadi. Dalam phrasa pendek, di Bali dikenal suatu bentuk ungkapan yang menyatakan sikap orang Bali terkait dengan Agama dan Pandangan Hidup. Phrasa itu berbunyi: "Agama mina kadi agem-ageman", yang dalam bahasa Indonesianya: "Agama merupakan Pandangan Hidup"; 'agem-ageman' disini secara harfiah memang dapat diartikan sebagai: pegangan, acuan, tuntunan, prinsip, handalan dsb.; secara kontekstual ia berarti 'pandangan'.

Manusia sesungguhnya membawa 'kehendak bebas' (free-will) dalam kelahirannya. 'Kehendak bebas' memberi manusia keleluasaan untuk menentukan sikap, memilih apa yang ia sukai atau menolak yang tak disukai. Manusia juga mempunyai kebebasan sepenuhnya untuk memilih Pandangan Hidup-nya.

Dalam memilih Pandangan Hidup pribadi tidak perlu terjadi benturan eksternal, seperti: isu keturunan, etnis, bangsa, ras dan berbagai implikasinya yang terkait dengan semua itu. Kitapun tak perlu formalitas, yang seringkali justru melahirkan konflik internal, yang sesungguhnya tak perlu. Pandangan Hidup pribadi bisa saja tak persis sama dengan Agama atau Kepercayaan yang dianut secara formal; ia bisa berupa kombinasi lebih dari satu Agama atau Kepercayaan, tanpa perlu berbenturan secara eksternal.

Ada yang mengatakan bahwa, ia yang mengaku dirinya paling atheis sekalipun —tanpa disadarinya dan secara tidak langsung— juga mempercayai Tuhan. Memang; berbicara tentang manusia sebagai pribadi adalah membicarakan sesuatu yang amat unik, kompleks, tak mudah diprediksi, tak mudah dijenderalisasi, karena berubah-ubah.

Bagi pihak luar, dan demi kepentingan pengamatan atau penelitian ilmiah, mereka yang 'berhasil' menjadikan Agama-nya juga sebagai Pandangan Hidup-nya, menjadi lebih terukur dan lebih mudah diamati; walaupun idealisasi ini mungkin sulit ditemukan pada diri seseorang, dalam paradigma yang benar-benar utuh. Kenapa?

Di dalam kehidupan formal dan sosial kemasyarakatan, Agama disandangkan pada seseorang. Orang Bali, misalnya, seringkali secara langsung dikaitkan dengan Hindu; orang Aceh, hampir selalu dikaitkan dengan Islam; dan lain sebagainya. Pada sisi lain, Pandangan Hidup bukanlah sesuatu yang disandangkan pada diri seseorang. Ia 'terbentuk' bersamaan dengan pemahamannya tentang hidup dalam keseluruhan pengalaman hidupnya, selama ia hidup di muka bumi ini. Jadi, 'kehendak-bebas'-nya menjadikannya amat dinamis dan bisa amat bervariasi. Inilah yang menyebabkan mengapa ia sulit ditemukan pada seseorang dalam paradigma yang benar-benar utuh.

*Dasar Keimanan ~ Idealisasi ~ Jalan*

Terkait dengan Agama sebagai Pandangan Hidup pribadi, saya rasa ada baiknya terlebih dahulu kita dengar pandangan dari Sarvepali Radhakrishnan berikut:

'Agama-agama yang tidak sensitif terhadap penyakit-penyakit manusia dan kejahatan-kejahatan sosial, tidak akan menarik manusia modern. Agama yang menyebabkan pemisahan, pertengkaran dan disintegrasi dan tidak memelihara kesatuan, saling-pengertian dan persatuan, jatuh ke tangan musuh-musuh dari Agama.' Bagi umat beragama atau penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dasar keimanan merupakan isu utama. Berpijak pada dasar keimanan-nya, masing-masing umat menetapkan idealisasi-nya, yang sekaligus juga merupakan cita-citanya. Idealisasi ini bisa terukur, bisa juga 'tidak' — dalam arti amat sulit diukur menurut skala duniawi. Yang bersifat sekala, bisa diukur; sedangkan bersifat niskala, amat sulit untuk diukur. Untuk merealisasikan idealisasi-nya itu diperlukan jalan (marga), berupa tuntunan praktis dalam pengejawantahan langkah-langkah menuju idealisasinya itu.

