Selasa, 24 Agustus 2010

TRIGUNA DAN PENUNDUKANNYA

Dia yang memandang sama antara kehormatan dan kehinaan (duniawi), memandang dan bersikap sama kepada teman maupun lawan, serta melepaskan semua kegiatan usaha, disebut telah mengatasi triguna (gunatitah). ~ Bhagavad Gita XIV-25.


MELIHAT KEHADIRAN TRIGUNA DI SEKELILING KITA

Diantara ketiga jenis makhluk hidup penghuni dunia yang paling mudah diketahui dan diamati, yakni manusia, binatang dan tetumbuhan, maka manusialah yang bermartabat paling tinggi. Tetumbuhan, didominasi oleh guna tamas; sementara binatang, didominasi oleh guna rajas.

Dibandingkan dengan binatang, tetumbuhan nyaris tidak mungkin berpindah-pindah tempat untuk mencari tempat yang paling sesuai untuk tumbuh dan berkembang. Mereka sepenuhnya tergantung pada kemurahan alam, binatang dan manusia. Merak juga tidak dapat mempertahankan atau membela dirinya terhadap tindakan semena-mena yang dilakukan oleh makhluk lainnya terhadap mereka. Apa yang dapat mereka lakukan bagi dirinya terhadap kesemana-mena makhluk lain dan alam hanyalah 'pasrah'. Tak ada komunitas dan kesetiaan kelompok diantara mereka, seperti pada binatang dan manusia, kendati mereka hidup berkelompok dalam jumlah besar pada area yang sama. Berrebut dalam mengisap makanan dari udara dan media dimana mereka hidup, dimana 'hukum rimba' —yang besar yang kuat akan keluar sebagai menang— bukanlah sesuatu yang aneh di kalangan mereka. 'Parasitisme'-pun lumrah di kalangan mereka, dalam rangka mempertahankan hidup. Kendati terlihat adanya fenomena simbiosis diantara sesamanya atau dengan binatang, namun itu tidaklah lumrah dan bukan atas inisiatif-nya, bukan atas suatu kesadaran, sesuatu yang samasekali tak mereka miliki. Mereka bisa berkembang biak, seperti juga makhluk hidup lainnya, namun mereka tak punya kemampuan untuk melindungi keturunannya. Kecuali bilamana alam telah sedemikian tidak ramahnya lagi bagi kehadiran mereka, maka mereka masih bisa bertahan untuk tidak punah.

Semua ini, apa-apa yang dapat kita amati dari keberadaan tetumbuhan adalah contoh yang paling konkret dari sifat tamasik. Bila kita mengalami kesulitan dalam melihat bagaimana contoh dari dominasi guna tamas ini dalam diri kita, maka tetumbuhan dapat dijadikan guru sekaligus objek yang baik untuk diamati.

Binatang mempertunjukkan pada kita dengan jelas dan murah untuk diamati bagaimana bila dominasi guna rajas sedemikian kuatnya. Berrebut adalah ciri utama kehidupan binatang. Guna mempertahankan-hidupnya, mereka berbasis pada kekuatan, tenaga yang besar dan keganasannya. Yang besar menundukkan yang kecil, yang kuat menundukkan yang lemah adalah hukum rimba yang lumrah dalam kehidupan binatang. Dalam kehidupan berkelompok, mereka telah mengenal sistem pimpinan dan anak-buah. Pada sementara binatang yang komunal, seperti semut, lebah dan tawon, bahkan kita melihat adanya suatu sistem pembagian kerja,
kerja-sama dan gotong-royong yang baik. Mungkin manusia bisa belajar dan
menirunya lagi dari mereka. Namun, kekuasaan sang pemimpin belaku mutlak dalam komunitas mereka. Pergantian pemimpin bisa berarti pertarungan sampai mati, antara yang lama dengan penggantinya yang baru. Mereka bisa berpindah-pindah atau kesana-kemari mencari makan. Merekapun bisa melindungi anak-anaknya, menyediakan sarang, menyusui, menyuapi dan mengupayakan pakan bagi anak-anak sampai usia tertentu. Dalam hal ini tak banyak bedanya dengan manusi bukan? Bahkan, dari penelitian yang dilakukan oleh banyak akhli biologi, beberapa spesies diantaranya ada yang punya kecerdasan. Dan ini bisa kita amati langsung di sekitar kita. Sebuah acara di sebuah stasiun televisi swasta —Planet Satwa— merupakan cara yang mudah untuk mengamati kehidupan mereka. Pendeknya, banyak kemiripan antara binatang dengan manusia.

