Selasa, 24 Agustus 2010

Raga, Rasio dan Rasa Agama

Memang benar kata orang bijaksana bahwa melalui tuntunan agama, kehidupan ini bisa di arahkan untuk mencapai kesejahteraan, kebahagian dan kedamaian. Dengan catatan, jika setiap umat yang mengaku beragama secara sadar dapat mengetahui, menghayati dan kemudian mengamalkan nilai-nilai luhur dari ajaran agama itu. Kata kuncinya adalah “pengamalan” bukan sekedar kata-kata dalam pernyataan. Agama bukanlah semacam ilmu pengetahuan biasa yang cukup hanya di ketahui dengan hafalan. Agama juga bukan sejenis mode yang hanya untuk diperagakan. Singkatnya, agama tidak menekankan penampakan fisik (raga) dan pengetahuan (rasio) semata, tetapi lebih menuntut kearah tumbuh kembangnya emosi (rasa) agama yang penuh penghayatan sehingga pengamalannya pun selaras (sinkron) dengan petunjuk agama.

Kenyataan sekarang di antara factor “Tiga Ra” umat beragama cenderung lebih mengedepankan unsure “Raga” (penampilan/peragaan fisik material), “Rasio” (pengetahuan/teori/hafalan) dari pada “Rasa” agama. Maka jangan heran apalagi keburu berbangga diri kalau hanya melihat : kemegahan bangunan pura, “kegairahan umat pedek tangkil”, kemeriahan/kemegahan upakara banten atau kesemarakan upacara yajna. Semua itu boleh jadi baru sebatas “Raga” (fisik-material).

Begitu juga jangan terkagum dulu dengan munculnya orang-orang yang begitu pandai berbicara agama, ratusan sloka kitab suci mudah diucapkan, sering diundang berceramah dan selalu hadir disetiap kegiatan diskusi agama. Mungkin saja penampilan tokoh ahli agama ini baru sebatas “Rasio” (teori/hafalan). Kendati tidak bermaksud meragukan kemampuan mereka yang sementara ini lebih menekankan “Raga” dan “Rasio” tetapi paling tidak dapat dikatakan bahwa “Rasa” agama kita masih belum teralisasi dalam kenyataan hidup sehari-hari. Sepertinya antara penampakan perilaku beragama (raga), dan pernyataan melalui pengetahuan agama (rasio) tidak sinkron dengan “Rasa” agama yang dituntut ajaran agama. Contoh kecil, ketika seorang umat melakukan persembahyangan di sebuah pura dengan penampilan busana dan tata rias serta “haturan” bernilai mahal ditambah berlatar belakang pelajar/intelektual, tetapi begitu tahu dompetnya hilang di areal pura langsung misuh dan memedih. Atau pada saat seorang yang dianggap ahli/pakar agama diundang menyampaikan dharmawacana, begitu tidak tahu ada honor atau honornya tidak sesuai harapan kontan protes.

Ini baru contoh kecil. Ketika ada contoh besar seperti kejahatan kian merajalela, korupsi bertambah hebat, kemorosotan moral semakin ngetrend, dan dilakukan oleh orang beragama, maka bukan salahnya ajaran agama tetapi kekeliruan kita yang lebih senang menonjolkan “Raga” dan “Rasio” sehingga ibarat makanan sama sekali tidak ada “rasa”, hambar atau campah.