Selasa, 24 Agustus 2010

Padmasana, "Stana" Hyang Widhi

Padmasana merupakan bangunan suci untuk men-stana-kan Ida Sanghyang Widhi sebagai simbolis dan gambaran dari makrokosmos atau alam semesta (buana agung). Bangunan suci ini dapat dijumpai hampir di seluruh bangunan suci Hindu di Bali maupun di luar Bali -- dari Pura Kawitan, Kahyangan Desa, Swagina, sampai Kahyangan Jagat. Bahkan, bangunan suci ini ditempatkan sebagai pelinggih utama. Namun, bangunan suci ini masih banyak menyimpan misteri simblolis dan filosofis yang perlu dikupas lebih dalam. Lantas, apa sebenarnya perbedaan padmasana, padma kurung, padmasari atau padma campah?
DI Lontar "Dwijendra Tattwa" disebut, pelinggih berbentuk Padmasana dikembangkan oleh Danghyang Dwijendra, atau (nama lainnya) Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wawu Rauh. Dia datang ke Bali pada tahun 1489 M pada periode pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (1460-1550 M) dengan tujuan untuk menyempurnakan kehidupan agama di Bali.

Sebelum kedatangannya, agama Hindu di Bali telah berkembang dengan baik -- penduduk memuja Hyang Widhi terbatas dalam kedudukan-Nya secara horizontal. Ajaran itu diterima dari para maharsi yang datang ke Bali sejak abad ke-8, seperti Rsi Markandeya, Mpu Kuturan, Danghyang Siddimantra, Danghyang Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, dan Mpu Bharadah. Bentuk-bentuk pelinggih sebagai simbol atau niyasa ketika itu hanya Meru Tumpang Tiga, Kemulan Rong Tiga, Bebaturan, dan Gedong. Pura-pura di Bali pada saat itu tidak ada yang memakai Padmasana, kondisi ini sampai sekarang masih dijumpai terutama pada pura-pura kuno di Bali.
Disebutkan, pada saat memasuki Pulau Bali, Danghyang Dwijendra masuk ke dalam mulut naga besar dan di dalamnya ia melihat bunga teratai sedang mekar tanpa sari. Hal ini menggambarkan, naga itu adalah Naga Anantabhoga yang merupakan simbol dari Pulau Bali. Agama Hindu sudah berkembang di Bali dengan baik tetapi pemujaan hanya ditujukan kepada dewa-dewa sebagai manifestasi Ida Sanghyang Widhi. Dewa-dewa inilah yang disimbolkan sebagai daun bunga teratai yang mekar tanpa sari.

Danghyang Nirartha lalu menganjurkan penduduk Bali menambah bentuk pelinggih berupa Padmasana, menyempurnakan simbol (niyasa) yang mewujudkan Hyang Widhi secara lengkap ditinjau dari segi konsep horisontal maupun vertikal. Sehingga, pembangunan Padmasana dapat menjernihkan kekaburan yang terjadi secara fisik bangunan antara pelinggih pemujaan untuk Hyang Widhi dan pelinggih untuk roh suci leluhur yang terjadi saat itu. Sehingga kini, Padmasana dapat dijumpai di seluruh pura di Bali maupun luar Bali sebagai bangunan pelinggih utama.

Makna dan Simbol

Padmasana berasal dari bahasa Kawi, padma artinya bunga teratai, batin, atau pusat. Sedangkan asana artinya sikap duduk, tuntunan, nasihat, atau perintah (Prof. Drs. Wojowasito, 1977). Padmasana berarti tempat duduk dari teratai merah sebagai stana suci Tuhan Yang Maha Esa (I Made Titib, 2001). Berdasarkan dua pendapat ini, bahwa bunga teratai adalah simbol dari tempat duduk dari dewa-dewa dan Hyang Widhi sehingga Padmasana tidak lain dari gambaran alam semesta (makrokosmos) yang merupakan stana dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Dalam Lontar "Padma Bhuana", Mpu Kuturan menyatakan bahwa Bali sebagai Padma Bhuwana. Bunga teratai (padma) dijadikan simbol alam semesta stana Hyang Widhi yang sebenarnya. Dalam Lontar "Dasa Nama Bunga" disebut, bunga teratai adalah rajanya bunga (Raja Kesuma) karena hidup di tiga alam -- akarnya menancap di lumpur, batangnya di air, sedangkan daun dan bunganya di atas air (udara). Karenanya, bunga ini adalah simbol Tri Loka atau Tri Bhuwana Stana Hyang Widhi Wasa dan bunga daunnya yang berlapis-lapis sebagai perlambang dari sembilan arah penjuru mata angin alam semesta (I Ketut Wiana, 2004).

