Selasa, 24 Agustus 2010

Dharma - Karma – Samsara, Sistem Keadilan Kosmik

Dharma menjelaskan cara kehidupan untuk menderita sekecil-kecilnya di dunia ini. Tapi empat macam dasar penderitaan : kelahiran, penyakit, usia lanjut dan kematian-kita tidak dapat menghindari ini karena hal-hal tersebut hadir disetiap dunia material. Hal itu dapat dilihat sebagai institusi penjara dengan berbagai kelompok korektif dengan standart hidup yang lebih baik atau lebih buruk. Untuk mendapatkan grup ketiga dalam grup pertama dapat dianggap sebagai kemajuan pasti namun kita masih dipenjara. Walaupun ada sedikit kelompok narapidana yang suka tinggal di penjara/tahanan, sebagian besar manusia menginginkan kebebasan. Mereka yang berharap menjadi bebas secara sempurna dari seluruh penderitaan diberitahukan oleh kitab Weda mengenai tingkat yang lebih tinggi yang disebut para dharma(dharma tertinggi) atau Sanatana dharma (dharma abadi). Tindakan pada tingkat ini adalah akarma atau bebas dari reaksi apapun. Hal tersebut adalah bhakti, pelayanan kecintaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang dijelaskan secara rinci dalam Bhagavad-gita, Bhagavata Purana (Srimad bhagavatam) dan kitab-kitab rahasia lainnya. Belajarlah dengan senang hati ! “Manusia seharusnya melayani Tuhan Krishna dengan persembahan tanpa keinginan mendapatkan keuntungan material di kehidupan ini ataupun di kehidupan berikutnya. Hal ini akan membawanya bebas dari belenggu karma”. (Gopala-Tapani Upanishad 1.14).
Dharma - Karma – Samsara
Sistem Keadilan Kosmik
Setiap masyarakat yang beradab mempunyai sistem yang mengatur masyarakatnya dalam perilakunya dan melindunginya dari berbagai pengaruh-pengaruh negatif. Sistem tersebut dikenal sebagai law – giving (parlemen), eksekutif (polisi dan pengadilan) dan penjara (tahanan). Tiga sistem tersebut juga kita lihat dalam tatanan kenegaraan, legislatif, eksekutif dan yudikatif. Demikian juga dalam negara yang super besar yaitu alam semesta yang dipimpin oleh Personalitas yang Mahakuasa, Mahabijaksana dan Maha lainnya. Itulah hukum dalam skala kosmik (Cosmic Justice). Ketiganya itu disebut ; Dharma-Karma dan Samsara.
1. Pendahuluan
Pada tahun akhir-akhir ini, kita melihat penyebaran yang luar biasa dari istilah “reinkarnasi” dan “karma” dalam kesadaran publik. Hal tersebut disebarluaskan oleh media yang menghadirkan laporan-laporan, dokumen, film, buku dan produk-produk lain yang berkaitan dengan topik ini. Jika kita menganalisa dari pernyataan ini, kita dapat secara singkat berkata bahwa hal tersebut menunjukkan ketidakpuasan dengan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan eksistensial (yang ada) yang diberikan ilmu modern dan berbagai filosofi barat dan berbagai agama. Sebenarnya, sumber-sumber ini tidak dapat menjawab secara memuaskan banyak pertanyaan yang dibuat oleh orang-orang saat ini. Hal ini menciptakan ruang untuk sumber-sumber filosofis dan tradisi yang lain untuk mengisi kekosongan ini. Paling sering, mereka adalah berbagai cabang-cabang yang disebut agama-agama alam atau berbagai tradisi dari fiosofi timur. Diantara hal-hal lainnya, mereka mempunyai istilah-istilah yang umum ini walaupun penjelasan-penjelasan mereka berbeda dalam rinciannya.
Walaupun ukuran/klasifikasi umum mereka adalah perputaran waktu (penciptaan dunia yang terjadi secara berulang-ulang). Sedangkan ilmu barat kontemporer mengambil dari tradisi Kristen-Judeo persepsi waktu linear (penciptaan dunia hanya terjadi sekali saja). Posisi pengecualian diantara mereka adalah tradisi Vedic (kadang-kadang secara tidak benar disebut paham hindu) yang berterima kasih pada sumber kuno dan otoritas berdasarkan naskah tertua di dunia – kitab Vedic. Karena mereka merupakan sumber informasi yang paling luas dan paling terperinci mengenai hal ini dan banyak topik-topik lain, mereka benar-benar patut mendapatkan perhatian. Tujuan utama dari pergerakan Hare Krisna adalah untuk menginformasikan masyarakat umum dengan ilmu pengetahuan yang berisi didalam buku ini dan membawanya kedalam praktek alternatif dalam gaya hidup dan budaya berdasarkan ajaran-ajaran tersebut.