Dasar keimanan, idealisasi dan jalan merupakan tiga aspek —dalam satu rangkaian— yang membentuk Pandangan Hidup seseorang. Dengan mengejawantahkan rangkaian ini
memungkinkan Agama yang dianut, juga secara utuh menjadi Pandangan Hidup seseorang. Seseorang berhasil menjadikan Agama yang dianutnya sebagai Pandangan Hidup-nya, bilamana:

(i) dalam kehidupannya sehari-hari mencerminkan dasar keimanan dari Agama yang dianut, (ii) senantiasa berpegang pada falsafah religiusnya didalam menetapkan idealisasi-nya, dan bilamana (iii) dalam merealisasikan idealisasi-nya, ia ber-jalan dalam kerangka (frame-work) yang sesuai dengan falsafah Agama yang dianutnya. Apakah dasar keimanan, idealisasi dan jalan itu dalam Hindu?; dan bagaimana mengimplementasikannya —secara sederhana— dalam kehidupan kita sehari-hari? Inilah pertanyaan kita yang paling mendasar kini.

*Dasar Keimanan dan Falsafah Hindu*

Pertama-tama; perlu disadari kembali bahwasanya Hindu amat menghargai 'kehendak bebas'. Oleh karenanya, banyak yang mengatakan bahwa Hindu sedemikian tolerannya. Akan tetapi, 'kehendak bebas' tidak dapat diartikan sebagai 'bebas untuk berbuat sekehendak hati'. Ia tetap ada 'batas-batas'-nya; dan ini amat jelas bagi kita.

Diantara lima dasar keimanan Hindu, Panca Sraddha, maka yang paling tampak di permukaan adalah keyakinan terhadap Hukum Karma, sebagai hukum kausalitas universal. Belakangan ini ia semakin dapat diterima, melewati batas-batas Agama dan Kepercayaan. Ia siap memberi tuntunan bagi siapa saja dalam berbuat. (Mungkin) tidaklah berlebihan bila Hukum Karma menjadi salah-satu aspek dari Pandangan Hidup umat manusia, terlepas dari kedalaman pemahaman masing-masing terhadapnya. Dalam Hukum Karma dan Samsara, secara implisit telah terkandung destiny 'sorga-neraka', yang dapat diterima secara luas; walaupun dalam Hinduisme, destiny 'sorga-neraka' tidak merupakan sraddha maupun idealisasi.

Keyakinan kepada Hyang Widdhi dan kepada Atman — yang bersemayam pada setiap makhluk hidup dan identik dengan Brahman (Hyang Widdhi) — merupakan sraddha yang
bersifat internal. Dua sraddha ini lebih merupakan pegangan theologis. Keyakinan terhadap adanya Moksha atau Nirwana, dalam konteks Pandangan Hidup pribadi, juga merupakan idealisasi tertinggi disamping sraddha. Sikap batin yang meng-idealisasi-kan Moksha, disebut mumukshutva. Seperti dua sraddha sebelumnya, mumukshutva juga tak harus tampak dipermukaan.

Panca Sraddha disarikan dari berbagai Kitab suci, Pustaka suci dan Sastragama Hindu yang ada; dasar falsafahnya bersumber pada berbagai kitab-kitab dan pustaka-pustaka suci tersebut. Guna menghindari dogmatisme dan fanatisme, maka mutlak perlu memahami dasar-dasar falsafah ajaran. Untuk dapat menjadikan Hindu sebagai Pandangan Hidup pribadi, memahami idealisasi sebagai tujuan yang terukur (sekala) maupun tak-terukur (niskala) amatlah penting.

