Senin, 23 Agustus 2010

70 DARI 108 TIPS RENUNGAN MEDITASI

(70 dari 108 Tips Renungan Meditasi - Penulis Bapak Anatta)

1. Meditasi Adalah Mengamati dan Menikmati “Kekinian” Anda

Perenungan merupakan salah satu bentuk meditasi yg paling dikenal. Saking lumrahnya, boleh jadi kita tak menyadari, bila saat merenung sebetulnya kita sedang bermeditasi secara alamiah. Merenung bukanlah melamun atau mengkhayal. Disini ada satu objek perenungan yang jelas, yang tetap dipegang, apakah itu bersifat sekala maupun niskala, bersifat lahiriah maupun batiniah.

Dengan mengamati suatu objek dengan cermat, seksama dan penuh perhatian, kita memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang objek tersebut. Objek yang dianjurkannya dalam perenungan adalah objek dalam. Sayangnya, kita umumnya tidak bisa serta merta melakukannya demikian. Dalam mengawali latihan, penggunaan objek luar terasa jauh lebih mudah.

Memanfaatkan keluar-masuknya napas sebagai objek misalnya, disamping tidak sepenuhnya di luar, juga memberi efek ganda berupa ketenangan dan kesehatan.

2. Meditasi Adalah Hadir di Sini & Saat Ini

Dalam bermeditasi, Anda haruslah hadir sepenuhnya di sini. Anda tak kan pernah bermeditasi kalau pikiran kelayapan ke sana ke mari atau membumbung tinggi diterbangkan bagai angan-angan.

Bukanlah meditasi yang Anda lakukan itu bilamana hanya jasad Anda saja yang hadir disini, sementara pikiran Anda tersita oleh kenangan atau ingatan di masa lalu atau terbetot dan diseret oleh berbagai angan-angan atau kekhawatiran ke masa depan.

Hadir secara fisik maupun mental, di sini dan saat ini. Itulah meditasi. Di sini, ia juga bisa disebut dengan “mengembalikan diri Anda pada diri Anda sendiri”.

3. Meditasi Bukan Upaya Menjadikan Kita Sedemikian Terkondisi

Kita sudah lebih dari sekedar terkondisi. Kita telah terkondisi di tempat kerja, dalam perjalanan berangkat dan pulang kantor atau sekolah, sesampai di rumahpun masih dibebani oleh berbagai permasalahan . Agaknya kurang arif bilamana kini kita malah menghadirkan beraneka pengkondisi lagi, yang tidak benar-benar perlu dan bermanfaat bagi jiwa.

Umum beranggapan bahwa, meditasi mesti begini atau begitu. Ini malah terasa serba menyulitkan, serba membebani, sejauh mereka samasekali di luar kebiasaan kita. Sikap tubuh memang memperngaruhi kekhusukan dan ketahanan, serta berkaitan erat dengan keterpusatan pikiran. Akan tetapi, meditasi bukanlah sekedar “konsentrasi”. Ia merupakan aliran perhatian alamiah yang menerus terhadap objek yang dimeditasikan, dalam jangka waktu tertentu yang dibutuhkan.

Meditasi di sini justru merupakan “seni melepas-beban”, seni melepaskan beban yang selama ini tersa menghimpit dan menekan, yang berupa berbagai pengkondisian yang ada maupun yang kita adakan tanpa sengaja.

Akan tetapi, jangan salah, ia bukanlah sebentuk “pelarian” dari tanggung jawab. Ia lebih berupa “peletakan sejenak” segala beban phsikis pada jarak tertentu, sampai dengan Anda terpulihkan, dan “lebih bertenaga” untuk menanganinya lagi. Semua ini tentu berlangsung dalam tataran mental.

04. Tak Mudah Terpengaruh

Kedalaman meditasi (insight-depth), menyebabkan meditator tak mudah terpengaruhi oleh stimulus atau rangsangan luar, yang dibawa masuk saat berlangsung berbagai kontak indriyawi. Kebiasaan reaktif selama ini, ditransformasikan menjadi proaktif. Inilah yang mententramkan; inilah yang bermanfaat langsung buat Anda.

Rangsangan luar mulanya memang bisa terasa sangat menganggu; akan tetapi semakin ke dalam mereka semakin tak terasakan. Kemantapan fisik secara langsung akan mempengaruhi ketahanan psikhis atau ketahanan mental. Inilah nantinya akan terpancar kembali berupa ketahanan fisik.

05. Mengenali Diri Anda Secara Lebih Baik

Adakah sesuatu yang lebih aneh di dunia ini dibandingkan dengan tidak mengenali diri sendiri ? Mengenalinya bukan saja secara fisik tetapi juga secara mental ? Anda bisa saja mengenal dan mengerti dengan baik berbagai hal; namun apa artinya semua itu bila kita “asing terhadap diri sendiri”.

Sederhana saja; apapun yang kita amati dengan seksama, tentu akan kita kenali dengan lebih baik. Bila yang kita amati itu adalah ‘diri’ kita, maka kitapun akan mengenalinya jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya.

Nah…dari perspektif ini, meditasi ini juga bisa disebut sebagai “meditasi mengenal-diri”. Dengan lebih mengenalinya, kita jauh bisa lebih intim, lebih kompromistis, dan pada akhirnya lebih harmonis dengannya. Bila ditelusuri akan tampak bahwa “konflik-batin” disebabkan oleh “krisis pengenalan diri”. Dalam batin yang harmonis, tak ada konflik.

06. Pengekangan Jasmani Bukanlah Meditasi

Bukanlah meditasi disini maksudnya tidak kondusif bagi kemajuan meditasi Anda. Anda tak pernah merasa tenang, tenteram dan damai, bila salah satu kaki Anda kesemutan. Jasmani yang dikekang, apalagi disiksa, akan mengadakan perlawanan, sekuat pengekangan atau penyiksaan itu.

Walaupun rileksasi adalah pra-meditasi yang sangat bermanfaat, namun meditasi bukanlah, untuk sekedar rileks. Badan kita bisa saja tampak rileks, namun bila pikiran bergolak dan perasaan menggelora, apa gunanya? Jauh lebih dalam lagi, meditasi menentramkan jiwa yang gundah gulana, yang diganggu oleh berbagai agitasi dan agresi eksternal maupun internal.


07. Meditasi Punya Kemiripan Dengan Konsentrasi

Ketika bermeditasi, pikiran Anda terpusat pada satu objek – disarankan objek dalam – jadi amat mirip dengan konsentrasi . Saking miripnya, bahkan ada satu ensiklopedia yang mempersamakannya. Perbedaan mendasarnya adalah; meditasi bersifat “diri sentris”. Keterpusatan ditujukan pada segala fenomena yang terjadi di dalam, pada sang diri, baik yang bersifat lahir, kasat maupun yang bersifat batiniah. Sedangkan konsentrasi, bisa mengambil objek amatan apa saja.

Sebagai contoh adalah saat ini, ketika Anda membaca tulisan ini, Anda memperhatikan apa yang tampak di atas kertas bukan? Huruf demi huruf, kata demi kata dan seterusnya sambil menangkap makna tulisan ini. Yang ini konsentrasi. Tetapi bila yang Anda amati dan perhatikan dengan seksama itu adalah bagaimana mata Anda bekerja dalam membaca atau sikap duduk maupun sikap badan Anda ketika membaca atau perasaan atau bentuk-bentuk batin ketika membaca ini. Ini berarti Anda sedang membangun kondisi meditative.

Jadi keterpusatan bukan pada objek luar, akan tetapi pada fenomena jasmani maupun batin ketika mengamati objek luar itu; bukan untuk menilainya. Nah, dengan demikian Anda senantiasa sadar terhadap setiap gerak gerik jasmani dan mental Anda, dengan tanpa memberi penilaian terhadap fenomena mental yang berlangsung, apalagi menghakiminya. Rasanya lebih mudah melakukannya daripada menjelaskannya. Memang, karena meditasi adalah praktek langsung, bukan teori.

08. Bukan Mengatur Gerak – Gerik Rohani Maupun Jasmani

Dalam mengamati, kita tak mengatur gerak-gerik tubuh maupun mental kita. Hanya mengarahkan perhatian untuk memperhatikan dengan seksama semua gerak yang berlangsung. Dalam fase-fase awalnya, boleh jadi Anda lamban (mirip slow motion) di mata orang lain. Ini memang umum terjadi. Kenapa ? Karena kita cenderung terjebak pada memikirkan gerak itu, bukannya mengamati atau memperhatikannya saja.

Bagi yang sudah terlatih, tak perlu lamban, biasa saja; seperti kebiasaan lainnya. Kita tak mengatur gerak jasmani atau mental, namun hanya memperhatikannya saja. Bagi pemula, tentu tidak bisa langsung “meloncat” . Butuh waktu.

Masih pada fase awal, bila meditator ‘hampir’ melakukannya dengan pas, ia akan bersikap acuh tak acuh ataupun tampak tak pedulian. Yang begini, biasanya terjadi pada mereka yang cenderung ‘selfish’ ataupun yang sedikit rendah diri. Tapi tidak kenapa, amati saja.

09. Mengutamakan Objektivitas dan Kejujuran

Kita mengamati, hanya itu; tanpa menilai apa yang diamati. Bila ada interupsi berupa penilaian, ia tak lagi objektif. Kita terkadang merasa bosan, kesal, jengkel dan lain sebagainya; amat jujur bukan ? Mengapa dan kepada siapa kita mesti berbohong? Apa perlu berbohong bila kita melihat dengan mata atau mendengar dengan telinga, misalnya ?

Ketika si pikiran terusik objektivitasnya, maka ia mulai berbohong. Tampaknya saja ia bermeditasi, padahal sedang melamun. Bukankah itu tidak jujur ? Oleh karenanyalah dikatakan bahwa meditasi mengutamakan objektivitas dan kejujuran (satyam). Kejujuran luar bermula pada Kejujuran dalam.


10. Perhatikan dan Catat Saja Dalam Hati

Dalam mengamati dengan seksama kita sebenarnya hanya memperhatikan saja. Tanpa penilaian, tanpa membubuhinya dengan prasangka-prasangka, praduga-praduga, pretense, harapan, sugesti, dan sejenisnya. Bila mau, boleh dicatat fenomena batin yang terjadi di dalam hati. Bila tak mau, tak apa-apa; bahkan lebih baik begitu.

Bila telah fasih latihan kita, pemahaman-pun akan muncul dengan sendirinya. Pemahaman yang bersifat lebih objektif dan apa adanya. Terbiasa begini, cepat atau lambat, kita dapat memahami apa itu “apa adanya” dengan amat jelas. Apa adanya, adalah ‘the truth’ itu. Sederhana bukan ? Cobalah!


11. Meditasi Punya Tahapan

Seperti juga jasmani, rohani pun punya tahap-tahap perkembangannya sendiri. Demikian juga dengan meditasi kita. Secara garis besar ia dapat dikelompokkan dalam tahap pemula, tahap antara dan tahap lanjut.

Di kalangan penekun, ada yang harus mengawalinya dari tahap pra-meditasi, sejenis penyeragaman, pengenalan atau masa orientasi. Pra-meditasi, mengarahkan kita pada persiapan fisik dan mental. Yang sudah siap tentu tak perlu lagi. Seperti pada kegiatan lainnya, orientasi senantiasa kita perlukan. Orientasi mengantarkan kita pada pengenalannya secara lebih baik. Disini, kita juga dapat mengukur tingkat kesiapan kita untuk memulainya. Bila ada yang perlu dipersiapkan, maka persiapkanlah dengan baik dulu. Jangan samapai kita tersendat-sendat dalam perjalanan, karena kehabisan bensin, padahal sejak tadi sudah melewati beberapa pompa bensin. Kan sayang…

Berikut adalah pendapat seorang penulis, dosen ilmu filsafat di beberapa universitas Asia dan Eropa, yang juga berguru selama dua puluh lima tahun pada Sakya Tirzin, pemimpin ordo Sakya dari Budhisme Tibet.
The gradual development of the ability to see things ‘as the really are’ through the practice of meditation, has been linkened to the development of special instrument by mean of which we can now see subatomic reality and the like. In the same way, if we do not develop the potential of our minds through the cultivation of right effort, right mindfulness, and right concentration, our understanding of the real state of things will remain at best intellectual knowledge. [Peter Della Santina; The Tree of Elightenment – 1997, p.63.]

