Selasa, 22 Mei 2012

BHAGAVATA PURANA

BHAGAVATA PURANA BAB I “Kehidupan Grhasta yang ideal” Resi Sukadewa Goswami mengisahkan dialog antara Prabu Yudhistira dengan Resi Narada, kepada Prabu Parikesit. Dialog ini terjadi pada saat Prabu Yudhistira telah selesai menyelenggarakan Yagna terbesar di muka bumi ini yaitu yang dikenal dengan nama Aswa Medha. Konon walaupun upacara agung tersebut terselengara dengan baik sang raja yang teramat bijaksana ini selalu saja resah dengan kehidupannya sebagai seorang kepala rumah tangga. Pada saat seperti itu turunlah Resi Narada dari Kahyangan berkunjung kepada sang raja yang pada kesempatan yang langkah ini langsung saja memohon diajarkan mengenai kehidupan grhasta yang ideal untuk zaman Kali-Yuga ini, sang raja sadar bahwa anak cucunya dan masyarakat Hindhu Dharma selanjutnya di zaman-zaman mendatang ini akan berubah pola hidupnya karena kemajuan dan imbas Kali-Yuga, Maka akan diperlukan pola pemujaan yang sederhana dan Satvik agar Hindhu Dharma dapat bertahan sesuai dengan ajaran Veda-Vedawalaupun tidak harus seratus persen seperti ajaran Veda, karena dengan turunnya ajaran Bhagavat-Gita yang merupakan rangkuman dan intisari dari berbagai Purana, Upanishad dan Veda, maka sempurnalah Hindu Dharma dari segi ritual dan filosofi. Semenjak saat itu sebenarnya Hindu Dharma sudah dipersiapkan untuk menjadi agama modern sesuai dengan tuntutan zaman dan bukan dibebani dengan ritual-ritual yang memakan waktu dan biaya demi keserakahan segelintir kaum Brahmana yang salah jalan. 1. ”Maharaja Yudhistira memohon kepada Resi Narada,“Wahai Resi nan agung, Wahai Prabhu, sudikah menjelaskan bagaimana caranya agar kami yang menjalankan kehidupan rumah tangga ini, yang tidak menyadari akan hakikat tujuan kehidupan ini, dapat mencapai kebebasan, selaras dengan sabda-sabda yang ada di berbagai Veda-Veda.” Keterangan : Pada bab-bab sebelum ini sebenarnya Resi Narada telah menerangkan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan dan kewajiban seorang Brahmachari, para pengikut Vanaprastha dan para sanyasi. Tetapi konon di zaman ini ketiga tipe insan-insan ini sudah langka di dunia ini, jadi dimanakah kita bisa menemukan insan-insan ideal yang menjalankan kehidupan Brahmachari yang sejati. Oleh sebab itu kami hanya mengulas bab tentang grhasta saja, yaitu mengenai kehidupan keluarga ideal sehari-harinya. Di dunia Barat kehidupan grhasata sudah mulai rapuh, nilai-nilai kekeluargaan telah hilang dan kita di Timur sedang mengikuti irama ini dengan pesat melalui berbagai kemajuan mass-media dan teknologi dengan mengorbankan semua nilai-nilai luhur warisan budaya dan dharma kita. Akibatnya baik di Barat mau pun di Timur manusia sedang berupaya mencari kembali nilai-nilai yang hilang ini, dan tidak ada yang lebih utama dari ajaran Sanatana Dharma ini yang telah berimbas secara langsung maupun tidak langsung ke ajaran-ajaran lainnya di dunia ini dari masa ke masa. Seyogyanya kita semua merasa bersyukur dan berterima kasih kepada semua resi dan manusia-manusia agung di atas ini yang berkenan untuk mengajarkan ajaran-ajaran yang adi-luhung ini kepada kita semua dengan penuh kesadaran akan hadirnya Kali-Yuga dan dampaknya terhadap umat manusia ini. 2. Resi Narada bersabda : “Wahai raja yang kukasihi, mereka-mereka yang menjalankan peran sebagai kepala rumah tangga haruslah bekerja demi kehidupan mereka, dan sebaiknya dari pada menikmati hasil-hasil dari pekerjaan mereka, seharusnya mereka-mereka ini mempersembahkan hasil pekerjaan mereka kepada Kresna Vasudewa. Dan untuk memuaskan Vasudewa (Tuhan Yang Maha Esa) ini dapat dipelajari berbagai jalan yang sempurna melalui pendekatan dengan para bakta-bakta agung pemuja Yang Maha Kuasa ini.” Keterangan : Ribuan tahun berlalu setelah sabda di atas diturunkan dan semenjak maupun sebelum itu sudah menjadi keharusan bagi pencari kebenaran untuk mencari seorang guru penuntun atau berasosiasi dengan para orang-orang suci demi mempelajari hakikat akan kehidupan ini. Bahkan Guru Nanak yang lahir sekitar 550 tahun yang lalu berulang-ulang menganjurkan hal ini kepada para pengikutnya agar mampu menghayati ilmu Vasudewapana yaitu ilmu pengetahuan tentang Yang Maha Kuasa dan segala manifestasi maupun misteri kehidupan yang diciptakanNya. Para resi dan bakta-bakta ini bisa lebih efektif mengajari kita semua dari pada upacara-upacara yang tidak ketahuan ujung pangkalnya. Sebenarnya itulah intisari Sanatana Dharma yaitu belajar satu dari yang lain secara berkesinambungan. Seandainya seseorang sehari-hari bergaul dengan para penjudi dan penggemar tajen, maka lambat laun iapun akan terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan buruk ini, dan seandainya ia bergaul dengan insan-insan yang satvik maka lambat laun ia pun akan berubah peri-lakunya menjadi satvik. Ini sudah menjadi salah satu dari hukum alam, cobalah dan anda akan mendapatkan jalan tersebut, kalau hanya membaca buku saja dan merasa sudah suci, maka sia-sialah pengharapan anda itu. 3/4. Resi Narada melanjutkan : “Seorang grhasta harus selalu berasosiasi lagi dan lagi dengan para kaum yang suci dan dengan penuh rasa hormat ia harus mendengarkan sari dari segala aktifitas Yang Maha Agung dan berbagai ReinkarnasiNya sesuai dengan yang telah dijabarkan di Srimad Bhagavatam dan di berbagai Puranas. Selanjutnya secara bertahap ia melepaskan keterikatannya dengan istri dan putra-putrinya ibarat seseorang yang terbangun (sadar) dari mimpinya.” Keterangan : Sehari-hari kita bekerja begitu bersemangat untuk mendapatkan sesuap nasi dan tidak perduli apakah yang dihasilkan itu halal (satvik) atau tidak (tamasik), dan lupalah kita semua akan kewajiban dan amanat Yang Maha Kuasa agar meluangkan sedikit waktu saja untuk dihaturkan kembali kepadaNya dalam bentuk bakti dan dedikasi yang berkesinambungan setiap harinya selama beberapa menit atau saat saja, kalau tidak lalu apa bedanya kita dengan kucing dan anjing yang berada disekitar kita. Tubuh yang menyandang Sang Atman dan budi pekerti ini kita sia-siakan dengan alasan bahwa zaman telah berubah, tetapi mari kita coba menatap ke langit dan mempelajari apakah sang langit dan bintang-bintang di sana juga sudah berubah ? Sudah berubahkah Tuhan Yang Maha Esa dari zaman ke zaman. Keluarga adalah suatu amanat yang teramat penting bagi kita semua, memenuhi kebutuhan sebuah keluarga adalah sebuah bentuk dharma yang tinggi tetapi memenuhi pemujaan kita kepada Sang Pencipta bersifat lebih tinggi, oleh sebab itu seseorang kepala rumah tangga harus meninggalkan kehidupan duniawinya lambat laun walaupun ia tetap tinggal di rumahnya dan mengabdikan dirinya demi Yang Maha Esa dan ajaran-ajaranNya. Janganlah mati dengan sia-sia dalam keadaan masih terikat dengan anak istri, mereka harus diajar menjadi mandiri semenjak masa muda. Sang Maya, dalam bentuk ikatan keluarga ini selalu siap menyesatkan kita dari jalan penitian spritual kita, karena memang itu tugasnya, tetapi seandainya kita bertemankan para orang suci maka lambat laun persiapan kita untuk menanggalkan kehidupan grhasta akan berjalan dengan mulus, jadi carilah guru penuntun agar terselamatkan jiwa ragamu dari perangkap Sang Maya, dan guru itu bisa siapa saja yang sudah mendapatkan sentuhan spritual dari Tuhan Yang Maha Esa, bukan dari mereka-mereka yang mengaku sudah menjadi Brahmana tetapi hanya bersifat teori dan masih sibuk main sabung ayam. 5. Resi Narada bersabda : “Pada saat mencari nafkah secukupnya demi menunjang kehidupannya dan demi perawatan jiwa dan raganya, seseorang yang terpelajar (pandita) wajib tinggal di tengah-tengah masyarakat tanpa terikat dengan berbagai masalah-masalah kekeluargaanya, walaupun demikian, secara eksternal ia terkesan terikat kepada keluarganya.” Keterangan : Seseorang yang terpelajar dalam berbagai kaidah suci Hindu Dharma dan menetrapkan ajarannya sesuai dengan yang seharusnya disebut sebagai seorang pandit (pandita) yang berarti seorang yang terpelajar, dan ia bisa saja berasal dari warna apa saja. Yang penting dihayati adalah bahwa kehidupan sebagai manusia adalah medium ke strata spritual yang lebih tinggi. Keluarga adalah salah satu dari medium tersebut yang setelah sampai waktunya harus ditinggalkan juga dengan penuh kesadaran, dengan begitu kita bisa meniti jalan evolusi spritual yang kita selalu dambakan sehari-hari. Setiap manusia ingin moksha dan menuju ke sorga tetapi jarang ada yang mau mati, apalagi mempersiapkan kematian yang wajar dan satvik sifatnya penuh dengan kesadaran sejati, lalu kapan kita akan moksha ? 6. Resi Narada melanjutkan sabdanya : “Seorang yang cerdas yang hidup di tengah-tengah masyarakat seyogyanya merencanakan kehidupannya sehari-hari secara sederhana. Seandainya ia mendapatkan berbagai masukan dan nasehat dari para sahabat, putra-putrinya, orang tua, saudara atau orang-orang lainnya, ia wajib menyetujuinya secara eksternal, tetapi secara internal ia harus berketetapan untuk tidak menciptakan suatu kehidupan yang rumit, karena kehidupan semacam itu tidak akan menghasilkan tujuan akan kehidupan ini.” Keterangan : Begitu seseorang merubah kehidupannya sehari-hari ke arah spritual, maka setiap anggota keluarga, sahabat dan handai tolan akan terkejut melihatnya. Yang tadinya sangat duniawi tiba-tiba berubah menjadi sangat sederhana, vegetarian dan lebih menyukai keheningan, dan sebagainya. Maka khawatirlah mereka-mereka yang selama ini terlalu bersandar ke kepala rumah tangga ini, mereka lalu berusaha menjegal dengan berbagai nasehat yang bersifat duniawi agar sipemuja ini kembali jalan meteri demi kelangsungan dan kenikmatan para pemberi nasehat ini. Seorang bakta yang bijaksana di sloka di atas dianjurkan untuk menerima semua masukan nasehat ini dengan lapang dada tetapi terbatas diluar hati saja, di dalam hatinya ia harus selalu bertekad dengan penuh disiplin spritual agar tidak terpengaruh jalan keTuhanan yang sedang dijalaninya itu. Ciri-ciri seseorang yang bijaksana ini adalah ia selalu pasrah, penuh percaya diri, sederhana dalam setiap tindak-tanduknya dan satvik dalam menjalani berbagai aspek kehidupannya, ia pun memiliki kharisma dan ilmu pengetahuan yang sejati dan nallluri intuisi yang tinggi. 7. ”Kebutuhan-kebutuhan kehidupan yang bersifat alami diciptakan oleh Yang Maha Agung untuk seharusnya dipergunakan menunjang raga semua mahluk hidup. Terdapat tiga bentuk kebutuhan hidup ini. Yang diciptakan di langit (contoh : hujan, udara dan sebagainya), yang diciptakan oleh bumi, (contoh : hasil bumi, hasil tambang, dan kelautan, dan sebagainya), dan yang diciptakan di atmosfir (yang bisa didapatkan oleh seseorang tanpa terduga sebelumnya (contoh : keajaiban, nasib baik, keselamatan dan sebagainya).” Keterangan : Menurut ajaran Sanatana (Hindu) Dharma ada 8.400.000 bentuk kehidupan di bumi ini, dan untuk setiap mahluk ini Yang Maha Esa telah menyediakan kebutuhan dan sarana kehidupan yang sesuai dengan kodratnya. Begitu Maha Pengasih dan Maha Penyayang Yang Maha kuasa ini sehingga seekor semutpun telah dijamin makan minumnya beserta tempat tinggalnya, tetapi seandainya seseorang berpikir bahwa dengan hanya bersembahyang dan malas bekerja atau berusaha apa saja, seseorang akan diberikan kehidupan yang gratis oleh Yang Maha Esa maka sia-sia saja kehidupan orang tersebut, karena di dunia ini tidak ada sesuatu apapun yang bersifat gratis, semua harus dibayar dengan karma dan yang satu ini kompleks sekali dan mahal bayarannya. Jauh sebelum manusia diciptakan, Tuhan dalam bentuk bhur (bumi) ini selama jutaan tahun memproses bumi ini dari zaman es ke seperti yang kita tinggali saat ini, satu persatu elemen kehidupan dikeluarkan dari perut bumi ini dibantu oleh Sang Surya dan Sang Chandra dan seluruh sistem tata surya yang mengelilinginya ikut berpartisipasi dalam evolusi maha karya ini, yang oleh para resi digambarkan sebagai proses pemutaran Mandala-Giri. Setelah seluruh sarana penunjang kehidupan manusia seperti fauna dan flora diciptakan barulah manusia secara bertahap diciptakan dengan seluruh elemen ego, angkara murka dan sebagainya yang bersifat asura dan dewa di gali dari bumi ini dan disertakan kepada manusia. Jadi Tuhan dalam bentuk bumi memberikan juga kepada manusia elemen-elemen kejeniusan, kebodohan, kebajikan dan kebatilan dan sebagainya untuk menjalankan maha karya kehidupan ini sendiri, sebaiknya kita menghayati misteri yang agung dan sulit dimengerti ini, dan jangan hanya terpaut kepada kehidupan duniawi, materi, dan ritual saja. Hidup lebih berharga dari pada semua itu. Pada saat ini bumi lebih mirip neraka dari pada swarga yang pertama kali diciptakan oleh Yang Maha Pencipta. Manusia dengan segala ketamakan dan kebodohannya, membabat hutan-hutan, menetrapkan sistem ekonomi barat yang menguasai hajat hidup bangsa-bangsa lain, bermain politik yang kotor dan melakukan peperangan dimana-mana tanpa henti-hentinya, dan sehari-hari kita melihat bagaimana lingkungan kita mencemari diri mereka sendiri dengan merokok, berjudi, mengkomsumsi alkohol dan obat-obat terlarang, bahkan mentato tubuh mereka, dan sebagainya. Tanpa pernah mau berpikir bahwa diperlukan jutaan tahun untuk menciptakan manusia dan lingkungan hidup ini, dan kita hanya mampu merusak dan sering itu atas nama agama, dan sebagian itu malahan dengan anjuran para Brahmana dan penguasa keparat. 8. ”Seseorang diperbolehkan untuk memiliki harta benda sesuai dengan kebutuhan jiwa dan raganya, tetapi seseorang yang menginginkan lebih dari itu harus dianggap sebagai pencuri, dan ia pantas dihukum oleh alam.” Keterangan : Di masa lalu baik di India maupun di Indonesia, masyarakat Hindu berlimpah dengan hasil bumi dan kaya dengan adat kultur budayanya yang penuh dengan sifat gotong-royong dan saling membantu, sehingga penduduk desa selalu saling menunjang satu dengan yang lainnya. Saat ini manusia makin banyak dan lahan makin sempit, sistem ekonomi barat yang terlalu bersifat materi telah merusak tatanan kehidupan manusia yang seharusnya harmonis menjadi penuh dengan stress, kebutuhan pendidikan yang memakan waktu yang lama dan banyak berakhir dengan mubazir karena tidak tersedianya lapangan kerja. Sloka di atas mengajarkan kita untuk selalu membagi hasil pendapatan kita bahkan diri kita sendiri dengan segala potensi kita kepada orang / mahluk lain yang membutuhkannya di sekitar kita. Seandainya anda tidak serahkah untuk membagi potensi ini, anda akan melihat akan melihat timbal balik karmanya yang amat menakjubkan. Tuhan tidak pernah menutup matanya untuk orang-orang seperti ini, hidup mereka tidak pernah kekurangan karena merekalah sebenarnya orang-orang yang kaya dengan berbagai hal, bukan orang kaya yang hanya bisa menyelewengkan kredit bank dan kemudian merugikan bangsa dan negara, padahal sewaktu mati nanti tidak seujung jarumpun dapat mereka bawa serta. 9. ”Seseorang wajib bersikap (penuh kasih sayang) terhadap fauna seperti rusa, onta, keledai, kera, tikus, ular, burung dan lalat dan sebagainya. Ibarat mereka ini adalah putra-putrinya. Sebenarnya hewan-hewan yang lugu ini tidak jauh berbeda dengan anak-anak kecil.” Keterangan : Sloka di atas mempertegas bahwa pengorbanan hewan itu tidak suci dan tidak satvik sifatnya. Para hewan tidak memiliki akal budi ibarat anak-anak balita yang belum sekolah dan tidak mengerti akan kehidupan materi ini, bagi hewan-hewan ini hidup ini harus dijalani secara alami dan di alam ini sudah ada predator untuk setiap fauna dan flora, manusia cukup menggunakan yang diperlukan saja dan melestarikan yang lain demi manusia dan anak cucunya sendiri, demi fauna-flora itu sendiri dan akumulasi dari semua itu bersifat demi Sang Pencipta dan seluruh ciptaanNya itu sendiri. Bukan dengan mecaru, karena kata mecaru berasal dari kata Sansekerta caruya yang berarti sesajen yang terdiri dari hasil panenan yang dipersembahkan kembali kepada Dewi Sri, tidak lebih dan tidak kurang, titik. Tetapi oleh masyarakat kita sering hewan-hewan yang tidak berdaya ini dikorbankan demi puasnya buta-kala dan dengan iming-iming bahwa sang hewan korban ini akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik di masa-masa mendatang. Tetapi itu dilakukan pada zaman Purana, yaitu sekitar 8000 ke 10.000 tahun yang lalu di mana peradaban manusia masih primitif. Berbagai Purana saat ini adalah nara sumber bagi kelanjutan agama Hindhu bukan sebagai sarana sembahyang atau penuntun kehidupan kita. Purana telah digantikan posisinya oleh berbagai Veda yang sarat dengan berbagai ilmu pengetahuan, dan Veda-Veda, berbagai Purana dan berbagai Upanishad kemudian disarikan oleh ratusan resi yang mengatas namakan Resi Vyasa kemudian menghasilkan maha karya Bhagavat-Gita sebagai penuntun manusia di alam yang lebih beradab kini. Kalau kemudian kita mau kembali ke zaman Purana yang berarti kuno, bukankah itu suatu tindakan yang sia-sia dan munafik sifatnya, ingat di Bhagavat-Gita Yang Maha Esa secara tegas menyatakan tidak menyukai orang-orang atau Brahmana yang munafik. Di masa lalu banyak manusia sakti yang berstatus Dwijati, mereka-mereka ini bisa mengorbankan hewan atau manusia atas perintah atau petunjuk misterius Yang Maha Esa. Misalnya Kresna menganjurkan perang kepada Arjuna dewi lestarinya dharma, tentunya di dalam perang tersebut banyak manusia, hewan dan mahluk-mahluk halus yang musnah tetapi pahala mereka adalah swarga, karena mereka mati demi bangsa dan negara. Tentanglah dengan penuh kebajikan dan sifat-sifat ahimsa para pelaku caru ini, sadarkanlah mereka bahwa sang hewan memang akan naik statusnya di masa mendatang tetapi sang pelaku yang bukan Dwijati akan turun statusnya akibat dikutuk oleh para hewan tersebut. Tidak mudah memang merubah suatu adat yang sudah mengakar, tetapi Yang Maha Esa selalu menyediakan sarana dan jalan bagi para bhaktanya yang bersedia berkorban demi sesama mahluk, karena pada intinya itu berarti beryagna demi Yang Maha Kuasa itu sendiri. Di Bali beberapa waktu yang lalu di suatu daerah tikus-tikus dimusnahkan oleh masyarakat setempat, kemudian setelah itu masyarakat itu sendiri yang ketakutan akibat perbuatannya, melakukan ngaben tikus. Dari suatu pihak terkesan bodoh dan rancu perbuatan ini, mengapa harus diaben seperti manusia kalau harus dibunuh dulu karena dianggap hama, dipihak lain menunjukkan masyarakat tersebut sadar akan hukum karma yang pasti akan menimpa mereka karena membunuh mahluk ciptaan Tuhan yang serba lugu ini, lalu salah siapakah ini ? coba direnungkan, hama tikus terjadi karena ular sawah sebagai predator mereka musnah akibat pemakaian pestisida dan pupuk urea, hukum alam dipatahkan oleh manusia itu sendiri dan akibatnya ditanggung oleh dirinya juga. 10. ”Walaupun seseorang itu statusnya kepala rumah tangga dan bukan seorang Brahmachari atau sanyasi ataupun berstatus Vanaprastha, ia seharusnya tidak berusaha sekuat tenaga demi agama, demi pencarian harta benda (sebanyak mungkin) ataupun demi pemuasan indra-indra tubuhnya. Walaupun seseorang itu adalah kepala rumah tangga, ia seharusnya puas dengan apa yang didapatkannya tanpa usaha yang menggebu-gebu demi pelestarian dan pemeliharaan jiwa raganya secara bersama-sama, sesuai dengan tempat dan zaman ia berada, dengan karunia Yang Maha Esa. Seseorang sebaiknya tidak mengikat dirinya dengan ugra karma. Keterangan : Di dalam kepercayaan masyarakat Hindu dikenal 4 jenis dasar dari tujuan kehidupan ini yaitu masing-masing adalah dharma, artha, kama dan moksha ditambah beragama, pencapaian status ekonomi tertentu, pemuasan berbagai nafsu duniawi dan indriyas dan sebagainya. Dari segi agama saja banyak manusia fanatik menyelenggarakan berbagai upacara besar-besaran dengan biaya yang tinggi demi pemuasan status dan gengsi belaka, demi agama banyak yang berperang pada hal tujuan utama tidak dimengerti dan banyak contoh-contoh lainnya yang tidak masuk akal sehat. Banyak yang berpendapat setelah dharma, artha dan kama tercapai maka selanjutnya harus mati-matian mencapai moksha, pada hal apa itu moksa sesungguhnya belum pernah ada laporan yang datang dari ujung sana. Sloka di atas jelas menegaskan bahkan moksha itu bersifat duniawi jadi seyogyanya tidak perlu dipaksakan secara mati-matian atau secara fanatik. 11. ”Anjing, orang yang hina dan orang yang tak boleh disentuh termasuk candalas (pemakan anjing), semuanya ini wajib diperhatikan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka, semua kebutuhan ini seharusnya didana-puniakan oleh setiap kepala keluarga. Bahkan istri seseorang yang adalah ikatan yang terintim seseorang, harus dipersembahkan demi pelayanan terhadap tamu, masyarakat dan semua orang pada umumnya.” Keterangan : Sloka sabda resi Narada di atas sekali lagi menjelaskan hak dari kaum miskin, binatang-binatang kelaparan disekitar kita bahkan mereka-mereka yang dianggap hina karena sesuatu dan lain hal, apalagi orang-orang gila dan sebagainya. Mempersembahkan istri berarti sang istri ikut berpartisipasi dengan sang suami yang merupakan wujud duniawi Sang Vishnu dan istri sebagai wujud Dewi Laksmi shaktinya. Kerja sama rumah tangga dan masyarakat beserta seluruh kegiatan spritual seandainya dilakukan dengan harmonis oleh setiap suami (purusha) dan prakriti (istri) akan menghasilkan efek yang sangat satvik sifatnya. 