Selasa, 24 Agustus 2010

Konsep tentang Tuhan & Dewa (dr Berbagai Sumber)

Om Swastyastu
BRAHMAN

Upanisad mengatakan bahwa :
1. Brahman adalah neti neti. Brahman bukan ini dan bukan itu. Brahman tidak dapat dikatakan begini atau begitu oleh karena Brahman adalah nirguna atau tidak bersifat.
2. Sebagai sumber dari segala sesuatu Brahman memiliki sifat Sat (keberadaan), Cit (kesadaran) dan Ananda (kebahagiaan). Brahman berarti keberadaan yang kekal, kesadaran murni dan kebahagiaan tertinggi.
Bagaimana dua hal yang bertentangan dalam pernyataan Upanisad ini dapat dijelaskan ?
Menurut Sankara Brahman memiliki dua rupa, yaitu rupa yang lebih tinggi (para rupa) dan rupa yang lebih rendah (apara rupa). Brahman dengan rupa yang lebih tinggi adalah Brahman tanpa sifat (Nirguna), Brahman tanpa bentuk (Nirkara) dan Brahman tanpa pembatasan (Nirupadhi) yang dinamakan Para Brahman atau Nirguna Brahman.
Isvara adalah merupakan Brahman yang lebih rendah yang mengganggu sekali para penganut Advaita atau para penganut Sankara. Menurut sebagian dari mereka Isvara merupakan refleksi dari Brahman dalam avidya. Sedangkan merurut kelompok yang lain Isvara adalah Brahman yang terbatas yang terkondisikan oleh maya. Brahman yang terbatas oleh internal organ atau antah karana atau upadi produk dari avidya disebut Jiva.(Purusatraya, Hal.7). Isvara yang dibatasi sendiri oleh kekuatannya sendiri dan tampak sebagai sang diri dalam jumlah banyak. Seperti halnya “ruang” yang pada dasarnya satu kemudian tampak sebagai ruang-ruang lain, priuk-priuk, kendi-kendi ataupun kotak-kotak. Isvara yang penuh pengetahuan (omniscience) bukan merupakan tujuan akhir karena pada saat kesatuan yang hakiki terjadi antara atman dan Brahman maka semua itu akan menghilang. Dengan demikian penciptaan bukan merupakan tujuan terakhi karena ia bukan merupakan realitas terakhir. Brahman adalah satu-satunya realitas, absolut , tidak terbagi,tidak dua ada di luar pikiran dan pembicaraan. Ia tidak dapat dijelaskan kerena tidak ada penjelasan yang memadai dan lengkap tentang DIA. Uraian yang terbaik menurut Sankara adalah lewat pernyataan yang negatif yaitu “neti neti” yaitu tidak ini dan tidak itu. Berbicara masalah sebab akibat maka sebab akibat itu masih dapat dinegasi karena ia tidak riil. Penyebam yaitu Brahman itu sendiri tidak dapat dinegasi karena ia adalah landasan terakhir dimana “akibat-akibat” bertumpu padanya. Isvara menjadi tidak riil hanya bagi mereka yang telah menyadari bahwa Isvara dan Brahman adalah satu yang muncul melampaui pikiran dan pembicaraan. Bagi kita sebagai roh yang terkondisikan maka Isvara adalah all in all (semua dalam semua). Pikiran kita yang terbatas tidak akan mampu mencapai Brahman. Bila ada pembicaraan mengenai Brahman adalah pembicaraan mengenai Isvara, walaupun kata-kata itu adalah Brahman yang tak terkondisikan tapi kenyataannya kita mengacu kepada Isvara yang terkondisikan. Kalau kita berbicara masalah Brahman maka ia akan berhenti sebagai Brahman tapi menjadi Isvara, Brahman yang lebih rendah yang berbeda dengan Brahman yang lebih tinggi.
Isvara adalah sat cit ananda. Ia adalah pribadi yang sempurna. Ia adalah Tuhan dari Maya. Ia imanen dalam keseluruhan alam semesta yang ia kontrol dari dalam. Ia adalah roh dari roh-roh termasuk roh dari alam. Ia juga transenden terhadap alam semesta. Ia merupakan sumber dari segala sesuatu, ia pemilik final dari segala sesuatu. Ia adalah inspirasi dari kehidupan moral. Ia adalah obyek yang disembah. Ia adalah keseluruhan dari hal-hal praktis. (Purusatraya, Hal.7).