Dari sini kita dapat menangkap salah-satu esensi dari upaya melalui jalan meditasi ini. Untuk benar-benar dicatat adalah proses yang bertahap, dalam tahapan tertentu yang jelas dan terarah. Merujuk pada buku-buku, atau kata-kata bijak dan tuntunan dari mereka yang kita percayai, memang memberi pengetahuan yang bermanfaat. Namun pengetahuan tersebut seringkali perlu ditransformasikan lagi secara mandiri. Jangankan buku-buku bisa mengembangkan batin Anda, seorang Guru pun hanyalah membuka gerbang ‘kesadaran’ Anda saja. Tak lebih dari itu. Di dalam spasio-temporal ini, pentahapan pasti ada; tidak “sim salabim…….abrakadabra….jadi!. Tidak; tidak demikian prosesnya.


12. Ia Juga Punya Pola & Ritme

Pola ini tergantung kita sendiri. Artinya walau memang ada pola bakunya, adakalanya tetap disesuaikan dengan pola kita. Bila tidak, bagaimana kita akan menerapkannya bagi diri sendiri? Heterogenitas mendikte pola kita masing-masing. Secara alamiah, kita juga mempunyai ritme-biologis. Para olahragawan, memulai dengan pemanasan dan seterusnya. Jadi tidak langsung khusuk; bila bisa langsung khusus, tentu baik sekali. Namun umumnya tidak demikian.

Ritme, menjadikannya tidak monoton, ia juga menyebabkan tiap fase terasa baru. Menarik memang. Meditasi memang amat menarik bila ditekuni. Kita seakan menjadi hidup kembali; jauh lebih hidup dari sebelumnya; hidup dalam “dunia meditative” yang mengagumkan.


13. Bukan saja Alamiah, Tapi Juga Ilmiah

Sangat alami, duduk santai sambil memperhatikan gerak nafas sendiri, misalnya, amat alami, bukan? Tidak dibuat-buat, diatur atau dikontrol, harus begini atau begitu. Sikap tubuhpun biasa-biasa saja; tak perlu jadi pemain acrobat. Bila kita memang pemain akrobat, tidak apa-apa; just go on….

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membuktikan dan menunjukkan ke-ilmiah-annya. Objektifitas merupakan dasar dari dunia keilmuan. Disinilah kita terjamin untuk tidak terperangkap dogmatism. Disini pula kita memberdayakan nalar kita dengan lebih efektif. Secara tak langsung, pengembangan batin yang terjadi dari meditasi, juga akan mengurangi dan mengikis pandangan yang terkondisi oleh takhyul.


14. Ingat ! Meditasi Adalah Olah Batin, Bukan Olah Raga

Kesalahan dalam memandang Meditasi, justru berawal di sini. Memang meditasi berdampak-samping positif terhadap kesehatan secara menyeluruh; akan tetapi, itu bukanlah tujuan pokok dari ber-meditasi.

Olah-batin disebut juga praktek atau latihan spiritual atau sadhana. Akan tetapi, kita bisa terperosok ke dalam upaya peraihan kanuragan, kesaktian atau sejenisnya. Bukan itu arah yang kita tuju dalam bermeditasi. Iming-iming kanuragan ataupun kesaktian memang menggiurkan bagi kebanyakan orang. Sebagai akibatnya, banyak yang mandek hingga disini saja. Berhati-hatilah terhadap yang satu ini!


15. Persiapkan Diri Sebelum Bermeditasi

Yang ini terkait dengan tips 10 sebelumnya. Persiapan senantiasa perlu. Apa yang perlu kita persiapkan ? Diri sendiri; itu pasti. Pemahaman yang baik atas bidang kerja, akan memberi kemudahan-kemudahan dalam mengerjakannya. Kita bisa memperoleh pengertian tentang sesuatu melalui bertanya. Apakah itu bertanya kepada pembimbing, buku-buku, mereka yang lebih berpengalaman dan sebagainya.

Tips ini, juga pantas dipandang sebagai salah satu dari bahan baku untuk fase persiapan ini. Kiranya amat jelas bagi kita tentang pentingnya persiapan ini. Mengenai; tempat, pakaian, waktu dan lamanya, sambil jalan kita pun akan memahami dan menemukan kesesuaiannya dengan diri sendiri. Prinsipnya adalah, ‘yang sesuai dengan kondisi objektif kita, adalah yang terbaik bagi kita”. Oleh karenanya, kenalilah ‘diri’ Anda.


16. Hobi Yang Paling Murah

Betapa tidak, Anda tak perlu menyewa tempat, alat, ongkos, membayar sewa, atau membayar administrasi untuk memperoleh kartu keanggotaan atau sejenisnya. Diri Andalah modal dasar Anda.

Oh ya…..awalnya mungkin Anda perlu menyediakan “waktu khusus” untuk bermeditasi. Ini diperlukan demi pembiasaan dan pendisplinan-diri. Tetapi setelah cukup lanjut, tidak lagi.

Anda akan memahami dengan baik bahwa ia dapat dilakukan setiap saat. Ada yang mengatakan,
“Bila kamu sempat bernafas, maka kamu pasti sempat bermeditasi”.
Sederhana dan sangat murah.


17. Menguntungkan Bagi yang Bernaluri Bisnis

Bagi yang berjiwa bisnis, ini boleh juga digeluti untuk dijadikan komoditas dagangan. Rekan saya ada yang berhasil dalam usaha seperti ini. Bayarannya ? Dollar lagi; menggiurkan bukan ? oleh karenanyalah “bisnis” olah-batin tampak semakin marak belakangan ini.

Nah….demikianlah manusia yang punya naluri bisnis tajam; apapun bisa dijual, ia jual untuk dinikmati hasilnya bagi dirinya sendiri. Dan itu memang masih (dianggap) sah-sah saja di mata publik. Kehausan manusia modern akan spiritualitas, bagi para pebisnis, menghadirkan peluang bisnis yang tidak kalah menggiurkannya dibandingkan bidang bisnis lain.


18. Dijadikan Komoditas Dagangan ?

Masak sekedar membimbing memperhatikan nafas saja diperdagangkan ?
Saya malah agak heran mengamati fenomena itu. Lebih heran lagi, semakin mahal, apalagi bilamana diselenggarakan di hotel-hotel mewah, ia malah semakin laris; kayak kacang goreng. Mungkin karena lebih bergengsi.

Yaaah….begitulah umumnya kita-kita ini. Suka terkagum-kagum hanya pada kemasan luarnya saja. Apalagi bilamana produk itu dipromosikan dengan gencar di media-massa. Dalam dunia bisnis, ini memang dapat dimaklumi sebagai kewajaran. Sesuatu yang mudah, murah, apalagi gratisan, malah dicurigai macam-macam dan diremehkan.


19. Kondisi Meditatif Bukanlah Anugerah

Demikianlah sebetulnya; kita yang mengusahakan anugerah itu. “Sim salabim…..Anda Meditatif!”; itu bukan rumusnya. Meditasi bukan sulap, yang untuk didemonstrasikan guna merebut “pangsa pasar dan meningkatkan nilai jual”. Tak ada Guru manapun yang menganugerahkan itu pada Anda.

Metodenya, latihan awalnya, memang ada yang menginformasikan dan membimbing. Tapi, kondisi meditatif tetap merupakan upaya mandiri Anda. Ini amat penting untuk ditekankan disini. Saya tak ingin Anda dikibuli atau ‘dikadali’ oleh siapapun. Tetapi bila Anda memang mau dan senang dikibuli, silahkan………


20. For The Better State of Mind

Sebagai bentuk seni, seni olah batin, di samping berciri keindahan juga mengkondisikan batin kita pada suasana yang lebih baik, dari sebelumnya. Dalam keadaan tenang, misalnya, kita akan bisa memecahkan berbagai persoalan hidup dengan jauh lebih baik. Status batin-meditatif , juga melahirkan inspirasi-inspirasi serta solusi-solusi jenial bagi berbagai persoalan hidup yang kita hadapi.

Nilai manfaatnya akan benar-benar Anda rasakan bilamana Anda telah demikian terbiasanya dalam status batin-meditatif ini; atau dengan kata lain, Anda telah benar-benar menjadikannya hobi serta sahabat Anda.


21. Menentramkan Batin

Kita tidak bisa membeli ketentraman batin. Yang satu ini tidak ada urusannya dengan uang atau harta-benda, pangkat, jabatan, pengaruh, kekuasaan maupun popularitas. Kepemilikan atas harta, bukanlah sesuatu yang salah menurut ajaran manapun. Namun, terbelenggu oleh kemilikan atas materi duniawi inilah yang melahirkan konflik internal maupun eksternal. Pemenuhan demi pemenuhan hasrat kemilikan tidak akan menyudahinya; bahkan sebaliknya, malah menumbuhkan dan memperkuat keserakahan.

Kita bisa saja punya harta benda yang melimpah ruah, namun itu tidak mengurungkan untuk senantiasa dirongrong kekhawatiran kalau-kalau mereka tiba-tiba hilang ataupun menyusut. Jabatan, popularitas dan sejenisnya juga memiliki sifat yang sama; sama-sama mengundang kekhawatiran. Tiada ketenangan pada batin yang dipenuhi kekhawatiran dan rasa was-was.

Betapapun kita tahu bahwa kita menua setiap saat, namun secara naluriah ada kecenderungan untuk menolak hukum alam itu. Kita tak segan-segan mendandani tubuh, melatih tubuh untuk dapat mempertahankan jasmani ini dari proses penuaan. Sadarkah kita bahwa apa yang kita lakukan sebetulnya adalah melawan hukum alam ?

Bila kita perhatikan dengan lebih seksama lagi, akan dipahami bahwanya ketentraman bukanlah suatu anugerah; ia adalah hasil usaha atau merupakan pahala dari perbuatan kita sendiri. Ia tidak terkondisikan secara mutlak oleh iklim diluar; iklim luar memang berpengaruh, sebatas kita mengadakan penolakan pun pengharapan terhadapnya.

Ketentraman adalah kondisi batin yang stabil, di mana gejolak di dalam teredam betapa mestinya.
Bagi seorang meditator, ketentraman batin diupayakannya secara mandiri, maksudnya ia tidak mengharapkannya datang secara otomatis ataupun tenggelam dalam kondisi batin meditatif dengan sendirinya, tanpa pengkondisian awal sama sekali


22. Sesuai Bagi yang Sibuk

Kesibukan menguras banyak enerji fisik dan enerji mental Anda. Bagi yang kesibukannya lebih banyak berupa kegiatan pikiran, kelelahan mental malah bisa menganggu kondisi fisiknya. Oleh karenanya, bukan saja meditasi sesuai bagi mereka yang sibuk, ia bahkan merupakan kebutuhan mentalnya.

Meditasi memberi pemulihan, bahkan me-recharging lagi dengan enerji fisikal dan mental lebih. Ini harus dibuktikan sendiri. Andalah yang bermeditasi, Andalah yang membuktikannya, dan Anda pula yang menikmati manfaatnya.


23. Bagi Siapa Saja

Pernah dan mungkin masih ada yang menyangka bahwa meditasi hanya untuk orang-orang tertentu yang menjalani kehidupan spiritual saja. Sangkaan tersebut jelas keliru. Ia bagi siapa saja; bebas SARA. Ia bahkan bagi semua umur – tentu ada jenjangnya- dan bagi semua jender.

Jadi, bila Anda sebelumnya pernah menyangka lainnya, mulai saat ini buanglah prasangka itu jauh-jauh dan tolong jangan ditularkan kepada siapapun.


24. Menjadikan Hidup Indah

Ini bukan iklan murahan. Ia dapat dibuktikan. Secara naluriah kita mencintai keindahan. Keindahan dapat Anda serap dan hadirkan lagi di hati Anda, hanya bila Anda siap untuk menikmatinya. Keindahan (sundaram) merupakan salah-satu sifat dari Sang Diri.

Sebentuk karya seni tiada lain dari ekspresi rasa keindahan seorang seniman. Sementara seniman, menangkap inspirasinya lewat “meditasi alami” (bagi yang tidak secara khusus menekuni meditasi).

Walaupun Anda bukan seniman, Andapun punya bakat untuk menyerap dan mengapresiasi seni, hingga batas-batas waktu tertentu. Contohnya, Anda akan senang menyaksikan lelaki tampan atau wanita cantik, atau merasa nyaman di pegunungan atau di tepi pantai. Itulah salah satu berkah kita terlahir sebagai manusia.

Penikmatan seni atau keindahan, akan lebih baik bila kita mendekatinya melalui kondisi batin-meditatif. Hidup akan terasa jauh lebih indah, dalam kondisi batin seperti ini.
Bukankah Tuhan juga dipandang sebagai Keindahan Yang Agung Itu ?