12. ”Ada orang-orang tertentu yang menganggap bahwa istrinya adalah miliknya pribadi yang tidak boleh dilibatkan atau diganggu-gugat, sehingga ia membunuh dirinya atau orang-orang lain demi istrinya ini, bahkan mampu membunuh orang tua dan gurunya spritualnya sendiri. Seandainya seseorang mampu melepaskan keterikatan dengan istri semacam ini, maka ia akan dapat “menguasai” Yang Maha Esa, Yang Tak Terkuasakan oleh siapapun juga.” Keterangan : Ada jenis pria tertentu yang terlalu dikuasai oleh para istri mereka, dan ada yang terlalu terobsesi oleh daya pikat kecantikan atau seksual mereka, ada juga istri yang status sosialnya lebih tinggi dan ada yang mampu mendatangkan harta, dan mereka-mereka ini mampu membuat para suami bertekuk-lutut di depan mereka tanpa daya. Pria-pria yang lemah ini mampu berbuat apa saja demi istri-istri mereka ini, para pria ini bahkan mampu membunuh atau menyakiti orang lain demi membela istri-istrinya ini. Oleh karena itu dikatakan seseorang pria itu sangat beruntung seandainya ia memiliki istri yang seiman dengannya, ibaratnya ia telah menguasai yang tak dapat dikuasai, karena kasus suami-istri yang seratus persen seiman itu langkah sekali. Juga tidak berarti bahwa Yang Maha Esa itu kalah dengan pria ini tetapi sebaliknya bhakta ini begitu disayangi olehNya sehingga ia mendapatkan perlindungan total dari Yang Maha Esa. 13. ”Melalui budi dan upayanya yang selaras, seseorang seharusnya secara lambat-laun menanggalkan keterikatannya dengan raga istrinya karena raga tersebut secara pasti pada suatu saat kelak akan berubah menjadi cacing kermi, kotoran dan abu. Berapakah harga dari raga yang tak berarti ini ? Betapa lebih besar nilai Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pengasih (pengisi) alam semesta ini, ibarat bentangan langit yang luas dan tanpa tepi ini ? Keterangan : Ada tipe-tipe pria yang hidupnya melulu demi pemuasan seks istrinya saja dan demi kemewahan duniawi yang tidak ada habis-habisnya tanpa mau sadar bahwa suatu hari nanti semua kita ini akan mati dan disantap cacing tanah. Tubuh ini sebenarnya tidak berharga kalau tidak bernyawa, karena ayam dan itik sebenarnya lebih mahal kalau mati. Kehidupan rumah tangga adalah suatu bentuk dharma yang tertinggi, yang harus disadari dan dilepaskan suatu waktu nanti adalah keterikatannya, yang tidak dilepas adalah Yang Maha Esa tempat kita harus menambatkan diri. 14. ”Seseorang yang cerdas harus merasa puas dengan menyantap prashada (sesajen yang dipersembahkan kepada Yang Maha Esa) atau dengan melakukan lima bentuk yajna (Pancana-Suna). Dengan melakukan berbagai kegiatan ini, ia akan melepaskan keterikatan dari raganya dan dari hal-hal yang berhubungan dengan raga ini. Sewaktu seseorang ini mampu melaksanakan hal ini, maka secara tegar ia akan memasuki status sebagai seorang mahatma.” Keterangan : Di masa yang silam manusia tidak pernah khawatir akan kekurangan makanan atau perhatian atau sandang pangan karena semangat kegotong-royongan yang masih tinggi di antara sesama warga. Dewasa ini sulit mendapatkan bantuan dari sesama kalau seseorang tidak bekerja sehari-harinya. Pola konsumtif dan ekonomi Barat telah merasuki kehidupan setiap bangsa sehingga semangat gotong-royong dan kehidupan spritual semakin lama semakin pudar, dan yang timbul adalah masalah-masalah sosial dan agama yang makin semu dan bernuansa rawan. Seyogyanyalah seseorang aktif dalam berbagai kegiatan sosial, seni budaya dan spritual secara sadar bahwa yang memerlukan suplemen bukan saja raga kita tetapi juga jiwa (batin) kita juga memerlukan santapan spritual demi pemuasan jiwa kita. Tetapi manusia-manusia sadar semacam ini sudah langka di dunia yang serba bernuansa materi ini, jadi kalau ada satu dua insan sejenis ini maka dikatakan ia adalah seorang mahatma karena telah mencapai kesadaran yang penuh akan hakikat kehidupan ini. 15. ”Setiap hari, ia wajib memuja ke Yang Maha agung yang bersemayam di dalam kalbunya, dan berdasarkan pemujaan ini, ia juga secara terpisah wajib memuja para dewa-dewi, para orang-orang suci, sesama manusia dan berbagai mahluk hidup lainnya, memuja leluhur dan Sang Jati Dirinya. Dengan cara ini ia akan mampu memuja Yang Maha Agung yang bersemayam di dalam lubuk kalbunya.” Keterangan : Ternyata kita semua memerlukan medium dan tahap-tahap dalam penitian kita ke pemujaan terhadap Yang Maha Esa. Banyak pemuja merasa dengan berdoa saja kepada Tuhan sudah cukup. Dan mereka-mereka ini menganggap persetan dengan pemujaan terhadap para guru, dewa dan leluhur, persetan dengan semua pertemuan spritual dan yoga, meditasi dan sebagainya. Ternyata pemikiran semacam ini salah. Diperlukan praktek dan disiplin dan guru, serta medium di dunia ini dan dari dunia Niskala untuk secara bertahap menghayati Tuhan Yang Maha Esa. Untuk mengenaliNya maka kenalilah dulu mahluk-mahluk di sekitarmu dahulu, berbaktilah kepada orang tua, guru dan mereka-mereka yang memerlukan cinta kasihmu, sayangi dulu bumi Pertiwi tercinta ini dari mana kita semua berasal, sayangi semua produk dari bumi ini yang menunjang kehidupan kita dan tanpa semua itu mungkin hidup kita tidak lama. Kalau semua bakti secara sadar telah terlaksana dengan baik barulah kita meniti ke bakti kita kepada Yang Maha Kuasa. Manusia-manusia yang bersifat egois dan hanya mementingkan diri mereka sendiri dan tidak bermanfaat bagi sesama mahluk tidak memenuhi syarat untuk dekat denganNya walaupun sepanjang hari mereka berdoa terus-menerus. Itulah sebabnya kita mengucapkan mantram suci Om shanti-shanti-shanti. Sadarkah anda bahwa shanti yang pertama ditujukan kepada bumi dan seluruh isinya shanti yang kedua untuk alam semesta dan seluruh isinya dan shanti ketiga kepada kekosongan yang meliputi bumi dan alam semesta, jadi bhur-bwah dan swah semuanya diberi salam shanti dan otomatis kita dan semua mahluk dimohonkan kesejahteraannya. Tetapi ucapan ini harus tulus dan dihayati secara baik, tanpa itu sia-sia saja ucapan ini. 16. ”Sewaktu seseorang memiliki harta dan ilmu pengetahuan dan menjalankannya dengan penuh kendali, dan dengan kedua faktor tersebut ia mampu melaksanakan yajna atau memuaskan Tuhan Yang Maha Agung, maka seharusnya ia melaksanakan berbagai upacara yajna, agni-hotra-adina sesuai dengan kaidah-kaidah yang terdapat di dalam berbagai sastra widhi. Dengan cara ini ia seharusnya memuja Tuhan Yang Maha Agung.” Keterangan : Di dalam shastras dan Veda bukan saja terdapat bentuk ritual-ritual yang di sebutkan di atas, Tetapi juga berbagai cara dan pelaksanaan untuk membagi harta dan ilmu pengetahuan demi langgengnya ciptaan-ciptaan Yang Maha Esa yang ada di sekitar kita. Pada zaman Satya-Yuga manusi yang hidup ratusan ribu tahun dapat beryadnya dengan meditasinya (tapa-brata) dan di zaman Tirta-Yuga dengan berbagai bentuk yajna yang mahal biayanya sedangkan di zaman Dvapara-Yuga, yajna dilakukan di tempat-tempat ibadah seperti kuil dan pura. Di zaman Kali ini manusia jarang mampu mencapai usia 80 tahun maka dianjurkan melaksanakan pengorbanan atau persembahan dalam bentuk japa, sankirtana yajna yaitu berbagai kegiatan sosial demi lestarinya manusia dan mahluk-mahluk lainnya. Dan semua itu bisa dilaksanakan dengan ilmu pengetahuan, atau harta benda atau tenaga fisik dan sebagainya. Sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Zamannya ritual yang serba wah wah sudah lewat, malahan upacara-upacara semacam ini meninggalkan beban hutang dan stress yang teramat berat dan kalau hal ini kita biarkan maka diperkirakan dalam kurun waktu seratus tahun lagi umur manusia akan berkisar 30 tahun saja karena dilanda berbagai depresi dan lingkungan hidup yang bermutu rendah. 17. ”Tuhan Yang Maha Agung, Sri Kresna, adalah penikmat sesajen yang dipersembahkan. Namun walaupun Beliau menikmati persembahan melalui agni (api), wahai Raja yang kuhormati, Beliau lebih puas seandainya sesajen terbuat dari gandum-ganduman dan ghee (mentega murni) yang dipersembahkan kepadaNya melalui para Brahmana yang memenuhi syarat.” Keterangan : Di sini jelas-jelas Resi Narada memberikan petunjuk bahwa Yang Maha Kuasa kurang berkenan dengan agni-hotra yang serba wah dan mahal biayanya yang hanya menghambur-hamburkan berbagai jenis makanan dan mantega untuk dilalap api dan jadi asap belaka, tetapi lebih baik kalau semua itu diberikan kepada para Brahmana yang suci dan miskin yang tidak mengharapkan pamrih sewaktu melaksanakan berbagai tugas suci untuk kita semua. Para Brahmana ini bisa saja terdiri dari para pemangku, sulinggih, pendeta, pedanda dan sebagainya yang sehari-harinya hidup sederhana tetapi penuh dengan dedikasi dan bakti bagi masyarakat sekitarnya. Tidak semua yang merasa lahir dengan kasta Brahmana berhak menerima sesajen ini, tetapi hanya mereka-mereka yang secara kodrati telah terpilih jalannya untuk mengabdi kepada sesama manusia. Mereka-mereka yang sudah menyandang berbagai gelar Brahmana tetapi masih menyantap telur, dan mahluk-mahluk hidup tidak bisa disebut Brahmana. Sesajen yang diberikan kepada mereka tidak perlu dalam bentuk masakan tetapi bisa berbentuk sesari atau yang belum dimasak. Biasanya kita menyentuh sesajen tersebut dengan kedua telapak tangan kita sambil mengucapkan Om Namo Sri Kresnam Saranam Gachami yang berarti kupersembahkan ini atas nama Sri Kresna. Kalau sesajen itu diperuntukkan pitra-yajna, maka ditambahkan sebuah doa lagi sama seperti di atas tetapi nama Sri Kresna diganti dengan nama leluhur yang dimaksud, jadi dua kali berdoa, pertama atas nama Sri Kresna dari yang kedua atas nama leluhur. 18. ”Selanjutnya, wahai raja yang kami hormati, persembahkan prashada (sesajen) ini kepada kaum Brahmana dan kepada para dewa, dan setelah mempersembahkan sesajen yang berharga ini dikau diperkenankan untuk membagi-bagikan prashada ini ke mahluk-mahluk hidup lainnya sesuai dengan kemampuanmu. Dengan cara ini dikau akan mampu memuja semua bentuk kehidupan atau dengan kata lain, dikau akan mampu memuja intisari agung yang bersemayam di dalam semua bentuk kehidupan ini.” Keterangan : Di dalam Manawa Dharma Shastra dan berbagai shastra-widhi lainnya disinggung bahwa seandainya seseorang makan hanya untuk dirinya sendiri maka yang dimakannya adalah dosa belaka, dan seandainya seseorang ingin ke sorga sendiri maka ia tidak akan mendapatkan teman di sana. Inti sari sesajen tidak perlu yang mahal atau berbentuk pameran kekayaan tetapi untuk apa, siapa dan tujuannya. Di Bali buah-buahan ditusuk dengan lidi lalu diatur di atas penampan, sesajen semacam ini tidak layak dihaturkan kepada Yang Maha Esa karena buah-buahan tersebut sudah tidak satvik lagi bentuknya karena sudah cacat akibat tusukan lidi dan tercemar oleh bakteri, akhirnya buah-buahan ini tidak layak bahkan dikosumsi oleh manusia yang menghaturkannya dan kemudian dikonsumsi oleh babi-babi peliharaan. Sudah mahal, pamer kekayaan dan akhirnya babi yang menikmati, lalu apa tujuan untuk dipersembahkan ? Di Jawa saudara-saudara Hindu sedharma lebih satvik caranya, sesajen yang bisa berupa apa saja dihaturkan secara sederhana bahkan ditutup dengan kain bersih, kemudian setelah disembahyangi dimakan bersama sama dengan keluarga bahkan langsung di Pura. Seseorang boleh saja beryajna dengan menghaturkan darahnya sebagai donor darah setiap tiga bulan sekali secara diam-diam dan tidak perlu digembar-gemborkan, ini pasti lebih berkenan bagi Yang Maha Esa. 19. ”Seorang Brahmana yang cukup berada wajib menghaturkan persembahan sewaktu rembulan berada pada posisi gelap (setiap 2 minggu), pada akhir bulan Bhadar. Dengan cara ini, ia wajib menghaturkan persembahan para sanak saudara (dari) leluhur pada saat upacara-upacara Mahalaya yang diselenggarakan pada bulan Asvina.” Keterangan : Upacara Mahalaya biasanya di India diselenggarakan pada tanggal 15 sewaktu posisi rembulan berada pada sisi yang gelap yang jatuh pada bulan Asvina, berdasarkan perhitungan kalender Vedik. 20/23.“Seseorang wajib melaksanakan upacara sradha pada saat Makarasankranti (suatu hari di saat Sang Surya mulai bergerak ke utara) atau pada hari Karkata-Sankranti, yaitu hari sewaktu Sang Surya mulai bergerak ke arah selatan. Seseorang diharuskan melaksanakan upacara ini pada hari Mesa-Sankriti dan pada hari Tula-Sankranti; melalui yoga yang disebut Vyatipata; pada hari tersebut tiga tithis sang chandra bergabung, di saat gerhana bulan atau gerhana matahari; pada hari ke 12 (tahun rembulan); dan juga pada hari Sravana-Naksatra. Seseorang wajib melaksanakan upacara ini pada hari Aksaya-trtiya, pada hari kesembilan (tahun rembulan) di saat malam hari terasa terang pada bulan Kartika, pada empat astaka saat musim salju dan musim dingin, pada hari ketujuh (tahun rembulan) pada saat 14 hari dikala malam terasa terang pada bulan Maha; di saat rembulan bulat penuh; atau tidak bulat penuh; hari-hari dihubungkan dengan naksastras dari mana beberapa nama bulan ini berasal. Seseorang juga harus melakukan upacara sradha pada hari ke dua belas (rembulan) sewaktu saat tersebut berhubungan dengan salah satu naksastras yang disebut Anuradha, Sravana, Uttara-phalguni, Uttarasadha atau Uttara-bhadrapada. Dan juga seseorang harus melaksanakan upacara ini pada saat hari kesebelas (rembulan) sedang bergabung dengan salah satu dari Uttara-phalguni,Uttarasadha atau Uttara-bhadrapada. Terakhir, seseorang harus melaksanakan upacara ini pada hari-hari yang berhubungan dengan horoskop kelahirannya (Janma-naksatra) atau dengan Sravana-naksatra.” Keterangan : Di dalam Bhagavat-Gita, bab VIII, sloka 24-25 tertulis jelas tentang enam bulan pergerakan matahari ke arah utara, yang disebut sebagai Uttarayana, atau jala utara. Dan kemudian disusul 6 bulan berikutnya matahari bergerak ke arah selatan dan ini disebut daksinayana, atau jalan selatan. Pada hari pertama Sang Surya mulai bergerak ke arah utara dan memasuki wilayah Capricorn, dikenal dengan sebutan Makara-Sankranti, dan selanjutnya sewaktu Sang Surya memulai gerakan ke arah selatan, dan memasuki wilayah Cancer disebut sebagai Karkata-Sankranti. Pada kedua hari yang khusus ini seseorang seharusnya melakukan upacara shradha. Visuva-Sankranti juga disebut dengan nama Mewsa-Sankranti, di kala Sang Surya memasuki wilayah Aries. Pada hari Tula-Sankranti, Sang Surya memasuki wilayah Libra. Kedua hari ini tercipta hanya sekali dalam setahun. Vyatipata-yoga adalah yoga yang sangat khusus yang berhubungan dengan perjalanan Sang Surya dan Sang Chandra di alam semesta ini. Ada 27 jenis yoga dan ketujuh-belas disebut Vyatipata-yoga. Hari yang khusus ini dianggap juga sangat baik untuk melaksanakan upacara shradha. Tithi adalah sebutan dari jarak antara rembulan dan matahari (tahun rembulan). Kadang-kadang sebuah tithi bisa saja kurang dari 24 jam. Seandainya tithi dimulai setelah matahari terbit pada suatu hari tertentu dan kemudian berakhir sebelum matahari terbit keesokan harinya, maka tithi yang sebelumnya dan tithi yang selanjutnya akan bersentuhan dalam jarak waktu 24 jam. Fenomena ini disebut tryaha-sparsa yang sering disebut juga persentuhan antara tiga tithis. Banyak resi mengatakan bahwa upacara sradha sebaiknya tidak dilaksanakan pada hari Ekadishi tithi, karena sang pelaksana dan para leluhur yang menerima sradha ini semuanya akan masuk ke neraka termasuk sang pandita yang melaksanakan upacara ini. Tidak ada keterangan yang spesifik mengapa hal tersebut bisa terjadi. Semua keterangan di atas adalah hal-hal yang berlaku di india sampai saat ini. 24. ”Semua waktu (saat) yang jatuh di berbagai musim dianggap amat sangat sakral dan bermanfaat untuk kemanusiaan. Pada saat-saat tersebut seseorang seharusnya melaksanakan semua jenis pekerjaan dan aktifitas-aktifitas yang bermanfaat dan suci sifatnya, karena dengan melaksanakan berbagai aktifitas tersebut seseorang dapat mencapai kesuksesan dalam masa kehidupannya yang singkat ini.” 25. ”Pada saat-saat pergantian musim, seandainya seseorang mandi di sungai Gangga, di Yamuna atau di tempat-tempat sakral lainnya, seandainya seseorang menghaturkan puja, agni-hotra, atau melaksanakan nazar atau bila seseorang memuja Yang Maha Esa, para Brahmana, leluhur, para dewa dan semua mahluk hidup secara sama rata, apapun yang didana-puniakan (didermakan) akan menghasilkan pahala abadi yang amat bermanfaat.’ 26. ”Wahai Raja Yudhistira, pada saat-saat yang telah ditentukan untuk menyelenggarakan upacara-upacara ritual demi seseorang atau demi anak-istri, atau selama upacara-upacara kematian dan upacara pada hari kematian seseorang, maka diharuskan kepada seseorang untuk melaksanakan upacara-upacara tersebut di atas yang bersifat sakral dan bermanfaat karena menghasilkan imbalan yang besar dalam bentuk pahala.” Keterangan : Berdasarkan veda, banyak upacara yang harus dikerjakan seseorang pada hari-hari baik seseorang atau secara garis besar keluarga dan leluhurnya. Pada zaman Kali-Yuga ini semua Veda telah dirangkum ke Bhagavat-Gita yang sering disebut sebagai Panca Veda atau Veda ke lima. Sebaiknya agar tidak rancu bagi para pengikut ajaran Bhagavat-Gita untuk mengacu kepada Bhagavat-Gita; di karya suci ini Sri Kresna telah memberikan wejangan yang menegaskan bahwa Beliau itu sudah merasa terpuaskan hanya dengan sekuntum bunga, air, buah-buahan. Pada saat yang sama beliau juga mengatakan sebaiknya para pemujaNya selalu mengacu ke shastra-widhi dan para orang-orang suci. Intinya shrada diharuskan, tetapi pelaksanaannya sebaiknya tidak mubazir dan tidak buang-buang uang, kalau ada harta lebih sebaiknya dipergunakan untuk shradha yang berbentuk buku-buku suci yang dibagi-bagikan kepada mereka-mereka yang membutuhkannya, berdonor darah untuk sesamanya dan lain sebagainya yang sesuai dengan hati nurani dan kemampuan masing-masing individu. Kami pribadi sebagai penerjemah buku suci ini mempunyai pengalaman yang unik dalam hal ini. Sewaktu ibu kami suatu saat ke India pada tahun enam puluhan beliau memberikan shradha di sunggai Gangga bukan saja untuk para leluhur tetapi juga untuk semua anak-anak dan cucu yang masih hidup hanya dalam bentuk sesajen beras dan dana punia untuk fakir miskin. Yang kedua sebelum ibu kami ini meninggal dunia, 14 hari sebelumnya beliau memanggil kami dan mengatakan bahwa beliau akan meninggal dunia ini dengan segera dan satu-satunya putra yang dibebaskan dari melakukan upacara shradha adalah kami, karena selama hidup beliau, kami sebagai putranya selalu memijit ibu kami ini setiap malam karena beliau menderita penyakit asma. Tentu saja hal ini menimbulkan problem di kemudian hari setelah beliau meninggal dunia, karena keluarga besar kami tidak mendapatkan instruksi yang sama, untuk mencari jalan keluarganya maka setiap pelaksanaan shradha istri kami mengikuti upacara tersebut tetapi kami pribadi tidak berpartisipasi tetapi setelah upacara selesai kami pasti akan memakan sesajen yang tersisa. 27/28.Resi Narada melanjutkan sabda-sabdanya, “Sekarang akan kuterangkan mengenai tempat-tempat dimana pelaksanaan berbagai upacara agama sebaiknya dilakukan. Di setiap tempat di mana hadir seorang Vaisnawa (pemuja Vishu, Kresna Vasudewa, Narayana, Yang Maha Esa) adalah tempat yang terbaik untuk melaksanakan sesuatu aktifitas yang sakral dan bermanfaat. Tuhan Yang Maha Esa (Bhagavata) adalah penunjang seisi alam semesta dengan seluruh ciptaan-ciptaan Beliau baik yang bergerak dan yang tidak bergerak, dan sebuah lokasi yang berisikan simbol / arca Yang Maha Kuasa dianggap sebagai sebuah tempat yang sakral. Lebih lanjut, lokasi-lokasi di mana para Brahmana yang terpelajar mempelajari prinsip-prinsip ajaran Veda berdasarkan ibadah-ibadah mereka, dan berdasarkan tujuan-tujuan mendidik dan kasih-sayang, adalah tempat yang amat bermanfaat dan sakral.” Keterangan : Di zaman yang serba sibuk ini, seandainya seorang Hindu berdiam di tengah-tengah keramaian kota New York, dan di salah satu sudut apartemennya ia meletakkan sebuah Bhagavat-Gita dan mempelajari kitab suci tersebut sambil memuja Yang Maha Kuasa dalam bentuk Vishnu atau Krishna, dapatkah tempat tersebut di atas dianggap sesuai dengan penjelasan Resi Narada di atas. Jawabannya bisa karena para pemuja Vishnu, Krishna dan Narayana dan semua wujud reinkarnasi Maha-Vishnu Rama, Narasingha, Kresna dan lain-lain, disebut sebagai seorang Vaisnawa, bahkan aliran Vishu juga disebut dengan nama yang sama. Konon di Kali-Yuga ini mandat penyelengaraan hajat besar alam semesta ini sudah diserahkan kepada Sri Kresna-Vasudewa. Di zaman-zaman yang lampau konon mandat tersebut dipegang oleh Dewa Brahma yang kemudian dialihkan ke Dewa Shiva dan sekarang menurut versi Vaisnawa mandat pengelola alam semesta beserta seluruh isinya dipegang oleh Maha-Vishnu dengan berbagai manifestasi dan reikarnasinya dan buku suci hindu yang terutama adalah Bhagavat-Gita. Namun masyarakat Hindu adalah masyarakat yang bersifat universal dengan sekitar 1000 lebih aliran spritual, ada kesan yang kuat sekali di India, bahwa setiap aliran / isme menghormati dan ikut berpartisipasi dengan aliran lainnya. Contoh lain, Buddhisme juga dianggap sebagai aliran Vaisnawa karena Sidharta Buddha Gautama adalah reinkarnasi Sang Maha Vishnu yang ke sembilan, dan di India Buddhisme tidak dianggap agama baru tetapi tetap merupakan kelanjutan dari Sanatana Dharma, demikian juga Sri Satya Sai Baba dianggap melanjutkan tradisi Sanatana Dharma ini. Semua aliran ini memakai satu simbol yang sama yaitu AUM (OM) yang ditulis dengan berbagai aksara lokal termasuk aliran Sikhisme yang Nabi sucinya disebut Guru Nanak. 