2. Sikap Ilmu Barat terhadap Reinkarnasi
Ilmu barat modern dari awalnya menganggap konsep reinkarnasi hanyalah kepercayaan keagamaan atau takhayul dan menolak untuk menjelajahi konsep-konsep ini dan akibat-akibatnya. Masalah utama adalah bahwa ilmu belum mampu untuk menjelaskan fenomena kehidupan. Walaupun ada usaha untuk menjelaskan dasar dan asal-usul kehidupan sebagai sebuah campuran materi biokimia, teori ini tidak dapat menjawab banyak pertanyaan secara memuaskan, seperti misalnya asal usul dari spesies kehidupan yang tak terbatas. Kemampuan atau pengalaman yang inherent/melekat pada orang-orang yang melewati konflik kematian/kamar mayat.
Pada tahun 1966 pakar biologi molekuler dari Inggris dan peraih hadiah nobel Laureate Francis Crick (1916) menerbitkan bahwa adalah hal yang mungkin untuk membuktikan secara ilmiah, bahwa kehidupan tidak lebih daripada reaksi kimia yang kompleks. Dia juga memperkirakan bahwa dalam ilmu masa depan tidak lama lagi akan berhasil membuat organisme tiruan secara sintetis. Namun sampai sekarang tidak ada keberhasilan di bidang ini walaupun teknologi mahir tingkat tinggi dan biaya bermilyard dollar digunakan.banyak ilmuwan kemudian terpaksa mengakui bahwa penekanan pernyataan Crick dan ilmuwan-ilmuwan yang lain hanyalah janji-janji kosong. Pakar biokimia keturunan Hungaria-Amerika dan peraih hadiah nobel Laureate Szent Gyorgy (1893-1986) menuliskan tentang : “Ketika pencarian rahasia kehidupan saya akhiri dengan atom elektron yang mana tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Suatu jalan kehidupan harus jatuh melalui jari-jari saya. Sekarang di usia tua saya, saya harus kembali ke belakang”. (Biology today, Del Mar, California, 1972).
Kehidupan sebagaimana ilmu Vedic menjelaskan bukanlah jasmani atau batasan kimia oleh karena itu hal itu diarahkan pada hukum-hukum alam daripada petunjuk-petunjuk pergerakan dari materi an organik. Bhagavad – gita, sebuah pekerjaan filosofis vedic yang sangat penting/mendesak, menjelaskan hukum ini pada hukum-hukum yang lebih tinggi dan halus. Metode ilmiah dan akal biasa tidak dapat menentukan hukum-hukum yang lebih tinggi ini, tentang perkataan pertolongan untuk menjelaskannya.
3. Delapan elemen dan dua tubuh
Bhagavad-gita (7.4) menjelaskan bahwa seluruh dunia material disusun dari delapan elemen dasar-lima material kasar dan tiga material lembut.
Elemen material kasar adalah : bumi, air, api, udara dan eter. Di dalam terminologi modern : substansi solid (benda padat), benda cair, energi radiasi, gas dan seluruh angkasa yang ada. Keberadaan ether berada diatas batas dari kemampuan ilmu modern untuk menjelajahinya, oleh karena itu eter diragukan. Namun ether yang memungkinkan transmisi data elektromagnetik tanpa kabel melalui angkasa, tanpa ether sistem komunikasi modern tidak dapat berfungsi. Keberadaanya dinyatakan oleh percobaan Michelson-Gale. (Pakar Fisika). A.A Michelson tidak puas setelah itu, percobaan Michelson-Morley dikenal lebih baik dan terus menjelajahi ether. Pekerjaannya memuncak didalam pekerjaan Michelson-Gale yang kemudian secara independen dibuktikan oleh Georges MM Sagnac- www.orgonelab.org/miller.htm).
Semua fenomena didunia ini yang dapat diamati oleh indera-indera kita adalah kombinasi dari lima elemen dasar ini. Diatas lima elemen kasar ini adalah tiga elemen material halus yaitu : pikiran, kecerdasan dan ego yang salah. Walaupun kita tidak dapat melihatnya disebabkan alam mereka yang lebih tinggi namun mereka masih material. Bersama-sama elemen material tersebut bergabung jadi disebut tubuh material halus (dalam Sansekerta disebut juga linga-sarira, tubuh yang mempunyai keinginan, juga disebut tubuh binatang) yang mana pikiran, perasaan dan kemauan kita dinyatakan. Ini berarti bahwa pikiran-pikiran, perasaan dan kemauan kita berhubungan dengan pikiran kita (manas) dan kecerdasan (buddhi). Ahankara menciptakan persamaan kesalahan kita dengan tubuh kita (“oleh karena itu disebut ego yang salah”). Itulah yang biasanya kita anggap sebuah tubuh terdiri dari dua macam tubuh- material tubuh yang kasar dan material tubuh yang halus. Hal ini dapat dipahami melalui contoh sebuah mimpi. Selama mimpi, kesadaran kita meninggalkan material tubuh kasar kita yang sehari-hari, sama dengan bagian material halus mimpi dan setelah tersadar lagi sama dengan material kasar tubuh yang dapat dilihat. Dalam kedua kasus tersebut kesadaran diri yang tepat (jiwa) terpisah dari kedua tubuh. Ini jelas dari kenyataan bahwa hal mengamatinya yang merupakan saksi dari aktivitas mereka dan hal-hal lain yang hampir sama dengannya.