25. Mengusir Pikiran-Pikiran Negatif

Pikiran negatif, banyak disebut sebagai biang kerok berbagai penyakit fisik dan mental, oleh para ahlinya. Bahkan, lebih dari delapan puluh persen gangguan fisik, konon bermula dari pikiran negative. Ia bisa ditakuti melebihi virus HIV. Pikiran Negatif juga disebut-sebut sebagai penyebab terjadinya penuaan dini. Jadi, secara tak langsung, meditasi juga bisa berfungsi sebagai obat ‘awet muda’. Namun untuk yang satu ini, saya harap Anda tidak mempercayainya begitu saja, kecuali setelah Anda buktikan langsung.

Di sisi lain, meditasi bukan saja mengusir pikiran negatif, ia bahkan dapat ‘mengenyahkan’ berbagai gejolak dari bentuk-bentuk pikiran (citta vritti).
Maharshi Patanjali menegaskan, “ yoga citta vritti nirodhah” – “yoga menghentikan gejolak pikiran dan gelora perasaan”. Di dalam Asthanga Yoga – nya, Dhyana atau meditasi merupakan “angga” ketujuh, sebelum Samadhi.


26. Mengantarkan Kita Kembali Pulang

Kita mengenal pepatah: “setinggi-tingginya bangau terbang, ia akan pulang kembali ke sarangnya”. Pulang ke rumah, merupakan aktifitas yang sangat menyenangkan, apalagi setelah kita berkelana sekian lama. Ini bukan saja bagi manusia, namun juga pada binatang sekalipun.

Mungkin inilah aspek spiritual dari meditasi itu, mengantarkan kita kembali pulang kepada Diri Sendiri. Kebiasaan dalam mengarahkan perhatian ke luar, dan terus menerus ke luar, telah ‘menyesatkan’ kita di dunia objek-objek, di dunia materi, di dunia fenomena.

Ketika ‘kesesatan’ ini telah sedemikian parahnya hingga kita menyangka bahwa dan mengidentasikan-diri kita sebagai materi tersebut, atau sebagai efek-efek emosional yang dimunculkannya. Semakin kita menjauh dari akar, dari pokok, kitapun semakin bingung, semakin tersesat. Sesat di alam materi dan fenomena, telah melahirkan prasangka bahwanya memang disinilah asal kita, sehingga disini pulalah semuanya akan berakhir. Dari sinilah kita berangkat dan ke sini jualah kita akan pulang. Kita menyangka bahwa di alam inilah kita berbasis. Kita tak ingat lagi dari mana “asal’ kita.


27. Meditasi Bukan Sekedar Teori

Mengamati, mencermati secara seksama segala gerak-gerik batin sendiri dengan penuh perhatian, merupakan sesuatu yang amat bermanfaat didalam mengembangkan kebijaksanaan (prajna) . Ketika memperhatikannya, kita tak perlu menilainya atau menduga-duga maupun berharap atau menolak. Cukup perhatikan saja seperti apa adanya. Bila telah Anda lakukan seperti itu sesering mungkin, ia akan menjadi kebiasaan Anda. Pikiran dan perhatian Anda seakan enggan untuk memperhatikan yang di luar sana lagi.

Namun sebelumnya, perlu dipahami sebaik-baiknya lagi bahwa meditasi adalah masalah ‘praktek langsung’ atau pengalaman empiris; ia bukan dalil teoritis. Bila kita telah mempraktekkannya secara langsung, maka kita secara pasti akan memahaminya sekaligus memperoleh faedahnya.

Bila Anda baca dengan seksama tulisan ini, bisa saja Anda berpraduga bahwa saya adalah seorang ahli meditasi. Itu keliru; saya sama saja seperti Anda. Tak ada namanya ‘ahli meditasi” itu. Apapun yang kita latih dengan tekun, memberi ketrampilan yang bermanfaat bagi kita. Hanya itu. Dan saya juga bukan seorang Bikshu, Yogi, Sannyasinn pun Guru Meditasi. Sekali lagi, mohon jangan salah duga.

Kita memang cenderung suka menduga-duga begini atau begitu. Sebetulnya, prilaku pikiran serupa ini, seyogyanya enyah dari benak seorang meditator; jangan polusi batin Anda sendiri dengan berbagai dugaan. Batin kita sama saja ‘nakal’-nya, oleh karenanyalah ia perlu dilatih melalui meditasi.
Apa yang saya sampaikan disini, semata-mata dari pengalaman saya yang tidak seberapa.


28. Meditasi Tetap Dilakukan Sendiri

Meditasi harus dilaksanakan sendiri. Ini sangat penting untuk dipahami. Mengembangkan batin, mensucikan pikiran, ucapan dan tindakan, harus kita lakukan sendiri. Kita tak dapat bermeditasi bagi orang lain; sebaliknya, orang lainpun tidak dapat bermeditasi bagi kita.

Ketika masih bayi, kita memang tidak perlu berjalan ke dapur untuk mengambil makanan atau minuman; ibu kita akan selalu siap menyusui dan menyuapi kita. Akan tetapi kita tetap harus memakan atau meminumnya sendiri. Ibu atau orang-tua hanya menyediakan saja. Di sini, baik orang-tua maupun Guru hanya bertindak sebagai pembantu, memfasilitasikan segala sesuatunya bagi Anda. Bagusnya adalah, kendati meditasi mesti dilakukan secara benar-benar mandiri, namun hasilnya, berkah daripadanya, dapat dibagi-bagikan, dapat ditularkan juga kepada orang lain sebagai Yajna.


29. Memang Perlu Pelatihan

Kita tak dapat langsung duduk di hadapan setir sebuah mobil dan ‘sim…..salabim…’, Anda telah ngebut di tengah keramaian kota dengan kecepatan 60 km/jam. Tidak demikian bukan ? Kendati Anda seorang pembalap formula-satu sekalipun, awalnya Anda masih butuh beberapa menyesuaikan-diri dengan dan mengakrabi kendaraan serta medan.

Kendati batin meditatif terjadi secara spontan pada waktunya, awalnya ia perlu persiapan dan pelatihan. Sebagai suatu keterampilan, ia perlu pelatihan-pelatihan; tak jauh bedanya dengan nyetir, mengetik atau keterampilan lainnya. Ia butuh persiapan, pengkondisian awal dan pelatihan.


30. Desa, Kala, Patra Senantiasa Penting

Sepintar apapun Anda bermain sepak-bola, Anda tetap tak dapat melakukannya dengan baik di dapur. Anda butuh ruang yang cukup untuk itu. Ada tempatnya untuk melakukan sesuatu. Anda pun tak bisa mendatangi sebuah kantor atau unit pelayanan sosial setiap waktu. Ada waktunya kapan Anda harus ke pasar, kapan Anda mandi, kapan Anda makan, Kapan Anda pergi ke tempat kerja, dan lain sebagainya. Jelas ada waktunya untuk melakukan kegiatan apapun.

Di Mayapada ini, pengkondisi desa-kala-patra --- ruang, waktu dan kausasi----- tetap berlaku. Ini juga berlaku di dalam menyelenggarakan meditasi. Bilamana Anda telah cukup maju, ia memang bisa Anda lakukan di mana saja, kapan saja dan dalam kondisi apa saja. Akan tetapi pada tahap-tahap awal, penyesuaian-penyesuaian terhadap tempat (desa), waktu atau jadwal (kala) dan beberapa penyesuaian terhadap pengkondisian terkait lainnya (patra) penting untuk diperhatikan

Saat brahmamuhurta, sekitar pukul 4.00 waktu setempat, dipercaya sebagai waktu yang ideal untuk bermeditasi; bahkan antara pukul 2.00 hingga pukul 4.00. Pada bulan mati (tilem) dan sehari sesudahnya (penanggal kaping pisan), hari ke-empatbelas setelah bulan mati (caturdasi) dan hari purnama, juga beberapa hari lain memang terbukti sangat kondusif bagi penyelenggaraan laku spiritual.

Tempat yang secara fisikal meyejukkan, terlindung dari teriknya matahari, hembusan angin kencang dan dingin, dengan posisi lebih tinggi dari lingkungan sekitar, “jauh” dari keramaian, dekat dengan tempat-tempat suci, merupakan tempat-tempat yang diminati karena juga terbukti banyak membantu kemajuan.

Namun ini bukanlah berarti bahwa kita hanya berlatih di tempat atau pada waktu seperti itu saja. Latihan sedapat mungkin kita lakukan setiap saat, di mana saja dan dalam kondisi apa saja. Seorang Guru pernah mengatakan: “Bilamana Anda punya waktu untuk bernafas, maka Andapun punya waktu untuk bermeditasi”.


31. Memberi Rambu Untuk Membedakan Antara Tujuan dan Bukan Tujuan

Ketenangan dan keterpusatan merupakan hasil-sampingan, yang juga bertindak sebagai landasan dari meditasi. Mereka bukan tujuan. Padahal untuk bisa mencapai ketenangan dan keterpusatan mental saja, bukan sesuatu yang mudah. Itu sudah memberi berkah yang tidak kecil artinya.

Dalam makan misalnya, kita tak perlu munafik dengan mengatakan bahwa “saya makan bukan atas suatu tujuan, namun hanya demi makan itu sendiri”. Kita tak perlu bersikap munafik dengan mengatakan bahwa meditasi kita tak punya tujuan. Bukan saja itu bohong dan omong kosong yang menggelikan, namun itu bisa sangat berbahaya.

Bahaya pertama; ia bisa dengan drastis meningkatkan keangkuhan kita. Bahaya kedua; melakukan sesuatu tanpa tujuan, tidak akan pernah mengarahkan kita pada sasaran. Jangan-jangan malah tersesat nantinya. Bahaya ketiga; dengan tanpa tujuan, kita akan cenderung bertindak sekehendak hati, tanpa suatu sikap-mental dan disiplin tertentu. Padahal meditasi juga berarti mendisiplinkan, berarti menertibkan mental. Di dalam mental yang tertib, yang berdisiplin lebih mungkin ditemukan kejernihan, ketentraman, ketenangan dan kedamaian, bukan sebaliknya.

Kita mesti jeli dalam melihat persoalan kita sendiri di sini. Jangan sampai kecerobohan kecil, keangkuhan halus yang laten, malah jadi membesar dan menguat. Anda mesti jeli dalam membedakan mana tujuan yang demi kepentingan pribadi yang berlandaskan ego, dan mana yang tanpa-ego atau kepentingan pribadi. Namun, hanya mengandalkan pikiran dan kecerdasan saja, memberi peluang bagi si ego untuk meyergap dengan mudah. Kesadaran dan kewaspadaan harus selalu ditegakkan. Itulah meditasi.


32. Aliran Perhatian Secara Alami

Ketika Anda mulai memasuki alam meditasi, batin meditatif, upaya (pemusatan atau konsentrasi) tanggal dengan sendirinya. Fenomena ini tak ubahnya seperti ketika Anda membuka keran air di rumah Anda. Ketika baru membukanya, terjadi upaya pengerahan atau pemusatan tenaga ke tangan. Namun setelah Anda berhasil membukanya, air akan mengalir dengan sendirinya, tanpa perlu pengerahan tenaga lagi. Anda cukup hanya menampung kucurannya saja bukan ?

Nah…inilah mengapa meditasi ada yang menyebut sebagai “bukan upaya, bukan pula metode”. Di alam meditatif -----sebutlah demikian ----- memang segala sesuatu mengalir dengan sendirinya. Semuanya mengungkapkan dirinya sendiri, kemanapun si perhatian Anda arahkan. Di sinilah berbagai ide, gagasan, ilham, pawisik, wahyu --- atau apapun sebutan yang Anda berikan untuk itu --- bermunculan dengan sendirinya, mengalir secara alamiah. Anda samasekali tak perlu memeras otak untuk itu. Di sini, intervensi kerja otak justru malah menganggu. Di alam meditatif otak tidak bekerja, ia non-aktif, sebaliknya yang hadir hanya kesadaran dan perhatian terarah yang menyertainya.


33. Mengamati Fenomena Batin

Mengamati kegiatan batin memang mengasyikkan, di samping unik. Mengamati fenomena batiniah orang-orang sekitar kita bisa saja, akan tetapi kurang bermanfaat langsung; bila hanya sebagai bahan perbandingan atau memperbanyak data untuk kemudian dirangkum guna dapat menarik kesimpulan yang lebih bersifat umum untuk digunakan dalam latihan, boleh jadi aktivitas itu bisa jadi bermanfaat.