Nah...apa-apa yang tidak bisa atau tidak biasa dilakukan oleh tetumbuhan (tamasik) dan binatang (rajasik), namun bisa dan biasa dilakukan oleh manusia adalah penciri kita dan pembeda kita dengan mereka. Selama apa-apa yang dapat teramati pada mereka --tetumbuhan dan binatang-- masih tampak dominan pada diri kita, maka kita masih didominasi oleh sifat-sifat tamas dan rajas. Artinya, kita belum benar-benar berevolusi secara batiniah, secara spiritual, untuk layak disebut manusia seutuhnya, yang bersifat sattvik. [baca juga: Tiga Sifat Dasar dalam Kelima Selubung Maya]

CADHUSAKTI BAGI MANUSIA SEJATI

Hadirnya kecerdasan (buddhi) dan kemampuan olah-pikir serta olah-batin —bukan sekedar olah-raga atau olah-tubuh— adalah penciri utama umat manusia. Tidak cukup sampai disitu saja, manusiapun dapat mengembangkan dan terus menerus menyempurnakan kecerdasannya, melalui metode-metode yang diciptakannya sendiri. Inilah keunggulan dan 'senjata ampuh' (sakti) manusia yang sangat signifikan. Manusia bisa merancang masa depannya, bisa memperbaiki nasibnya, bisa menyempurnakan kelahirannya.

Manusia bisa mencipta, memelihara, memperbaiki pun menghancurkan yang usang untuk digantikan dengan yang baru serta berbuat banyak (kriyasakti), menggunakan kecerdasannya. Manusia bisa mengupayakan dan menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi (jñanasakti). Menggunakan sains dan teknologi yang dikuasainya itu, manusia juga bisa --hingga batas-batas tertentu-- membebaskan dirinya dari dominasi alam materi, untuk tidak selalu didikte olehnya, bahkan menundukkannya untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Dengan kecerdasannya pula, manusia bisa memilih yang baik diantara yang buruk, bahkan yang terbaik diantara yang baik; membedakan antara yang salah dan yang benar; memilih dan memilah antara yang patut dan yang pantas. Manusia memimpin makhluk hidup lain dan sesamanya, mengendalikan hingga batas-batas tertentu dan memelihara lingkungan hidupnya (prabhusakti). Manusia bisa mengembangkan budayanya sendiri, yang dipandang baik, bermanfaat bagi dirinya sehubungan dengan nilai-nilai kepatutan dan kepantasan.

Menggunakan kecerdasannya dan jñanasakti-nya itu pulalah manusia telah menciptakan teknologi tele —seperti: telegram, telepon, televisi— yang memungkinkan manusia bisa (seakan-akan) ada dimana-mana pada saat yang bersamaan (wibhusakti) kini. Anda bisa berbincang-bincang dan bertatap muka dengan siapapun dan di belahan dunia manapun pada saat ini, dengan relatif mudah. Kini, bahkan kita bisa berada secara fisikal di kelima benua, hanya dalam sehari saja. Teknologi penerbangan yang sudah sedemikian pesat perkembangannya, memungkinkannya.

Keempat kemampuan hebat (sakti) manusia ini, digambarkan sebagai 'senjata ampuh', Pasupati atau Cadhusakti, anugerah Hyang Sadha Siva kepada Arjuna, si manusia sakti. Nyaris semua 'fiksi ilmiah' yang tertuang dalam mithologi-mithologi kuno dan Itihasa —Ramayana dan Mahabharata— telah bisa diwujudkan oleh manusia kini, guna mempermudah hidupnya. Dan sekali lagi, kecerdasan atau buddhi-nyalah yang berperan disini. Bukankah ini suatu anugerah-Nya yang sangat mengagumkan bagi manusia?

KETERKAITAN ANTARA BUDDHI, TRIGUNA DAN PURUSHARTHA

Kendati kecerdasan manusia lebih bersifat sattvik, ketimbang pikiran dan perasaan-nya, namun, oleh karena ia juga merupakan produk alam materi (prakriti) maka ia juga tak terlepas dari pengaruh ketiga kekuatan alam prakriti ini. Kitab-kitab Tattwa menggolongkan buddhi, menurut tiga kwalitas prakriti atau mayatattwa ini. Mereka adalah, buddhisattvam, buddhirajas dan buddhitamas. Ketiga kwalitas buddhi inilah yang telah membantu umat manusia, hingga mencapai keberadaannya seperti sekarang ini.