29. ” Lokasi-lokasi di mana berada kuil-kuil pemujaan Tuhan Yang Maha Esa, Kresna (Hari) adalah dianggap sakral, dan juga lokasi-lokasi di mana mengalir sungai-sungai suci yang disebut-sebut di berbagai pustaka Purana penunjang berbagai Veda. Sesuatu hal yang bersifat spritual seandainya dilaksanakan di tempat-tempat tersebut pastilah akan sangat bermanfaat.” Keterangan : India dan Indonesia penuh dengan candi-candi dan berbagai tempat-tempat suci dan keramat (sakral) baik yang terletak di tengah-tengah hutan, sungai dan pegunungan. Semua tempat sakral atau yang di sakralkan ini seyogyanya dihormati dan dipakai untuk memuja baik secara hening atau dengan cara apapun juga yang wajar secara spritual, jadi tidak perlu harus ke India tetapi di dunia ini lokasi-lokasi yang sakral hadir di mana-mana, misalnya Stone-henge di England, berbagai lokasi di Irian Jaya, di Australia, Amerika dan Kanada, belum yang tak terhitung jumlahnya di seluruh pelosok Nusantara ini. 30/33.”Danau-danau sakral seperti Puskara dan berbagai tempat di mana para kaum suci pernah tinggal, seperti Kurusetra, Gaya, Prayaga, Pulaasrama, Naimisaranya, tepian sungai Phalgu, Setubhanda, Prabhasa, Dvarka, Varanasi, Mathura, Pampa, Bindu-sarovara, Badarikasrama (Narayanasrama), Berbagai tempat di mana sungai Nanda mengalir, berbagai lokasi di mana Prabu Ramachandra dan Bunda (Dewi) Shinta pernah singgah seperti Citrakuta, dan berbagai bukit yang terkenal seperti Mahendra dan Malaya…………kesemua tempat-tempat suci ini dianggap sangat sakral (keramat). Juga di mana pun di dunia ini di mana simbol-simbol Hare (Yang Maha Kuasa) dipuja wajib dihormati dan dikunjungi dan boleh saja seseorang yang berkeyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Esa hadir di tempat tersebut memuja atau bertapa-brata disitu. Pemujaan dan kunjungan spritual pasti akan berdampak positif bagi mereka-mereka yang sedang meniti jalan spritual ke hadirat Yang Maha Kuasa dan akan mendapatkan pahala seribu kali lebih besar jika dibandingkan dengan pelaksanaan ritual yang sama yang dilaksanakan di tempat-tempat lainnya (yang bernuansa biasa).” Keterangan : Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasiNya sebagai Kresna Vasudewa diberikan 1000 nama (Baca Vishu Sahasranama) dan berbagai wujud dan attribut oleh para kaum bijak dari masa ke masa, dan Beliau dipuja dengan berbagai cara di berbagai belahan bumi ini. Karena hanya ada satu Pencipta Yang Maha Esa, maka diperkenankan bagi penganut Sanatana Dharma untuk bersujud dan memujaNya di mana saja, bahkan kalau diperkenankan boleh saja di mesjid, gereja, vihara ataupun di gurun pasir bahkan di taman bunga atau di tepi jalan raya, asalkan diperhatikan bahwa lokasinya bersih. Lalu bolehkah penganut aliran kepercayaan lainnya memuja dengan caranya sendiri di kuil atau di Pura Hindhu, mengapa tidak, kalau kita beriman bahwasanya Tuhan itu Esa dan Eka maka semua ciptaan Beliau pastilah baik dan sama derajatnya di mata hati Beliau. Bhagavat-Gita menegaskan bahwa jalan apapun yang ditempuh oleh seseorang dalam meniti perjalanannya ke arah Yang Maha Esa, maka secara pribadi akan disambut olehNya. 34. ”Wahai Raja bumi ini, telah ditetapkan oleh para ahli, para cendekiawan yang piawai bahwasanya Hari Kresna Vasudewa adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang didalamNya semua ciptaan ini terkandung dan dariNya semua ini hadir, Beliau adalah Yang terbaik untuk dipuja dan dijadikan Tujuan bagi semua persembahan.” 35. ”Wahai Raja Yudhistira, para dewa-dewi, para resi dan kaum suci yang agung termasuk keempat putra Sang Brahma dan aku secara pribadi hadir pada saat dikau menyelenggarakan upacara yajna Rajasuya, dan pada kejadian tersebut timbul pertanyaan (diantara yang hadir) siapakah yang pertama-tama harus dipuja, dan semua yang hadir memutuskan pemujaan pertama dipersembahkan kepada Sang Krishna, Yang Maha Esa. Keterangan : Ada protes pada waktu upacara tersebut oleh Sisupala musuh bebuyutan Sang Krishna dan karena ia menantang Sri Krishna maka dalam suatu duel yang teramat singkat binasalah Sisupala oleh hantaman Sri Krishna. 36. ”Seisi alam semesta ini yang penuh dengan berbagai mahluk hidup, adalah ibarat sebuah pohon yang akarnya adalah Sri Kresna yang disebut juga Acyuta. Jadi hanya dengan memujaNya saja sebenarnya semua mahluk hidup termasuk para dewa dan resi-resi agung sudah dipuja.” 37. ”Yang Maha Esa (Anena = Dia) telah menciptakan berbagai tempat-tempat (purani) di mana Beliau dapat bersemayam seperti : raga manusia, fauna, burung, para kaum suci, para dewa-dewi, dan sebagainya. Di dalam semua raga yang tak terhitung jumlahnya ini, Beliau hadir sebagai Paramatma. Dengan demikian Beliau dikenal sebagai Purusavatara. 38. ”Wahai raja Yudhistira, Sang Jati Diri (Jiwa Utama, Paramatma) yang bersemayam di setiap raga memberikan daya intelegensia (kekuatan budi) kepada setiap insan sesuai dengan kapasitas budi pekerti (pemahaman) individu tersebut. Oleh karena itu Sang Jati Diri adalah seorang pemimpin utama di dalam raga (setiap insan) yang bermanifestasi dan bersemayam di jiwa manusia dengan perkembangan komparatif pengetahuan usaha-usaha spritual dan berbagai karunia individu tersebut.” 39. ”Wahai Raja yang kuhormati, sewaktu para resi dan kaum suci yang agung melihat cara-cara tidak terhormat pada permulaan Treta-Yuga, maka mereka-mereka ini lalu memperkenalkan pemujaan terhadap arca di dalam kuil-kuil dengan segala tata-caranya (ritual-ritualnya) .” Keterangan : Konon pada zaman dahulu pemujaan kepada Yang Maha Esa dilakukan kepada Sang Hyang Vishnu, tetapi kemudian setelah zaman satya-yuga terjadi kontaminasi dan distorsi di kalangan para Brahmana yang korup, khususnya para Vaisnawa (pemuja Vishnu). Akibatnya banyak Vaisnawa dihina dan dicampakkan oleh para pengikut Sanatana Dharma lainnya. Pada permulaan Treta-Yuga para kaum suci mengambil inisiatif dengan memperkenalkan simbol-simbol dan arca para dewa-dewi di berbagai kuil yang dahulunya kosong karena Yang Maha Kuasa di artikan dan didentikkan dengan kekosongan (dhyana-Yuga). Selanjutnya pada zaman Dvapara-Yuga sampai saat ini (Kali-Yuga) pemujaan terhadap arca dan simbol-simbol makin meningkat intensitasnya, sebenarnya yang murni adalah pemujaan terhadap yang tidak berwujud tetapi dilandasi dengan fondasi filosofi yang kuat, Dewasa ini pemujaan sedang bergeser ke bentuk japa-mantra-dhyana (meditasi). Dunia Barat dan mereka-mereka yang efisien lebih menyukai cara ini, dan di Asia ini kedua cara tersebut di atas masih dilakukan secara bersama-sama atau tersendiri. Lahirnya Avatara Vishnu dalam manifestasi Sidharta Buddha Gautama sekitar 4000 tahun yang lalu merupakan reformasi terhadap kine-kerja para Brahmana yang buruk tersebut. Pada saat itu Bhagavat-Gita dan Veda-Veda tidak diajarkan kepada kaum awam dengan berbagai alasan, pada hal sebenarnya para Brahmana keparat ini khawatir terjadinya pembangkangan terhadap tingkah laku mereka yang korup, sama seperti yang terjadi di Bali dewasa ini, syukurnya kaum muda dan pengikut Hindhu Dharma di luar Bali mulai memprotes kine-kerja Brahmana Bali yang serba mahal dan melenceng dari jalur Veda yang seharusnya. Baik di India maupun di Bali sampai kini masih terdapat golongan Brahmana yang melakukan pemiskinan moral dan harta benda para pemuja dengan cara-cara yang licik dan business-like dari pada mengajar secara benar. Sesajen-sesajen yang berlebih-lebihan, biaya penyelengaraan yang aduhai dan upacara-upacara yang ngawur diselenggarakan demi lestarinya dapur Sang Brahmana tersebut dan demi bertahannya kaum Brahmana ini secara dominan. Di masa lalu Sang Buddha tidak diarcakan tetapi dengan masuknya pengaruh Alexandar yang menjajah India maka Sang Buddha pun di arcakan karena arca Alexander ini diagung-agungkan di mana-mana sebagai seorang yang agung, pada hal ia adalah seorang penjajah yang tidak pernah puas dengan gelimangan darah yang tidak ada habis-habisnya. Ajaran Buddha dewasa ini sudah menjadi ratusan aliran dan berpredikat agama, pada hal Sang Buddha sampai akhir hayatnya tidak pernah ganti agama, dan Omkara beserta Swastika oleh Beliau tetap dijadikan pedoman dan simbol ajaran-ajaranNya. Di India sampai kini tidak ada dirjen agama Hindu maupun Buddha, departemen agama saja tidak eksis dan ktp tidak memuat identitas agama. Seandainya di Indonesia pengikut Buddhisme dan Hinduisme mau bersatu di bawah satu bendera Sanatana Dharma seperti aslinya dan tidak merasa yang satu turunan Tionghoa dan yang satunya lagi pribumi, ditambah aliran-aliran kepercayaan yang basisnya memang Hindu, maka akan terdapat sekitar 20 sampai dengan 25 juta pengikut dharma dan faktor ini bisa menjadi kekuatan yang besar baik secara spritual maupun di arena politik. 40. ”Kadang-kadang seorang pemuja yang penuh dengan iman menghaturkan berbagai ritual-ritual pemujaan kepada Yang Maha Kuasa dengan memuja arca dewa-dewa tertentu, tetapi pemuja ini sering iri hati (memandang rendah) kepada para pemuja Vishnu, maka Yang Maha Esa Tidak pernah merasa puas dengan pemujaannya.” Keterangan : Banyak pemuja karena iman mereka yang sempit, hanya tertarik untuk memuja simbol-simbol atau arca-arca tertentu dan tidak mensakralkan yang lainnya. Hal ini secara spritual bisa berdampak negatif, karena yang utama adalah penghayatan akan arti dan hakikat dari dharma itu sendiri, tanpa itu sang pemuja hanyalah pemuja patung mati belaka. Di sisi lain sementara arca memang bisa menimbulkan vibrasi prana yang dashyat sesuai dengan misi Yang Maha Kuasa di lokasi-lokasi pemujaan tertentu. Untuk meniti jalan dharma yang benar diperlukan seorang guru atau / lebih untuk menuntun kita ke jalan dan pengertian yang benar bisa-bisa malahan menyesatkan pikiran kita yang gelap. Jadi banyak berdiskusi, berguru dan berasosiasi dengan para kaum bijak dan suci pasti akan berdampak sangat positif dalam pemahaman jalan spritual kita semua. Menurut sabda Resi Narada di atas pemujaan terhadap arca tanpa pemahaman yang benar tidak cukup bagi sang pemuja maupun yang dipujanya. 41. ”Wahai Raja yang kuhormati, di antara semua insan, seorang Brahmana seharusnya diterima sebagai yang terbaik di tengah-tengah dunia yang serba bernuansa materi ini, karena Brahmana tersebut, dikarenakan oleh berbagai upaya spritualnya, pelajaran-pelajaran Vediknya, telah mencapai suatu bentuk keharmonisan (dengan Yang Maha Esa), ia kemudian ibaratnya telah menjadi salah satu instrumen dari Yang Maha Kuasa itu sendiri.” Keterangan : Seseorang Brahmana yang telah mencapai status Dwijati ini adalah hamba Tuhan yang tanpa cacat dan cela dan merasakan dirinya tidak lebih dan tidak kurang dari sebuah alat kecil di tangan Yang Maha Kuasa yang tak terukurkan kekuasaanNya. Hamba sejati ini selalu bersifat rendah diri ibarat padi bunting dan bagi para pemuja ia akan dihormati seorang utusan atau wakil dari Yang Maha Esa itu sendiri. 42. ”Wahai Raja Yudhistira yang kuhormati, para Brahmana khususnya mereka yang selalu mengajarkan keagungan Yang Maha Kuasa ke seluruh penjuru dunia diakui dan dipuja oleh Yang Maha Kuasa, yang merupakan inti-jiwa dari semua ciptaan. Para Brahmana ini, dengan ajaran-ajaran mereka, mensucikan ketiga loka dengan daki (debu) yang melekat di kaki padma mereka, dan oleh karena itu mereka pun layak untuk dipuja oleh Sang Kresna (Yang Maha Penyayang).” Keterangan : Jadi inti sari atau pesan yang tersirat di sloka ini adalah bahwasanya pemujaan secara ritual itu sah-sah saja, tetapi penghayatan akan hakikat Yang Maha Esa dan penalarannya lebih di utamakan oleh Yang Maha Esa itu sendiri, bakti seseorang kepadaNya tanpa pamrih membuat bahkan Yang Maha Penyayang itu sendiri memuja dan menghormati sekaligus menjaga para baktanya dengan caranya sendiri (baca kisah mengenai Sudharsana cakra di akhir buku ini). Hubungan intim antara Sri Kresna dan para hamba-hambanya adalah jalinan hubungan yang misterius dan gaib, begitu menawan dan “memabukkan” setiap bhaktanya ibarat sang bhakta selalu terintosikasi oleh nektar spritual ini. Sang bakta dan Yang Maha Esa selalu saling membutuhkan, menyayangi dan intim satu dengan lainnya. Pengalaman spritual ini juga dialami oleh para sufi, para kaum suci dari berbagai agama dan kepercayaan lain. Para bakta dan Yang Maha Esa selalu saling memproteksi satu dengan yang lain karena mereka telah manunggal, menyatu dalam kesatuan Ilahi yang harmonis dan selaras walaupun para bakta ini masih menyandang raga. Fenomena ini disebut Manunggaling Kawula Gusti dalam ajaran kejawen dan merupakan dambaan setiap pemuja Tuhan yang lugu dan semua itu bisa terwujud tanpa disadari oleh sang pemuja ini. Dengan ini berakhirlah salah satu bab dari Bhagavata-Purana ini yang dikenal dengan judul : “Kehidupan Grhasta yang ideal” BHAGAVATA PURANA BAB II Petunjuk-petunjuk demi tercapainya kemanusian yang berbudaya dan beradab 1. ”Resi Narada berucap : Wahai Raja yang kuhormati, ada sementara Brahmana yang sangat tertambat pada perbuatan-perbuatan yang menghasilkan pahala, ada Brahmana yang terikat kepada tata-cara dan berbagai tapa-brata, dan walaupun demikian, ada juga sebagian kecil yang melestarikan ilmu pengetahuan dan mengajarkan berbagai bentuk yoga, khususnya bhakti-yoga.” 2. ”Seseorang yang menghasratkan pembebasan dirinya atau bagi leluhurnya harus memberikan dana-punia kepada seorang Brahmana yang telah menyatu dengan Yang Maha Esa (Jnana-nistha, yaitu yang telah meninggalkan ikatan-ikatan materi duniawinya). Seandainya Brahmana dengan status yang agung ini tidak dapat ditemukan maka dana-punia ini dapat diberikan kepada seorang Brahmana yang terbius oleh aktifitas-aktifitas yang menghasilkan pahala (karma-kanda).” Keterangan : Kata Brahmana di atas ini jangan dianggap mutlak sebagai seorang pendeta, pedanda, atau pemangku penyelenggara sebuah upacara agama, tetapi lebih bermakna sebagai seorang pemuja Yang Maha Esa yang telah mendwijati secara alami (seorang bhakta yang bersifat mistik), dan Beliau ini bisa pria bisa wanita atau bisa seorang waria dan bisa juga seorang pendeta, pedanda, pemangku dan sebagainya. Biasanya insan yang agung ini bersifat sangat sederhana, mandiri dan tidak menyusahkan orang lain ataupun mengharapkan belas-kasih orang lain, itulah sebabnya ia disebut jnana-nishta dan insan-insan jenis ini sangat disayangi oleh Yang Maha Kuasa. Statusnya dianggap jauh lebih tinggi dari para Brahmana yang hidup dengan mengharapkan pahala, golongan terakhir ini disebut sebagai karma-kandis atau juga jnana-kandis. Di salah satu sastra Hindhu kuno yang dikenal dengan nama Hari-bhakti-vilasa, pada bab 10 sloka 127, dikatakan : “walaupun seseorang itu adalah seseorang yang sangat terpelajar dalam bidang Veda, ia tidak akan Aku terima sebagai pemujaKu kalau baktinya tidak bersifat murni. Di lain sisi, seandainya ada seseorang yang lahir dari keluarga hina (pemakan anjing, chandala), ia bisa menjadi kesayanganKu, seandainya ia tidak memiliki pamrih dan tidak mengharapkan pahala atau berspekulasi dengan pikirannya. Seyogyanya ia harus mendapatkan semua bentuk kehormatan, dan apapun yang ia persembahkan harus diterima. Para pemuja ini boleh dipuja seperti seseorang yang memujaKu. 3. ”Pada saat menghaturkan persembahan kepada para dewa-dewi, seseorang harus mengundang 2 orang Brahmana, dan sewaktu menghaturkan persembahan kepada para leluhur (pitra-karya, pitra-yadnya), maka seseorang boleh mengundang tiga orang Brahmana. Atau untuk kedua bentuk pelaksanaan ini seorang Brahmana sebenarnya sudah memadai. Walaupun seseorang itu teramat kaya-raya, ia sebaiknya tidak memaksakan diri untuk mengundang lebih banyak Brahmana ataupun menghambur-hamburkan biaya yang besar demi terselenggarakannya upacara-upacara tersebut.” 4. ”Seandainya, seseorang ingin menghaturkan persembahan dalam jumlah yang besar kepada para Brahmana atau keluarganya di saat mengadakan upacara sradha, maka akan timbul berbagai kemubaziran yang berhubungan dengan waktu, tempat, kehormatan dan bahan-bahan untuk santapan, dan juga tata-cara penghaturkan upacara.” Keterangan : Jelas sekali di sloka ini bahwa hal-hal yang bersifat mubazir atau sia-sia tidak dilakukan, dan ini adalah ajaran Resi Narada itu sendiri kepada Raja Yudhistira yang terkenal bijaksana, toh disindir juga oleh Sang Resi karena upacara sang raja yang serba wah. 5. ”Seandainya seseorang mendapatkan sebuah kesempatan dan lokasi yang sangat tepat (untuk sebuah upacara), maka ia harus, penuh dengan cinta-kasih, menghaturkan sesajen yang dipersiapkan dengan mentega murni (ghee) kepada Yang Maha Esa dan lalu kepada seseorang yang seharusnya menerima yaitu seorang vaisnawa (pengikut Kresna atau Maha Vishnu dan semua reinkarnasiNya), atau kepada seorang Brahmana. Hal ini akan menghasilkan suatu kehormatan yang bersifat abadi.” Keterangan : Ghee atau mentega murni adalah makanan sehari-hari orang India dan Barat, cara membuatnya adalah dengan mendidihkan berliter-liter susu, kemudian kepala susu yang terbentuk dari susu panas ini dipisahkan dari sisa susu dan dimasak ulang dengan api yang kecil, dan hasilnya adalah mentega murni. Proses pemasakan ini bisa memakan waktu sehari penuh bahkan untuk jumlah kecil sekalipun. Tetapi ghee bisa digantikan dengan minyak vegetarian apapun juga bagi yang tidak mampu mendapatkannya atau demi menghemat biaya, tidak ada peraturan tertentu bahwa sesajen itu harus ghee, sebenarnya ghee dipersembahkan karena Sri Kresna kecil sebagai penggembala adalah penggemar ghee, juga ghee merupakan simbol bahwa susu itu sebenarnya mengandung mentega murni yang sangat bergizi tinggi dan harus dijadikan suplemen bagi manusia Hindu, itulah sebabnya sapi dimuliakan dan diibaratkan sebagai ibu setiap insan, sedangkan daging sapi adalah unsur paling busuk diantara semua daging dan tidak merupakan santapan orang Hindu, mereka yang mengaku Hindu tetapi masih menyantap daging sapi dengan alasan apapun juga tidak bisa dianggap sebagai pengikut dharma. Lalu di Indonesia khususnya di Bali yang banyak menyantap daging sapi ini bisa dianggap kafir oleh Hindu India. Memang demikian asumsi tersebut dan sering pengikut Hindhu bali yang masih berstatus chandala (kafir) ini karena dianggap pemakan daging ibunya dilecehkan oleh pengikut Hindhu India. Tentu saja fenomena ini tidak sehat walaupun tidak ada yang mewisudi, kita semua dapat melakukan upacara wisudi itu terhadap diri kita sendiri. Caranya, yang ingin melepaskan memakan daging sapi, kerbau atau sejenisnya mencari suatu hari yang baik, lalu berpuasa dari waktu ia bangun pagi dan tidak menyantap sesendok makanan ataupun seteguk air minum, sampai sore hari sekitar pukul 18.00, lalu mandi sebersih-bersihnya, menghaturkan sedikit sesajen yang bersifat vegetarian disertai sedikit bunga, dupa dan air suci kepada Yang Maha Kuasa dalam bentuk wujud (istha) yang diyakininya. Upacara kecil ini bisa dilakukan di pura atau di ruang pribadinya sendiri, di mrajan atau di sebuah lokasi yang dikehendaki, boleh dihadiri oleh siapapun juga atau boleh dilakukan sendiri. Sediakan sedikit susu yang telah dimasak atau yang sudah dalam kemasan, tambahkanlah pada susu ini sehelai daun Tulasi kalau ada, kalau tidak ada tidak apa-apa, bisa juga ditambahkan beberapa kelopak bunga mawar, melati, kenangga, sandat dan sebagainya. Haturkan susu ini kepada Sri Kresna Vasudewa, kemudian bacalah mantra Maha Gayatri di bawah ini secara tulus dan mohon kepada ibu dari seluruh alam semesta, yaitu Bunda Gayatri, yang merupakan wujud Prakriti dari Yang Maha Esa itu sendiri. Gayatri terdiri dari gabungan lima unsur Prakriti di alam semesta ini yang merupakan medium dan pengantar ke sang ayah yaitu Maha Purusha itu sendiri, Yang Maha Pencipta. Gayatri merupakan gabungan dari Kali, Durga, Saraswati, Laxmi dan Uma (pertiwi). Mohonlah kepada Dewi Gayatri agar sejak saat itu, diperkenankan untuk tidak menyantap daging sapi dan sejenisnya lagi. Bacalah maha mantra Gayatri ini, lalu setiap pagi dan malam kalau bisa memuja atau berdhyana dengan mantra tersebut. Hasilnya akan menakjubkan sekali. MAHA GAYATRI Om Bhur, Om Bwah, Om Swah, Om Maha, Om Jana, Om Tapa, Om Satyam, Om Tat Savitur, Vareniyam Bhargo, Devashya Dimahi, Diyo yo na Pracodayat, Om apo jyoti, Rasho martam, Brahma, Bhur, Bwah, Svar, Om shanti shanti shanti, Om Tat Sat. Bagi yang ingin menjadi vegetarian, lakukan hal yang sama dan bagi yang ingin sekaligus lepas dari daging sapi, semua jenis mahluk hidup dan telur juga dapat melakukannya sama seperti di atas. Akan terjadi keajaiban bagi yang meyakininya. Semoga shanti datang dari segala penjuru kepada sang bhakta yang mulia ini. 6. ”Pemuja tersebut harus menghaturkan sesajen kepada dewa-dewi, kepada para kaum suci, para leluhur, orang-orang pada umumnya, kerabat, keluarga dan teman-teman beserta para relasi, dan menganggap mereka semua ini sebagai pemuja Tuhan Yang Maha Esa.” 7. ”Seseorang yang sadar secara total akan prinsip-prinsip keagamaan seharusnya tidak menghaturkan sesajen dalam bentuk daging hewan, telur ataupun ikan, sewaktu melaksanakan upacara shradha. Sewaktu suatu jenis makanan disajikan dengan tambahan ghee (mentega murni) kepada para kaum suci, maka pelaksanaan ini akan menyenangkan hati para leluhur dan Yang Maha Esa, mereka ini tidak pernah senang sewaktu hewan-hewan dibantai demi mengatas-namakan sesuatu upacara.” 8. ”Seseorang yang berhasrat untuk maju dalam penitian jalan spritualnya yang lebih tinggi dianjurkan untuk melepaskan segala ikatan (duniawi)nya dengan berbagai mahluk-mahluk hidup lainnya, baik itu secara ragawi, dengan menggunakan kata-kata atau pikiran. Tidak ada sesuaru (ajaran) agama yang lebih tinggi dari hal ini.” 9. ”Akibat dari bangkitnya pengetahuan spritual, maka mereka yang cerdas intelegensinya dalam bidang pengorbanan (yadnya), yang sebenarnya sadar akan hakikat sesungguhnya dari prinsip-prinsip keagamaan dan lepas dari hasrat-hasrat duniawi, akan mengendalikan diri mereka melalui api spritual ilmu pengetahuan, atau melalui ilmu pengetahuan akan kebenaran Yang Maha Hakiki. Orang-orang ini akan meninggalkan proses upacara-upacara yang sarat dengan ritual.” 