Ada tips dari yang berpengalaman dalam mengamati batinnya sendiri. Beliau menyarankan untuk membuat sejenis buku harian yang di-breakdown (rinci) dalam jam demi jam bahkan puluhan menit. Dalam sehari bisa dibagi dalam dua fase, yakni fase aktif dan fase istirahat (tidur). Tentu kita tidak mungkin membuat catatan selama tidur, dan memang tidak diharapkan demikian, akan tetapi membuat catatan tentang aktivitas bawah sadar yang berupa impian segera setelah bangun tidur agak tidak keburu lupa.

Dengan demikian dalam 24 jam sehari kita mempunyai catatan yang cukup rinci tentang aktivitas batin kita. Misal pk. 07.00: merasa badan segar tak ada beban; pk. 07.10: jengkel karena kaos kaki digigit hewan kesayangan, padahal sedang buru-buru berangkat kerja dan sarapannya pun itu-itu saja; pk. 07.20 – 07.30: kemacetan lalu lintas menjengkelkan dan hampir saja nyenggol sebuah BMW,… dan seterusnya dan seterusnya. Jadi ia berupa sejenis diary dengan penekanan pada fenomena batin yang dirasakan.

Dari catatan itu, yang dibaca menjelang tidur, coba dijumlah berapa kali atau berapa lama dalam sehari kita jengkel, marah, bingung, mumet, gembira, tak sabaran, riang, sakit hati, tersinggung, puas, berprasangka, kecewa, sedih dan lain sebagainya. Tergantung kebutuhan dan tingkat ketelitian yang diharapkan, pencatatan bisa dalam kurun waktu beberapa hari, hingga kita merasa cukup untuk menyimpulkan bahwa rata-rata dalam sehari saya jengkel sekian jam, tersinggung sekian menit dan seterusnya. Tentu mencatatnya secara periodis agar tidak menganggu kegiatan normal kita. Mencatat saat istirahat makan siang misalnya, atau saat tidak melayani klien misalnya.

Intinya kiya punya catatan yang cukup rinci tentang aktivitas perasaan dan pikiran, ataupun persepsi kita. Tampaknya memang agak lucu dan rikuh bila sampai diketahui orang lain, bahwa kita sedang mencatat sesuatu yang tidak umum dilakukan orang; akan tetapi, itu tetap bisa kita atur jadwalnya sendiri agar terasa aman namun lengkap.

Seperti juga diary, catatan tak perlu panjang-panjang, toh kita mengerti. Jangan berpikir bahwa Anda membuat catatan untuk disetorkan pada oang lain. Ini semata-mata demi kebaikan Anda sendiri.

Ia akan amat membantu Anda nantinya. Ia membantu Anda dalam memahami bekerjanya batin dalam berbagai suasana spesifiknya. Tak perlu beranggapan bahwa kegiatan ini menyita waktu hingga mengurangi produktivitas kerja Anda; toh kita tak perlu setiap saat mencatat. Kita pasti punya waktu senggang untuk beristirahat sejenak di sela-sela kesibukan kita; kita kan bukan robot….


34. Ia Tak Terpikirkan dan Tak Terkatakan

Anda tak akan pernah bisa mengatakan tentang sesuatu yang tak terpikirkan, kecuali Anda ngelindur, mabuk, kesurupan atau sejenisnya. Secara sadar, itu tidak dimungkinkan. Namun hebatnya, Anda dapat mengalami dan merasakannya. Anda dapat merasakan sesuatu yang tak bisa Anda katakan, pun tak terpikirkan. Anda bisa merasakan beda antara manisnya gula dibanding madu. Anda bisa merasakan beda antara harumnya melati dibanding cempaka. Anda dapat merasakan beda antara merdunya suara Pavaroti dan Rein Jamain. Namun tetap Anda tak dapat memaparkan seperti apa itu adanya. Kenapa ? Karena ia tak terpikirkan; karena di sana bukan pikiran kita yang bekerja.

Demikian juga ketika sang batin memasuki alam meditatif-nya Tak ada kata-kata ‘di sana’, tak ada bentuk-bentuk pemikiran ‘di sana’; kecerdasanpun tak diperlukan ‘disana’. Anda hanya mengetahui, merasakan; tepatnya ‘menyaksikan’.

Nah…setelah ‘turun’dari alam meditasi inilah pikiran mulai bekerja lagi. Dan ketika Anda mengingat kembali apa yang dirasakan dan dialami ‘di sana’, Anda akan mengingatnya dengan sangat jernih. Setelah itulah Anda baru merumuskannya menggunakan kecerdasan dan pikiran Anda untuk kemudian Anda ungkapkan dengan kata-kata, sesuai gaya bahasa dan kebiasaan berbahasa Anda. Jadi bukan ‘di sana’. Ungkapan verbal hanya dibutuhkan disini, bukan ‘di sana’.


35. Berlatih Menjadi Saksi Yang Baik

Dari perspektif ini, kita sesungguhnya juga bisa mengatakan bahwa meditasi adalah latihan untuk memfungsikan-diri hanya sebagai saksi.Umumnya, kita tidak becus untuk memfungsikan diri hanya sebagai saksi. Kita cenderung ditarik untuk terlibat, apakah secara pasif maupun aktif, apakah secara parsial maupun total. Kenapa ?

Karena pikiran, perasaan , penalaran, ingatan-ingatan seringkali menginterupsi proses pengamatan kita. Mereka mengotori kejernihan visi kita, Mereka menghadirkan penilaian-penilaian, prasangka-prasangka, praduga-praduga. Semua ini hanya mengeruhkan batin kita. Kita tak dapat melihat dengan jernih, lengkap dan lebih menyeluruh karenanya.

Ketika Anda harus menyahuti pertanyaan atau teguran dari seseorang sementara Anda sedang menyaksikan sebuah film di televisi, misalnya; apa yang terjadi ? Anda melewatkan beberapa kejadian di dalamnya, selama itu; sejak teguran atau pertanyaan itu Anda perhatikan sampai selesai meresponnya dan kembali lagi mengarahkan perhatian pada apa yang ditonton. Alhasil, Anda menyaksikan film itu secara kurang lengkap. Ada banyak kejadian – yang boleh jadi justru merupakan satu dialog atau adegan yang terpenting dalam film itu – lepas dari perhatian dan amatan Anda. Anda tak menyaksikan seutuhnya.

Nah…sekali lagi, meditasi sesungguhnya juga melatih kita untuk bisa memfungsikan diri kita sebagai saksi yang baik – saksi yang tanpa praduga, tanpa prasangka, tanpa penilaian, tanpa pembandingan apalagi penghakiman, tanpa pewarnaan, tanpa pretensi, tanpa keberpihakan.


36. Mengembalikan Kepolosan

Saksi seperti yang disebutkan tadi adalah saksi yang polos, yang lugu. Ia layaknya anak-anak balita; bahkan mungkin selugu dan sepolos bayi. Di sini juga ada kepasrahan total, kepasrahan yang sebenar-benarnya, Isvarapranidhana, yang tidak dibuat-buat karena kehabisan akal atau rasa ketidak-berdayaan dan keputus-asaan. Di sini ada penerimaan yang benar-benar lapang (legawa) terhadap apa yang terjadi, apa yang dialami, apa yang disaksikan, apa yang ada.

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kepolosan dan keluguan seperti ini jarang singgah di batin kita bukan ? Batin kita penuh pretensi; kita melakukan sesuatu yang lainnya. Dalam batin seperti ini, tak pernah ada ketulusan, tak pernah ada kepolosan. Karena pretensi tak akan pernah akur dengan kepolosan. Di mana hadir pretense, kepolosan malah akan menyembunyikan dirinya.

Oleh karenanya, meditasi di sini memainkan peran aktifnya dalam mengembalikan lagi kepolosan itu kepada kita. Kepolosan yang mungkin telah terlalu lama kita tinggalkan, kita abaikan begitu saja, di sebuah sudut sunyi hati yang terdalam.


37. Hidup Murni Tanpa Waktu

Jiddu Krishnamurti pernah mengatakan: “Bermeditasi adalah hidup murni tanpa waktu.” Apa kira-kira maksudnya ? Untuk mengertinya, kita harus mengerti apa yang dimaksudkannya dengan ‘hidup murni’. Apa itu ‘hidup murni’ ? Itulah hidup sebagai saksi, hidup yang benar-benar polos, seperti yang kita bicarakan sebelumnya. Itulah hidup murni. Ia memang tanpa waktu. Kenapa ?

Memang benar, di alam fenomenal ini, apapun yang terjadi, apapun yang kita lakukan butuh waktu. Ini tak terpungkiri. Apa yang kita sebut sebagai waktu di sini adalah waktu fisikal, waktu mekanikal, dan bukan waktu psikologikal. Apa yang disebutkan sebagai waktu oleh Krishnamurti adalah waktu psikologikal ini.

Ketika Anda sedang menunggu dalam suatu antrean, atau menunggu kedatangan seorang yang sangat Anda rindukan, waktu akan terasa merangkak sangat lamban. Sebaliknya, bilamana di suatu pagi yang cerah Anda asyik mengerjakan suatu aktivitas terkait dengan hobi Anda misalnya, waktu terasa berjalan sangat cepat. Tiba-tiba saja sudah sore. Padahal sejam….ya sejam. Nah…waktu yang bekerja pada saat Anda menunggu maupun terbenam dalam keasyikan inilah yang dimaksudkan. Sebagai waktu psikologikal. Dan dia bisa sangat relatif, tergantung suasana-hati maupun kondisi-batin Anda pada kurun waktu tertentu. Dalam menunggu, ada harapan untuk cepat bertemu. Batin Anda tidak tentram, tidak murni. Harapan untuk cepat bertemu, menganggu ketentraman sehingga mengotori kemurniannya.

Dalam kemurnian, di mana tak ada harapan-harapan, tak ada keinginan-keinginan, waktu menjadi kehilangan kekuatannya di sini. Anda tak perlu merasa dibatasi olehnya. Anda hanya mengalir bersamanya, dalam kekinian Anda. Tak ada cepat atau lambat, atau deskripsi kwalitatif dualistis lainnya, yang dapat dikenakan terhadap batin yang murni. Ia hanya seperti apa adanya.
Nah….. demikianlah kurang-lebih apa yang dimaksudkan oleh Krishnamurti.


38. Apa Meditasi Bisa Mengenyangkan Perut Yang Lapar ?

Ada yang mengatakan bahwa hidup adalah rangkaian dari berbagai masalah, dengan berbagai tipe, yang tak pernah habis-habisnya. Sungguh sangat disayangkan bilamana hidup ini hanyalah disibukkan oleh masalah-masalah remeh saja, dengan tanpa memberi kita peluang untuk berkreasi, berapresiasi, mencipta atau menikmati. Pertanyaannya adalah, apakah meditasi bisa berbuat sesuatu tehadapnya ?


Kritik yang paling tajam yang ditujukan kepada para meditator, terkait dengan persoalan-persoalan hidup seperti itu, adalah: “Apakah meditasi menjadikan perut saya yang lapar ini kenyang ?”, atau “Apakah kemiskinan bisa dientaskan hanya dengan meditasi?”.

Sang Budha kurang-lebih pernah bersabda yang menyiratkan bahwa,’menjawab pertanyaan salah, sama salahnya dengan melontarkannya’. Kritik bernada skeptis dan dungu seperti ini sebetulnya hanya mungkin dilontarkan oleh mereka yang samasekali tak memahami apa itu meditasi. Atau telah memahami meditasi secara keliru, namun tak pernah mencari tahu apa meditasi itu sesungguhnya karena tidak pernah benar-benar mempraktekkannya. Mereka akan terbelalak, melongo untuk kemudian meninggalkan saya, bilamana saya menjawab semua pertanyaan serupa dengan:”Bisa, bahkan dengan amat sangat mudah!”.

Dalam kemurnian, kejernihan batin, apapun yang Anda lihat, apapun yang Anda saksikan akan menjadi jelas dengan sendirinya. Segala persoalan-persoalan akan memperlihatkan keterkaitannya, betapapun kompleksnya sehingga Anda dapat menetapkan solusi-solusi serta penyikapan-penyikapan yang terbaik, yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.

Kegagalan kita dalam memecahkan permasalahan umumnya tertumpu pada ketidak-mampuan kita dalam ‘melihat’ persoalannya secara menyeluruh dan secara lengkap. Dalam ketidak-lengkapan dan tanpa memahami situasi dan kondisi konkrit yang ada, apapun yang kita lakukan hanya akan mempercepat tercapainya kegagalan. Bahkan kita malah bisa memunculkan beberapa persoalan baru lainnya.

Nah, di sinilah signifikansi dari meditasi dalam menjalani kehidupan kita sehari-hari yang sarat dengan berbagai persoalan ini. Hanya batin yang benar-benar keruh, yang benar-benar gelaplah yang tidak dapat melihat manfaat meditasi dalam kehidupan sehari-hari.