Apa yang sesungguhnya dicari manusia, yang hendak diperoleh atau dicapai manusia dalam kelahirannya ini, dalam Hindu disebut dengan purushartha yang empat jenisnya; inilah yang disebut dengan catur purushartha. Pencapaian umat manusia seperti apa yang dicontohkan tadi, baru berkisar pada dua tujuan, yakni: Artha (harta-benda duniawi atau material) dan Kama (nafsu-keinginan serta pemuasan indriyawi serta duniawi lainnya). Keduanya menyangkut pencapaian duniawi, untuk mencapai jagadhitam —kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan hidup di dunia ini. Hindu mengingatkan, pencapaian apapun oleh manusia, hendaklah didasarkan atau berlandaskan Dharma, dimana dalam konteks ini, Dharma juga merupakan salah-satu dari catur purushartha itu.

Dharma mempunyai banyak arti. Diantaranya yang paling akrab dengan kita adalah Dharma sebagai ajaran luhur atau agama, sikap mental, pandangan hidup dan juga hukum univesal. Dharma sebagai hukum dalam kehidupan duniawi yang sejalan dengan kehidupan spiritual-religius kita, tertuang dalam berbagai kita-kitab suci Dharmashastra atau yang juga disebut Smrti. Manawa Dharmashastra, adalah kitab-suci yang paling terkenal dari jenisnya. Ia juga disebut sebagai 'Kitab Hukum Manu' atau Manusmrti.

DENGAN APA MANUSIA MENUNDUKKAN TRIGUNA?

Tergantung masalah yang dihadapi serta jenis pencapaian atau perolehan yang dikehendaki, buddhi bisa dipekerjakan secara sesuai. Terkait dengan perolehan dan penguasaan Artha, dan pencapaian serta pemenuhan Kama, maka buddhirajas dan
buddhitamas-lah yang paling banyak porsinya untuk dipekerjakan. Buddhisattvam-lah yang mesti digunakan untuk memperoleh Dharma dan Moksha. Semboyan universal Hindu, mokshartam jagadhita ya ca iti dharmah, dapat dijabarkan seperti ini.

Kendati hanya untuk memperoleh Dharma yang terkait dengan kehidupan di semesta materi ini saja, diperlukan pengerahan buddhisattvam secukupnya; apalagi yang menyangkut niskala, yang luhur, yang suci, yang mulia, yang menyangkut penundukkan triguna seperti yang disebutkan dalam sloka Gita di awal. Buddhisattvam inilah yang termanifestasikan sebagai viveka.

Bagaimana teknis pencapaiannya? Gita tidak menyebutkannya secara rinci. Namun Yoga Sutra Patanjali memaparkan: "Melalui Samyama (dharana - dhyana - samãdhi dalam suatu aliran yang menerus) terhadap berbagai kejadian-kejadian dan kelangsungannya, dicapai viveka. Darisini muncul ketajaman visi terhadap dua kejadian yang serupa, yang tidak dapat dibedakan menurut kelas, karakteristik, atau posisinya (menggunakan kecerdasan biasa). Pemahaman secara simultan dan menyeluruh terhadap semua objek dan setiap aspek-aspek dari objek yang bersangkutan; ini adalah viveka-jñana." [YS III.52 - III.54] Nah...jñanasakti yang telah diperoleh Arjuna melalui bertapa di gunung Indrakila, kini dihaluskan lagi menjadi viveka-jñana, melalui Yoga.

Menjelang akhir paparannya, Yoga Sutra menyebutkan:
"Setelah tercapai segala upayanya, evolusi dari transformasi (parinama) triguna-pun terhenti (samaptir gunãnãm). Kesinambungan dari momen-momen dalam evolusi akhirnya dipahami dengan jelas oleh Sang Raja Yogi, hanya sebagai proses transformasi yang berdeda satu dengan yang lainnya (parinama paranta). Bersamaan dengan kembalinya guna ke alamnya (gunãnãm prati prasavah), tiada apapun yang perlu dicapai lagi (purusãrtha šúnyãnãm) adalah Kaivalyam; citta mantap dalam kemurnian (pratistha) bentuknya sendiri (svarúpa) yang sejati (citti sakter). [Yoga Sutra IV.32, 33 dan 34]

Budhisattvam adalah intelijensia murni, kecerdasan kosmis yang univesal. Mengembangkan budhi hingga mencapai tataran ini, Yoga-Samãdhi adalah jalannya. Ia telah beranjak lebih tinggi lagi dari Tapa-Brata, landasannya itu. Budhi yang sepenuhnya terbebas, bahkan dari sattvoguna sekalipun, kini berwujud citta yang murni, citta yang kembali pada svarupa-nya, seperti yang disebutkan dalam sutra
di atas. Inilah yang menundukkan atau mengatasi triguna atau gunatita.