Brahman dengan rupa yang lebih rendah adalah Brahman yang memiliki sifat-sifat atau menggunakan pembatasan-pembatasan. Saguna Brahman merupakan konsep yang mengganggu bagi pengikut Sankara. Menurut beberapa dari pengikutnya Saguna Brahman atau Isvara merupakan refleksi dari Brahman dalam avidya. Brahman yang dibatasi oleh avidya atau internal organ atau antah karana atau upadi-upadi. Pengikutnya yang lain mengatakan bahwa Isvara adalah Brahman yang terkondisikan oleh maya. Isvara dibatasi oleh kekuatannya sendiri sebagai sang diri yang menampakkanndirinya dalam jumlah yang banyak. Ibaratkan sebagai ruang yang pada dasarnya hanyalah satu kemudian tampak banyak sebagai ruang-ruang lainnya yang berbeda beda seperti ruang dalam priuk-priuk, ruang dalam kendi-kendi ataupun ruang dalam kotak-kotak.(HK). Tujuannya adalah agar dapat memenuhi keinginan manusia memuja, karena manusia melihatnya sebagai Tuhan (Iswara) yang menjadikan Dunia ini. Sankara percaya bahwa pertanyaan mengenai ekaistensi Tuhan adalah sesuatu yang absurd. Jika Tuhan ada, maka Ia harus ada seperti halnya obyek-obyek lainnya, sehingga Tuhan direduksi pada level yang terbatas, yang semata-mata menjadikannya satu bagian dari yang tak terbatas. (SR. Vol.2 Hal.542). Dunia merupakan Sakti (kekuatan gaib) dari Brahman, Dunia adalah Maya (semu). Ia dinamakan Apara Brahman atau Saguna Brahman.
Saguna Brahman menampakkan diri sebagai Iswara pencipata alam semesta. Alam semesta
Brahman menurut Sankara disadari secara eksklusif lewat Jnana, tidak melalui jalan Bhakti. Sadar akab Brahman atau Moksa adalah sepenuhnya vairagya, renunciation adan meditasi pada mahavakya “Tat Tvam Asi” aku adalah Brahman. Aku lebur didalam Brahman, menyatu dengan Brahman.
Menurut filsafat Nyaya
Tuhan dinyatakan sebagai penyebab operatif dari penciptaan, pemeliharaan dan penghancuran dari alam semesta. Tuhan tidak menciptakan alam semesta dari kekosongan atau dari dirinya tetapi dari atom-atom kekal dari ruang, waktu, pikiran dan roh. Penciptaan alam semesta mengacu kepada pesanan kepada entitas yang kekal ini yang ada bersama Tuhan di dunia kematian ini. Dengan demikian Tuhan sebagai penyebab operatif pertama dari kekuatan alam semesta, yang merupakan pencipta dari dunia ini. Dan Tuhan juga pemelihara, seperti halnya ia penyebab dari atom-atom untuk menjaga kesatuan dan meneruskan eksistensi dalam suatu pesanan khusus yaitu menjaga alam semesta fisik ini. Tuhan juga sebagai penghancur alam semesta karena ia melepaskan kekuatan penghancurnya ketika dimana pada saat energi dari dunia kematian ini membutuhkannya. Tuhan itu satu, tak terbatas, kekal dan merupakan alam semesta dari ruang dan waktu, pikiran dan roh, dan tidak menyebabkan ia terbatas. Tuhan dikatakan memiliki enam kesempurnaan yaitu : kemuliaan tak terbatas, kedaulatan yang absolut, kebajikan tanpa syarat, keindahan yang agung, pengetahuan sempurna dan ketidakterikatan yang penuh.