39. Aliran Perhatian Penuh Yang Menerus

Batin meditatif tidak mungkin melihat secara parsial. Ia seksama dan menyeluruh. Ia juga cermat dan penuh kewaspadaan, sehingga menjadi peka dan tajam. Aliran menerus dari perhatian yang terpusat pada suatu objek tidak memungkinkan diperolehnya amatan parsial. Di mana ada keterpusatan, ada aliran perhatian yang menerus, ada kewaspadaan, keseksamaan, ketelitian, maka di sana ada meditasi.

Ke-menyeluruhan dalam meditasi inilah yang memberi Anda pengetahuan bahkan pemahaman yang lengkap dan terpercaya akan segala sesuatu. Jadi ia bukan sembarangan perenungan; dan jelas bukan auto-sugesti yang hanya merupakan bentuk lain dari penipuan diri. Dalam kepolosan, dalam apa adanya, tak ada kebohongan, pemunafikan apalagi penipuan.


40. Ketercerapan Yang Dalam

Seorang pengamat seni, pencinta benda-benda seni mempunyai kepekaan yang sangat tajam akan benda seni yang diamatinya. Di sini ia tidak saja mengamati, namun juga menikmati. Demikian juga dalam meditasi, Anda menikmati apa yang Anda meditasikan, Anda ada didalamnya, di semua sisi-sisinya, di atasnya, di bawahnya. Anda adalah apa yang Anda meditasikan itu.

Dalam hal ini, yang bekerja bukanlah pencerapan indriyawi lagi. Pencerapan menyeluruh tiada dimungkinkan lewat indriya, kendati ia dibantu oleh pikiran dan kecerdasan. Dalam ketercerapan ini Anda – sebagai si pencerap – sepenuhnya lebur dan menyatu dengan apa yang dicerap. Oleh karenayalah ‘pengamatan’ Diri-Jati hanya dimungkinkan lewat meditasi. Bahkan dalam Samadhi (matangnya meditasi), Anda tidak sekedar mengenali-Nya, namun sepenuhnya menjadi Dia.


41. Bukan Pembangkitan Daya Psikis

Telah disampaikan sebelumnya, konsentrasi (dharana) merupakan landasannya. Hingga dharana, sebetulnya batin telah cukup tentram. Gejolak pikiran dan gelora perasaan tak ada lagi di sini. Inilah yang sering menyebabkan banyak orang keliru. Batin yang terpusat hanya pada satu titik konsentrasi memang tajam dan berkekuatan. Ketajaman dan kekuatannya inilah yang bisa mengundang daya-daya psikis, seperti gejala supranatural, paranormal maupun bentuk-bentuk daya metafisikal lainnya.

Ketika seseorang mendambakan yang serupa itu, ia bisa jadi juga melakoni laku spiritual, layaknya seorang meditator atau yogi. Dari luar dan hingga fase pra-meditasi, semuanya masih tampak serupa. Namun, ,mereka hanya akan terhenti sampai di situ saja. Kendati gejala seperti itu bukanlah apa yang dimaksudkan oleh seorang meditator atau seorang yogi, namun mereka juga memiliki daya-daya psikis seperti itu.


42. Sejernih dan Sebening Kristal

Ketika kacamata yang kita kenakan kotor, berdebu dan bernoda, semuanya tampil buram di mata kita kita. Namun, bagaimana itu bisa disadari tanpa memeriksanya, menanggalkannya sejenak untuk dicermati ?

Demikian pula halnya dengan ‘kacamata’ batin ini; ia kita tanggalkan, teliti sekaligus jernihkan lewat meditasi.

Batin meditatif adalah batin yang sepenuhnya sadar; sadar akan kekiniannya, sadar akan keberadaannya, sadar akan kesujatian-nya. Ia sejernih dan sebening kristal.


43. Taman Bunga Kebajikan Tanpa Pamrih

Batin meditatif ibarat taman subur, di mana bunga-bunga harum ‘inspirasi’ kebajikan yang beraneka warna tumbuh dan berkembang dengan maraknya. Dan seperti juga bunga-bunga itu, ia tak memilih apalagi menolak kumbang, lebah atau kupu-kupu manapun untuk mengisap sarinya; ia tak memilih hidung dan mata manapun untuk menghirup aroma maupun menikmati kecantikannya.

Dia sangat adil; Ia hanya akan memberi dan memberi. Dialah sumber kebajikan luhur yang tanpa pamrih itu. Dia manifestasi kasih nan murni itu.


44. Langit Biru Membentang

Ketika langit biru membentang di hadapan Anda, di samping, di belakang, di atas juga di bawah Anda, apa yang Anda rasakan ? Kelapangan dan keleluasaan yang tiada terlukiskan. Keheningan, kesendirian dan kesunyian tanpa noda kesepian.

Dia sana Anda benar-benar bebas menghirup, menikmati sepuas-puasnya “yang ada”, leluasa berkreasi, berimajinasi dan menikmati madu lila bak Sang Penguasa Kosmis. Pengalaman seperti ini tak akan terlupakan. Dan itu tak pernah akan kita nikmati tanpa meditasi.


45. Bisa Sulit, Bisa Mudah

Sesuatu boleh jadi sulit, namun bisa juga sederhana. Itu sepenuhnya tergantung kita sendiri. Salah seorang guru besar Teknik Sipil di University of New South Wales, Australia, suatu ketika pernah mengatakan kepada saya, “Kita dilengkapi akal-budi bukanlah untuk memperumit sesuatu, namun sebaliknya. Bila orang pintar meyederhanakan yang rumit, sebaliknya yang bodoh mempersulit yang sebetulnya sederhana”. Kendati itu sudah saya dengar belasan tahun lalu, hingga kini masih saya ingat. Ia sungguh mengesankan.

Demikian pula dengan meditasi. Anda bisa menjadikannya tampak sedemikian seram dan “njelimet”-nya, ataupun menjadikannya mudah dan sedemikian sederhana. Memang ada orang yang cenderung tertarik pada yang ‘wah’, yang seram-seram, yang pelik. “Lebih menggairahkan”, katanya. Boleh-Boleh saja sih, asalkan bukan untuk “menakut-nakuti” atau untuk tujuan lain. Akan tetapi ingatlah, meditasi nyaris tak mungkin didekati tanpa kepolosan, tanpa kejujuran dan ketulusan. Ketika itu tidak hadir, ia akan mengarahkan kita menjauh atau menyimpang dari “tujuan semula”. Kecuali bila sejak semula Anda memang punya “tujuan lain”, Anda tentu tidak akan menyimpang dari tujuan semula bukan ?


46. Meditasi Pranava

Sebetulnya, dasar-dasar meditasi telah tertuang di dalam Bhagavad Gita. Salah satunya, yang terkait dengan ketentraman-hati dan kesehatan lahir maupun batin, adalah harmonisasi nafas-kehidupan (pranayama) yang dikombinasikan dengan perafalan Pranava OM.

Ini terbukti amat sangat efektif dan telah dipraktekkan oleh tak terhitung banyaknya manusia, bahkan para Yogi-Yogi ternama, seperti Sri Paramahansa Yogananda, Sri Swami Sivananda Saraswati, dan banyak lagi. Bagusnya adalah, ia “nyaris” tanpa resiko. Kita terus menerus merafalkan Nama Tuhan (Namasmaranam) dan sekaligus juga mendengarkan Nama-Nya (Sravanam).

Simpelnya, kita cukup merafalkan di dalam hati, ANG……saat menarik nafas, UNG….saat menahan nafas, dan MANG……saat menghembuskan nafas secara lepas. Tidak perlu ditahan-tahan atau dibuat-buat. Santai saja dan biarkan ia mengalir begitu saja secara alamiah. Sungguh sederhana bukan ?


47. Bak Menyuling Air Keruh

Air yang keruh umumnya kita endapkan dulu. Mungkin hanya dengan mengendapkannya saja ia sudah cukup jernih dan siap dimanfaatkan. Namun bila masih sangsi untuk meminumnya langsung, kita perlu mendidihkannya sebelum diminum.

Demikian juga dengan meditasi, batin yang keruh diendapkan, dijernihkan dan disterilkan hingga batas-batas yang diperlukan, sehingga cukup aman bagi kesehatan mental kita.

Bila kita menginginkan air-murni kita bisa saja lebih jauh menyulingnya, menguapkannya habis untuk kemudian mendinginkan uapnya lagi agar menyublim, menghasilkan tetes-tetes air-murni.

Melalui prinsip kerja yang sama, meditasi bisa mengantarkan kita pada Kemurnian-Batin, pada kesadaran Murni, yang menghuni setiap insan.


48. Perjalanan Kembali ke Diri-Jati

Kesadaran ragawi merupakan pijakan awal yang akan dilampaui setahap demi setahap menuju kesadaran spiritual . Inilah pengembangan batin itu. Dalam perjalanan ini, kesadaran mental susul menyusul bersama kesadaran moral, setelah kesadaran ragawi. Saat inilah kesadaran ragawi – yang bertumpu kuat pada keterbatasan indriyawi – tampak mengambang di permukaan, bersinar dalam cahaya semu yang redup. Ia tak lagi sepenuhnya punya kekuatan untuk mendikte, seperti sebelumnya.

Berada di jenjang “antara” ini, baik waktu, ruang pun kausasi (desa-kala-patra) semakin tampak jelas, seperti apa ia adanya. Sosok jiwa bisa tampak sedemikian bermoral, humanistis dan penuh pengertian di sini, sesuai dengan kedalaman yang berhasil digapainya kembali. Ia bisa tampak bajik dan bahkan bijak. Ini bisa berlangsung lama, bahkan seumur kelahirannya yang sekarang ini. Manakala itu terlampaui dengan selamat sebelum melepaskan jasad ini, iapun menyentuh “gerbang” kesadaran spiritual yang lebih tinggi.

Di sini segala fenomena fisikal, mental dan moral tampak begitu jelas; di mana masing-masing bersinar silih berganti dengan kerdipan dan intensitas cahayanya sendiri-sendiri. Sungguh indah. Sulit dilukiskan dengan kata-kata. Di sini, perasaan,pikiran dan intelek serta keakuan – yang tiada lain adalah fenomena-fenomena mental – tidak lagi sedemikian mendiktenya; mereka hanya tampak sebagai eksponen-eksponen di dalam panorama batiniah yang menakjubkan untuk diamati, dan dinikmati kembali.

Kini mereka telah digantikan oleh intuisi yang kian mantap, lurus dalam melangkah memasuki cemerlangnya Kesadaran Spritual. Ia boleh jadi sedemikian menyilaukannya, sampai-sampai terasa membutakan penglihatan, sehingga sangat mengagetkan. Boleh jadi juga banyak orang dibuatnya terpana dan terkagum-kagum, sampai-sampai sudah merasa cukup puas hanya dengan memandangi kecemerlangannya itu, dan terpana di luar ‘gerbang’.

Suasana dan panorama yang sedemikian asingnya bagi kita, juga seringkali menakutkan. Keasingan dan kesendirian seringkali menakutkan. Dan ini bisa berarti pengurungan niat atau penarikan langkah. Nah, disinilah keberanian besar sekali perannya. Dialah yang akan menopang langkah kita dalam memasuki Kesadaran Ilahi.


49. Mengamati Dengan Seksama dan Penuh Perhatian

Manakala kita mengamati sesuatu – apakah sesuatu itu ada di luar maupun di dalam – dengan seksama dan penuh perhatian, maka diapun akan menjelaskan dirinya sendiri kepada kita. Dia seakan-akan memfungsikan dirinya sebagai guru bagi kita; ia bisa mengajari kita dengan amat jelas, lengkap namun sederhana, tentang apa dia adanya.

Umumnya, setelah kita beranjak di mana berbagai persoalan hidup yang makin menumpuk silih-berganti menuntut untuk diperhatikan juga, “mengamati dengan seksama dan dengan penuh perhatian” secara alamiah dan sedikit demi sedikit semakin menjauh dari kita, untuk akhirnya tidak lagi akrab dengan kita. Apa yang tadinya merupakan sesuatu yang akrab dan alamiah, kini malah menjadi sesuatu yang nyaris tak pernah dikenal, sesuatu yang sama sekali asing lagi.

Oleh karenanya, meditasi sebetulnya bukanlah sesuatu yang sama sekali asing bagi kita. Kitalah yang mengasingkannya dari hidup kita, dengan tanpa sepenuhnya disadari. Alhasil, bukanlah sesuatu yang begitu aneh bila kita malah telah menjadikan Diri kita sebagai orang yang asing bagi diri kita sendiri. Dan untuk mengenal-Nya kembali kini terasa sulit. Kita telah terlanjur membangun tembok demi tembok, sekat penghalang demi sekat penghalang, tabir demi tabir antara kita dan Sang Diri-Jati.