10. ”Menyaksikan para pelaksana upacara pembantaian hewan, maka para hewan-hewan yang akan dipersembahkan menjadi amat ketakutan dan berpikir : “Orang-orang kejam ini, yang tidak sadar akan hakikat dan tujuan pengorbanan (yadnya) dan merasa puas dengan membunuh sesama mahluk, akan pasti membunuh kami.” 11. ”Oleh karena itu, hari demi hari, seseorang yang sebenarnya sadar akan prinsip-prinsip agama dan tidak bersikap zalim terhadap hewan-hewan yang merana ini, seharusnya setiap harinya melaksanakan yadnya dengan penuh suka-cita, dan begitu juga untuk berbagai kesempatan-kesempatan lainnya dengan sesajen apa adanya yang tersedia secara mudah berkat karunia Yang Maha Esa. 12. ”Ada lima cabang non-religius yang dikenal dengan sebutan Vidharma (non-religius), prinsip agama bagi seorang yang tidak pantas (para-dharma), beragama secara pura-pura (abhasa), agama yang bersifat anologikal (upadharma) dan agama yang menipu (chala-dharma). Seseorang yang sadar akan hakikat kehidupan agama yang benar harus menjauhi kelima faktor non-religius ini.” 13. ”Prinsip agama yang menghalangi seseorang dari jalan agamanya sendiri disebut Vidharma. Prinsip-prinsip agama yang diperkenalkan (diajarkan) oleh orang-orang lainnya disebut para-dharma. Agama baru yang diciptakan seseorang yang munafik dan yang berlawanan dengan prinsip-prinsip Veda disebut Upadharma. Dan mengartikan prinsip-prinsip agama secara berolok-olok disebut Chala-dharma.” Keterangan : Hindhu (Sanatana) Dharma adalah suatu budaya atau kultural yang adi-luhung (sangat tinggi secara etika dan kultural) dan berlandaskan kesadaran spritual yang teramat dalam. Semenjak permulaan zaman para resi sadar akan ajaran-ajaran agama yang penuh dengan ego pribadi, akan ajaran agama yang lurus dan benar, yang menyesatkan, dan bahkan yang memperolok-olok agama sendiri maupun ajaran agama lain. 14. ”Sebuah cara pengajaran agama yang dibuat-buat, yang dirancang oleh seseorang yang secara sengaja mengabaikan kewajiban-kewajiban (setiap indvidu sesuai dengan varnanya) disebut abhasa (persamaan yang palsu / imitasi). Tetapi seandainya seseorang menjalankan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan sistim varna dan asramanya, mengapa mereka tidak mampu untuk mengatasi (menghancurkan) berbagai kedukaan material mereka ? 15. ”Walaupun seandainya seseorang itu miskin harta, ia tidak seharusnya mati-matian memperbaiki kehidupan ekonominya demi pemuasan jiwa dan raganya atau demi menjadi seorang penyandang agama yang terkenal. Ibarat seekor ular sanca, walaupun tinggal si suatu tempat, dan tidak berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, toh sang makanan datang sendiri dan mencukupi kebutuhan jiwa dan raga ular tersebut. Demikian juga dengan seseorang yang tanpa pamrih duniawi juga dengan seseorang yang tanpa pamrih duniawi mendapatkan kebutuhan tanpa bersusah payah.” Keterangan : Ada suatu hukum alam yang unik dan serba misterius di dalam dunia fauna dan flora yang berlaku juga bagi manusia karena kita sebenarnya adalah salah satu bagian dari ciptaan Yang Maha Luas ini. Yang Maha Esa telah menciptakan setiap jajaran mahluk hidup ini dengan jatah kehidupannya sehari-hari, yang penting kita bekerja sesuai dengan kodrat / varna kita dan puas dengan apapun yang diberikan olehNya, kita bekerja sekuat tenaga atau semampu kita dan kemudian menyerahkan hasil dari pekerjaan kita kepadaNya untuk diolah dan dikembalikan lagi kepada kita sesuai dengan kehendakNya, jadi janganlah karena tetangga memiliki TV baru kita lalu mati-matian harus punya juga bahkan kalau perlu dengan korupsi atau menempuh segala jalan yang yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Anak-istri, teman dan keluarga selalu merasa kekurangan, selalu membanding-bandingkan kekurangan kita dengan orang lain, kalau dituruti semua ini kita tidak akan pernah punya waktu luang untuk mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa yang mengkaruniakan kehidupan spritual ini kepada kita. Ular sanca adalah suatu fenomena siklus alam yang menakjubkan, walaupun nampak seram sebenarnya ular ini hanya makan setahun sekali atau dua kali saja, itupun biasanya sang mangsa datang sendiri kearahnya. Begitu juga dengan singa atau binatang buas lainnya, biasanya mereka hanya makan secukupnya dan lebih banyak puasa dari pada makan terus menerus, manusia dianjurkan untuk belajar dari fenomena ini, yang dimaksudkan makanan di sini adalah pencarian harta benda secara tidak ada henti-hentinya dan memakai segala cara yang tidak benar sesuai dharma. 16. “Seseorang yang merasa cukup dan puas (dengan apa yang didapatkannya sehari-hari) dan yang menghubungkan (menyerahkan) setiap pelaksanaannya aktifitasnya sehari-hari kepada Tuhan Yang Maha Esa yang bersemayam di dalam setiap manusia, akan menikmati kebahagiaan transendental tanpa berusaha mati-matian demi kehidupannya. Bagi seseorang yang bergerak kesana kemari dengan tujuan materi yang berlandaskan nafsu dan keserakahan, yang hanya beraktifitas demi menumpuk kekayaan belaka tidak akan tersedia kebahagiaan ini.” 17. “Bagi seseorang yang mengenakan sepatu yang sesuai dengan ukuran kakinya, tidak akan ada bahaya walaupun ia berjalan diatas kerikil ataupun di atas duri-duri (yang tajam). Baginya semua itu wajar-wajar saja. Demikian dengan seseorang yang selalu merasa puas, baginya tidak hadir penderitaan, sebenar-benarnya ia merasakan kebahagiaan di dalam situasi apapun ia berada.” 18. ”Wahai Raja yang kuhormati, seorang yang puas dengan dirinya sendiri mampu merasakan kebahagiaan walaupun hanya dengan minum seteguk air. Tetapi bagi yang dihela oleh berbagai indra-indranya, khususnya oleh lidah dan alat kelaminnya, harus menerima statusnya (ibarat) seekor anjing penjaga rumah yang hidup dengan memuaskan indra-indranya.” 19. ”Diakibatkan oleh keserahkahannya demi mengikuti hasrat-hasrat sensualnya (indra-indranya) maka kekuatan spritual, ilmu pengetahuan, tapa-brata dan reputasi dari pemuja atau Brahmana yang tidak puas akan dirinya ini lambat-laun akan menghilang.” 20. ”Seseorang yang raganya lapar dan dahaga dan menghasratkan kebutuhan badannya ini akan merasa terpuaskan setelah ia selesai menyantap sesuatu. Demikian juga seandainya seseorang merasa marah, kemarahan tersebut akan terpuaskan karena pelampiasan dan reaksi-reaksinya. Tetapi walaupun seseorang itu telah menguasai keempat penjuru dunia atau telah menikmati semua kenikmatan di dunia, tetap saja keserakahan itu tidak terpuaskan.” 21. ”Wahai Raja Yudhistira, banyak manusia dengan berbagai ragam pengalaman, dan banyak cendekiawan dan banyak manusia yang menjadi pemimpin berbagai dewan jatuh ke dalam kehidupan neraka akibat tidak pernah puas dan sentosa dengan posisi (status yang telah mereka capai, hal ini disebut asantosat).” Keterangan : jangankan secara materi secara spritualpun seseorang tidak dianjurkan untuk bersifat serakah. Ada ajaran yang menganjurkan agar para siswanya harus mati-matian menjalani berbagai tapa-berata demi mendapatkan kesaktian ini-itu, bahkan banyak guru-guru palsu menganjurkan para sishyanya unruk selalu dengan segala cara menarik orang lain untuk masuk ke perguruan mereka dan biasanya mereka ini menjanjikan berbagai pahala yang menarik, yang membuat orang-orang bodoh yang serakah tergiur bukan karena ingin mengabdi kepada Yang Maha Esa tetapi demi mendapatkan imbalan pahala duniawi dan spritual. 22. ”Berlandaskan tekad seseorang merencanakan sesuatu; seseorang harus menanggalkan hasrat-hasrat yang penuh nafsu demi pemuasan indra-indra sensualnya. Dengan jalan yang sama, sambil menanggalkan ke iri-hatian seseorang harus menguasai rasa amarahnya, dengan menimbang akibat-akibat negatif yang diakibatkan oleh kekayaan yang menumpuk maka seseorang harus menanggalkan keserakahannya, dan dengan membahas akan kebenaran seseorang harus menanggalkan rasa takut dan khwatirnya.” 23. ”Dengan mempelajari (berdiskusi dengan sesamanya) ilmu pengetahuan seseorang akan mampu menguasai rasa kesedihan dan ilusi; dengan berbakti kepada seseorang pemuja agung seseorang bisa berubah menjadi rendah hati, dengan berdiam diri seseorang akan mampu menjauhi halangan di jalan yoga nan penuh dengan mistik, dan dengan menghentikan pemuasan indra-indranya seseorang akan mampu menguasai rasa dengki dan (amarahnya).” 24. ”Dengan berperi-laku yang baik dan lepas dari rasa dengki seseorang harus melawan penderitaan yang terjadi (karena) interaksi dengan mahluk-mahluk hidup lainnya, dengan bermeditasi kepada Yang Maha Esa (samadhina) seseorang harus melawan penderitaan yang diakibatkan oleh semua pemberian Yang Maha Esa ini (jahyat), dan dengan melaksanakan hatha-yoga, pranayama dan lain sebagainya seseorang harus melawan penderitaan yang diakibatkan oleh raga dan pikiran ini. Dengan jalan yang sama seharusnya seseorang mengembangkan peri-laku yang baik, Khususnya cara bersantap, dan dengan demikian mengalahkan tidur (rasa malas).” Keterangan : Cara bersantap yang kotor dan bersifat tamasik merusak seluruh sistem raga kita dan juga cara berpikir kita dan akhirnya menimbulkan berbagai penyakit, rasa malas dan tidur yang berkepanjangan. Makanan bukan saja; terdiri dari yang kita konsumsi sehari-hari tetapi bisa juga berupa obat-obatan yang terlarang, rokok, kopi, alkohol, polusi udara dan suara, produk-produk elektronik yang mencemari raga kita dengan berbagai gelombang magnetik, seperti radio, tv, kulkas dan hand-phone dan sebagainya. 25. ”Seseorang wajib menguasai sifat-sifat penuh nafsu dan kebodohan dengan mengembangkan sifat-sifat kebajikan ini dan menanjak ke tahap suddha-satva. Semua ini bisa dilakukannya secara alami seandainya ia berbakti penuh iman dan dedikasi kepada guru spritualnya. Dengan jalan ini ia dapat secara mudah menguasai pengaruh berbagai sifat-sifat alam.” 26. ”Seseorang guru spritual secara langsung harus dianggap sebagai (pengganti / medium dari) Yang Maha Esa karena beliau menganugerahkan ilmu pengetahuan ibarat sinar (di dalam kegelapan). Oleh karena itu, seandainya seseorang berpikir secara duniawi bahwa seorang guru spritual adalah manusia biasa, maka seluruh (pelaksana spritualnya) akan kacau-balau. Semua pelajaran ilmu pengetahuan Veda dan penerangan spritual yang didapatkannya diibaratkan seperti seekor gajah yang sedang mandi.” Keterangan : Tingkah laku kawanan gajah agak aneh. Setelah mandi dan bercanda-ria di sungai, maka biasanya begitu kembali ke darat mereka akan mengambil debu atau tanah dengan belalainya dan menyapukannya ke seluruh tubuhnya. Jadi ini ibaratnya sia-sia saja semua pelajaran dan tuntunan spritual seandainya seorang meremehkan guru spritualnya. Tentu saja yang dimaksudkan di sini adalah guru spritual yang betul-betul handal, sederhana yang tanpa pamrih. 27. ”Tuhan Yang Maha Kuasa (Bhagwan) adalah Penguasa seluruh mahluk-mahluk hidup dan alam materi ini. Telapak kaki PadmaNya dicari-cari dan dipuja-puja oleh berbagai resi agung seperti Vyasa. Walaupun demikian, banyak orang-orang yang bodoh yang menganggap Sang Yogeswara ini sebagai manusia biasa.” 28. ”Upacara-upacara ritual, prinsip-prinsip agama yang baku tapa-brata, dan berbagai upaya yoga, kesemuanya ini adalah cara-cara untuk mengendalikan pikiran dan indra-indranya, seandainya ia tidak bermeditasi (Dhyana) ke Yang Maha Esa, maka semua pelaksanaan (agama, spritual dan sebagainya) tersebut sama dengan bekerja secara sia-sia dalam kegalauan.” 29. ”Ibarat berbagai aktivitas yang dilandasi kewajiban dan ekonomi yang berpahala yang tidak dapat membantu seseorang dalam meniti jalan spritualnya, tetapi sebaliknya malahan menimbulkan keterikatan materi, maka upacara-upacara berdasarkan ritual-ritual Veda tidak akan mampu menolong seseorang yang bukan pemuja Tuhan Yang Maha Esa.” 30. ”Seseorang yang berhasrat untuk menguasai pikirannya harus meninggalkan keluarganya dan tinggal di sekitar tempat yang tenang, bebas dari lingkungan manusia yang sudah terkontaminasi. Demi pemeliharaan tubuh dan jiwanya, ia harus meminta-minta cukup demi kebutuhan hidupnya saja,” Keterangan : Anjuran ini hanya berlaku untuk mereka yang ingin menjadi bhiksu, pertapa atau sanyasi. Tetapi ada juga golongan tertentu yang mewajibkan sishya mereka untuk menjadi peminta-minta selama satu atau dua bulan untuk menguji mental mereka. Pada masa kini bisa saja seseorang setelah usia 55 tahun ke atas dianjurkan oleh gurunya untuk meninggalkan keluarga dan usaha penunjang ekonominya untuk beberapa saat atau selamanya demi memasuki kehidupan spritual yang langgeng, biasanya sang guru sudah tahu sishya mana yang memenuhi syarat tersebut. Beberapa waktu yang lalu seorang guru dari Radhaswami Satsangh yang ke jakarta menganjurkan para sishyanya untuk meninggalkan semua kegiatan ekonomi dan pekerjaan mereka selama seminggu dan melakukan sewa bhakti mereka ibarat pelayan di pusat ajaran mereka di daerah Cibubur, Jakarta. Sewa bhakti ini diikuti oleh ratusan murid beliau. 31. ”Wahai Raja yang kuhormati, seseorang harus pergi sendiri, bertirta-yatra ke tempat-tempat yang suci dan sakral dan mencari sebuah lokasi untuk melaksanakan yoganya. Sebaiknya tempat ia beryoga-meditasi bersifat stabil, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Di sana ia harus duduk secara nyaman, tegak dan stabil dan memulai mengidungkan (beberapa mantra) pranawa-pranawa Veda.” 32/33.”Dengan memfokuskan kedua mata ke ujung hidung, seseorang yogi yang terpelajar melatih nafasnya dengan cara-cara yang disebut puraka (menarik nafas)…….. mengendalikan penarikan dan pengeluaran nafas dan lalu menghentikan kedua-duanya. Dengan cara ini sang yogi menjauhkan pikirannya dari ikatan-ikatan materi dan memasrahkan semua hasrat-hasrat yang ada di jalan pikirannya. Begitu sang pikiran dapat dikalahkan oleh berbagai hasrat dan nafsu, dan mulai terdorong untuk merasakan pemuasan indra-indranya, sang yogi ini harus ssegera mengembalikan fokus semedinya dan menahannya di dalam lubuk hatinya.” Keterangan : Bab VI, Bhagavat-gita memuat panduan meditasi ini dengan baik sekali dan cara berdhyana tanpa pamrih yang dianjurkan di gita ini sangat bermanfaat bagi mereka-mereka yang ingin mengambil jalan ke Yang Maha Kuasa. 34. ”Sewaktu sang yogi secara teratur melatih dirinya dengan upaya ini, maka dalam waktu yang singkat hatinya akan tentram dan lepas jauh dari berbagai gangguan, ibarat api tanpa kobaran dan tanpa asap.” 35. ”Sewaktu kesadaran seseorang tidak tercemar oleh berbagai hasrat dan nafsu, maka kesadaran tersebut akan berubah tenang dan damai dalam berbagai tindakan dan pelaksanaannya, karena seseorang ini telah menyatu di dalam kehidupan yang penuh dengan karunia Ilahi (Yang Maha Esa). Begitu memasuki tahap ini ia tidak akan kembali ke berbagai aktifitas yang bersifat materi duniawi.” Keterangan : Di atas tertera ciri-ciri dari seseorang yang telah melampaui dvandas yaitu dua sifat duniawi yang saling bertentangan seperti suka-duku, dingin-panas, kaya-miskin dan sebagainya. Yang dimilikinya hanyalah kebahagiaan Ilahi yang sulit untuk dijabarkan dengan kata, karena selain merupakan karunia kebahagiaan juga disertai kekuatan Yang Maha Dashyat dalam mengarungi berbagai fenomena di dunia ini. 34. ”Seseorang yang menerima kehidupan sanyasa menjauhi tiga prinsip yang berhubungan dengan berbagai aktifitas dan pelaksanaan yang bersifat duniawi yang biasanya dilakukan sehari-harinya dalam kehidupan grhasta, seperti bekerja, berusaha, beragama, bermasyarakat dan lain sebagainya, bahkan ia menjauhi pemuasan sensualnya. Seorang yang telah mengambil jalan sanyasa tetapi kemudian kembali ke berbagai aktifitas duniawinya disebut vantasi, yaitu seseorang yang memakan muntahannya sendiri. Orang ini tidak memiliki rasa malu sama sekali.” 35. ”Para sanyasi yang pada mulanya berkata bahwa raga ini suatu hari pasti akan binasa dan berubah menjadi kotoran, ulat dan abu (tanah) tetapi kemudian mementingkan dan mengangungkan tubuh mereka seakan-akan mengagungkan Sang Atman (di dalam diri mereka) harus disebut sebagai bajingan keparat yang besar.” Keterangan : Di India banyak sekali mereka-mereka yang mengaku Brahmana, yogi atau fakir dan sanyasi tetapi dibalik itu semua mereka berfoya-foya dengan berbagai kemewahan duniawi. Banyak diantara mereka beranggapan bahwa semua penerimaan yang mereka terima dari umat adalah hak dari Sang Atman yang berastana di tubuh mereka, jadi tidak ada salahnya menikmati itu semua pada hal mungkin mereka ini sebelumnya telah bersumpah menjadi pertapa atau sanyasi. Hati-hatilah pada guru-guru semacam ini, mereka ini disebut asattamah yang berarti bajingan tengik dan keparat, mereka juga disebut dengan nama apatrapah yang berarti tidak bermoral dan tidak punya malu, dan sudah jatuh dari jalan spritual yang penuh disiplin dan kendali diri. 38/39.”Adalah menjijikkan bagi seorang yang hidup dalam grhsta-asrama untuk mengabaikan prinsip-prinsip pelaksanaan sehari-harinya dan begitu juga bagi seorang Brahmachari yang mengingkari sumpahnya dan mengabaikan ajaran-ajaran gurunya, dan bagi seorang yang mengambil jalan vanaprastha untuk tinggal di desa dan melakukan berbagai aktifitas spritual dan sosial, atau bagi seorang sanyasi yang terbius dengan pemuasan hasrat-hasrat nafsunya. Seseorang yang bertindak semacam ini disebut pengkhianat yang terendah. Seorang yang palsu ini kacau-balau jalan pikirannya akibat kekuatan eksternal dari Yang Maha Esa, jadi seharusnya orang ini ditolak dan disingkirkan dari posisinya, ajari ia agar kembali ke jalannya yang semula dengan penuh kasih sayang, seandainya hal tersebut memungkinkan.” 40. ”Raga manusia ini diperuntukkan demi menghayati akan hadirnya secara transendental (gaib,mistis) Sang Jiwa dan Sang Atman (Yang Maha Esa). Seandainya seseorang dapat memahami kehadiran Mereka sewaktu ia dibersihkan oleh ilmu pengetahuan yang tinggi kadarnya, lalu untuk apa lagi seseorang yang bodoh harus merawat dan menjaga tubuhnya demi pemuasan nafsu-nafsunya belaka?” 41. ”Mereka-mereka yang membaur ke jalan Tuhan Yang Maha Esa, yang telah tinggi pemahaman ilmu pengetahuannya, menganggap raga ini, yang dirancang sesuai sabda Yang Maha Kuasa, ibarat sebuah kereta berkuda. Indra-indra ragawi diibaratkan sebagai kuda-kuda; sang pikiran diibaratkan pemimpin dari berbagai indra-indra ini dan adalah tali kekangnya; berbagai objek-objek indra diibaratkan sebagai berbagai tujuan; intelegensia seseorang adalah diibaratkan sebagai sang kusir; dan kesadaran yang membayar ke seluruh penjuru raga ini, adalah penyebab keterikatan di dalam dunia yang bersifat materi ini.” Keterangan : Seperti yang tersirat di Bhagavat-Gita, sang jiwa adalah penghuni tubuh ini, dan Yang Maha Esa dalam bentuk Sang Jati Diri, yaitu Sang Atman adalah inti jiwa yang bersemayam di dalam sang jiwa ini. Seharusnya dengan seluruh komponen spritual yang teramat canggih, gaib dan mistis ini seorang insan yang dirancang untuk manunggal kembali denganNya bisa menyatu dengan Sang pencipta, tetapi karena Beliau juga memberikan opsi lain yaitu Sang Maya (ilusi duniawi), maka manusia yang juga dirancang rentan ini lebih tergiur oleh Sang Maya, apalagi di zaman modern yang disebut Kali-Yuga ini. Sekali manusia lebih tergiur dan terbius oleh duniawi yang semu dan ilusif ini hilanglah kesadaran sejatinya, dan “matilah” untuk sementara unsur-unsur spritual yang ada di tubuhnya, celakalah manusia semacam ini karena pada kelahiran selanjutnya derajatnya akan otomatis turun. 42. ”Kesepuluh jenis udara yang mengalir di dalam tubuh diibaratkan sebagai as dari roda-roda kereta kuda ini; bagian atas dan bawah roda disebut dharma dan adharma. Sang Jiwa di dalam tubuh yang bersifat duniawi ini adalah sang pemilik kereta ini. Mantra Veda (Omkara pathanti) adalah ibarat busur dan sang jiwa adalah anak panahnya, sasarannya adalah Tuhan Yang Maha Esa.” Keterangan : Manusia memiliki 10 jenis udara yang mengalir keluar masuk dari tubuh ini yang masing-masing disebut prana, apana, samana, vyana, udana, naga, kurma, krkala, devadhatta dan dhananjaya yang diibaratkan sebagai 10 penopang utama (as) pada sebuah roda chakra. Perjalanan kehidupan manusia ini diibaratkan perjalanan kereta kuda ini. Dharma ada di bagian atas roda dan adharma di bawahnya. Sesuai dengan gerakan roda maka dharma dan adharma bergerak naik dan turun mengikuti irama gerak sang chakra (roda). Kehidupan ini sebenarnya adalah sebuah perjalanan spritual yang penuh dengan misi ibadah (dedikasi dan bhakti) kita untuk Sang Pencipta, yang sebenarnya adalah tujuan kita untuk dilahirkan sebagai manusia dengan semua sarana ragawi dan spritual yang lengkap yang tidak dimiliki bahkan oleh para dewa, sehingga kalau masa kehidupan para dewa ini habis maka mereka memohon untuk menjadi manusia, karena sebagai dewa tidak meniliki raga yang essential untuk menuju ke strata yang lebih tinggi. Semua sorga dan bentuk dewa-dewi yang dianggap tujuan hidup ini masih berada di dalam lingkupan Sang Maya dan bukanlah hakikat dari tujuan kita, tujuan kita adalah menyatu dengan hakikatNya. Sang Jiwa tidak bisa langsung moksha, harus melalui evolusi spritual dahulu dari sel yang paling rendah ke fauna, flora dan sebagainya baru ke wujud yang paling sulit dan agung yaitu manusia, tetapi di sinilah terletak ujian yang paling sulit, karena jegalan atau halangan Sang Maya adalah yang terberat di tahap ciptaan sebagai manusia, di bawah ini diterangkan berbagai jenis halangan bagi manusia. 