Filsafat Nyaya memiliki banyak argumentasi untuk membuat teori tentang Tuhan. Yang pertama adalah argumentasi kausal, atau Bukti Kosmologis. (Harun, Hal.57). Menurut jalannya penalaran ini, keseluruhan alam semesta dibentuk oleh kombinasi atom-atom. Gunung, dataran, sungai, harus memiliki penyebab dimana ia dibuat dari bagian-bagian, memiliki ukuran yang terbatas dan tidak memiliki kecerdasan. Dengan demikian ia bukan merupakan penyebab dari dirinya sendiri, ia membutuhkan pengarahan dari suatu penyebab yang cerdas. Setiap penyebab adalah juga akibat dari penyebab yang terdahulu yang kembali akan menghasilkan akibat dan penyebab lain. Sebagaimana dunia ini tidak ada awalnya begitu pula deretan sebab akibat, sehingga harus ada penyebab yang tidak disebabkan yang disebut Tuhan. (SR, Hal.166). Ini persis sama dengan salah satu jalan dari lima jalan yang dibuat oleh Thomas Aquinas (1225-1274) yaitu jalan ke dua yang dirumuskan sebagai berikut : “Jelas tampak bahwa pada obyek-obyek yang diindra terdapat suatu susunan teratur sebab-sebab efisien; tidak masuk akal dan juga tidak mungkin bahwa sesuatu menjadi sebab efisien bagi dirinya, karena kalau terjadi demikian sesuatu harus ada sebelum dirinya dan itu tidak mungkin. Tidak mungkin pula bahwa rangkaian sebab-sebab efisien berkelanjutan sampai tak terbatas…Jadi, adalah mutlak perlu suatu sebab efisien yang pertama. Sebab efisien yang pertama, orang menamakannya Tuhan. (Margareta Hal.36). Sungguh menarik suatu argumentasi yang sama yang dicetuskan dalam perbedaan waktu hampir 15 abad setelah Nyaya melontarkannya. Lebih lanjut Nyaya mengatakan bahwa penyebab yang cerdas itu harus memiliki pengetahuan langsung mengenai semua materi dan atom-atom yang berada di dalam semua materi itu. Ia harus bersifat omnipresent dan omniscient. (SR, Hal.169). Entitas yang cerdas ini bukan merupakan roh yang individual karena pengetahuan dari roh individual itu terbatas, roh individual ini tidak memiliki pengetahuan tentang roh-roh yang lainnya. Maka dari itu harus ada suatu entitas dengan kecerdasan yang terakhir yang kita sebut sebagai Tuhan.
Argumentasi yang kedua berdasarkan atas adrsta yang artinya “sesuatu yang tak terlihat” atau “yang tak diketahui” dan barangkali diterjemahkan sebagai pemelihara yang baik atau nasib. Bukti ini juga disebut Bukti Teleologis. (Harun, Hal.57). Para filsuf Nyaya dihadapkan pada suatu pertanyaan : “ Mengapa beberapa orang bahagia dan sebagian yang lainnya tidak bahagia ? Mengapa sebagian orang adalah bijaksana dan sebagian lagi bodoh ?”. Dari pertanyaan ini kita tidak dapat mengatakan bahwa semua itu tidak ada penyebabnya. Semua kejadian ada sebabnya. Penyebab dari sakit dan nikmat adalah sebagai akibat dari perbuatan orang itu sendiri dalam kehidupan ini atau dalam kehidupan-kehidupannya yang terdahulu. Manusia menikmati atau mederita berdasarkan atas hasil baik dan hasil buruknya dari perbuatan baik dan buruk dalam kehidupannya yang lalu. Hukum karma ini mengatur kehidupan setiap roh individu dan perlu agar setiap manusia harus menuai buah-buah dari perbuatan-perbuatannya.
Sering terjadi kurun waktu yang begitu panjang antara suatu perbuatan dengan akibat-akibatnya walaupun banyak kenikmatan dan kesengsaraan tidak dapat dilacak kepada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam hidup ini. Seperti halnya banyak perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam kehidupan ini tidak menghasilkan buahnya secara langsung. Kesan-kesan kecil dari semua perbuatan-perbuatan dari seseorang berlangsung jauh setelah perbuatan-perbuatan itu dilakukan dan dikumpulkan dalam roh berbentuk kredit atau nilai (punya) dan kekurangan atau cela (papa). Jumlah antara yang baik dan yang kurang yang muncul dari perbuatan-perbuatan baik dan tidak baik disebut adrsta. Adrsta bukanlah suatu prinsip kecerdasan. Maka dari itu harus ada petunjuk atau pengarahan oleh suatu agent yang cerdas yang dapat menghasilkan konsekwensi yang sesuai. Roh individual tidak dapat dikatakan sebagai yang mengarahkan dan mengontrol adrsta, karena roh-roh individual itu tidak tahu tentang adrstanya. Maka dari itu agent kecerdasan yang maha cerdas memandu dan mengarahkan adrsta lewat terminal yang pantas (channel) menghasilkan konsekwensi yang pantas adalah kekal, omnipotent dan omnipresent, supreme being yang disebut Tuhan.