50. Bangkit Dalam Kesadaran

Ketika semua itu telah benar-benar disadari sepenuhnya, Anda akan dibuatnya “merasa bodoh”, benar-benar bodoh, karena selama ini telah membodoh-bodohi diri sendiri. Rasa malu mendalam atas kebodohan diri ini bisa membuat Anda menangis. Namun kali ini tangis itu bukan lagi tangis cengeng, tangisan akibat luapan emosi rendah, ia kini adalah “tangis kesadaran”.

Disini tak perlu muncul penyesalan, sejauh kebiasaan suka menyesali diri berkepanjangan juga menjadi satu fenomena mental yang juga kita tangisi. Tangisan inilah yang akan menyentak Anda bak “cemeti-petir” di tangan Sri Krishna. Ia membuat Anda bangkit untuk berjuang, bangkit untuk berperang, bangkit untuk menyongsong masa depan dengan gagah-berani.

Kini Anda merasa seakan-akan memperoleh semangat baru, daya –juang baru dan enerji baru dari dalam. Batin telah me-recharging dirinya sendiri, bersamaan dengan terbitnya “Mentari Kesadaran”. Anda boleh jadi tampak sama bersemangatnya, sama bergairahnya seperti dulu, namun kini ada satu perbedaan mendasar dibanding sebelumnya. Kini Anda ditemani oleh kesadaran, bukan lagi kebodohan.


51. Menuju Universalitas

Tanpa mengenal batin Anda sendiri, Anda tak mungkin bisa memanfaatkannya secara optimal. Anda memang harus mengenalnya dulu sebelum Anda benar-benar mengembangkannya untuk bisa memanfaatkan kekuatannya.

Batin yang telah dikembangkan adalah batin yang meluas, yang telah menyingkirkan sekat-sekat yang membatasinya. Batin yang telah mengembang adalah batin yang lapang, yang leluasa, yang bebas, yang tak lagi terbatasi pun berkehendak membatasi. Dan hanya apabila batin Anda telah sedemikian berkembangnyalah baru Anda berkompeten untuk berbicara masalah universalitas. Sebelum itu, bahkan makna yang sesungguhnya dari kata ‘universal’ itu sendiri belum sepenuhnya mampu dipahami.


52. Pengembangan Intuisi

Intuisi dikembangkan lewat meditasi. Bahkan mereka yang terpelajarpun seringkali mengelirukannya dengan naluri. Kendati mereka sama-sama fenomena batin, yang juga sama-sama kita bawa bersama dengan kelahiran berjasad manusia ini, namun naluri merupakan “sisa” dari aspek kebinatangan kita. Seperti juga hawa-nafsu, naluri mencirikan kebinatangan kita.

Sebaliknya, intuisi yang dikembangkan lewat meditasi merupakan aspek kedewataan kita. Anda tidak bisa mengharapkan munculnya kedewataan, sementara enggan melepas, apalagi malah semakin mesra dengannya. Oleh karenanya, laku spiritual (sadhana) seperti tapa-brata dilaksanakan oleh penekun atas dasar prinsip ini. Tapa-brata, mengikis kebinatangan Anda. Di dalam Veda-Veda dan yogashastra- yogashastra ia diposisikan sebagai laku ‘pensucian batin’, sebagai laku ‘peleburan dosa’.


53. Mempertemukan Anda Dengan-Nya

Anda boleh saja mengatakan: “Saya bermeditasi untuk mencapai Tuhan, untuk menyatu dengan Tuhan”. Itu bagus ; sebuah ideasi yang perfect. Akan tetapi, sadarkan Anda bahwa Anda tak bisa mencapai sesuatu yang tak Anda ketahui, yang tak terpikirkan dan tak terbayangkan Itu.

Kata ‘mencapai’ seringkali dikonotasikan terhadap sesuatu yang di luar sana, bahkan boleh jadi yang amat sangat jauh di atas sana. Ini satu masalah besar lainnya bagi para ‘pencari atau ‘pendamba’ Tuhan.

Kemana Anda akan mencari-Nya ? Mungkinkah Anda mencari, apalagi menemukan, sesuatu yang tak Anda ketahui samasekali ? Jangan gegabah saudaraku. Jangan terlalu muluk-muluk dulu; ketahuilah, kenalilah, pahamilah diri Anda sendiri dulu dengan sebaik-baiknya. Setelah itulah kita akan dipertemukan dengan-Nya.


54. Kemusnahan Eksternalitas

Ketika Anda merasakan diri Anda benar-benar lebur menyatu dengan alam, bukan hanya sebagai bagian dari alam namun alam ini sendiri; Anda ada tercerap dalam batin meditatif.

Di sini kata-kata kehilangan maknanya, oleh karenanyalah ia tak Anda perlukan lagi. Di sini Andalah ruang itu, waktu itu, kondisi juga kausalitas itu. Anda tak lagi melihat semua itu sebagai yang di luar sana. Bahkan kata ‘di luar’ pun menjadi kehilangan maknanya bagi Anda. Di sini tak ada lagi eksternal maupun internal. Bila semuanya internal, apakah ada yang disebut eksternal ? Pada saat yang bersamaan, apakah kata “aku”, “kamu” dan “dia” masih punya makna, sejauh mereka hanya rekaan dari batin yang terkondisi ?


55. Lebur Dalam Kesatuan

Seperti juga “aku” dan “kamu” lebur menjadi “kita”, “aku” dan “mereka” lebur menjadi “kami”, demikianlah sang diri kecil nan semu lebur menyatu Sang Diri Agung yang melingkupi segalanya, dalam Samadhi.

Dalam Yoga Sutra Patanjali, rangkaian proses menuju peleburan ini disebut samyama. Ia merupakan suatu aliran berkelanjutan, sejak terjadinya keterpusatan mental (dharana), aliran perhatian yang terus menerus dalam kesadaran (dhyana) dan panunggalan itu sendiri (Samadhi). Manakala itu tercapai, maka tercapai pulalah ‘tujuan’ meditasi Anda. Di sini ‘mencapai’ bertransformasi menjadi ‘menjadi’.

Itu bisa Anda awali dengan, apa yang disebut dengan, “fase penyederhanaan”. Secara eksternal, ia bisa tampak sebagai hidup sederhana. Akan tetapi, secara internal –dan justru inilah yang terpenting – ia merupakan penyederhanaan dari segala bentuk keinginan. Keinginan-keinginan itulah yang melahirkan beraneka bentuk pemikiran serta gelora perasaan. Pikiran tiada lain dari wadah beraneka bentuk mental serupa itu; ia diperlukan karena ada yang mesti diwadahi, ada yang perlu ditampung. Bersamaan dengan musnahnya keinginan, musnah pulalah si pikiran. Dan fenomena kemusnahan inilah yang disebut manonasa.

Fase penyederhanaan ini diawali dengan berlatih menarik atau membalik arah perhatian ke dalam, di mana ini juga secara otomatis berarti peniadaan kontak-kontak indriyawi dan dicapainya kedamaian batin (shanti). Nah, dari sinilah sebetulnya meditasi kita ini melangkah dengan penuh kesadaran, sebagai landasannya.


56. Beberapa Ciri Kemajuan

Hasrat untuk mengetahui “apakah kita telah cukup maju dalam latihan kita selama ini”, memang merupakan suatu hasrat yang wajar di kalangan penekun. Agaknya telah dipahami, kemajuan dalam laku spiritual tidak selamanya hanya diukur dari pengalaman-pengalaman supranatural seperti pendengaran tembus (divyasrota), penglihatan tembus (divyachaksu), membaca pikiran orang atau makhluk lain, maupun dari penguasaan siddhi-siddhi.

Kemajuan berupa perbaikan prilaku atau komposisi karakter dasar penekun dibanding sebelumnya, seharusnya juga diposisikan sebagai indikator penting dari kemajuannya. Aspek kemajuan ini, bukan saja terkait dengan si penekun sendiri, namun ia juga berdampak baik bagi orang-orang di sekitarnya, terutama yang berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung dengan si penekun. Apa saja itu ?

Mereka antara lain: kondisi batin yang seimbang, kejujuran, sikap terbuka, rasa belas kasihan, kepedulian dan tidak mementingkan diri sendiri, bebas dari atau semakin menipisnya pretensi, keangkuhan, prasangka dan pola-pikir dogmatis, menurut Sri Swami Shivapremananda, merupakan beberapa sifat baik yang dicapai oleh mereka yang mengalami kemajuan dalam meditasi.


57. Memahami Karakter Si Pikiran

Kendati batin bukanlah semata-mata pikiran, namun dalam banyak aspek kerja batiniah, pikiran ternyata sangat dominan. Oleh karenanyalah, pengendalian-pikiran menjadi sadhana penting dalam meditasi.

Untuk bisa benar-benar mengendalikannya, sebetulnya kita diharus “menjinakkannya” terlebih dahulu. Sedangkan untuk dapat “menjinakkannya”, kita perlu “mengetahui” karakter-karakter dasarnya. Beberapa karakter dasarnya, erat kaitannya dengan bentuk, jenis, serta intensitas dari keinginan-keinginan kasar maupun halus yang biasa dipertontonkannya. Nah, semua inilah yang perlu kita amati ke dalam. Lewat pemusatan perhatian ke dalam, kewaspadaan serta kecermatan, mereka teramati dengan baik.

Dengan mengamatinya secara seksama, akan kita ketahui sendiri bahwa pikiran merupakan aspek aktif dari batin kita. Ia mudah berubah, meloncat-loncat seperti kera serta tak jarang berontak untuk menjadi liar. Sangat sulit untuk didiamkan dengan paksa, ia malah berontak; maunya hanya berbuat sekehendak hatinya saja. Nah, “mahluk” seperti inilah yang harus dikendalikan dalam meditasi. Adakah yang seperti ini bisa Anda serahkan kepada orang lain untuk dikerjakan bagi Anda ?


58. Penyikapan yang Tepat Terhadap Si Pikiran

Ada sebuah parabel yang sangat mengena dari Sri Swami Sivananda, dalam berurusan dengan si pikiran ini. Kisahnya begini:

Seorang lelaki pergi berjalan-jalan dengan ‘doggie’nya yang cantik. Ia sedemikian bangganya akan doggie-nya itu. Si doggie selalu berjalan di depannya. Lelaki itu membawa payung. Untuk menunjukkan kepada orang-orang bahwa doggie kesayangannya akan melakukan apa saja baginya, ia menyuruh doggie-nya membawa dengan menggigit payungnya itu. Dengan bangganya si doggie-pun berjalan di depan , seraya menggigit bagian tengah dari payung itu.

Tiba-tiba hujan turun. Si lelaki pembangga itu perlu menggunakan payungnya. Akan tetapi si doggie berada seratus yard di depannya. Ia berlari menghampirinya. Si doggie tidak mengerti mengapa tuannya mengejar tidak seperti biasanya; ia merasa takut, dan lari sekencang-kencangnya ke rumah. Al hasil, si lelaki pembangga itu basah kuyup sekujur tubuhnya, sebelum sampai di rumah dan memperoleh kembali payungnya itu.

Sang Jiva (baca jiwa), dibutakan oleh kebanggaan dan kebodohan dengan mempercayakan kesadaran spritualnya pada si pikiran. Untuk beberapa lama si pikiran tampak berjalan di depan dan membimbing Sang Jiva; dan kesadaran ada dalam keadaan tergenggam kuat oleh si pikiran, namun untuk sementara waktu Sang Jiva memang merasa cukup aman dalam kondisi ini. Ada “hujan lebat” penderitaan dalam kehidupan duniawi ini disertai berbagai godaan objek-objek sensasi. Sementara, si doggie-pikiran bersama dengan “payung” kesadaran spiritualnya terpisah amat jauh dari Sang Jiva.

Bila saja payung-kesadaran spiritual tidak dipercayakan begitu saja pada si pikiran (yang tiba-tiba tak benar-benar dapat dimanfaatkan sesuai keperluan), sang Jiva mesti mampu melindungi dirinya dari hujan lebat berbagai penderitaan dan cobaan-cobaan. Namun kini, dengan mempercayakan kesadaran pada pikiran, semakin cepat ia berlari untuk berlindung padanya, semakin jauh pula perlindungan yang diharapkan itu.