Posisi padmasana adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak kaki dilipat ke atas, sehingga tampak seperti posisi yang berbentuk lingkaran. Mungkin ini tidak sesuai dengan apa yang terlihat di lapangan, bahkan pada bagian puncak Padmasana tampak berbentuk singhasana berbentuk kursi persegi empat. Hal ini akan terjawab kalau orang memperhatikan pesimpen pancadatu atau pedagingan yang ditanamkan di dasar, di madya, maupun di puncak dari Padmasana (Cudamani, 1998).

Isi pedagingan pesimpen itu, terutama pedagingan puncak yang berbentuk padma terbuat dari emas, diletakkan paling atas di atas singhasana yang berbentuk kursi persegi empat ini. Karena ditanam, meskipun terletak di puncak, benda itu tidak terlihat dari luar. Rupanya pedagingan berbentuk padma dari emas inilah yang memberi nama bangunan itu sehingga bernama Padmasana -- Dewa-dewa dan Ida Sang Hyang Widi bertahta di atasnya.

Simbol dari Padmasana menggambarkan tingkatan alam yaitu Tri Loka (bhur, bwah dan swah). Hal ini terlihat dari Bhedawang Nala dengan dua naga (Anantabhoga dan Basuki) melambangkan alam bawah (bhur loka), badannya (padma termasuk singhasana) melambangkan atmosfer bumi (bwah loka). Sedangkan swah loka tidak dilukiskan dalam wujud bangunan tetapi di dalam pesimpen pedagingan yang berwujud padma dan di dalam puja yang dilukiskan dengan "Om Padmasana ya namah dan Om Dewa Pratistha ya namah."

Bentuk dan Fungsi

Bentuk bangunan Padmasana serupa dengan candi yang dikembangkan dengan pepalihan. Padmasana tidak menggunakan atap. Bangunannya terdiri dari bagian-bagian kaki yang disebut tepas, badan atau batur dan kepala yang disebut sari.

* Pada bagian kaki (dasar) terdapat ukiran berwujud Bedawang Nala (empas atau kura-kura) yang dibelit Naga Anantaboga dan Naga Basuki. Kemudian juga ada ukiran bunga teratai dan karang asti (gajah).

* Pada bagian badan (tengah) terdapat ragam hias berupa pepalihan, karang goak, simbar, karang asti, burung garuda, angsa, dan patung dewa-dewa astadikpalaka (dewa-dewa penjaga kiblat arah angin) seperti Dewa Iswara (timur), Brahma (selatan), Mahadewa (barat), Wisnu (utara), Maeswara (tenggara), Rudra (barat daya), Sankara (barat laut) dan Sambhu (timur laut) dan dewa ini membawa senjata sesuai dengan atributnya. Ada juga Padmasana dengan burung garuda yang mendukung Dewa Wisnu membawa tirta amerta seperti Padmasana di Pura Taman Ayun.

* Pada bagian kepala (sari) terdapat singhasana yang diapit naga tatsaka yang terbuat dari paras yang diukir sesuai bentuknya. Pada belakangnya terdapat ulon yang bagian tengahnya terdapat ukiran lukisan Sang Hyang Acintya atau Sang Hyang Taya sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang Widhi. Lukisan ini menggambarkan sikap tari dari dewa Siwa yang disebut dengan Siwa Natyaraja dalam menciptakan alam semesta.

Fungsi utama Padmasana adalah sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Di situlah Tuhan dipuja dalam fungsinya sebagai jiwa alam semesta (makrokosmos) dengan segala aspek kemahakuasaanya. Padmasana adalah niyasa atau simbol stana Hyang Widhi dengan berbagai sebutannya -- Sanghyang Siwa Raditya (dalam manifestasi yang terlihat/dirasakan manusia sebagai matahari atau surya) dan Sanghyang Tri Purusa (dalam tiga manifestasi yang manunggal yaitu sebagai Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa). Di Pura Besakih ada Padmasana berjejer tiga, di situ di-stana-kan Parama Siwa (tengah), Sadasiwa (kanan) dan Sang Hyang Siwa (kiri).

Memperhatikan makna niyasa tersebut, jelaslah bahwa makna Padmasana adalah niyasa yang digunakan Hindu dari sekte Siwa Sidhanta karena sentral manifestasi Hyang Widhi yang menjadi pujaan utama adalah sebagai Siwa. Danghyang Nirartha yang mengembangkan bentuk niyasa Padmasana adalah pandita dari kelompok Hindu sekte Siwa Sidhanta. Sedangkan Padmasari dan Padmacapah dapat ditempatkan menyendiri yang berfungsi sebagai pengayatan atau penyawangan.

* nk acwin dwijendra

Penulis adalah Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, ST, MA, dosen Fakultas Teknik Jurusan Teknik Arsitektur, Universitas Udayana.