Argumentasi Nyaya yang ketiga tentang eksistensi Tuhan berdasarkan atas kesaksian kitab suci atau Bukti Teologis berdasarkan keimanan. Menurut penalaran ini Veda, Upanisad dan semua kitab-kitab otoritas menyatakan eksistensi dari Tuhan. Kitab-kitab suci ini tidak ditulis oleh orang sembarangan tapi ditulis oleh Maha Resi yang mengalami kebenaran dari dalam. Dengan demikian otoritas dari kesaksian tergantung dari pengalaman langsung, yang merupakan satu-satunya sumber pengetahuan tentang semua fakta. Fakta tentang eksistensi Tuhan dialami secara langsung oleh roh-roh individual dan beberapa dari individu itu mengekspresikan kesadarannya tentang Tuhan. Veda adalah ekspresi dari pengalaman langsung tentang Tuhan. Maka dari itu , Tuhan ada.
Menurut Yoga Patanjali
Patanjali menerima eksistensi Tuhan (Isvara) dimana Tuhan menurut dia adalah the perfect supreme being yang abadi, meliputi segalanya, maha kuasa, maha tahu dan maha ada. Tuhan adalah Purusa yang khusus yang tidak dipengaruhi oleh kebodohan, egoisme, nafsu, kebencian dan takut akan kematian. Ia bebas dari karma , karmaphala dan impressi-impressi yang sifatnya latent. Patanjali menganggap bahwa individu-individu memiliki esensi yang sama dengan Tuhan, akan tetapi oleh karena ia dibatasi oleh sesuatu yang dihasilkan oleh keterikatan dan karma maka ia berpisah dengan kesadarannya tentang Tuhan dan menjadi korban dari dunia material ini. Tujuan dari aspirasi manusia bukanlah bersatu dengan Tuhan tetapi pemisahan yang tegas antara purusa dengan prakrti. (SR, Hal. 371). Hanya ada satu Tuhan. Menurut Vijnanabhisu : “ Dari semua jenis kesadaran meditasi, bermeditasi kepada Kepribadian Tuhan adalah meditasi yang tertinggi “ ( SR, Hal 372). Ada bebagai obyek yang dijadikan sebagai pemusatan meditasi yaitu bermeditasi pada sesuatu yang ada di luar diri kita, bermeditasi kepada suatu tempat yang ada pada tubuh kita sendiri dan yang tertinggi adalah bermeditasi yang di pusatkan kepada Tuhan. Kebodohan menyatakan bahwa ada dualisme dari satu realitas yang disebut Tuhan. Ketika kebodohan dihilangkan oleh pengetahuan maka dualisme hilang dan kesatuan penuh akan dicapai. Ketika seseorang mengatasi kebodohan maka dualisme hilang maka ia menyatu dengan The Perfect Single Being tetapi kesempurnaan The Single Being itu selalu ada dan tetap tersisa sebagai sesuatu yang sempurna dan satu. Tak ada perubahan dalam lautan, seberapa banyakpun sungai-sungai yang mengalirkan airnya dan bermuara padanya. Ketidak berubahan adalah keadaan dasar dari kesempurnaan.
Konsep Dewa-Dewi
Saintis modern telah mengembangkan persamaan matematik dan hokum-hukum ilmiah untuk menguraikan keteraturan dan ketaatan alam semesta, yang oleh karenanya akan menambah kekuatan manusia dan mengontrol fenomena-fenomena alam semesta. Seperti halnya para bijaksana dalam veda mengembangkan kekuatan tak terhingga dari pengetahuan yang mendasari keteraturan, ketaatan, struktur dan dinamis dari fenomena dunia ini. Menurut filsafat Purwa Mimamsa pengontrol yang bersifat universal yang luar biasa dan menjaga keteraturan universal yang dipahami secara ilmiah dengan suara dari mantra-mantra. Dewa-dewa merupakan bentuk personifikasi dari prinsip-prinsip yang sesuai dengan pola-pola getaran atau vibrasi dari suara mantra. Bagi orang yang tidak terpelajar E = MC2 hanyalah garis-garis teratur yang tidak ada artinya pada secarik kertas. Tapi bagi mereka yang mengerti dengan baik tentang fisika rumus itu dapat membantu seseorang memahami hakekat dan dinamika dari alam semesta. Purwa Mimamsa memiliki sebuah konsep dalam mantra-mantra veda yang mirip dengan apa yang dilakukan oleh para ahli fisika dengan rumus-rumusnya.