Oleh karenanya, bertekadlah untuk tidak sepenuhnya mempercayakan kesehatan dan kesejahteraan spiritual Anda pada si pikiran, yang tidak dapat diandalkan sepenuhnya. Ia paling tak dapat digantungi. Ia akan desersif saat cobaan-cobaan datang mendera. Belajarlah hanya mempercayai Tuhan saja. Jadikanlah Beliau sebagai pendukung Anda satu-satunya.
[Dipetik dan dialih-bahasakan dari PARABLES OF SIVANANDA]


59. Bukan Bagi Para Pemalas dan Pengecut

Mungkin sering kita dengar, dengan memasang ekspresi arif seseorang berkata: ”Serahkanlah kepada Tuhan; kita hanya mampu berbuat, namun beliaulah yang menentukan.”

Ini memang terdengar arif, karana memang arif dan hanya di telinga yang cukup arif. Namun bagi seorang pemalas, bagi yang selalu enggan dalam bertindak, bagi yang guna tamas-nya sangat dominan; apa yang mungkin terjadi ?

Ingat, obat betapapun manjurnya, hanya akan bermanfaat bagi orang yang tepat, dengan penyakit yang tepat dan diminum dalam dosis yang tepat pada waktunya. Setiap obat tidak bagi semua jenis penyakit. Penyakit malas malah menjadi tambah parah oleh sebentuk ungkapan arif tadi. Baginya, justru diperlukan anjuran-anjuran yang rajasik yang bersifat rajasik, yang bersemangat, yang ambisius, yang aktif dalam takaran tertentu. Ini dibutuhkan guna merangsang kearifannya; inilah sesungguhnya pengejawantahan sifat sattvika itu.

Meditasi bukan bagi para pemalas dan pengecut. Ia akan mengangkat siapa saja dari kemalasan dan kepengecutan itu. Ia akan menyadarkan kita dari rasa-iba dan pemanjaan-diri selama ini. Bagi yang terbiasa hidup mewah, kehidupan sederhana, hemat dengan memanfaatkan apa yang ada boleh jadi tampak sedemikian menakutkan. Ini tak kurang menakutkan dari mendengar auman singa lapar baginya. Bagi mereka yang terbiasa sangat aktif, akan merasa enggan sekedar untuk duduk dan mengamati yang terjadi di dalam, kendati barang sejenak.


60. Masalah Berguru

Mungkin masih ada yang balik bertanya: “Lantas di mana peran Guru, bila semuanya kita lakukan sendiri dan secara mandiri ?”. Peran beliau sangat banyak dan sangat besar di sini. Dari mana kita mengetahui semua ini adalah dari Guru; ini tak dapat kita pungkiri. Dari tak tahu menahu masalah meditasi, menjadi tahu, bahkan telah mempraktekkannya; dan ini tentu karena adanya peran penting Guru.

Pernah kita alami bersama, di mana hanya untuk mengucapkan satu dua patah-katapun kita perlu belajar; kita berguru. Jangan pernah lupa itu; kita senantiasa berguru dan berguru, belajar dan belajar seumur hidup. Dan ini adalah fakta kehidupan kita yang tak mungkin kita pungkiri. Semua Guru, “tadinya” juga berguru; terlepas apakah ia ingat akan hal itu atau tidak. Jadi kita tak perlu sedemikian tinggi-hatinya dan munafik untuk mengatakan bahwa “ Saya berguru langsung kepada Tuhan; oleh karenanya saya tak perlu Guru manusia”. Percayalah, bila tiba saatnya nanti, Anda malah akan sangat malu bila mengingat pernyataan Anda itu.


61. Disiplin Moral Yang Penuh Tanggung-Jawab

Kendati sepintas tampaknya acak saja, namun semesta raya ini penuh dengan keteraturan, tertib dan oleh karenanya relatif seimbang. Setiap perubahan yang terjadi, apapun bentuknya, menurut suatu aturan tertentu. Inilah yang dalam agama Hindu disebut Rta, hukum semesta raya.

Dalam meditasi kita juga berkepentingan pada keteraturan dan keseimbangan ini, sejauh kita memang menginginkan perubahan; dari kotor menjadi bersih, dari penuh noda menjadi murni, dari buruk menjadi baik, dari kurang sempurna menjadi sempurna, bahkan paripurna. Keteraturan demi penyelarasan dengan keseimbangan semesta-raya juga sebentuk meditasi.

Sekali lagi, ia boleh jadi secara eksternal tampak acak dan seakan-akan tanpa terikat pada satu aturan tertentu, namun sebetulnya tidak demikian. Seorang meditator sangat teratur, sangat tertib di dalam, secara mental, di mana tanpa ketertiban dan keteraturan itu ia tak mungkin bermeditasi. Segala ketertiban justru bermula di sini. Dan inilah disiplin murni, dari dalam yang tanpa paksaan, tanpa tekanan, tanpa perlu ditunjuk-tunjukkan. Hanya dari disiplin serupa inilah, dari batin meditatif inilah, dapat diharapkan disiplin moral yang penuh rasa tanggung-jawab.


62. Menyaksikan dan Menanggalkan Belenggu Kasat

Mungkin telah disinggung sebelumnya bahwa “belenggu pandangan-kasat” sangat kuat pada kebanyakan manusia. Ketika kita meminta bukti misalnya, maka bukti yang kita minta adalah bukti “nyata”, di mana apa yang kita maksudkan dengan “nyata” adalah sesuatu yang “yang kasat-indriya”. Apa yang disebut “nyata” selalu dikonotasikan pada “yang kasat-indriya”. Inilah belenggu pandangan-kasat. Terpolakan dan terkondisi seperti ini, kita acapkali terkecoh, tertipu oleh tampilan luar. Fenomena ini memastikan kesuksesan para pesulap, illusionist, atau apapun sebutannya untuk itu.

Sedikit lebih maju lagi , lebih dalam dan lebih canggih lagi adalah “belenggu kasat-pikir dan kasat-perasaan”. Yang begini, boleh jadi tidak lagi sedemikian terbelenggunya pada tampakan luar, yang kasat-indriya tadi. Pembuktian baginya, tidaklah harus berupa pembuktian yang kasat-indriya, namun harus terpikirkan dan dapat dirasakan dengan apa yang disebutnya sebagai “akal-sehat”, atau sejenisnya. Sebagai gandengannya, mereka ini juga sangat mengagungkan-agungkan kecerdasan serta kepekaan emosinya, yang sesungguhnya terbatas.

Ketika Anda mengarahkan perhatian Anda ke dalam (insight), dalam intensitas tertentu, fenomena mental seperti ini akan tampak jelas bagi Anda. Mengetahuinya secara langsung, lewat pengalaman meditasi Anda, akan membuat Anda malu dan emoh terbelenggu dan terkondisi seperti itu. Sejak inilah batin Anda tampak mulai meluas, mengembang hingga batas-batas yang tak pernah Anda bayangkan sebelumnya.


63. Pengendalian Menyeluruh

Memahami keterbatasan indriya, daya-pikir, daya-nalar dan kecerdasan kita dalam menyingkap – kendati hanya fenomena alam saja – akan meyadarkan kita pada betapa pentingnya “mengendalikan” keliaran mereka. Ini juga berarti “meyederhanakan” permasalahan praktis kita, dengan cara membatasi ruang-gerak, kiprah serta dominasinya, dengan mana kemampuan-kemampuan laten manusia yang lebih tinggi, lebih luhur, lebih halus namun lebih berdaya guna dapat dikembangkan secara optimal.

Oleh karenanya, mengendalikan-pikiran sebagai laku spiritual mutlak perlu didahului dan berjalan berdampingan dengan pengendalian-indriya. Indriya, dalam Upanishad-Upanishad, seringkali diibaratkan sebagai kuda binal dan liar. Untuk dapat dikendalikan dengan baik, ia perlu dilatih; dan agar bisa melatihnya, ia harus ditundukkan terlebih dahulu, dijinakkan terlebih dahulu.

Jadi apa yang umumnya kita kenal sebagai “pengendalian-diri”, adalah menyeluruh sifatnya; tidak sepotong-potong, fragmentaris atau parsial saja. Kita tidak dapat serta-merta duduk bersila, dalam “asana” tertentu sembari memejamkan mata, dan mengatakan: “Saya mau mengendalikan pikiran saya. Saya harus menundukkan segala keinginan-keinginan rendah saya”. Tidak; tidak serta-merta seperti itu. Si pikiran berikut berbagai bentuk dan ragam keinginan malah akan menertawakan kekanak-kanakan kita itu.


64. Tak Kan Lari Gunung Dikejar

Sisi positif dari berpikir yang muluk-muluk dulu. Dengan demikian kita merasa termotivasi, timbul semangat, gairah dan punya daya-juang. Oleh karenanyalah diserukan: Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit”. Padahal di sisi lain, ada yang mengatakan: “Di atas langit, masih ada langit”. Berpikir muluk-muluk kendati berfaedah, juga amat sangat rentan terhadap kekecewaan dan keputus-asaan.

Berorientasi pada hasil, pada pencapaian menyebabkan hati kita tidak tenteram. Bisa-bisa malah dibuatnya kita terburu-buru sehingga melakukan kecerobohan demi kecerobohan, karena menjadi kurang awas. Ini hanya menjadikan kita lebih ambisius, lebih rajasik dari sebelumnya; dan keserakahan (lobha)-pun akan mengikuti dengan ketat. Pepatah “Tak kan lari gunung dikejar”, menemukan relevansinya di sini.

Kalem sajalah; tekuni saja latihan sesuai alurnya. Tujuan akhir tak akan lari ke mana-mana. Kegairah berlebihan dalam latihan umumnya tidak bertahan lama, malah sebaliknya cenderung mengundang frustasi. “Jangan melihat dan hanya berorientasi pada hasil”, kata Sri Krishna pada Arjuna, “laksanakan saja sebaik-baiknya. Jangan risaukan semua itu; Aku tetap disampingmu”.

Bagi Arjuna yang telah tunduk-sujud di kaki Sang Guru Sejati dan senantiasa dalam dampingan dan bimbingan-Nya, keberhasilan dan kemenangan sebetulnya bukanlah sesuatu yang perlu dirisaukan lagi. Ia tak akan salah sasaran; ia tak akan tersesat di dalam perjalanannya. Sang Kusir Ilahi tidak akan membiarkannya tersesat.


65. Menemukan Kembali Dalam Kesederhanaan

Terkadang kita menjadi sedemikian sulitnya untuk sekedar menjadi sederhana, untuk berpikir sederhana, untuk hidup sederhana. Kita terlanjur terbiasa dengan kerumitan, yang “wah”, yang canggih, kendati sebetulnya kita tidak butuh yang seperti itu. Tak jarang pula, kita malah takut untuk menjadi sederhana. Kenapa ? Karena kita terlanjur beranggapan bahwa yang sederhana itu nista, dengan nestapa, dengan kesengsaraan.

Hidup berorientasi pada kebutuhan adalah hidup sederhana. Kebanyakan dari kita telah terlanjur bergerak terlalu jauh dari kebutuhan, dan menyongsong serta mengejar-ngejar berbagai keinginan. Kita telah menobatkan berbagai keinginan sebagai kebutuhan. Inilah biang-kerok berbagai problema, kerumitan, persoalan yang njelimet, yang mau tak mau harus dihadapi sebagai konsekwensinya.

Satu lagi kekeliruan kita adalah, menyamakan begitu saja yang sederhana dengan yang sepele, yang remeh-remeh. Padahal tidak demikian. Kesederhanaan penuh dengan kebercukupan (santosham) yang sangat mententramkan, yang mendamaikan berbagai gelora perasaan dan agitasi dan agresi si pikiran (prashanti). Di sinilah kedamaian dan kebahagiaan kita disembunyikan. Meditasi membantu kita melihatnya, menyingkap dan menemukannya kembali.


66. Meditasi Universal

Aspek yang lebih tinggi dari meditasi adalah prinsip “Vaishvanara Vidya”. Meditasi-meditasi terpisah seperti yang disebutkan pada konsepsi lain yang ada disebut sebagai kurang sempurna oleh seorang Guru Besar, Sang Prabu Ashvapati, yang dituturkan dalam Chhandogya Upanishad.

Bila Anda bermeditasi pada objek tertentu apapun, Anda diharuskan mengesampingkan sesuatu yang lainnya. Anda tak dapat memikirkan suatu hal dengan tanpa mengesampingkan hal lainnya. Pemikiran bahwa sesuatu telah terkesampingkan --- Anda harus berhati-hati mendengarkan ini --- dari sebentuk pemikiran yang sedang dikonsentrasikan, merupakan sebentuk pemikiran juga adanya. Penyingkiran pemikiran tentang suatu objek yang berbeda dari pemikiran tentang objek yang sedang dikonsentrasikan tidaklah dimungkinkan; oleh karena pemikiran tentang sesuatu yang dikesampingkan itu akan tetap tinggal, sedangkan pada saat yang bersamaan, perhatian ditujukan untuk tidak memikirkannya. Fenomena ini sama seperti kisah dimana seseorang memberitahu Anda; ‘Saat minum susu, janganlah memikirkan kera’. Lalu apa yang terjadi ? Pada setiap teguk susu yang terminum, hanya kera sajalah yang muncul di benak Anda. (Ini mungkin agak rumit bila sekedar dipikirkan, namun akan dimengerti maksudnya bila diselami langsung – pen.)