43/44.”Di dalam kehidupannya di dunia ini, sang jiwa yang terbungkus oleh raga duniawi ini sering mengalami pencemaran oleh nafsu dan kebodohan (avidya, kekurang-pengetahuan) yang terpancar keluar sewaktu seseorang itu menunjukkan sifat-sifat keterikatan, tidak ramah tamah, serakah, duka, melarikan diri dari kenyataan hidup ini, cemburu, tidak toleran dengan sesamanya, terjerat dengan atau oleh berbagai nafsu dan hasrat, kegalauan, rasa lapar (pada hal sudah cukup makan dan minumnya), malas dan lebih menyukai tidur. Semua sifat dan unsur-unsur ini adalah musuh bagi manusia. Adakalanya seseorang juga tercemar oleh sifat-sifat kebajikan itu sendiri.” Keterangan : Ketiga bentuk guna, satvas, rajas dan tamas, hadir dalam setiap kebajikan dan kebatilan, dan tanpa disadari manusia sering terjebak dalam ego-ego positif dan negatifnya. Ada yang merasa sangat suci dan selalu menyebut-nyebut dharmanya dan menganggap dharma atau ibadah / bakti orang lain itu kotor dan harus segera diubah padahal Sang Krishna di Bhagavat-Gita tidak menganjurkan hal tersebut. Itulah sebabnya Sang Krishna dan para resi yang agung selalu menganjurkan umat manusia untuk mencari seorang guru bagi setiap individu, selalu menganjurkan agar bergabung dengan berbagai orang suci dan satsangh (kelompok spritual). Di antara semua guru, maka Bhagavat-Gita yang dirancang oleh Resi Vyasa dan kelompoknya dan disabdakan atas nama Sang Krishna dan Arjuna adalah Maha Guru untuk kita semua, namun karena banyak terjemahan buku ini sangat rancu maka selalu dibutuhkan guru penuntun dan hati nurani untuk memahami karya agung ini, yang tidak ada habis-habisnya kalau kita pelajari, ibarat pelajaran baru sampai akhir hayat kita. Berbagai kitab kita suci diambil inti sarinya oleh resi Vyasa dan dirangkum dalam Bhagavat-Gita ini, karya-karya tersebut sebagian adalah Rig Veda, Puranas, Manawa, Dharma Sastra, Asthavakra-Gita, berbagai Upanishad dan lain sebagainya. Kitab suci ini adalah panduan sakral untuk zaman Kali-Yuga ini. 43. ”Selama seseorang harus menerima raga manusiawi ini, dengan berbagai organ-organ tubuh dan berbagai sifat dan cara kerjanya, yang tidak selamanya (seluruhnya) dapat dikendalikannya, maka seseorang harus mencari seorang guru atau guru dari para orang-orang suci. Dengan pertolongan mereka, seseorang dapat menajamkan pedang (menambah) ilmu pengetahuannya, dan dengan kekuatan yang didapatkannya dari Yang Maha esa, maka ia akan mengalahkan musuh-musuh (halangan) yang disebut di atas. Dengan cara ini, sang pemuja akan mampu menyatu dengan Karunia (transendental) Yang Maha Esa yang hadir di dalam dirinya sendiri, dan lambat laun pemuja ini akan “mengabaikan” raganya dan lebih terkonsentrasi kepada identitas spritualnya.” Keterangan : Raga manusia ini oleh Resi Narada diibaratkan sebagai sebuah wahana (kereta) dan diperlukan seorang guru sejati untuk menuntun dan mengarahkan agar wahana ini tidak salah jalan. Konon dikatakan bahwa setiap insan sebenarnya telah ditakdirkan untuk mendapatkan seorang guru sejati, hanya saja kita sering tidak mengenalnya karena beliau ini bisa saja berupa seorang teman, guru di sekolah, orang tua, petani ataupun orang asing yang kita temui hanya sekejab di jalan. Sementara manusia mendambakan para guru ini, dan banyak yang tidak memerlukannya sama sekali, pada hal sulit untuk memahami hakikat Yang Maha Esa tanpa penjabaran nyata oleh guru sejati. 44. Seandainya seorang tidak mengikuti instruksi para guru spritual sejati (di sini disebutkan sebagai Acyuta dan Baladewa = wakil-wakil Sang Krishna), maka berbagai indra tubuh akan berpari-laku ibarat kuda-kuda (yang liar), dan intelegensia (budhi) yang diibaratkan sebagai seorang kusir, semuanya ini akan cenderung terkontaminasi oleh unsur-unsur materi, dan mengarahkan seseorang ke pemuasan indra-indranya. Sewaktu seseorang tertarik kembali ke berbagai visaya ini, seperti bersantap, tidur dan hubungan seksual maka para “kuda liar dan sang kusir” akan terjerumus ke jalan kegelapan dunia ini, dan sekali lagi masuk ke alur kelahiran dan kematian yang berulang-ulang tanpa ujung, dan situasi ini sangatlah berbahaya dan menakutkan secara spritual.” Keterangan : menyantap santapan yang tidak satvik, tidur yang berkepanjangan, hubungan seksual yang bertentangan dengan dharma akan menuntun kita ke lubang hitam pekat dan menghasilkan reikarnasi yang tidak ada habis-habisnya dalam berbagai wujud fauna-flora atau yang lebih rendah dari itu semua. 45. ”Menurut berbagai Veda, terdapat 2 jenis pelaksanaan yaitu yang disebut pravrtti dan nivrtti. Pelaksanaan yang pertama mengangkat seseorang dari tingkat materi duniawi yang rendah ke tingkat kehidupan materi duniawi yang lebih tinggi, sedangkan pelaksanaan yang adalah pelepasan keterikatan dari berbagai nafsu dan hasrat-hasrat akan hal-hal yang bersifat duniawi. Melalui pravrtti seseorang akan menderita karena terikat oleh materi duniawi ini, dan melalui nivrtti seseorang akan disucikan dan layak menikmati kehidupan yang abadi dan penuh KaruniaNya.” 48/49.”Berbagai ritual, upacara dan pengorbanan seperti agni-hotra-yajna, darsa-yajna, purnamasa-yajna, caturmasya-yajna, pasu-yajna dan soma-yajna ditandai dengan pembantaian hewan dan pembakaran berbagai benda-benda yang berharga, khususnya makanan yang berbentuk gandum-ganduman. Semua ini demi terpenuhinya hasrat dan nazar-nazar yang bersifat materi duniawi. Melaksanakan berbagai pengorbanan tersebut dan memuja Vaisvadeva (Yang Maha Esa), melaksanakan upacara Baliharana, yang diperuntukkan demi pencapaian tujuan kehidupan, begitu juga membangun berbagai tempat persembahyangan (Sura-alaya) untuk para dewa-dewi, membuat sumur-sumur untuk membagi-bagi air, membangun gudang-gudang makanan untuk membagi-bagi makanan (bagi yang membutuhkan), dan melaksanakan berbagai aktifitas demi kesejahteraan umum, kesemuanya ini ditandai oleh ikatan-ikatan bersifat penuh pamrih dan hasrat-hasrat materi duniawi.” Keterangan : Yang dimaksud diatas adalah pelaksanaan berbagai upacara demi status simbol, pamer kekayaan, nazar-nazar tertentu pamrih dan tujuan-tujuan tertentu seperti mengharapkan anak, kekayaan, kekuatan supra natural, black magic dan berbagai kebutuhan hidup lain-lainnya. Semua ini bukan ditujukan sebagai dedikasi atau bakti kita kepadaNya. 50/51.”Wahai Raja Yudhistira yang kuhormati, sewaktu berbagai persembahan yang terdiri dari ghee (mentega murni) dan bahan makanan seperti berjenis-jenis gandum-ganduman dan wijen dipersembahkan sebagai pengorbanan, maka kesemuanya ini lalu berubah ujud menjadi asap dan membawa sang pelaksana upacara ini ke berbagai sistem tata surya (loka-loka yang ada di antariksa) seperti loka-loka Sang Dhima, Ratri, Kresnapaksa, Daksinam dan rembulan (somah). Lalu, para pelaksana pengorbanan ini turun lagi ke bumi dan berubah ujud menjadi berbagai jenis tumbuh-tumbuhan seperti rempah-rempah dan sebagainya, menjadi serangga, gandum-ganduman dan tanaman-tanaman lainnya. Semua ini lalu disantap oleh berbagai mahluk hidup dan berubah ujud menjadi spermatozoa yang kemudian disalurkan ke berbagai raga yang berujud feminin. Dengan begitu seorang lahir dan lahir kembali.” Keterangan : Di sloka atas ini jelas terdapat perbedaan ajaran kalau dibandingkan dengan berbagai Veda seperti Sama-Veda, Yajur-Veda, Rig-Veda dan lain sebagainya, sedangkan Bhagavat-Gita dengan secara liberal mengajarkan kita ke tujuan kita yang murni yaitu hakikat kesatuan dengan Yang Maha Esa melalui berbagai yoga ataupun jalan spritual; yang penting kesadarannya bukan upacara ataupun biayanya. Di lain pihak coba renungkan sekitar 8000 tahun yang lalu sewaktu dunia Barat belum eksis, teknologi dan pengetahuan para resi di India sudah demikian maju sehingga mereka bisa tahu dan faham bahkan soal sperma / spermatozoa yang pada saat ini dipelajari melalui mikroskope yang canggih, pada hal pada zaman itu kan belum ada alat-alat yang canggih dan super modern seperti yang ada pada zaman ini. Banyak sekali ilmu pengetahuan Asia dan India yang dicuri dunia Barat sewaktu mereka menjajah India dan semenanjung Asia, dan teknologi ini kemudian dijual lagi kepada kita dengan hak cipta segala. Suatu hal yang harus dihayati bahwa berbagai upacara yang menghamburkan uang, dan benda-benda yang seharusnya dapat dipergunakan bagi sesama yang lebih membutuhkannya seperti para fakir-miskin, yatim-piatu, karena semua upacara yang menghambur-hamburkan uang dan tenaga ini tidak akan menjamin bahwa kita akan masuk ke sorga atau menyatu dengan Tuhan Yang Maha Esa, Beliau tidak dapat disogok atau diajak berkompromi oleh manusia dengan berbagai upacara, karena semua ciptaan berasal dariNya dan tidak ada sesuatu apapun juga yang dapat kita berikan kembali kepadaNya yang bukan milikNya juga. 52. ”Seorang Brahmana yang dwijati (lahir kedua kali)mendapatkan (hutang nyawa)kehidupannya karena karunia kedua orang tuanya melalui proses yang dikenal sebagai suatu penyucian yang disebut garbhadana. Juga kemudiaan diikuti oleh berbagai proses penyucian sampai dengan akhir hayatnya, yaitu yang disebut upacara pelaksanaan pembakaran jenazahnya (antyesti-kriya). Di dalam kurun waktu tersebut seorang Brahmana yang berkwalitas murni (dwija) tidak tertarik lagi dengan berbagai aktifitas dan pengorbanan secara duniawi ini, dengan eling (Jnana-dipesu), penuh kesadaran sejati, ia mengorbankan kenikmatan indra-indranya ke dalam aktifitas indra-indranya yang telah disinari (diterangi) oleh sinar pengetahuan.” Keterangan : Baik di India maupun di Indonesia kita banyak mengenal para Brahmana dengan berbagai predikat seperti pandita, pemangku, dan lain sebagainya yang oleh masyarakat sering dianggap sebagai seorang dwijati, atau mereka sendiri yang mengaku sebagai manusia dwijati, tetapi sehari-hari kita juga melihat perilaku mereka yang kotor seperti mabuk-mabukan, main tajen, merokok, makan santapan yang masih berbentuk darah daging dan tidak ahimsa sama sekali dengan berbagai alasan. Ada yang harus menjadi Brahmana karena faktor usia, tradisi, dan garis keturunannya pada hal orang tersebut tidak mau dan tidak memenuhi syarat agama. Ada lagi yang sebaliknya yaitu sangat memenuhi syarat sebagai Brahmana tetapi lahir dari kelas atau varna yang berbeda dan dianggap tidak layak menjadi seorang Brahmana. Seandainya kita bertemu dengan jenis Brahmana yang munafik, palsu dan serba imitasi ini maka kita wajib menentangnya dengan cara-cara yang ahimsa, dan menyadarkan mereka bahwa hal-hal yang mereka lakukan tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku seharusnya. Dharma menyatakan bahwa simbol dharma adalah merah dan putih, merah menyiratkan keberanian, perjuangan, aksi, karma, tindakan positif, prakriti dan sebagainya. Sedangkan putih menandakan purusha, unsur kehidupan yang suci, sakral, kebenaran dan sebagainya. Sia-sia saja seorang Brahmana menyandang baju putih kalau ia tidak memiliki sifat-sifat sang merah, dan sia-sia saja manusia pada umumnya yang mengaku varna lainnya kalau tidak memiliki sifat-sifat sang putih. 53. ”Perilaku sang pikiran selalu terombang-ambing oleh ombak penerimaan dan penolakan akan sesuatu hal. Oleh karena itu semua pelaksanaan berbagai indra-indra ini harus dipersembahkan (dengan kesadaran tentunya) kepada sang pikiran, yang kemudian disalurkan ke dalam wacana (kata-kata) seseorang. Lalu kata-kata seseorang tersebut harus dipersembahkan ke bentuk intisari Omkara (pertama wacana orang tersebut dipersembahkan kedalam bentuk alfabet kemudian ke bentuk Omkara). Omkara kemudian dipusatkan dan dipersembahkan ke titik bindu (di tengah-tengah alis mata), dari bindu disalurkan melalui getaran ke suara, (nada), dan selanjutnya ke udara kehidupan (prana). Kemudian yang tersisa adalah jiwa-raga seseorang yang harus dipersembahkan kepada Sang Brahman (Tuhan Yang Maha Kuasa), hal ini disebut sebagai proses pengorbanan.” Keterangan : Sloka di atas baru saja menjelaskan sebuah proses samadhi spritual yang bersifat transendental, gaib. Yang Maha Pencipta memberikan 24 jam penuh kepada kita setiap harinya, tetapi jarang sekali yang bermeditasi kepadaNya barang semenitpun dengan berbagai alasan. Kita condong bersembahyang beramai-ramai di pura atau di mandir, pada hal pengorbanan yang seharusnya adalah kewajiban kita inilah yang selalu dimaksud oleh Sri Kresna dalam ajaran-ajarannya. Sang Resi Narada sekali lagi terdorong oleh rasa welas-asihnya kepada manusia ini, menuntun kita ke arah meditasi suci ini yang hasilnya sangat menakjubkan, karena lambat laun sang pemuja akan dituntun ke arah tahap-tahap spritual yang tinggi. Berhati-hatilah dengan cara atau upaya semadi ini, karena tidak boleh ada pamrih sedikitpun, semua upaya disiplin ini seharusnya dilakukan sebagai dedikasi kita tanpa suatu imbalan dari Yang Maha Kuasa, penuh dengan pengorbanan total yang sebaiknya tidak dianggap tetapi kewajiban yang seharusnya. Hasilnya tanpa dimintapun bisa menimbulkan berbagai kesaktian, kekayaan, kekuatan, mendapatkan posisi yang luar biasa ditengah-tengah masyarakat dan sebagainya, tetapi semua ini bisa menyesatkan karena semua upaya semedi ini seharusnya dari titik bindu menuntun kita ke arah rasa welas-asih, kesederhanaan dan prema (kasih sayang Ilahi), sewaktu penyatuan tercapai dan sinkron segala hal antara Sang Pemuja dan Yang Dipuja, maka orang ini disebut dwijati secara murni, bukan yang lulus sekolah kepanditaan atau kursus kilat jadi pemangku, atau yang mengaku-ngaku guru spritual dengan berbagai attribut yang aneh. Seorang dwijati bisa saja berwujud orang biasa dari segala strata dan kalangan, yang menonjol di dalam diri orang ini adalah prana atau teja atau kharisma yang dipancarkannya dari wajah dan dari setiap tindak-tanduknya. 54. ”Dalam tahap pendakiannya, seorang insan yang progresif (maju terus) memasuki berbagai loka yang terdiri dari loka api (agni), loka surya, loka hari (diva), loka akhir hari (prahnah), loka suklah (14 hari rembulan yang terang), loka raka (purnama yang jatuh pada akhir sukla-paksa), dan uttaram (saat mentari bergerak ke arah utara), bersama-sama masing-masing para dewanya. Sewaktu insan ini memasuki Brahmaloka, ia menikmati kehidupan di sana selama berjuta-juta tahun, dan akhirnya akan habis juga berbagai tujuan materinya. Ia kemudian menuju ke arah yang lembut, dan dari titik tersebut ia mencapai tujuan kasualnya, di mana ia dapat menyaksikan berbagai tahap-tahap yang telah dilaluinya. Sewaktu ia meninggalkan tahap kasualnya ini, ia akan mencapai tahap yang murni di tahap ini ia mengenali Sang Jati Diri (Atman). Dengan cara ini ia berubah menjadi transendental (menyatu denganNya).” Keterangan : Semua tahap yang sulit ini bisa dicapai oleh seseorang insan yang masih menyandang raga akibat dari meditasi (semedinya) yang tanpa pamrih yang dilakukannya penuh dengan disiplin setiap saat walaupun terganggu apapun juga, ia melakukan dhyananya sebagai suatu bentuk pengorbanan yang wajib yang tidak dirasakannya sebagai pengorbanan karena apalah artinya satu jam setiap pagi dan satu jam setiap malam untuk meditasi kepada Yang Maha Esa, kalau dibandingkan senua anugrahNya yang berbentuk kehidupan dengan segala penunjangnya ini. Tahap ini dijelaskan secara gamblang oleh Sri Kresna kepada Arjuna dan tersirat di seluruh wejangan Bhagavat-Gita, dan juga terdapat diberbagai kisah di Srimad Bhagavatam dan Yoga-asishta, dan lain-lainnya. Tanpa mempelajari Bhagavat-Gita dan menghayatinya secara sadar tidak seorangpun bisa mengaku dirinya sebagai pengikut Hindhu (Sanatana Dharma). Bahkan Sai Baba yang agung pun mempelajari dan mengajarkan ajaran agung Bhagavat-Gita ini kepada para murid-murid dan bhaktanya yang berasal dari seluruh dunia. 55. ”Proses bertahap dalam pendakian (spritual) demi mencapai kesadaran akan Sang Jati Dirinya sendiri dimaksudkan bagi mereka-mereka yang benar-benar sadar akan Kebenaran Yang Hakiki. Setelah menjalani berbagai kelahiran di jalan ini, yang dikenal sebagai deva-yana, seseorang akan mencapai berbagai tahap-tahap spritual ini. Seseorang yang secara total lepas dari berbagai hasrat-hasrat duniawi, karena telah menyatu denganNya, tidak perlu lagi menjalani berbagai kelahiran dan kematian.” Keterangan : Tahap-tahap transendental (penyatuan secara gaib) diterangkan dengan sangat piawai oleh Sri Kresna di Bhagavat-Gita. 56. ”Walaupun seseorang hidup dengan menyandang raga, (tetapi) sadar secara total akan jalan-jalan yang disebut sebagai pitra-yana dan dewa-yana, dan membuka matanya sesuai dengan ilmu pengetahuan Veda, insan ini tidak akan pernah galau di dunia yang serba meterialistik ini.” 57. ”Beliau yang hadir secara internal dan eksternal, yang hadir pada permulaan dan akhir dari setiap unsur dan eksis di setiap mahluk hidup, yang dinikmati dan yang menikmati semuanya, Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Tak Berkuasa, disebut sebagai Kebenaran Yang Maha Hakiki. Beliau selalu hadir sebagai ilmu pengetahuan dan sebagai tujuan dari ilmu pengetahuan, sebagai ekspresi dan tujuan dari pengertian, sebagai kegelapan dan sebagai penerangan. Oleh sebab itu, Yang Maha Kuasa adalah segala-galanya.” Keterangan : Di berbagai Veda tersirat suatu pernyataan sebagai berikut : “sarvam khalu idam Brahma,” yang kira-kira bermakna sang Pencipta adalah Yang Maha Hadir di mana-mana di dalam segala (semua) ciptaan-ciptaanNya. 58. ”Walaupun seseorang boleh mengatakan bahwa pantulan sinar surya dari sebuah cermin bukanlah surya, sebenarnya sang surya tetap saja eksis. Demikian juga caranya seandainya ingin membuktikan Keberadaan Tuhan Yang Hakiki melalui ilmu pengetahuan yang menduga-duga itu pastilah sangat sukar untuk dibuktikan.” Keterangan : Banyak manusia bersifat anti Tuhan atau atheis karena kurangnya intuisi murni mereka. Insan-insan yang kegelapan ini berkilah bahwa Tuhan itu tidak ada, lalu dari mana seluruh alam semesta dan segala manifestasi dan improvisasi alam semesta ini. Dengan ini Resi Narada menyiratkan kehadiran Yang Maha Esa sebagai pantulan sang surya yang dapat dilihat di atas permukaan air di mana saja. Yang terpantul bukan surya yang asli, karena yang asli ada di atas sana. Setelah malam tiba tidak berarti sang surya sudah tidak eksis lagi, sang bumi yang bergerak memutar sehingga sang surya tertutup pada suatu sisi dan terang lagi di sisi-sisi yang lain. Panas yang ditinggalkan oleh sang surya di pagi hari diserap bumi dan disalurkan kembali pada malam harinya, suatu bentuk teknologi alam yang menakjubkan demi menunjang bumi dan isinya termasuk manusia. Kalau saja kita semua sadar akan hal ini tidak diperlukan buku-buku suci untuk menuntun kita semua. 59. ”Di dunia ini terdapat lima unsur (maha-panca-butha), masing-masing adalah bumi, air, api, udara dan ether, tetapi raga kita bukanlah refleksi dari kelima unsur ini, juga bukan sebuah bentuk perpaduan ataupun transformasi dari kelima-limanya ini. Karena raga ini dan seluruh anggota-anggota badannya ini tidak saling berjauhan maupun bercampuran, semua teori-teori yang mengatakan seperti ini dan atau seperti itu, tidak berdasar sama sekali.” Keterangan : Sementara ahli spritual mengatakan tanpa hadirnya kelima unsur maha panca butha saluran alam semesta tidak akan eksis, teori-teori semacam ini disanggah oleh Resi Narada, maksud beliau di atas, tanpa Yang Maha Esa eksis di kelima maha panca butha maka tidak ada apapun yang akan eksis dan dimungkinkan. 60. ”Karena raga ini terdiri dari lima unsur tersebut, maka raga ini tidak bisa hidup tanpa tujuan-tujuan dari berbagai objek-objek sensualnya yang halus (suara, rasa, sentuhan, intuisi, penciuman, dan sebagainya). Oleh karena raga ini palsu (ilusif), maka tujuan-tujuan sensualpun secara alami bersifat palsu dan tidak abadi.” Keterangan : Sloka di atas terkesan agak rancu kalau dibandingkan dengan sloka sebelumnya. Kalau pada sloka sebelumnya seakan-akan tersirat Resi Narada tidak mementingkan hadirnya kelima maha panca butha ini, maka di sloka ini pengamatannya agak lain. Yang dimaksud oleh beliau adalah kalima unsur ini sebenarnya juga bersifat ilusif seperti seluruh alam semesta dan segala isinya dan tidak abadi. Yang Maha Abadi menciptakan kelima unsur ini sebagai alat-alat penunjang agar manusia bisa mencapaiNya, dan faktor inti inilah yang dimaksudkan oleh Sang Resi Narada yang berwacana sesuai dengan kadar keresiannya. 61. ”Sewaktu sesuatu unsur dan berbagai bagian-bagiannya dipisah-pisahkan, maka penerimaan konsep kesamaan dari berbagai pisahan ini disebut sebagai ilusi. Sewaktu seseorang bermimpi, maka ia menciptakan sebuah pemisahan antara eksistensi yang disebut kesadaran (tahap tidak tidur) dan tahap tidur. Pada tahap pikiran semacam itulah, berbagai prinsip-prinsip yang beraturan yang terdapat di berbagai kitab-kitab suci, yang memuat berbagai perintah dan larangan, dianjurkan (kepada umat).” Keterangan : Sloka di atas menyiratkan suatu prinsip ilmu pengetahuan yang amat tinggi dan tidak bisa dimengerti oleh kaum awam. Di dalam salah satu Upanishad yang sulit untuk difahami, Upanishad ini disebut Mandukya Upanishad para resi menerangkan tahap-tahap yang ada di dalam kehidupan seorang manusia sehari-harinya, yaitu tahap tidur lelap, tidur kurang lelap, tahap mimpi (tidak tidur karena melihat dan merasakan sesuatu, tetapi sebenarnya tidak begitu karena mata dalam keadaan terpejam total), tahap kesadaran (bangun dan bekerja, tidak dalam keadaan tertidur), tahap meditasi, tahap trance (kerasukan), dan sebagainya. Di sloka atas ini tersirat petunjuk bagaimana kitab-kitab suci yang penuh dengan berbagai peraturan bagi pemujanya dibuat yaitu, melalui tahap kesadaran dalam tidak kesadaran, dan melalui tahap ini (wahyu) timbulah berbagai agama dan ajaran di dunia ini. 62. ”Setelah mempertimbangkan suatu kesatuan dari berbagai aktifitas dan suatu kesatuan dari berbagai fenomena di alam semesta ini, dan setelah menyadari setiap pelaksanaan maupun reaksi-reaksinya, maka seseorang (muni, orang yang suci), sesuai dengan kadarnya (kadar kesadarannya), menanggalkan ketiga tahap yaitu : tahap kesadaran, tahap mimpi dan tahap tidur.” Keterangan : Sloka di atas akan terasa lebih membingungkan bagai kaum awam, karena fenomena meninggalkan ketiga tahap tersebut di atas hanya terjadi kepada seseorang yang telah manunggal denganNya, sehingga kehidupan orang suci tersebut telah terserap langsung ke Sang Atmannya, ia bekerja, sadar, tidur dan mimpi dan melakukan berbagai pelaksanaan sehari-hari secara sinkron dengan Sang Atmannya, semua pelaksanaannya adalah pengorbanan untukNya semata, ia tidak terikat oleh dvandas (baik-buruk, dingin-panas, suka-duka dan sebagainya). Tidak ada suatu unsur apapun yang mampu menyengsarakan ataupun membahagiakannya karena ia telah membaur dengan Zat Hakiki Sang Pencipta. 