Beberapa kritik dari filsafat Purwa Mimamsa menuduh bahwa sistim itu mempromosikan politeisme, tetapi didasarkan pada satu kesatuan. Para penganut Mimamsa percaya bahwa kesadaran yang meliputi segalanya yang memanifestasikan dirinya dalam tahapan yang berbeda, dimana masing-masing mempunyai bentuk (dewa) dan getaran suara (mantra) yang berbeda. Dengan demikian akan ada keanekaragaman dewa-dewi dan mantra yang menunjukkan kesatuan kesadaran. Proses dari manifestasi mulai dengan munculnya bentuk-bentuk yang sangat halus dimana dari sanalah terjadi yang lebih kasar. Proses ini diuraikan dalam berbagai jalan di dalam kitab yang berbeda. Dalam tradisi veda prototype dari entitas dilibatkan sebagai dewa-dewi yang sifat-sifatnya menunjukkan suatu sifat superhuman tertentu. Dewa-dewi dalam veda diturunkan dari sumber energi yang menghasilkan semua wujud-wujud dan nama-nama. Para penganut Purwa Mimamsa melihat dewa-dewa itu sebagai bentuk pemikiran yang menampilkan kekuatan-kekuatan kosmis. Menurut filsafat Purwa Mimamsa tidak mamandang dewa-dewa itu sebagai yang identik dengan wujud-wujud fisik tertentu. Apabila dewa-dewa itu berbadan fisik maka satu dewa tidak akan dapat tampil atau hadir dalam banyak upacara-upacara yang dilakukan di tempat yang berbeda-beda dan dalam waktu yang berbeda-beda pula. Adalah keliru bila kita menyimpulkan bahwa Purwa Mimamsa befikir bahwa bentuk-bentuk dari dewa-dewa itu hanyalah imajinasi saja. Dalam filsafat ini dewa-dewa mewujudkan diri dalam bentuk yang prima dan bentuk suara (mantra) menghasilkan karunia dan kebahagiaan yang sempurna melewati pengalaman duniawi. Kelihatan bahwa dewa dan mantra adalah dua prinsip operasional yang berbeda dan dalam level yang berbeda, namun dalam realitas keduanya itu adalah satu dan sama. Dewa adalah wujud jasmani kasar dari mantra dan mantra adalah bentuk halus dari dewa. Bila vibrasi-vibrasi sebuah mantra di materiilkan dalam sebuah bentuk atau wujud, itulah yang disebut dewa. Sebaliknya suatu bentuk yang material dapat dinonmaterialkan dan diredukasi dalam vibrasi dengan suatu frekwensi tertentu yang akan didengar sebagai sebuah mantra.
Ada suatu aturan bahwa bagaimana suatu mantra menjadi dewa dan sebaliknya bagaimana dewa berubah menjadi mantra. Keduanya baik mantra-mantra maupun dewa-dewa beroperasi dengan cara yang sama seperti perubahan energi menjadi materi dan sebaliknya materi menjadi energi seperti halnya dalam ilmu fisika. Dimana saja dalam suatu upacara tertentu dilaksanakan dengan mempergunakan mantra-mantra secara benar maka dewa yang berhubungan dengan mantra itu akan hadir pada saat getarannya atau vibrasinya dikonsentrasikan maka wujud material dari dewa akan ditampilkan. Jadi menurut pemikiran Purwa Mimamsa munculnya dewa-dewa itu bukan karena karunia dari dewa-dewa itu tapi dewa-dewa itu muncul ketika mantra-mantra yang berhubungan dengannya diucapkan sebagaimana mestinya maka akan menhasilkan obyek-obyek yang diinginkan yang dipercaya akan dipenuhi. Ahli filsafat Purwa Mimamsa memiliki kepercayaan penuh bahwa kekuatan-kekutan kosmis dapat dimanfaatkan sesuai dengan keinginan kita dengan melaksanakan upacara dengan benar. Purwa Mimamsa membagi tujuan upacara menjadi dua yaitu : untuk mendapatkan dan meningkatkan inner potential seseorang dan menyatukannya dengan kekuatan kosmis dan yang kedua adalah untuk menunjukkan penghormatan dan rasa terima kasih kepada kekuatan kosmis yang secara terus menerus mendukung dengan penerangan dan kehidupan kepada semua mahluk hidup. Inilah yang merupakan kewajiban tertinggi dari setiap orang dan tidak dapat dipisahkan dari bagian kehidupannya.
Semoga Bermanfaat
Om Santih Santih Santih Om
by: I Wayan Sudarma