Tidak ada sesuatu pun dalam riwayat semesta, di mana sesuatu dapat sepenuhnya dipisahkan dari sesuatu yang lainnya, Gagasan pengesampingan merupakan gagasan sia-sia, karena dalam mengesampingkan sesuatu yang lainnya, pikiran juga harus hadir dalam objek yang di kesampingkan itu. Inilah “tipuan “ yang dimainkan oleh si pikiran.

Ini pulalah yang menjadi sebab mengapa Sang Guru Besar Ashvapati mengingatkan ke-enam praktisi yang menemui beliau, untuk mempelajari seni bermeditasi pada Sang Atman, yang belum sempurna mereka lakukan. Beliau bertanya, ‘Wahai para praktisi besar! Pada apa Anda sekalian bermeditasi?’ Mereka memberi jawaban yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Beraneka, berbeda-beda, objek-objek sepenuhnya terpisah-pisah merupakan meditasi mereka. Sang raja lalu berkata, ‘Anda sekalian melakukan dua jenis kesalahan disini: pertama adalah Anda memeditasikan sesuatu yang ada ‘di luar’ Anda; yang kedua adalah (adanya anggapan bahwa) yang dimeditasikan itu ‘hanya’ berada di suatu tempat tertentu saja’.

Bahwa objek konsentrasi tidak bisa hanya ada pada satu tempat saja, tampak jelas melalui fakta bahwa, pikiran tidak dapat mengesampingkan apapun dari objek yang dimeditasikannya. Bilamana mengesampingkan sesuatu tidaklah dimungkinkan karena pengesampingan melibatkan kesadaran mengesampingkan itu sendiri, maka satu-satunya jalan untuk mencapai sukses dalam konsentrasi adalah memasukkan segala sesuatunya, tanpa mengecualikan apapun.

Bilamana sebentuk gagasan yang merupakan sesuatu yang di luar objek meditasi muncul selama bermeditasi, maka bawa jugalah objek itu ke dalam titik konsentrasi. ‘Saya sedang memeditasikan pisang dan mengesampingkan jeruk’, begitu misalnya; maka bawalah juga jeruk itu ke dalam pisang dan biarkan mereka duduk bersama di sana; kini pisang dan jeruk akan menjadi ‘sebuah’ buah saja. Bila kemudian Anda ternyata melihat nangka terkesampingkan, maka bawa jugalah nangka itu! Kapanpun Anda merasakan bahwa ada sesuatu yang terkesampingkan, bawalah sesuatu itu kembali pada titik konsentrasi; dengan demikian, objek konsentrasi Anda menjadi semakin meluas dan meluas.

Dengan demikian, meditasi Anda menjadi Meditasi Kosmik, oleh karena tak ada yang dikecualikannnya, ujar Raja Besar itu. ‘Jangan hanya memeditasikan satu hal tertentu saja; oleh karena bila Anda melakukannya, pada saat bersamaan Anda akan mengecualikan yang lainnya. Apa yang Anda kecualikan –secara salah—itu justru akan menganggu meditasi Anda’. Dunia dibuat dengan cara tertentu di mana tak ada sesuatupun terkecualikan. Anda tidak dapat berkata, ‘Saya hanya menghendaki yang ini, dan bukan yang itu’; Anda tidak bisa hanya menginginkan satu hal, tanpa interferensi dari yang lainnya, tanpa interferensi dari yang tak Anda inginkan.

Sangat berbeda seni olah-batin ini bukan ? Satu pertanyaan dijawab oleh Sang Raja dengan: ‘Jangan pernah berpikir bahwa objek dari meditasi Anda hanya berada pada satu tempat saja’; oleh karena, bila ia ada di suatu tempat saja, maka akan ada yang lainnya di luar objek meditasi itu, di mana ‘yang di luar’ tidaklah dimungkinkan secara psikologis dalam berpikir menyeluruh, yang bukan sebagian-sebagian.

Jadi segala sesuatu yang mungkin terpikirkan menjadi objek meditasi, kendati melampaui langit sekalipun, batin akan tetap dapat menjangkaunya. Anda akan membawa batin melampaui batas konsepsi, dengan cara, bilamana ia merasakan bahwa masih ada sesuatu di luar, bawalah serta yang di luar itu ke dalamnya. Dengan demikian ada sebentuk ketercakupan di dalam. Beginilah caranya agar anggapan bahwa lokasi objek hanya ada pada satu tempat saja terhindari.

Yang kedua: ia tak ada di luar; oleh karena bilamana objek itu yang dipikirkan itu ada di dalam pikiran Anda, maka ia tak lagi dapat disebut sebagai objek, ia menjadi bahagian dari subjektivitas Anda. Dalam bermeditasi, tak seorangpun ingin punya sesuatu di dalam pikiran, sehingga sesuatu itupun harus ada di luar. Akan tetapi, sebetulnya tak ada objek yang sepenuhnya di luar pikiran. Oleh karena, bila sesuatu sepenuhnya di luar pikiran, maka seseorang bahkan tidak akan menyadarinya ada di luar.

Cerapan terhadap objek ‘eksternal’ memang perlu, sejauh konsep eksternalitas-pun bisa terbit saat bermeditasi. Bilamana perhatian mengarah ke luar, maka dengan sendirinya pikiran akan mencerap objek-objek di luar. Dengan tercerapnya objek luar itu, maka keberadaan objek itu sebagai sesuatu yang di luar (the outsideness)-pun menjadi sirna ia (berubah status) menjadi bahagian dari yang di dalam (the sideness).

Nah, dengan demikian Anda-pun akan menyentuh kosmikalitas dari segala sesuatu. Demikianlah Meditasi Universal, ajaran sangat mendalam kepada para praktisi tersebut, yang diperkenalkan oleh Prabu Ashvapati.

(Disadur dari sebagian kitab An Analysis of the Brahma Sutra; karya Sri Swami Krishnananda Saraswati)


67. Jadi Cahaya Bagi Diri Sendiri

Waspada adalah memperhatikan aktivitas jasmaniah Anda, cara Anda berjalan, cara Anda duduk, gerakan tangan-tangan Anda; juga termasuk di dalamnya untuk mendengarkan kata-kata Anda, untuk mengobservasi semua pemikiran-pemikiran Anda, semua emosi dan reaksi-reaksi Anda. Secara keseluruhan, ia mencakup kewaspadaan terhadap ketidak-sadaran, berikut tradisi-tradisinya, pengetahuan instingtifnya, serta penderitaan yang sangat besar yang diakumulasikannya –bukan saja penderitaan pribadi-pribadi, namun penderitaan umat manusia. Anda harus mewaspadai semua itu; dan Anda tak kan pernah benar-benar waspada terhadapnya bila Anda masih saja hanya menghakimi, mengevaluasi, berkata, Ini baik dan itu buruk, ini akan saya simpan dan itu saya tolak,’ semua itu hanya membuat batin Anda jadi tumpul, tidak sensitif.

Dari kewaspadaan muncul perhatian. Perhatian mengalir dari kewaspadaan, bila dalam kewaspadaan itu tidak ada pilihan, tidak ada pilihan pribadi, tidak ada mengalami…kecuali semata-mata mengobservasi. Dan, untuk mengobservasi, untuk mengamati, dalam batin Anda mesti tersedia ruang yang luas. Batin yang terjebak dalam ambisi, keserakahan, kedengkian dan kebencian, dalam mabuk kesenangan serta penikmatan bagi diri sendiri, yang selalu disertai oleh penderitaan, kesedihan, kekecewaan, dan kepedihan yang mendalam yang tiada terelakkan – batin serupa itu tak memiliki ruang yang cukup guna mengamati, dan untuk sepenuhnya hadir.

Ia hiruk pikuk bersama keinginan-keinginan sendiri, berputar-putar dalam pusaran-pusaran air reaksinya sendiri. Anda tak mungkin hadir sepenuhnya bilamana batin Anda tidak sensitive, tajan , bernalar, logis, waras, sehat, tanpa bayang-bayang tipis neurotisisme. Batin harus mengeksplorasi setiap sudut dari dirinya sendiri, tanpa meninggalkan satu titikpun tak tersingkap, sebab bila satu sudut gelappun dalam batin manusia yang takut dieksplorasi, daripadanya akan memancar ilusi…..

Hanya dalam kondisi penuh perhatian inilah Anda dapat jadi cahaya bagi diri Anda sendiri, dan setelah itulah setiap tindakan dalam kehidupan Anda sehari-hari memancar dari cahaya itu setiap tindakan – apakah Anda mengerjakan tugas Anda memasak, berjalan-jalan, menambal baju, atau apa yang kamu kehendaki. Seluruh proses inilah meditasi…

[Dari: The Collected Works of J. Krishnamurti Vol. 13. Judul aslinya: ‘You Can Be lIght Unto Yourself”]


68. Melangkah Dengan Ketetapan Hati

Banyak yang merisaukan kemajuannya dalam meditasi. Mereka bertanya-tanya: Apakah saya sudah maju dalam meditasi saya ? Mengapa meditasi saya tidak kian maju padahal telah berlatih lama ? Apakah metode ini efektif, dan lain sebagainya.

Kerisauan dan pertanyaan-pertanyaan seperti ini sebetulnya tidak perlu. Mereka hanya mengundang keresahan demi keresahan, yang malahan bisa menyimpangkan Anda dari jalur. Selama Anda berjalan pada jalurnya dan tetap melangkah, Anda pasti mengalami kemajuan. Justru yang perlu sering-sering dipertanyakan adalah: Apakah saya masih berjalan dalam jalur semestinya ? Adakah saya telah mengalih atau teralihkan dari arah yang dituju?

Pertanyaan seperti ini jauh lebih bermanfaat bagi kemajuan Anda ketimbang yang sebelumnya, sejauh mereka akan mengingatkan Anda atas keteledoran, dari penyimpangan atau pembiasan yang mungkin terjadi tanpa disengaja, sehingga terjadi pengalihan tujuan secara sepihak ditengah jalan karena digoda oleh “yang menyenangkan”. Di sini dampingan seorang Guru menjadi sangat penting.


69. Rileksasi Bukan Meditasi

Dalam ketetapan-hati yang mantap tak ada lagi konflik karena keraguan. Batin yang seperti ini adalah batin yang cukup tenang untuk memulai meditasi. Ketetapan-hati tak harus dikonotasikan dengan atau disertai oleh semangat yang menggebu-gebu. Dalam batin yang tenang, semangat dalam porsinya yang pas tak perlu lagi diundang untuk hadir. Ia akan menyertainya. Tak perlu ditentram-tentramkan lagi, sejauh ketenangan telah menjadi sifatnya.

Rileksasi mungkin saja bisa membantu mengawalinya. Hanya saja, rileksasi bukanlah meditasi. Sebagai landasan awal dan hingga intensitas tertentu, ia memang bermanfaat pada awalnya saja. Namun ia acapkali malah dengan mudah menyebabkan Anda jatuh tertidur. Mengandalkan rileksasi, apalagi dalam kondisi tubuh yang kelelahan, hanya akan menjadikan meditasi Anda tidak tahan lama. Sebaliknya, justru batin meditatiflah yang akan selalu rileks.


70. Tak Perlu Aturan

Ketika Anda awas, waspada, penuh perhatian, peka, tajam. Anda sedang bermeditasi. Batin meditatif bukanlah batin tumpul yang lengah; yang diterbangkan oleh berjuta angan-angan dan dihantui oleh kesan-kesan maupun dibuai oleh citra muluk-muluk. Ia sangat sederhana, ia polos, tanpa warna, transparan. Karena itulah keasliannya.

Batin yang meditatif adalah batin telanjang, yang bebas dari berbagai kekang dan batasan serta belenggu pemikiran dan perasaan. Anda tak dapat mengharapkan pretensi dan penghakiman ataupun sekedar pewarnaan apapun pada batin serupa ini. Manakala Anda ada didalamnya, kausalitas kehilangan daya-aturnya, sejauh tak ada yang perlu diatur lagi di sana. Yang tidak teraturlah yang perlu diatur, yang belum tertatalah yang perlu ditata bukan ?