63. ”Sewaktu seseorang memahami bahwa sebab dan akibat sebenarnya adalah satu dan dualitas tidak nyata, ibarat benang-benang yang ditenun di sehelai kain tidak bisa disebut kain, maka insan ini mencapai suatu konsep kesatuan (spritual) yang disebut Bhavadvaita (konsep akan kesatuan).” 64. ”Wahai Yudhistira (partha) yang kusayangi, sewaktu semua bentuk pelaksanaan berbagai aktifitas seseorang yang terpancar keluar dari pikiran, kata-kata dan raga seseorang dipersembahkan secara langsung demi pengorbanannya kepada Yang Maha Kuasa, maka insan ini mencapai tahap kesatuan pelaksanaan, yang disebut Kriyadvaita.” Keterangan : Sebenarnya Bhagavat-Gita sudah mengajarkan kepada kita semua agar apapun yang kita santap, lakukan, dan sebagainya sehari-hari sebaiknya dipersembahkan kepada Yang Maha Esa tanpa mengharapkan pamrih. Dengan cara ini Beliau akan terpuaskan dan KaruniaNya akan memenuhi setiap kegiatan kita sehari-hari dan tanpa disadari oleh sang pemuja ini ia menyatu denganNya. 65. ”Sewaktu tujuan hidup yang hakiki dan kepentingan dari seseorang, dari istrinya, dari putra-putrinya, dari kalangan keluarganya dan dari semua mahluk-mahluk hidup itu bersifat satu, maka hal ini disebut Dravyadvaita, atau kesatuan kepentingan.” Keterangan : Sloka di atas sulit untuk diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, karena satu tujuan hakiki yang dimaksud di sloka ini adalah penyatuan dengan Yang Maha Esa dengan penuh kesadaran, padahal dalam kehidupan kita ada suami yang tujuan hidupnya melulu mencari harta tanpa henti-hentinya, dan ada istri yang berbakti, ada putra-putri yang sesat, ada istri atau suami yang saling bertentangan dan sebagainya. Mewujudkan suatu keluarga yang beriman secara sadar dan murni seperti sloka di atas adalah “mission-impossible.” Kendala terbesar seseorang adalah keluarganya sendiri dan kendala itu bisa datang dari salah satu anggota keluarga atau dari semuanya. Pada zaman ini seorang anggota keluarga yang ingin mengambil jalan spritual yang serius dan penuh bakti malahan dianggap gila dan malas, setiap orang kalau bisa harus jadi sarjana atau pedagang dan pejabat, pokoknya kedudukan dan harta-benda adalah tujuan hidup ini, tidak perduli siapa yang memberikan kesempatan untuk hidup ini. 66. ”Dalam keadaan normal, di mana mara bahaya tidak hadir, wahai Raja Yudhistira, seseorang harus melakukan tugas-tugasnya sesuai dengan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan status sosial yang disandangnya, dengan menggunakan benda-benda, upaya-upaya, proses dan tempat kediaman yang tidak terlarang baginya, dan tidak dengan melalui cara-cara yang lain.” Keterangan : Pada saat normal dan pemerintahan berjalan dengan baik, begitu juga dengan sistem ekonomi dan hukum, maka setiap insan sesuai dengan kewajiban varnanya seyogyanya bekerja dengan baik, yang pedagang (waisya) jadilah pedagang yang baik, yang brahmana melakukan tugasnya dengan satvik, dan begitu seterusnya sesuai peraturan dan tata-tertib yang berlaku di dalam masyarakatnya sehingga tercapailah tata-tertib dan ketentraman, disiplin sosial, keamanan dan kenyamanan bagi seluruhnya. 67. ”Wahai Raja, setiap insan harus melakukan kewajibannya sesuai dengan instruksi-instruksi ini, juga sesuai dengan instruksi yang ada di berbagai Veda, agar pantas menjadi pemuja Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, walaupun seseorang tinggal di rumah, ia akan pasti mencapai tujuannya.” Keterangan : Sri Kresna bersabda secara amat tegas di Bhagavat-Gita bahwasanya barang siapapun melangkah satu langkah ke arahNya akan disambut dengan 1000 langkahNya, coba bayangkan betapa luas dan besarnya satu langkah Yang Maha Kuasa dibandingkan sebuah langkah manusia, dan Beliaupun menjanjikan sekotor apapun manusia itu sekali menuju ke arahNya akan disucikan. Sebenarnya ajaran Sanatana Dharma ini sangat sederhana, modern dan tidak perlu terkontaminasi oleh berbagai ritual yang aneh-aneh dan konsuntif apalagi serba mahal dan bersifat mubazir yang mementingkan para brahmana yang korup dan kotor. Dengan hanya memuja Tuhan Yang Maha Esa dari rumah sekalipun asalkan penuh ketulusan dan kesadaran bisa mencapaiNya dengan mudah, bukankah itu menunjukkan sebenarnya ajaran ini sangat sederhana tetapi bermakna tinggi. 68. ”Wahai Raja Yudhistira, karena baktimu kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka seluruh Pandawa berhasil mengalahkan berbagai raja-raja dan dewa-dewa. Dengan berbakti kepada kaki padmaNya Sang Krishna dikau berhasil mengalahkan musuh-musuhmu yang dashyat, ibarat kawanan gajah dan selanjutnya dikau mengumpulkan berbagai keperluan untuk pengorbananmu. Dengan KaruniaNya, semoga dikau dilepaskan dari ikatan-ikatan materi duniawi ini.” Keterangan : Sebenarnya Maharaja Yudhistira pada waktu itu sudah hidup sebagai manusia biasa karena sudah menanggalkan atribut-atribut kerajaannya. Sebagai seorang raja yang hidup berumah-tangga secara sahaja (grha-mudha-dhi) ia sering bertanya-tanya di dalam hatinya, dapatkah ia mencapai Tuhan Yang Maha Esa walaupun ia sudah tidak keluar dari istananya lagi. Ternyata Resi Narada menyiratkan kepada Yudhistira dan kita semua bahwa suatu saat nanti kita semua akan menjadi tua, sakit-sakitan dan harus menetap di rumah menanti ajal datang menjemput kita semua, dan selama masa penantian ini bakti kita kepadaNya harus dan wajib diteruskan dari tempat tinggal kita sendiri sesuai dengan kewajiban, varna dan keahlian yang kita miliki secara bakat lahiriah dan alami (kodrati). Bakti kepadaNya juga berarti mengabdikan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, pekerjaan sosial dan sebagainya. Yang semuanya bisa dilakukan di rumah seseorang yang karena sesuatu lain hal sudah tidak bisa atau tidak mampu keluar rumah. 69. ”Pada suatu kurun waktu yang teramat silam, di bagian lain maha-kalpa (milleniumnya Sang Dewa Brahma) aku hadir sebagai seorang Ghandharva (penyanyi di sorgaloka) yang dikenal dengan nama Upabharhana, aku sangat dihormati oleh para ghandharvas yang lainnya.” 70. ”Aku memiliki wajah yang tampan dan bentuk tubuh yang menawan. Berhiaskan untaian-untaian bunga dan pupur (serbuk bedak yang dicampur air / susu) cendana, aku sangat menawan bagi wanita-wanita di lokaku. Karenanya aku selalu bersifat liar, penuh dengan berbagai hasrat nafsu-nafsuku.” 71. ”Pada suatu saat diselenggarakan upacara Sankirtana (puja-puji) untuk mengagungkan Tuhan Yang Maha Esa, dan para Ghandharva dan apsara (para penyanyi / penari wanita di sorgaloka) diundang oleh Prajapati untuk ikut serta.” 72. ”Resi Narada meneruskan : Akupun diundang di upacara ini, dan karena selalu dikerumuni wanita-wanita, aku mulai melantunkan kidung puja-puji bagi para dewata. Dan akibatnya para Prajapati yang menjalankan berbagai kegiatan di alam semesta terpaksa mengutukku dengan kata-kata seperti ini : “Karena dikau telah melanggar peraturan, maka dikau dikutuk untuk langsung menjadi seorang sudra, dan jauh dari ketampanan.” Keterangan : Sudra di sini bisa juga diartikan kafir, manusia hina-dina, jadi tidak selalu bersifat varna, bisa juga berarti manusia yang dicampakkan karena sesuatu dan lain hal, manusia yang tidak disentuh dan sebagainya. 73. Walaupun aku dilahirkan sebagai seorang sudra dari rahim ibuku yang berstatus seorang pembantu rumah tangga, aku selalu terlibat dengan pemujaan kepada Sang Hyang Vishnu, dan dalam kehidupan ini aku mendapatkan kesempatan dilahirkan sebagai (salah seorang) putra Dewa Brahma.” Keterangan : Di sloka ini Resi Narada ingin mempertegas sabda Sang Krishna di Bhagavat-Gita bahwa walaupun pemujanya itu seorang yang teramat hina-dina sekalipun di dunia ini bisa diangkat derajatnya dengan sekali sentuhanNya saja, yang penting adalah bakti tulus tanpa pamrih. 74. ”Proses memuja nama suci Tuhan Yang Maha Esa sangatlah dashyat hasilnya, bahkan proses ini dapat membuat para grhastas (kepala rumah tangga) dengan mudah mencapai tahapnya para orang-orang suci. Wahai Maharaja Yudhistira, dengan ini aku sudah menerangkan kepadamu proses dari ajaran dharma ini.” 75. ”Wahai Maharaja Yudhistira yang kuhormati, para Pandawa kesemuanya adalah insan-insan yang teramat beruntung di dunia ini karena selalu dikelilingi oleh berbagai kaum suci, yang mampu membersihkan seisi alam semesta, dan para orang suci ini berkunjung ke kediamanmu seperti layaknya tamu-tamu biasa saja. Lebih dari itu, Sri Kresna (Krishna), Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri, berastana bersama-sama dikau semuanya di kediamanmu, ibarat seorang saudara.” 76. ”Alangkah menakjubkan bahwa Sri Krishna Sang Para Brahman, Yang Maha Kuasa yang transendental ini, malahan bertindak sebagai penjagamu, sebagai teman dan sepupumu, sebagai jiwa dan kalbu, sebagai pengarah spritual (puja-pujimu) dan sebagai guru spritualmu.” 77. ”Hadir di sini Tuhan Yang Maha Esa yang wujud aslinya tidak bisa difahami bahkan oleh para dewa seperti dewa Brahma dan Dewa Shiva. Tetapi Beliau bisa disadari oleh para pemujaNya yang telah pasrah secara total. Semoga Beliau, yang merupakan pemelihara seluruh pemuja-pemujaNya, Yang dipuja secara hening, dengan bakti yang penuh dedikasi dan pemasrahan total dan lepas dari berbagai pamrih, sudi melindungi kita semua.” 78. ”Bersabdalah Sri Sukadewa Goswami kepada Raja Parikesit yang sedang mendengarkan kisah antara Resi Narada dan Raja Yudhistira ini. Maharaja Yudhistira yang terbaik dari dinasti Barata, langsung saja faham akan ajaran-ajaran Resi Narada. Setelah mendengarkan ajaran-ajaran ini, beliau dengan segala suka-cita di dalam kalbunya dan penuh dengan kenikmatan Ilahi, dan penuh dengan prema (cinta kasih Ilahi) dan kasih sayang (terhadap sesama mahluk) dan rasa hormat, memuja Sri Krishna, Yang Maha Esa.” 79. ”Kemudian Resi Narada, yang dihormati dan dipuja-puji oleh Sri Krishna dan Maharaja Yudhistira mengucapkan salam perpisahan dan kembali kediaman beliau. Maharaja Yudhistira yang baru sadar bahwa sepupunya Sri Krishna adalah pengejawantahan dari Yang Maha Esa itu sendiri, menjadi takjub dan bahagia di dalam kesadarannya ini.” 80. Resi Goswami kemudian bersabda kepada Raja Parikesit : “Di berbagai loka-loka di alam semesta ini berbagai unsur-unsur kehidupan baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, termasuk para dewa-dewi, asuras, dan manusia, kesemuanya ini lahir dari putra-putri Maharaja Daksa, dan telah kuterangkan kesemuanya ini dengan berbagai dinasti-dinastinya kepadamu.” Dengan demikian berakhirlah ajaran dharma yang disebut, “petunjuk-petunjuk demi tercapainya kemanusian yang berbudaya dan beradab.” BHAGAVATA PURANA BAB III KISAH MAHARAJA AMBARISA DAN DURVASA MUNI (Bagian ke I) Tulisan yang satu ini merupakan salah satu rangkaian kisah-kisah yang diambil dari Srimad Bhagavatham. Konon di kisah ini diceritakan secara singkat mengenai sejarah Maharaja Nabhaga dan putranya yang bernama mirip dengan ayahnya yaitu Naabhaaga. Nabhaga adalah putra Sang Manu, manusia pertama. Naabhaaga, cucu Sang Manu ini bertahun-tahun hidup di gurukula yaitu perguruan di zaman lampau yang mendidik para putra raja dengan ilmu kebatinan dan lain sebagainya, sebelum para pangeran ini diangkat jadi raja. Karena terlalu lama belajar di gurukula maka saudara-saudaranya beranggapan bahwa Naabhaaga tidak berhasrat kembali ke kerajaannya, dan tanpa berunding dengan ayah maupun dirinya, mereka membagi-bagi kerajaan di antara mereka sendiri. Suatu saat pangeran Naabhaaga kembali ke kerajaannya dan oleh para saudaranya ia diberitahu akan pembagian warisan ini dan sudah tidak ada apapun lagi di kerajaan yang dapat diwariskan selain ayah mereka yang sudah lanjut usia, jadi sang ayah inilah yang diwariskan kepadanya. Sang ayah merasa telah terjadi kecurangan diantara putra-putranya dan beliau menitahkan Naabhaaga untuk bertapa di sebuah tempat pemujaan pengorbanan. Naabhaaga dibekali dengan dua buah mantra yang harus dipanjatkan di tempat ini sewaktu diperlukan. Lokasi pengorbanan dan pemujaan yang suci ini dihuni oleh para resi yang dipimpin oleh Resi Angira yang banyak sekali mendapatkan harta dalam bentuk dana-punia yang disumbangkan oleh masyarakat kepadanya. Seluruh harta ini kemudian diwariskan kepada Naabhaaga, tetapi Dewa Shiwa sebagai penunggu di tempat suci tersebut ingin menguji iman sang pangeran ini, ternyata Naabhaaga malahan menyerahkan seluruh harta ini kepada Dewa Shiwa, yang tentu saja sangat memuaskan hati sang dewa yang kemudian mengembalikan seluruh harta ini kepadanya. Konon Naabhaaga suatu waktu berputrakan Ambarisa, seorang raja yang sangat dashyat kesaktiannya dan juga merupakan pemuja ideal Yang Maha Kuasa, dan sangat terkenal di negaranya. Begitu dashyat kekuasaannya sehingga pada zamannya beliau dianggap raja dunia karena menguasai sebagian besar bumi ini, tetapi sang raja sendiri konon sangatlah sederhana dan rendah hati dan sebagai pemuja Maha-Vishnu beliau selalu beranggapan bahwa semua harta benda dan kekuasaan beliau adalah milik Yang Maha Kuasa, ia secara pribadi tidak ingin terikat dengan segala kebesaran ini. Beliau mengarahkan seluruh aktifitas kehidupan spritualnya ke Yang Maha Esa semata-mata (Yuktah-Vairagya). Beliau bahkan tidak menghasratkan moksha, karena kehidupan bagi beliau adalah kewajiban tanpa pamrih. Pada suatu hari di keheningan Vrandawana (tempat kelahiran Sang Krishna), sang raja memuja sesuai dengan tradisi upacara Dvadasi, yaitu hari yang jatuh sesudah hari Ekadasi. Pada saat beliau akan berbuka puasa hadirlah seorang resi yang teramat sakti tanpa diundang yang bernama Durvasa Muni. Dengan segala kebesaran dan rasa hormat yang dalam sang resi diterima olehnya dan diajak untuk bersantap bersama, sang resi menerima undangan berbuka puasa ini tetapi memunta waktu sejenak untuk mandi dan membersihkan dirinya di sungai Yamuna di siang hari itu. Konon begitu lamanya sang resi ini berada di sungai tersebut sehingga waktu berbuka puasa hampir lewat dan kalau sang raja tidak berbuka puasa pada saat itu, ia harus berpuasa setahun lagi lamanya. Tentu saja hal ini menimbulkan dilema bagi sang raja dan para resi yang hadir, dan akhirnya diputuskan bersama untuk meneguk sedikit air sebagai simbol berbuka puasa tetapi tanpa menyentuh santapan karena menunggu datangnya kembali Durvasa Muni. Sang resi yang datang terlambat ternyata sangat murka sewaktu menyadari bahwa sang raja telah meneguk air tanpa menunggunya dan menyadari kesalahannya dengan sangat angkuh dan penuh angkara murka ia menciptakan seorang iblis yang menakutkan dari rambutnya. Sang iblis langsung menyerang sang raja, tetapi Maharaja Ambarisa tidak dapat tersentuh oleh iblis ini karena tiba-tiba entah dari mana muncullah Sudharsana-cakra milik Sang Hyang Maha Vishnu dan menangkis serangan ini. Hancur dan musnahlah sang iblis dalam sekejab, kemudian sang cakra meleset ke arah Durvasa Muni, yang langsung kabur dan terbang ke angkasa karena tidak dapat menahan kedashyatan cakra ini. Dari satu loka ke loka lainnya ia terbang mencari perlindungan para dewa tetapi tidak ada seorang dewapun yang mau menolong resi yang takabur ini, akhirnya ia menyerahkn dirinya ke Sang Hyang Narayana, tetapi Beliaupun menolaknya dan memerintahkan sang resi yang angkuh ini agar meminta maaf langsung ke Maharaja Ambarisa yang masih menunggunya kembali; selama menunggu kembalinya sang resi, sang raja melanjutkan puasanya dan tanpa disadari kurun waktu setahun telah terlampaui. Puasa sang raja yang agung ini dianggap sebagai sebuah yoga tersendiri bagi pemuja Yang Maha Esa khususnya pemuja Vishnu dan Kreshna Vasudewa yang sebenarnya adalah satu. Sloka-sloka di akhir kisah ini akan menyadarkan kita akan keserahkahan dan kesaktian sementara Brahmana yang selalu sema-mena kepada kaum yang berasal dari varna lainnya. Disisi lain Yang Maha Esa itu sendiri sangat berendah hati dalam melindungi umatnya dengan proteksi total. Semoga kisah suci ini bisa menambah wawasan kita dalam mendekatkan diri kita kepadda Tuhan Yang Maha Esa. OM…..TAT…..SAT 1. Sukadewa Goswami bersabda kepada Raja Parikesit : “Putra Nabhaga yang bernama Naabhaaga hidup selama bertahun-tahun berguru di kediaman seorang guru spritualnya, sehingga para saudara-saudaranya berpikir ia tidak akan kembali menjalani masa grhastanya. Tanpa banyak berpikir mereka membagi-bagi harta kerajaan diantara mereka sendiri tanpa meninggalkan sisa apapun untuknya. Sewaktu Naabhaaga kembali dari perguruannya, mereka memberikan ayah mereka sebagai pembagiannya.” 2. Naabhaga memohon, “Wahai para saudara-saudaraku, di manakah hak-hakku akan kekayaan ayahku ?” Dan para kakak-kakaknya menjawab, “Kami telah menyisahkan ayah kami sebagai bagianmu.” Tetapi sewaktu mengunjungi ayahnya dan menceritakan hal tersebut, sang ayah menjawab : “Jangan dikau mendengarkan kata-kata mereka yang penuh dengan berbagai tipu-daya, aku bukan milikmu.” 3. Ayah Naabhaga berkata : “Keturunan Angira seluruhnya akan segera melakukan sebuah upacara pengorbanan, dan walaupun mereka ini sangat cerdas, tetapi pada setiap hari keenam upacara mereka akan kacau-balau jalan pikirannya dan tidak akan mampu melanjutkan upacara pengorbanan dengan baik dan mereka akan melakukan berbagai kesalahan dalam menunaikan kewajiban mereka sehari-hari.” 4/5.Ayah Naabhaaga melanjutkan : “Pergilah ke para resi yang agung ini dan jabarkan dua mantra Veda yang kuberikan kepadamu ini kepada mereka. Sewaktu mereka selesai dengan upacara pengorbanan mereka (dan tidak kacau lagi pada hari ke enam upacara), maka mereka semua akan pergi ke swargaloka, mereka akan memberikan sisa harta-benda yang mereka terima untuk upacara ini kepadamu. Jadi cepatlah pergi.” Dan Naabhaagapun melaksanakan perintah ayahnya dan berhasil mendapatkan kekayaan yang luar biasa dari para resi-resi ini yang kesemuanya berhasil moksha ke loka-loka lainnya.” 6. ”Tak lama setelah Naabhaaga menerima kekayaan ini, dari utara datang seseorang yang berkulit hitam-legam dan berkata,”Seluruh harta-benda pengorbanan ini adalah milikku.” 7. Naabhaaga kemudian berkata, “Semua kekayaan ini adalah milikku, para resi yang agung telah menganugrahkannya kepadaku. Setelah ia selesai dengan ucapannya, pria hitam ini kemudian berkata,”Kalau begitu kita harus pergi ke tempat ayahmu dan memintanya untuk menuntaskan masalah ini,” Dan Naabhaaga pun setuju dengan usul ini.” 8. Sabda ayah Naabhaga : “Apapun yang telah dipersembahkan oleh para resi agung di arena pengorbanan Daksa-Yajna itu, sebenarnya diperuntukkan bagi Dewa Shiwa, jadi semua persembahan tersebut adalah miliknya semata.” 9. ”Selanjutnya, dengan penuh rasa hormat dan sembah sujud ke Dewa Shiwa, Naabhaaga berkata : “Wahai Tuhan yang kupuja (Isa), semua di arena itu adalah milikMu. Aku tunduk pada sabda-sabda ayahku. Sekarang penuh rasa hormat, aku bersujud kepadaMu, sudilah mengampuniku.” 10. Dewa Shiwa bersabda : “Apapun yang telah dikatakan oleh ayahmu adalah benar, dan yang dikau katakan pun adalah kebenaran yang sama. Oleh karena itu, Aku yang memahami mantra-mantra Veda-Veda, akan menjabarkan ilmu pengetahuan transendental (mistik/spritual) kepadamu.” 11. ”Dewa Shiwa bersabda : “Sekarang dikau boleh mendapatkan semua sisa harta-benda pengorbanan ini, karena kuanugrahkan kepadamu.” Setelah berkata demikian, Dewa Shiwa, yang teramat sakti ini dan sangat taat pada ajaran dharma (dharma-vatsalah) sirna dari tempat tersebut.” 12. ”Seandainya seseorang mendengar dan mengulang atau mengingat sloka-sloka di atas setiap pagi dan petang penuh dengan perhatian, maka orang tersebut pasti akan berubah menjadi terpelajar, penuh dengan pengertian akan ajaran Veda, dan tangkas dalam mendapatkan kesadaran tentang Sang Jati Diri.” 13. ”Dari Nabhaagaa lahirlah Maharaja Ambarisa. Maharaja Ambarisa dikenal sebagai seorang pemuja yang dihormati sekali oleh para resi dan rakyatnya, beliau dipuja-puji karena berbagai kebajikan dan bakti beliau baik kepada masyarakat maupun kepada Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun ia dikutuk oleh seorang brahmana sakti, ternyata kutukan tersebut tidak mampu menyentuhnya.” 14. ”Raja Parikesit bertanya : “Wahai resi yang mulai, Maharaja Ambarisa adalah seorang yang terhormat dan penuh dengan kebajikan. Kami ingin tahu lebih banyak tentang beliau. Sangat menakjubkan bahwa kutukkan dari brahmana yang sedemikian dashyat kesaktiannya tidak mampu menyentuhnya.” Keterangan : Seluruh kisah-kisah di Srimad Bhagavatam ini, sebenarnya adalah dialog antara Resi Goswami dan Parikesit. Dan di dalam dialog ini termuat anak kisah dari berbagai dialog yang saling berkesinambungan. Harap para pembaca tidak bingung karenanya. 15/16.Resi Sukadewa Goswani berucap : “Maharaja Ambarisa adalah seorang yang amat beruntung, beliau menguasai seluruh dunia yang terdiri dari 7 benua (sapta-dvipa-vatim) dan sang maharaja ini telah mencapai status yang tak terkalahkan dan memiliki kekuasaan yang tak terbatas dan kemakmuran yang amat sangat di atas muka bumi ini. Walaupun status semacam ini sulit dicapai oleh seorang manusia, Maharaja Ambarisa sebaliknya tidak pernah mengacuhkan semua itu, karena beliau sadar semua kemegahan ini bersifat ilusi duniawi dan serba materi, dan suatu saat pasti akan hancur. Sang maharaja sadar sekali bahwa semua itu merupakan godaan yang dapat menyeretnya ke sidhi (dunia kegelapan yang penuh dengan kesaktian dan kemakmuran).” 17. ”Maharaja Ambarisa adalah seorang pemuja Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Vasudewa, dan berada dalam jajaran para kaum suci yang memuja Yang Maha Esa. Karena baktinya yang sedemikian kuat beliau beranggapan bahwa seisi alam semesta ini ibaratnya hanya sebuah batu biasa.” 