*Idealisasi - Cita-cita Sekala dan Niskala.*

Idealisasi amat dibutuhkan oleh manusia dalam menjalani hidupnya. Setiap orang mempunyai idealisasi-nya sendiri, padamana ia berusaha merealisasikan keberadaannya. Sebagai idealisasi, Hindu menyebutkan: "Mokshartam jagadhita ya ca iti dharma.". Jagadhitam — kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin di dunia — dalam hal ini
merupakan idealisasi yang terukur. Sedangkan mokshartam, tak-terukur. Jagadhita juga dapat dipandang sebagai 'tujuan antara', sedangkan mokshartam sebagai tujuan 'akhir' dan 'tertinggi'. Inilah dua idealisasi utama yang dimaksud.

Keduanya dijabarkan dalam empat tujuan hidup, yang disebut Catur Purusartha. Artha dan kama merujuk pada jagadhita; sementara dharma dan moksha, merujuk pada
mokshartam. Dalam mengupayakan artha dan kama, dharma harus tetap dipegang sebagai acuan pokok. Bagi pencapaian cita-cita terukur maupun tak-terukur, dharma-lah landasannya. Hanya dalam kata dharma, sesungguhnya telah terwakili semua ajaran luhur bagi umat manusia. Jadi, dalam konteks ini, dharma bukan saja sebagai tujuan, akan tetapi juga sebagai pegangan serta landasan pijak (agem-ageman); dharma juga dapat disebut sebagai Pandangan Hidup.

*Marga - Jalan menuju Realisasi.*

Hindu merumuskan tiga kerangka implementatif yakni: (i) Susila, sebagai tatanan etika-moral luhur; (ii) Upacara, sebagai aturan ritual dalam mengekspresikan laku religius; dan (iii) Tattwa, sebagai dasar pemahaman atau falsafah yang mendasarinya.

Umat beragama umumnya lebih dinilai dari prilakunya didalam mengadakan interaksi sosial; walaupun ini merupakan penilaian eksternal, yang belum tentu mencerminkan jati-diri seseorang. Prosesi persembahyangan (upacara) berikut berbagai pernik (upakhara) yang menyertainya, seringkali secara umum digunakan untuk menilai religiusitas seseorang. Agama mempunyai dimensi eksternal yang kuat; sementara Pandangan Hidup, tidak sekuat itu.

Hindu menyadari bahwasanya manusia (sebagai pribadi) tidak saja berkembang secara lahiriah, tetapi juga secara batiniah. Dan fakta ini, diantisipasi dengan rumusan 'empat jalan utama'. Kenapa hanya empat? Disamping karena memang umat manusia menunjukkan empat paradigma pokok dalam dasar karakternya serta empat fase perkembangan batiniahnya, juga tidaklah mungkin merumuskan satu marga untuk setiap orang. Ke-empat marga dalam catur-marga, telah mewakili kecenderungan semua manusia, yang pernah hidup, sedang hidup maupun yang akan terlahir.

Bagi mereka yang cenderung penurut dan memiliki kepatuhan terhadap apa yang dipercayainya, serta mau berbuat sesuai dengan yang dipercayainya dengan patuh, disediakanlah Bhakti Marga. Jalan ini hampir sesuai bagi setiap orang. Bagi yang cenderung aktif, enerjik, dinamis dan berambisi, gemar berbuat secara nyata (dalam arti kasat indriya), disediakan Karma Marga. Bagi mereka yang cederung kritis, cerdas, berpengetahuan, disediakan Jñana Marga.

Hampir setiap manusia akan menemukan kecocokannya pada salah-satu, kombinasi lebih dari satu atau kombinasi dari ketiga marga ini. Ketiganya lebih dikenal dan terimplementasikan dalam konsep unik, Yajña. Inilah yang menjadikan mereka lebih populer. Yoga, sebagai marga, relatif kurang dikenal, dibandingkan dengan tri-marga atau Yajña. Bila Yajña bersifat kolektif, maka Yoga lebih bersifat pribadi; walaupun tidak sepenuhnya esoteristik.