18/19/20.”Maharaja Ambarisa dalam semadinya selalu berfokus ke telapak kaki padma Sang Krishna, beliau selalu memuja-muji Keagungan Yang Maha Esa, tangan beliau secara pribadi selalu membersihkan berbagai tempat pemujaan Yang Maha Esa. Telinganya selalu mendengarkan sabda-sabda Sang Krishna atau hal-hal mengenai Sang Krishna. Beliau sangat memperhatikan tempat-tempat ibadah Sang Krishna seperti Mathura dan Vrandavana. Beliau juga selalu menyentuh dengan penuh hormat kaki semua bakta Sang Krishna, dan penciuman hidungnya selalu diarahkan ke daun-daun Tulasi yang dipersembahkan kepada Yang Maha Esa, dan lidahnya selalu menikmati berbagai prashadam bagi Yang Maha esa. Kedua kaki beliau selalu digerakkan dan diarahkan ke tempat-tempat suci Yang Maha Esa, dan selama 24 jam sehari-harinya beliau bersujud dan memuja Tuhan Yang Maha Esa sambil memasrahkan secara total seluruh hasrat-hasrat duniawinya kepada Sang Krishna Vasudewa. Sebenar-benarnya beliau tidak pernah menghasratkan sesuatu bagi kenikmatan indra-indranya secara pribadi. Seluruh indra-indra di tubuhnya diarahkan demi pengabdiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui berbagai bakti beliau. Inilah cara (upaya) demi merapat lebih erat dengan Tuhan Yang Maha Esa dan secara total menjauhi berbagai hasrat duniawi.” 21. ”Dalam melaksanakan tugas-tugas sehari-harinya sebagai raja, Maharaja Ambarisa selalu mempasrahkan hasil dari berbagai pelaksanaannya kepada Yang Maha Esa, yang adalah penikmat dan penentu semua tindakan-tindakannya dan begitu juga Yang Maha Esa adalah juga penentu hasil dari semua tindakan yang jauh dari persepsi duniawi ini. Beliau selalu meminta berbagai pendapat dan nasehat dari para brahmana yang berbakti kepada Yang Maha Esa secara amat setia, dengan demikian beliau menguasai planet bumi ini tanpa kesulitan.” 22. ”Di negara-negara yang bergurun pasir di mana sungai Sarasvati mengalir, Maharaja Ambarisa telah melaksanakan berbagai upacara pengorbanan seperti Asvamedha-yagna dan telah memuaskan Yang Maha Esa, Penguasa Utama seluruh yagna (Yajna). Berbagai upacara ini dilaksanakan penuh dengan perhatian dan memenuhi semua syarat-syarat yang diperlukan dan lengkap dengan berbagai daksina bagi para brahmana yang hadir dan berpartisipasi, yang dipimpin oleh Resi Vasistha, Asita, dan Gautama, yang mewakili Sang Raja, pelaksana berbagai upacara suci ini.” Keterangan : Negara-negara yang bergurun pasir bisa diartikan berbagai negara bagian di India kini, tetapi juga bisa berarti jazirah Timur-Tengah di mana pada zaman tersebut sungai Sarasvati pernah mengalir dan berujung di teluk Arabia. Konon orang-orang di Timur-Tengah baik yang keturunan Yahudi dan Arab atau Palestina dipercayai oleh masyarakat India sebagai keturunan mereka (keturunan wangsa Bharata pada zaman dahulu kala). Yesus Kristus sangat dihormati di India karena dianggap sepertiga turunan Arya-India, dan tiga orang Majus yang menghadapnya dengan ratna mutu manikam sewaktu Beliau lahir adalah sebagian dari utusan para resi dari India; dari sekitar puluhan utusan hanya tiga orang saja yang mampu menghadiri kelahiran sang Kristus. Menurut versi India, Kristus pada usia 12 tahun diajak ke India dan kembali sebagai seorang resi-yogi yang brahmacari pada usia sekitar 32 tahun, Beliau juga bersifat vegetarian, ahimsa dan memuja Yang Maha Esa (Isa), dan mengajarkan kembali inti Hindhu-Dharma kepada kaum Yahudi yang tidak mau menerima ajaran ini. Akhirnya beliau disalib, dan diselamatkan oleh ketiga resi tersebut dan dibawa kembali ke India dan meninggal dunia pada usia yang sangat tua di suatu tempat di Kashmir, konon kuburan Beliau dan turunan Beliau masih eksis sampai saat ini di lokasi tersebut. Demikian versi India ini. Konon itulah sebabnya Beliau bernama Isa, karena Beliau adalah pemuja Isa. 23. ”Pengorbanan (Yajna) yang diselenggarakan oleh Maharaja Ambarisa ini dihadiri oleh para anggota dewan negara dan para pendeta yang terdiri dari berbagai golongan yang kesemuanya mengenakan jubah-jubah kebesaran, mereka semua terkesan mirip para dewa. Dengan mata yang bersinar-sinar mereka menyaksikan dengan penuh perhatian penyelenggaraan yajna ini.” 24. ”Penduduk di kerajaan Maharaja Ambarisa sudah terbiasa dengan berbagai aktifitas dan puja-puji spritual yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa, para penduduk ini ikut melakukan berbagai upacara ini tanpa mengharap sedikitpun agar dapat moksha atau pergi ke berbagai swarga-loka, walaupun mereka juga sadar bahwa loka-loka ini menjadi dambaan para dewa sekalipun.” 25. ”Mereka-mereka yang telah larut dalam kebahagian transendental dengan berbakti kepada Yang Maha Esa tidak tertarik akan kesaktian dan berbagai kedashyatan para kaum mistik, karena mereka sadar bahwa faktor tersebut adalah halangan bagi pencapaian karunia sejati Yang Maha Esa yang dapat dirasakan di dalam hati sanubari seorang pemuja yang senantiasa berpikir akan Yang Maha Esa dan memujaNya dari bagian relung kalbunya yang paling dalam.” 26. ”Maharaja Ambarisa sebagai penguasa planet bumi ini, khusus demi upacara ini melaksanakannya penuh bakti dan berupawasa (tapa-brata dan berpuasa) yang sangat berat dan penuh disiplin. Dengan senantiasa berpikir untuk memuaskan Yang Maha Esa sewaktu melaksanakan bakti spritualnya, beliau mengesampingkan seluruh nafsu-nafsu duniawinya secara bertahap.” 27. ”Maharaja Ambarisa menanggalkan semua ikatan-ikatan kekeluargaannya termasuk dengan para istri, putra-putri, teman-teman dan handai-taulan, bahkan dengan hewan-hewan peliharaan yang teramat prima seperti koleksi gajah dan kuda, kereta-kereta perang dan emas permata, berbagai perhiasan, jubah-jubah yang mewah dan harta benda yang serba gemerlapan ditinggalkan semua, karena beliau beranggapan semua ini sebagai tidak abadi dan bersifat materi duniawi belaka.” 28. ”Tuhan Yang Maha Esa (Hari) yang teramat puas dan bahagia akan bakti yang teramat tekun dan penuh dedikasi ini menganugerahkan cakraNya kepada sang maharaja, agar beliau selalu terhindar dari segala mara-bahaya dan serangan-serangan para musuhnya.” Keterangan : Umumnya para pemuja atau bakta Yang Maha Esa terkesan selalu lemah-lembut, penakut, mengalah dan sebagainya, karena mereka-mereka ini selain bersikap sangat pasrah juga bersifat ahimsa, apalagi yang sadar bahwa Sang Atman hadir di dalam segala mahluk hidup, tidak akan menyakiti seseorang walaupun disakiti olehnya. Para mahluk jahat, asura dan manusia-manusia yang penuh dengan kebatilan selalu ingin mempersulit para pemuja yang lemah-lembut ini dengan berbagai cara dan alasan. Tetapi tanpa disadari para pemujaNya, Yang Maha Kuasa (Hari) selalu menjaga para bakta-baktaNya dengan cara-cara yang penuh dengan keajaiban, sering sekali di luar nalar manusiawi kita. Sang Maharaja yang mendapatkan anugrah Cakram ini sebenarnya sama sekali tidak menyadari akan fungsi dan keampuhan cakra ini karena beliau ini sudah jauh dari sidhi dan pamrih. 29. ”Maharaja Ambarisa yang berhasrat memuja Sri Krishna Vasudewa, beserta istri (permasuri)nya yang tidak kalah imannya dari sang suami, beritikad untuk melakukan tapa-brata Ekadasi dan Dvadasi dengan berpuasa selama setahun penuh.” Keterangan : Hanya pria yang beruntung saja yang bisa mendapatkan istri yang sama imannya, begitupun hanya seorang istri yang beruntung mendapatkan pasangan suami yang beriman sama karena hal ini amatlah langkah di dunia yang serba materi ini. Masyarakat Hindhu India percaya bahwa dengan berpuasa setahun penuh, khusus untuk hari-hari yang disebut di atas dapat membahagiakan dan memuaskan Sang Kresna Vasudewa. Biasanya setelah selesai dengan upacara ini seseorang akan memasuki kehidupan Vanaprastanya. 30. ”Pada bulan Kartika, setelah menjalankan tapa-bratanya selama setahun, dan berpuasa selama tiga hari selanjutnya, dan setelah bersiram diri di sungai Yamuna, Maharaja Ambarisa memuja Sang Hari, Tuhan Yang Maha Penyayang, di suatu lokasi yang disebut Madhuvana.” 31/32.”Maharaja Ambarisa melaksanakan upacara pemandian Arca Sang Krishna Vasudewa (Maha-bisheka) sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku dengan segala ragam tata upacara yang seharusnya, kemudian beliau mengenakan kepada arca tersebut berbagai pakaian kebesaran, perhiasan, kalungan-kalungan bunga yang serba bermutu prima. Dengan seksama dan penuh bakti, beliau memuja Sri Krishna dan juga menghaturkan puja bagi semua brahmana yang berbahagia yang lepas dari berbagai nafsu duniawi.” 33/34/35.”Selanjutnya Maharaja Ambarisa memuaskan hati semua tamu yang hadir dengan berbagai sesajian dan lain sebagainya, khususnya para brahmana yang hadir mendapatkan perhatian yang penuh dan teramat khusus. Beliau menyumbangkan 60 kror (600 juta) ekor sapi yang masing-masing tanduknya berlapiskan emas dan bagian lehernya berkalungkan perhiasan yang berlapisan perak. Semua sapi-sapi ini berhiaskan kain dan disertai kantung-kantung susu yang penuh. Semua sapi-sapi ini nampak sangat jinak, berusia muda dan sangat menawan dan disertai oleh anak-anak sapi mereka. Setelah mempersembahkan sapi-sapi ini, sang raja secara penuh perhatian mempersembahkan santapan bagi semua brahmana yang hadir, dan setelah mereka semua telah terpuaskan, maka dengan izin mereka Sang Raja lalu memutuskan untuk mengakhiri puasa Ekadasinya. Dan tepat pada saat itu, hadir seorang resi agung dan teramat sakti mandraguna, tanpa diundang.” Keterangan : Di dalam Hindhu-dharma sebenarnya ada peraturan yang tidak memperbolehkan seseorang untuk menghadiri upacara orang lain termasuk sanak-saudara tanpa diundang, hanya upacara kematian saja yang merupakan kekecualian, karena pada upacara kematian umat Hindhu Dharma di India tidak mengundang siapapun; adalah kewajiban para handai-taulan untuk datang sendiri dan bergotong-royong membantu keluarga yang meninggal dunia. Di Bali saat ini sering terlihat dan dibagi-bagikan kartu undangan yang mewah untuk upacara ngaben padahal undangan tersebut sama sekali tidak sesuai dengan ajaran Veda-Veda, juga tidak tertera di lontar, ataupun Shastra Vidhi lainnya yang bernuansakan Hindhu Dharma. 36. ”Setelah berdiri dari tempat duduknya dan menerima Durvasa Muni, Raja Ambarisa mempersilakan sang resi untuk duduk bersama, kemudian sang resi dihormati seperti layaknya menghormati seorang resi yang agung. Setelah menyentuh kedua telapak kaki sang resi, Maharaja Ambarisa mempersilakan beliau untuk berbuka puasa secara bersama-sama.” 37. ”Dengan senang hati Durwasa Muni menerima ajakan bersantap bersama ini, tetapi beliau meminta waktu agar dapat melakukan ritual kebiasaannya dahulu. Di sungai Yamuna yang airnya dianggap sangat suci dan ia bersemadi ke arah Sang Brahman (brhad-dhyana).” Keterangan : Sang resi bermeditasi untuk waktu yang agak lama dan mungkin lupa bahwa sang raja sedang menunggunya dengan penuh kerisauan karena waktu berbuka sudah hampir berlalu, dan kalau batal berbuka pada saat tersebut sang raja harus berpuasa satu tahun lagi. 38. ”Sementara itu hanya sedikit sesajen upacara hari Dvadasi yang tersisa untuk berbuka puasa. Sehingga mau tidak mau sang raja harus cepat-cepat berbuka puasa. Dalam situasi yang teramat kritis ini, sang raja memohon nasehat dari para brahmana yang hadir.” 39/40.Sang raja berkata : “Adalah suatu pelanggaran yang berat seandainya kami tidak menghormati para brahmana. Dan pada saat yang sama seandainya tidak segera berbuka puasa berarti janji puasa kami selama kurun waktu setahun akan terlanggar. Oleh sebab itu wahai brahmana seandainya anda semua beranggapan bahwa adalah suatu tindakan yang suci dan tidak melanggar kaedah-kaedah agama, perkenankan kami berbuka puasa dengan meneguk air. Dengan cara ini, setelah mendapatkan masukan dari para brahmana, sang raja meneguk sedikit air, yang menurut para brahmana ini, tidak dianggap menyantap ataupun tidak menyantap sesuatu.” 41. ”Wahai yang terbaik, di antara jajaran dinasti Kuru, setelah meneguk sedikit air, Raja Ambarisa bersemedi dengan menunjukan pikirannya ke arah Tuhan Yang Maha Esa yang bersemayam di dalam relung hatinya, sambil menunggu kembalinya resi Durvasa Muni.” 42. ”Setelah menyelesaikan berbagai upacara ritual siang hari, Resi Durvasa meninggalkan tepian sungai Yamuna. Sang raja menyambutnya dengan baik, penuh segala kehormatan, namun Durvasa Muni, melalui kesaktiannya memahami bahwa Raja Ambarisa telah berbuka puasa dengan meneguk air tanpa seizin sang resi.” 43. ”Durvasa Muni yang masih dalam keadaan lapar, dan bergetar tubuhnya, dengan kedua alisnya yang terangkat akibat geramnya, murka sekali kepada sang raja yang berdiri di depannya dengan kedua tangan yang terkatub.” 44. ”Aduh, coba lihat kelakuan orang jahat ini ! Ia bukan pemuja dewa Vishnu. Karena merasa sombong akan kekayaan dan kedudukannya, ia merasa dirinya seakan-akan telah menjadi Tuhan itu sendiri. Coba perhatikan bagaimana ia telah melanggar peraturan-peraturan agama.” 45. ”Maharaja Ambarisa, dikau telah mengundangku sebagai seorang tamu untuk bersantap, tetapi dikau telah bersantap lebih dahulu. Oleh karena ulahmu ini, akan kuperlihatkan sesuatu untuk menghukummu.” 46. ”Pada saat Durvasa Muni berkata demikian wajahnya memerah penuh rasa angkara-murka. Ia mencabut sejumput rambut dari kepalanya, dan menciptakan seorang iblis yang mirip api yang berkobar-kobar secara dashyat untuk menghukum Maharaja Ambarisa.” 47. ”Bersenjatakan sejenis trisula dan menggetarkan permukaan bumi ini dengan langkah-langkah kakinya, mahluk api ini mendekati Maharaja Ambarisa. Namun sang raja tidak merasa terganggu oleh kehadiran mahluk ini dan tidak beranjak sedikitpun dari tempat ia berdiri.” 48. ”Ibarat api di hutan yang membakar habis ular yang marah menjadi abu, dengan perintah Yang Maha Kuasa, maka Sudharsana Cakra milik Sang Hyang Vishnu pun tiba-tiba muncul dan memusnahkan iblis tersebut menjadi abu dalam sekejab. Demikian ini cara Beliau menjaga para pemuja-pemujaNya.” 49. ”Menyaksikan kegagalannya, dan nampak bahwa Cakra Sudharsana sedang menuju ke arahnya, Durvasa Muni menjadi sangat ketakutan dan mencoba berlari ke segala arah demi menyelamatkan hidupnya.” 50. ”Ibarat api di hutan yang mengejar seekor ular, cakra Yang Maha Esa ini pun mengejar terus Durvasa Muni ke arah manapun ia berlari. Durvasa Muni melihat bahwa cakra ini hampir-hampir saja membelah punggungnya, ia langsung saja lari dan masuk ke sebuah gua yang terdapat di gunung Sumeru.” 51. ”Namun Sang Cakra mengejarnya ke manapun ia bergerak baik itu di langit, atau di darat, baik itu di dalam berbagai gua atau di dalam samudera, bahkan resi ini dikejar terus sewaktu ia terbang ke berbagai loka-loka dan planet-planet di alam semesta ini. Kemanapun ia pergi (terbang) ia akan selalu tersusul oleh api Sudharsana Cakra yang tak tertahankan baranya ini.” 52. ”Dengan penuh rasa ketakutan, Durvasa Muni pergi kesana kemari mencari perlindungan, tetapi sia-sia saja, dan akhirnya ia terbang ke Brahma-Loka dan mengharap ke dewa Brahma. “Wahai Dewataku, wahai dewa Brahma, mohon kami dilindungi dari kobaran api Sudharsana Cakra yang dikirimkan oleh Yang Maha Esa ini.” 53/54.”Dewa Brahmapun bersabda : “Pada saat dwi-parardha, sewaktu seluruh ciptaan masa lalu selesai siklusnya, maka Dewa Vishnu, dengan sebuah kerlingan bulu-bulu matanya akan melenyapkan seisi alam semesta ini (kiamat,pralaya) termasuk di dalamnya itu brahma-loka tempat kediaman kami ini. Dewa-dewa jajaran kami ini, seperti Dewa Shiwa, juga para Daksa, Berghu dan berbagai orang-orang suci dan penguasa-penguasa berbagai bentuk kehidupan, manusia-manusia, dan para dewa-dewi……kami semua tunduk menyerahkan diri kami semua ini kepada Dewa Vishnu yang adalah pengejawantahan dari Yang Maha Esa itu sendiri. Sambil menundukkan kepala kami, kami bersujud demi melaksanakan segala perintah-perintahNya demi kepentingan semua bentuk kehidupan di alam semesta ini.” 55. ”Sewaktu Durwasa yang kepanasan oleh api Sudharsana Cakra ini ditolak oleh Dewa Brahma, ia langsung terbang ke bersemayamnya Dewa Shiwa di Kailasa memohon bantuan.” 56. Namun Dewa Shiwa, “bersabda,” “Wahai anakku, kami dan Dewa Brahma dan jajaran dewa-dewi lainnya, bergerak melingkar di dalam alam semesta ini di bawah kebesaran kami yang merupakan sebuah konsep (spritual) yang salah, karena kami semua sebenarnya tidak memiliki kesaktian apapun juga untuk melawan Kekuasaan Yang Maha Esa, karena tidak terhitung jumlahnya alam-alam semesta yang telah diciptakanNya dan yang telah dimusnahkanNya dengan sedikit arahanNya saja.” Keterangan : Banyak pemuja beranggapan bahwa Tuhan itu adalah para dewa-dewi seperti Brahma, Vishnu, Shiwa, Laxmi, Durga, Saraswati, Ganeshya dan lain sebagainya tanpa mau menyadari bahwa jajaran para dewa-dewi ini adalah simbol dan medium dari Yang Maha Kuasa. Di Bhagavat-Gita, Sri Krishna dengan jelas dan tegas menjabarkan fenomena-fenomena ini. Sebenarnya hakikat dari Hindhu (Sanatana-dharma) adalah pemujaan kepada Yang Maha Kuasa, pada saat yang sama bagi para pemuja yang masih duniawi sifatnya tersedia medium-medium lain. Manusia cenderung melupakan hakikat akan keberadaannya di bumi ini, dan lupa akan Sang Atman yang hadir di dalam tubuh kita ini. Seharusnya kita sadar bahwa raga adalah sebuah kuil yang suci dan harus selalu kita sucikan agar Sang Atman betah diam di astana ini, bukannya dikotori dengan berbagai kekotoran duniawi termasuk makan-minum yang tidak satvik dan sebagainya. 57/58.”Masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang dapat kufahami (demikian sabda dewa Shiwa), dan juga oleh para Sanatkumara, Narada, yang maha terhormat Dewa Brahma, Kapila (putra Dewahuti), Apantaratama (Vyasadewa), Dewala, Yamaraja, Asuri, Marici dan berbagai orang-orang suci yang dipimpinnya, juga oleh mereka-mereka yang telah mendapatkan anugrah keabadian. Namun begitu, karena kami semua terbungkus oleh kekuatan ilusi Yang Maha Kuasa, maka kami semua tidak bisa memahami akan Kebesaran dan Keagungan dari Zat (energi) ini. Anda sebenarnya langsung saja ke Beliau Yang Maha Kuasa agar mendapatkan pembebasan, karena Sudharsana Cakra ini tidak tertahankan bahkan oleh kami. Pergilah langsung ke Dewa Vishnu, Beliau pasti akan melindungi dan mengayomimu.” Keterangan : Sudharsana Cakra jangan diartikan secara harafiah sebagai suatu senjata yang dashyat, tetapi kata cakra itu sendiri bisa berarti secara simbolis, yaitu hukum karma, dan dalam skala besar bisa berarti juga hukum reinkarnasi. Kata Sudharsana berasal dari kata akar Sudhar (sadar, kesadaran). Hanya dengan menghayati kata-kata ini saja mungkin kita bisa lebih sadar lagi akan hakikat Yang Maha Esa, demikian yang tersirat dari wejangan Dewa Shiwa bagi Durwasa Muni dan bagi kita semua. Kalau saja para dewa-dewi yang teramat agung ini saja masih diliputi oleh materi duniawi apalagi kita manusia yang bodoh ini ? Dewa Vishnu yang dimaksudkan di atas adalah Maha Vishnu (Narayana) yang bersemayam di Vaikuntha-loka. 60. ”Selanjutnya kecewa karena ditolak oleh dewa Shiwa, terbanglah Durwasa Muni ke Vaikuntha-loka (Vaikuntha-dharma) dimana bersemayam Yang Maha Esa dalam wujud Maha Vishnu yaitu Narayana, didampingi oleh Laksmi (Laxmi), saktinya yang berwujud Dewi Kemakmuran.” 61. ”Durwasa Muni, resi yang sakti mandraguna ini, lemas karena terbakar oleh bara api Sudharsana Cakra, jatuhlah ia di kedua telapak kaki Hyang Narayana. Seluruh tubuhnya gemetar, ia mengatakan : “Wahai Dikau Yang Maha Kuasa, Yang Tak terbatas, Pengayom seisi alam semesta ini, hanya Dikau semata yang menjadi tujuan semua pemuja. Daku adalah penyandang dosa yang terbesar, Tuhanku, mohon kami dilindungi olehMu.” Keterangan : Hyang Narayana adalah wujud Yang Maha Kuasa dalam bentuk Maha Vishnu Yang Maha Pengayom dan Pengasih. Sarguna Brahman adalah wujud Tuhan yang nampak dan bermanifestasi, sedangkan Nirguna Brahman adalah Tuhan yang tidak terterangkan dan tidak berwujud. Hyang Narayana adalah bentuk Sarguna Brahman. 62. ”Wahai Tuhanku, Yang Maha Pengendali, tanpa kusadari akan keagunganMu yang tak terbatas, daku telah berbuat dosa terhadap pemujaMu yang teramat Dikau kasihi. Dikau adalah Maha Pelaksana, walau seseorang harus masuk ke Neraka, dapat Dikau selamatkan hanya karena orang tersebut mengingat namaMu di dalam hatinya.” Keterangan : Suatu waktu dikisahkan di Srimad Bhagavatham, hidup seorang turunan brahmana yang bergelimangan dosa. Orang tersebut mempunyai seorang putra yang diberi nama Narayana. Tepat pada saat sang brahmana ini meninggal dunia ia memanggil sang putra, tetapi yang datang malahan para utusan Hyang Narayana dan mereka lalu menyelamatkan sang brahmana ini dari tangan para malaikat maut utusan Dewa Yamaraja. Episode yang memikat ini mengingatkan kepada kita semua bahwasanya begitu agung dan sucinya Nama Yang Maha Esa sehingga hanya dengan menyebutNya saja kita bisa diselamatkan dari mara-bahaya, apalagi kalau diresapi hakikatNya yang agung. 63. Hyang Narayana, Yang Maha Esa bersabda kepada resi Durvasa Muni : “Daku ini secara keseluruhan berada di bawah kendali para pemuja-pemujaKu. Daku sebenarnya tidak bisa bebas dari pemuja-pemujaKu. Karena semua pemuja-pemujaKu ini telah bebas dari berbagai hasrat-hasrat duniawi mereka, Daku bersemayam di setiap hati para pemuja-pemujaKu. Bagaimana daku harus menggambarkan kebesaran para pemuja-pemujaKu ini, mereka-mereka yang bahkan adalah pemuja dari pemujaKu adalah kesayanganKu juga.” Keterangan : Betapa tersentuhnya hati ini membaca sabda-sabda yang begitu rendah diri yang keluar langsung dari bibir Hyang Narayana itu sendiri. Begitu besar dan agung KasihNya kepada para pemuja-pemujaNya sehingga Beliau mengibaratkan para pemuja sebagai tuan dan Beliau sendiri sebagai hamba dari para pemuja ini. Dengan kata lain, tanpa para pemuja Tuhan itu tidak “eksis” di dunia ini dan tidak dipuja maupun diajarkan KeberadaanNya kepada umat manusia, seakan-akan Hyang Narayana ingin mengatakan betapa berutang budiNya Beliau kepada para resi, nabi, utusan Tuhan dan para pemuja yang senantiasa memujaNya dan menyebarkan dharma kepada sesama umat manusia. Kalau Hyang Narayana sebagai manifestasi tertinggi saja sudah merendah sedemikian rupa maka seharusnya mereka-mereka yang mengaku brahmana atau utusan Tuhan harus lebih rendah diri lagi dan tidak mempergunakan pengaruh dan status mereka untuk membohongi para pemuja dharma. 64. ”Wahai dikau yang terbaik diantara para brahmana, tanpa mereka-mereka yang suci yang telah menjadikan Daku tujuan mereka satu-satunya. Daku tidak berminat untuk menyandang dan menikmati KeEsaanKu dan KeagunganKu Yang Transendental ini.” 65. ”Karena para pemuja ini meninggalkan rumah-rumah, istri-istri, anak-anak, keluarga, kekayaan dan bahkan kehidupan mereka demi pengabdian kepadaKu, dengan tanpa pamrih dan hasrat-hasrat duniawi ini maupun demi kehidupan-kehidupan mendatang, maka bagaimana mungkin Daku dapat meninggalkan (mengabaikan) para pemuja-pemujaKu. (Setiap saat Daku menjaga dan memperhatikan para pemuja-pemujaKu).” 66. ”Ibarat para istri yang setia yang mengendalikan suami mereka dengan bakti para istri ini, demikian juga halnya dengan para pemujaKu yang tulus dan murni, yang berderajat sama dengan semua insan yang secara total tertambat di dalam relung KalbuKu yang terdalam, dan menjadikan Daku berada di bawah kendali mereka secara penuh.” 67. ”Para pemuja-pemujaKu, yang senantiasa puas dengan berbakti kepadaKu dengan penuh rasa kasih-sayang, tidak akan tertarik akan empat prinsip kebebasan (yaitu : salokya, sarupya, samipya dan sarsti), walaupun (sebenarnya) mereka secara langsung mendapatkan status-status ini akibat dari pemujaan dan bakti mereka. Apalagi terhadap hal-hal yang tidak bersifat abadi dan kebahagiaan semu yang terdapat di berbagai loka-loka (sorga-sorga) tersebut.” Keterangan : Banyak sekali manusia yang memuja Yang Maha Esa dengan mengharapkan mukti atau moksha atau penyatuan denganNya. Faktor ini menunjukkan masih tersirat rasa pamrih di dalam pemujaan tersebut. Tetapi mereka-mereka yang tulus dan murni memuja Yang Maha esa karena kewajiban yang dilandasi oleh kesadaran semata, padahal mereka juga sadar bahwa sorga-sorga tersebut bisa mereka dapatkan melalui pemujaan mereka itu, tetapi mereka tidak acuh sama sekali karena semua loka atau sorga ini tidak abadi sifatnya, penjelmaan sebagai manusia adalah suatu anugrah yang luar biasa yang seharusnya jangan disia-siakan, sorga-sorga dan moksha sebenarnya tidak menjanjikan apapun juga; kecuali keterikatan baru. 68. ”Para pemujaKu yang sejati selalu berada di dalam relung kalbuKu yang paling dalam, dan Daku selalu berada di dalam hati mereka. Para pemuja-pemujaKu tidak mengenal yang lain-lainnya kecuali Aku, dan Aku tidak mengenal yang lain-lainnya selain mereka ini.” Keterangan : Alangkah berbahagianya secara spritual para pemuja yang sejati yang selalu terhubungkan secara mistis dan gaib kepadaNya. Apalagi beliau ini hadir dan menuntun secara langsung para pemuja-pemujaNya ini dari kedalaman hati mereka. Itulah sebabnya para manusia awam tidak bisa memahami peri-laku para nabi, utusan Tuhan, dan para pemuja-pemuja sejati dari berbagai agama dan penghayatan, karena pola pemikiran mereka di atas normal dan rasio/logika duniawi yang serba materialistis ini. Mereka sering dianggap kurang waras, kurang ajar ataupun gila dan ibarat fakir-miskin dan sebagainya. Padahal seluruh sastra Smritis dan Srutis turun dari orang-orang atau insan-insan agung semacam ini. Mereka baru diakui setelah mereka sudah tidak eksis di dunia ini, mereka baru disanjung-sanjung dan disucikan setelah tiada. 69. ”Wahai brahmana, Kunasehatkan kepadamu demi kebaikanmu sendiri. Dengarkan kata-kataku ini. Dengan melukai hati Maharaja Ambarisa, dikau telah bertindak secara egois. Oleh sebab itu dikau harus segera menemuinya tanpa membuang-buang waktu sedetikpun. Seseorang masuk ke dalam kawasan bencana begitu ia melawan (menghujat) seorang pemuja (Ku). Demikianlah, subjek itu lalu terimbas oleh bencana bukan yang dituju (objek). 70. ”Bagi seorang brahmana, kesucian berbakti dan memuja dan mempelajari ilmu pengetahuan adalah tindakan-tindakan yang menyucikan, tetapi seandainya semua ini didapatkan oleh seseorang yang berperi-laku kasar, maka semua kesucian dan ilmu pengetahuan ini lalu berubah menjadi sangat berbahaya.” Keterangan : Ingat dan perhatikan selalu, bahwa semua ilmu pengetahuan dan yoga, berbagai pelaksanaan spritual dan tapa-brata bisa berubah menjadi kesaktian yang menyesatkan (sidhi) kalau sipemuja tercemar oleh ego, ahankara (angkara), iri hati dan sebagainya. Semua mantra di Veda-Veda dapat berubah menjadi jalan kegelapan (black-magic) kalau disalah-gunakan. Satu contoh : lambang Swastika oleh Nazi dan Hitler dibalik, diwarnai hitam dan dipuja, hasilnya Ganeshya dalam bentuk kebatilan yang muncul (yaitu salah satu istrinya yang berupa wujud iblis, satu lagi istrinya adalah lambang dharma, Swastikanya adalah merah dan mengarah ke arah kanan, Ganeshya sendiri berlambang Swastika merah atau emas dengan dua garis tambahan di sisi kiri dan dua garis tambahan di sisi kanan yang melambangkan bahwa ilmu-pengetahuan itu ada dua jenis yang bersifat dharma dan adharma, Ganeshya memiliki kedua-duanya, anda mau memilih dan memuja yang mana?) 71. ”Wahai dikau yang terbaik diantara para brahmana, dikau harus segera pergi ke Raja Ambarisa, putra Maharaja Naabhaaga. Semoga dikau mendapatkan semua karunia. Seandainya dikau dapat memuaskan hati Maharaja Ambarisa, maka pasti kedamaian akan datang beserta kepadamu.” Dengan ini berakhirlah bab suci yang disebut : “Penghujatan kepada Maharaja Ambarisa oleh Durvasa Muni.” Bagian ke II Kisah Maharaja Ambarisa dan Durwasa Muni Di dalam bagian ini diterangkan bahwasanya Maharaja Ambarisa melakukan puja kepada Sudharsana Cakra dan Sang Hyang Cakra ini selanjutnya memaafkan Durvasa Muni (yang langsung saja terbang kembali ke istana Maharaja Ambarisa setelah diperitahkan oleh Sang Hyang Narayana.) Begitu sampai kehadapan sang raja, langsung saja Durvasa Muni menyembah kedua kaki sang maharaja. Sang raja yang memiliki rasa rendah hati yang murni ini langsung menjadi risih dan teramat malu karenanya. Segera dan seketika itu juga beliau langsung menghaturkan puja kepada Sudharsana Cakra dan doanya dikabulkan, Durvasa Muni diampuni dan selamat dari bencana. Banyak ahli di India yang selalu memperdebatkan akan status hakiki cakra ini. Ada yang berdalih bahwa Sudharsana Cakra adalah simbol dari hukum karma, hukum sebab-akibat dan reinkarnasi beserta seluruh akibat-akibatnya yang berputar terus dari masa ke masa. Ada juga yang menyatakan bahwa cakra ini adalah zat atau energi murni Yang Maha Esa guna mencipta dan mengayomi seluruh ciptaan-ciptaanNya (Sa aiksata,Sa asrjata); demikian, konon versi dari berbagai pengamat Veda kata ahli yang lainnya. Ada juga yang mengatakan bahwa inti kekuatan cakra ini hadir ditengah-tengah kita dan memenuhi seluruh jajaran alam-semesta dan melawan unsur-unsur hitam (asurik) yang meraja-lela dimana-mana. Unsur cakra ini selalu hadir melindungi para pemuja Yang Maha Esa dari segala mara-bahaya, sehingga selalu sejarah para resi dan pemuja yang agung penuh dengan berbagai mukzizat yang melindungi pemuja dharma. Kembali ke Durvasa Muni, beliau langsung saja sadar bahwa kasta brahmana tidak berarti lebih hebat dan harus diistimewakan dari golongan yang lain. Pada saat yang sama Maharaja Ambarisa yang sudah berpuasa setahun lagi karena menunggu kembalinya resi Durvasa langsung menghaturkan santapan bagi sang resi dan mengambil sisa santapannya sebagai prashadam bagi sang raja. Kemudian sang raja membagi-bagi kerajaannya diantara para putra-putrinya dan berangkat ke ketepian Manasa-Sarovara untuk melakukan tapa semedi kepada Yang Maha Esa. Inti pesan yang tersembunyi di dalam kisah ini adalah bahwasanya tidak mudah bagi seseorang untuk meniti jalan spritual ke arah Yang Maha Kuasa, karena banyak iblis siap menghadang di jalan. Inti pesan yang kedua : Walau sudah merasa menjadi orang yang suci dan sakti sekali terjegal oleh ego, iri-hati dan angkara-murka, maka seseorang segera saja jatuh ke lembah kehinaan, contoh resi Durvasa Muni. Inti pesanan ketiga : Yang Maha Esa menjamin dan menjaga secara pribadi para pemuja-pemujaNya dengan suatu mekanisme gaib yang baik dan sistimatis sekali. Semua halangan dan rintangan sudah dipersiapkan jalan keluarnya sesuai dengan iman sang pemuja tersebut. Yang penting sekuat apakah iman dan bakti kita kepadaNya. Seperti juga Maharaja Janaka, Arjuna dan Darmawangsa (Yudhistira) dan Parikesit, maka Maharaja Ambarisa sebagai seorang raja-resi telah menunjukkan pedoman dan ajaran yang maha adi-luhung bagi kita semua. Selamat berjuang di jalan Yang Maha Esa, Om santih-santih-santih, OM TAT SAT. Bagian II “Penyelamatan Nyawa Durvasa Muni” 1. Sukadewa Goswami bersabda kepada Maharaja Parikesit : “Sewaktu Sang Hyang Vishnu bersabda dan menasehati Durvasa Muni yang terganggu oleh Cakra Sudarsana, langsung saja sang resi kembali ke Sang Maharaja Ambarisa. Dengan penuh rasa duka-cita dan penyesalan yang teramat dalam beliau menyembah sang raja dan menyentuh kedua telapak kakinya penuh rasa hormat.” 2. “Sewaktu sang resi menyentuh kakinya, sang raja merasa teramat malu, dan sewaktu menyaksikan bagaimana sang resi mulai menghaturkan puja-puji kepadanya, sang raja merasa tertekan batinnya. Langsung saja Maharaja Ambarisa memanjatkan doa kepada Sang Sudharsana Cakra.” 3. “Berkatalah sang raja : “Wahai Sudharsana, Dikau adalah sang Agni, Dikau juga adalah sang Surya dan Somah (rembulan), terutama, diantara semua yang terang benderang di langit. Dikau adalah apah (air), Bumi, Langit, Udara dan kelima unsur sensual (suara, rasa, bentuk, dan sebagainya), dan Dikau adalah indra-indra itu sendiri.” 4. “Wahai Dikau yang paling disegani (disayangi) oleh Acyuta (nama lain Yang Maha Esa), Dikau memiliki beribu-ribu gerigi. Wahai pemimpin dunia materi, penghancur semua jenis senjata, penampakan murni (dharsana) dari Tuhan Yang Maha Esa, daku menghaturkan puja hormatku kepadaMu. Sudilah kiranya melindungi dan mengampuni brahmana ini.” Keterangan : Secara tersirat kami berpikir bahwa kemungkinan kata Sudharsana Cakra berasal dari kata Sudhar (sadar, kesadaran murni = eling) dan dharsana = penampakan murni dari Yang Maha Esa, jadi kemungkinan besar Sudharsana bisa juga berarti Yang Maha Esa itu sendiri dalam bentuk atau Manifestasi murni yang bercahaya dan bertenaga dashyat (Aura Ilahi) yang mengayomi secara khusus seluruh jagat-raya dan isinya dan hanya dapat disaksikan dan dirasakan Kehadirannya oleh mereka-mereka yang telah murni kesadarannya seperti Raja Ambarisa, Arjuna dan resi Vyasa, dan selalu disebut-sebut di berbagai shastra-vidhi secara tersirat. 5. “Wahai Sudharsana Cakra, Dikau adalah agama, Dikau adalah kebenaran, Dikau adalah pernyataan-pernyataan yang penuh dorongan semangat, Dikaulah pengorbanan, Dikau adalah penikmat semua pahala hasil pengorbanan, Dikau adalah pengayom seisi alam-semesta ini, dan Dikau adalah Teja Utama yang suci dan bersifat gaib dari pancaran Yang Maha Esa. Dikau adalah dharsana murni, oleh karena itu Dikau dikenal sebagai Sudharsana. Semuanya ini diciptakan olehMu dan oleh karena itu Dikau adalah Yang Maha Hadir (Sarva-Atman).” Keterangan : Diatas terdapat tersirat “sikap” yang jelas sekali yang menyatakan bahwa Sudharsana Cakra adalah Teja Yang Maha Dashyat yang terpancar dari Yang Maha Esa itu sendiri. 6. “Wahai Sudharsana Cakra, Dikau memiliki pusat (as roda) yang teramat suci sifatnya, oleh sebab itu Dikau adalah penegak semua agama (akhila dharma setawe). Dikau ibarat sebuah komet yang dashyat dan pembasmi para asuras dan unsur-unsur adharma (adharma sila). Sebenarnya Dikau adalah pemelihara ketiga loka (tri-loka), Dikau penuh dengan pemahaman (pikiran), Dikau penuh dengan berbagai ketakjuban. Daku hanya mampu mengutarakan kata “namah” bagimu sambil menghaturkan hormat bagiMu.” Keterangan : Kata Namah atau Namoh, Namo adalah kata-kata yang bersifat sangat halus dan diucapkan terhadap Yang Maha Tinggi, contoh untuk menggambarkan atau menghormati Tuhan Yang Maha Esa atau para istha-dewata, dan biasanya hanya dijumpai dalam mantram-mantram yang sakral sifatnya saja seperti misalnya, “Om Namah Sri Krishna Vasudeva Namaha”, “Om Nama Shivaya”, “Om Namo Sri Ganeshya Ganapati Namaha”, dan sebagainya. 7. “Wahai pemimpin dari berbagai pembicaraan (diskusi, girampate), dengan cahayaMu, yang penuh dengan prinsip-prinsip dharma, kegelapan dunia ini dapat diterangi, dan ilmu pengetahuan timbul tercipta diantara para ilmuwan dan orang-orang suci. Sebenarnya tiada seorangpun yang mampu melampaui CahayaMu, karena setiap benda baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang bersifat agung dan kecil, adalah semata-mata berbagai manifestasiMu yang hadir melalui CahayaMu.’ 8. “Wahai Dikau Yang Tak Terkalahkan, sewaktu Dikau dikirimkan oleh yang Maha Kuasa ke antara (ke tengah-tengah kawanan) daityas dan Danawas (para setan, dedemit, raksasa, asuras, dan sebagainya). Dikau menghancurkan dan memotong tangan-tangan, perut, kepala kaki dan berbagai organ para asuras ini.” 9. “Wahai pelindung alam semesta, Dikau dipergunakan oleh Yang Maha Kuasa sebagai senjataNya yang maha ampuh demi membasmi berbagai musuh. Demi kebaikan seluruh jajaran dinasti, sudilah memaafkan brahmana yang miskin dan lemah ini. Pengampunan ini akan merupakan anugrah bagi kami semua.” 10. “Seandainya keluarga kami telah menghaturkan dana-punia kepada orang-orang yang seharusnya menerima, seandainya kami telah melakukan berbagai upacara ritual dengan seksama, seandainya kami telah melaksanakan tugas kami sehari-hari dengan baik, seandainya kami telah dituntun dengan benar oleh para brahmana yang terpelajar, (maka), kami memohon sebagai gantinya, brahmana ini dibebaskan dari api yang membara yang terpancar keluar dari Cakra Sudharsana ini.” 11. “Seandainya Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Tak Terukur oleh sang waktu, yang adalah sumber dari segala sifat gaib, yang adalah kehidupan dan jiwa seluruh mahluk hidup, memberkahi kami, (maka) kami memohon agar brahmana ini, Durvasa Muni, dibebaskan dari rasa sakitnya akibat terpanggang oleh api sang Sudharsana Cakra ini.” 12. Sri Sukadwa Goswami melanjutkan : “Sewaktu sang raja memanjatkan doa permohonan ini kepada Sang Sudharsana Cakra dan kepada Sang Hyang Vishnu, maka cakra Sudharsanapun berubah menjadi tenang dan berhenti membara dan membakar brahmana yang disebut Durvasa Muni ini.” 13. Durvasa Muni yang teramat sakti ini, merasa sangat bahagia sewaktu terlepas dari siksaan bara api Sudharsana cakra ini. Langsung saja ia memuja-muji keagungan sang Maharaja Ambarisa dan memberkahi sang raja dengan parama asisahnya (memberkahi secara utama). 14. Durvasa Muni berkata : “Wahai raja yang kuhormati, hari ini telah kualami keagungan para pemuja Tuhan Yang Maha Esa, walaupun aku telah menganiayamu, tetapi sebaliknya dikau berdoa demi kesejahteraanku.” 15. “Bagi mereka-mereka yang telah mencapai strata Yang Maha Esa, pemimpin diantara para pemuja-pemuja sejati, apakah yang mustahil dan apakah yang tidak mungkin ditanggalkannya ?” 16. “Apa yang tidak mungkin bagi hamba-hamba Tuhan ? Hanya dengan mendengarkan nama suciNya semata seseorang itu bisa disucikan (ibarat nirmala).” 17. “Wahai raja, daku sangat menyesali dosa-dosaku, dikau telah menyelamatkan jiwaku ini. Oleh karena itu daku sangat berhutang budi kepadamu karena dikau bersifat teramat pengampun.” 18. (Pada saat itu) Sang Raja memang sudah menunggu kembalinya Durvasa Muni dan selama masa menanti ini beliau mempertahankan puasanya. Selanjutnya dengan kembalinya sang resi, Maharaja Ambarisa bersujud dan menyentuh kedua kaki sang resi, menghormatinya dan menyuguhkan santapan yang lezat kepadanya secara besar-besaran. 19. Demikianlah dengan penuh rasa hormat sang raja menyambut kembali Durvasa Muni, yang setelah selesai bersantap berbagai hidangan yang teramat lezat merasa demikian bahagianya sehingga penuh dengan kasih-sayang yang melimpah memohon sang raja untuk berbuka puasa, “silahkan bersantap wahai Raja !” 20. Berkatalah Durvasa muni : “Aku merasa sangat bahagia dengan segala penerimaan dan penghormatanmu ini wahai raja yang kuhormati. Pada mulanya aku berfikir bahwasanya dikau adalah manusia biasa dan menerima ajakan untuk bersantap bersamamu, tetapi kemudian melalui jalan pikiranku, aku faham bahwa dikau adalah seorang pemuja Tuhan Yang Maha Esa yang sangat terhormat dan agung (di mata Tuhan Yang Maha Esa). Hanya dengan memandangmu, dengan menyentuh kedua belah telapak kakimu dan berkata-kata denganmu, daku merasa teramat berbahagia dan (bahkan) telah berhutang budi dan nyawa kepadamu.” 21. “Selanjutnya setiap wanita yang suci yang berdiam di berbagai loka-loka di alam-semesta akan selalu menyenandungkan sifat-sifatmu yang tanpa cacat ini, dan masyarakat dunia akan selalu mengagungkan kebesaranmu dari waktu ke waktu.” 22. Sri Sukadewa Goswami melanjutkan kisah ini; setelah puas dalam segala hal resi Durvasa yang konon teramat sakti dan mistis ini memohon pamit kepada sang raja dengan tanpa henti-hentinya memuja sang raja. Melalui berbagai titian jalan di langit, beliau menuju ke Brahma-loka yang merupakan sebuah sorga di mana hal-hal yang bersifat mubazir tidak hadir, dan hanya didiami oleh mereka-mereka yang telah sadar (eling). Keterangan : Kemungkinan kunjungan sang resi yang telah sadar ini ke Brahma-loka adalah untuk menyampaikan berita mengenai keagungan para pemuja Yang Maha Esa yang lebih dijaga dan dihormati oleh Yang Maha Esa itu sendiri dibandingkan dengan para resi atau brahmana yang sok pamer kekuasaan dan kesaktian, demikian kesimpulan sementara peneliti kisah ini. 23. Sementara pelarian Durvasa muni ke berbagai loka-loka, maka Maharaja Ambarisa menantinya kembali dengan berpuasa makan dan hanya minum air demi menjaga dirinya. 24. Setahun berlalu sewaktu Durvasa Muni kembali kehadapan sang raja, dan Maharaja Ambarisa langsung saja menghaturkan penghormatan dan berbagai santapan yang bersifat suci dan satvik (ati-pavitram), kemudian baru menyusul beliau ikut bersantap setelah sang resi memohonnya. Sewaktu sang raja menyaksikan bagaimana sang resi ini selamat dari bara apinya Sudharsana-Cakra, beliau langsung saja faham bahwa berkat karunia Yang Maha Esa, beliau sendiri (sang raja) ternyata juga sakti mandraguna, beliau juga langsung sadar bahwa semua itu bukan miliknya, karena pada hakikatnya yang melaksanakan semua hal di dunia ini adalah Tuhan Yang Maha Kuasa itu sendiri. Keterangan : Sang raja tidak terkecoh oleh sidhi (kesaktian yang bisa menyesatkan para orang suci yang berada di persimpangan jalan spritual mereka) Sidhi dalam bentuk ketenaran, kesaktian, keajaiban, kedudukan dan berbagai popularitas lainnya selalu menghadang kaum suci yang masih memiliki sedikit banyak ego, angkara (ahankara), iri-hati dan sebagainya. Dan banyak kaum suci ini yang jatuh dan gagal ditengah-tengah perjalanan sadhana dan bhakti mereka, di antara mereka yang terbaik adalah seperti yang disebutkan Bhagavat-Gita di bawah ini : Sri Krishna bersabda : “Diantara semua yogis, ia yang selalu bersemayam secara harmonis di dalamKu, penuh dengan iman, memujaKu dengan puja bhakti secara mistis, terjalin denganKu secara intim di dalam yoga, adalah pemujaKu yang tertinggi.” Sloka di atas sulit untuk dijabarkan kepada manusia awam, karena pada hakikatnya hubungan antara Sang Pencipta dan sang pemuja bisa terjalin secara sangat intim. Sehari saja sang pemuja tidak bertegur-sapa denganNya, ia merasa resah, gelisah dan “sakit” karena rasa rindunya kepada Beliau yang senantiasa mengayomi sang pemuja ini. Para pemuja ini sering dianggap gila dan tidak bertanggung jawab kepada sekitarnya karena selalu terserap kedalamNya, padahal ia sebenarnya diliputi oleh kesaktian yang luar biasa dan selalu tercukupi kebutuhannya. 25. Berdasarkan iman yang tanpa pamrih ini, juga berdasarkan bakti yang berkesinambungan, Maharaja Ambarisa yang sebenarnya termasuk digjaya dan sakti-wirawan ini, memuja Paramatma dan Vasudewa (Yang Maha Esa), dan karenanya selalu sempurna puja-baktinya. Begitu dalam bakti beliau kepada Yang Maha Esa, sehingga selalu beranggapan bahwa swarga atau loka yang tertinggi itu sama saja nilainya dengan neraka yang paling rendah statusnya. Keterangan : Sekali seseorang manunggal dengan Jati Dirinya, maka ia akan mengenali berbagai wujud dan manifestasi Yang Maha Esa baik yang secara duniawi berwujud (Sakara Brahman) maupun yang tidak terwujud (Nirguna Brahman) seperti Brahman, Para Brahman, Paramatman, Atman, Krishna, Rama dan sebagainya dalam suatu pemahaman yang Esa dan Eka. 26. Sri Sukadewa Goswami melanjutkan kisah ini. Selanjutnya dikarenakan tahap bakti dan kesadarannya yang teramat tinggi, Maharaja Ambarisa, tidak berhasrat lagi terhadap kehidupan duniawinya, dan memutuskan untuk meninggalkan keluarganya. Beliau kemudian membagi-bagi kerajaannya kepada para putra-putranya yang konon sebaik dirinya, dan memasuki tahap vanaprasta. Beliau mengasingkan dirinya ke tepi sebuah lautan yang shanti demi pemusatan pikirannya ke Vasudewa (Yang Maha Esa). 27. Barangsiapa mengulang (berjapa dan mengisahkan) kisah ini kepada para pemuja yang lain-lainnya maka dipastikan ia akan berubah menjadi pemuja sejati Yang Maha Esa (Bhagavatah). 28. “Dengan karunia Yang Maha Esa, mereka-mereka yang mendengarkan kisah bhakta agung Maharaja Ambarisa ini dipastikan mendapatkan kebebasan spritual dan menjadi seorang pemuja Tuhan Yang Maha Esa dalam sekejab.” Dengan ini berakhirlah kisah Maharaja Ambarisa dan Durvasa muni. OM…..SHANTI…..SHANTI…..SHANTI