*Yoga dan Yajña, sebagai jalan menuju Realisasi*

Yajña merupakan korban suci yang dihaturkan dengan tulus-ikhlas, atas rasa bersyukur dan berterimakasih terhadap semua yang telah diterima dan dinikmati. Dari perspektif ini, Yajña mempunyai banyak kesamaan dan di-identikan dengan Yoga.

Beberapa cendekiawan Hindu, Yogi dan Saddhu umumnya menyetujui bila konsep unik Yajña, setara dengan Yoga dalam implementasinya. Beberapa pandangan terkait,
saya kutipkan berikut ini [YAJÑA — Basis Kehidupan (Sebuah Canang Sari); terjemahan dan suntingan: Ida Bagus Putu Suamba; Warta Hindu Dharma - Denpasar; 1996.]:

"...Indriya-indriya dipersembahkan kedalam Yoga, pengendalian diri. Inilah makna yang lebih tinggi dari Yajña...Satu klasifikasi berhubungan dengan persembahan objek-objek fisik; ini disebut Dravya Yajña. Ada suatu persembahan proses psikologis yang disebut Tapo Yajña. Dan yang ketiga adalah Yoga. Yoga itu sendiri dijadikan Yajña,..." [M.P. Pandit]

"...Spirit Yajña ini kemudian disadari secara total; kemegahan dan penampilan ritual mulai menarik perhatian masyarakat. Pada tahap tersebut ada ide-ide revolusioner Krishna untuk menguraikan secara rinci Karma Yoga. Ini dijelaskan dalam bahasa ritual populer yang telah mereka kenal..." [Swami Chinmayananda]

"Perlu dicatat bahwa konsep-konsep Yajña juga bercampur dengan ritual-ritual Puja yang terjadi pada masa-masa selanjutnya, dan dengan ke-empat sistem Yoga, yaitu: Karma, Bhakti, Dhyana dan Jñana. Gejala ini mungkin dapat dikatakan sebagai perkembangan khusus yang muncul dari konsep-konsep Yajña dalam perkembangannya yang lebih mapan.... Dengan menggunakan hiasan ritual, Gita menjelaskan bagaimana spirit Yajña dilekatkan oleh berbagai jenis Sadhaka dalam berbagai cara -- melalui ke-empat disiplin Yoga utama yaitu Karma, Bhakti, Dhyana dan Jñana Yoga." [Swami Mukhyananda]

"...konsep Sri Krishna tentang Yajña telah tumbuh menjadi begitu banyak dimensi. Menghasilkan kekayaan, melaksanakan tapasya, mempraktekkan latihan latihan Yoga, mempelajari kitab-kitab suci; semuanya dinaikkan keatas tingkat spiritual terbatas dan latihan-latihan duniawi, dan dihubungkan dengan Yajña yang maha besar dan abadi yaitu Brahman..." [Redaksi Majalah "Vivekananda Kendra Patrika"]

"Berbagai jenis Yajña, seperti Dravya, Tapa, Yoga dan Svadhyaya disesuaikan dengan tahap-tahap atau kemajuan spiritual yang dicapai oleh Yajamana atau sang penyembah dimaksud." [Shadu Prof. V. Ragarajan].

Dari paparan-paparan tadi, dapat dimengerti bahwa dalam konsep Yajña terkandung sistem praktis Yoga; demikian pula sebaliknya. Semua ini menjadikan Hindu lengkap dan lebih mengukuhkannya lagi sebagai Pandangan Hidup pribadi, bagi setiap manusia. Sekali lagi, semua itu dapat diringkas hanya dalam satu kata, yakni: Dharma. Menjadikan Sanatana Dharma sebagai Pandangan Hidup, secara pasti mengantarkan manusia dalam mencapai jagadhita dan mokshartam — "Mokshartam jagadhita ya ca iti dharma".

Semoga Cahaya Agung-Nya senantiasa menerangi setiap gerak dan langkah kita. Semoga Kedamaian dan Kebahagiaan senantiasa menghuni kalbu semua insan.