4. Jiwa (jiva) – Sumber Kesadaran
Istilah jiwa atau atma dalam Sansekerta, kadang-kadang dihubungkan menjadi satu-jivatma, yang merupakan kekurangan dari istilah yang tepat dalam bahasa lain yang menunjukkan/dianggap sebagai jiwa.
Bhagavad-gita (7.5) menjelaskan bahwa delapan elemen material diatas adalah jiwa yang superior bagi mereka.
“disamping delapan unsur ini, Oh tangan Arjuna yang sangat kuat, ada yang lain, energi yang lebih kuat dari milik saya yang terdiri dari kumpulan kehidupan yang mendayagunakan sumber-sumber dari material ini, alam yang lebih rendah”.
Pakar psychoanalis terkenal C.G Jung menjelaskan jiwa sebagai “Keajaiban kosmik yang terbesar”, yang dapat berada didalam bingkai hukum alam untuk memanipulasi energi material berdasarkan pada keinginannya dan kemudian menggunakannya untuk keuntungan dirinya sendiri.
Interaksi dari gabungan jiwa dengan tubuh material kasar dan halus menciptakan jaringan reaksi-reaksi kompleks yang tak terbatas yang tidak dapat dijelaskan melalui hukum fisika modern, kimiawi ataupun biologi molekuler. Oleh karena itu ilmu alamiah ini tidak mampu menjelaskan dengan tepat perbedaan antara tubuh hidup dan mati.
Seandainya kita berkata bahwa kehidupan tidak lebih baik daripada kombinasi molekul-molekul kemudian hal tersebut seharusnya memungkinkan membuat tubuh yang mati kembali ke kehidupan hanya melalui penambahan unsur-unsur kimiawi yang kekurangan yang telah menyebabkan kematian. Hal tersebut seharusnya juga memungkinkan untuk menciptakan kehidupan tiruan disebuah laboratorium. Hingga sejumlah usaha ini tidak berhasil dan rasa tertarik para ilmuwan berbalik pada kloning. Alasannya adalah bahwa kehidupan selalu dan hanya datang dari kehidupan dan tidak pernah berasal dari benda mati. Bhagavad-Gita (2.17-18) menjelaskan bahwa perbedaan antara tubuh yang hidup dan yang mati adalah kehadiran jiwa. Segera ketika jiwa meninggalkan tubuhnya, kita menganggap mati. Bab II dari Bhagavad-Gita (2.20-25) menjelaskan sifat-sifat jiwa : “Bagi jiwa baik kelahiran ataupun kematian adalah tidak ada. Jiwa tidak pernah berwujud, jiwa tidak berwujud, dan tidak akan berwujud. Jiwa tidak dilahirkan, jiwa adalah abadi, yang pernah ada dan merupalan permulaan. Jiwa tidak terbunuh ketika tubuhnya dibunuh. Ketika seseorang meletakkan pakaian-pakaian baru, orang tersebut menyerahkan yang lama, hal serupa jiwa juga menerima bentuk-bentuk tubuh baru dan menanggalkan yang lama serta tidak berguna. Jiwa tersebut tidak pernah dapat dipotong menjadi bagian-bagian kecil dengan senjata apapun, ataupun dibakar oleh api, bahkan dibasahi oleh air ataupun dilayukan oleh angin. Jiwa individual ini tidak dapat dihancurkan/dirusak dan tidak dapat dilarutkan, dan bahkan tidak dapat dibakar ataupun dikeringkan. Dia tidak pernah berakhir, dapat hadir dimanapun, tidak dapat dirubah, tidak dapat dipindahkan dan secara abadi sama. Orang-orang berkata bahwa jiwa juga tidak dapat dilihat, di luar pengertian manusia dan tidak dapat berubah. Mengetahui hal ini berarti kamu tidak seharusnya menyengsarakan tubuh”. Seluruh kualitas jiwa ini adalah diluar lapangan dari reaksi-reaksi molekuler yang dapat diamati.” Niels Bohr (1885-1962), pakar Fisika Nuklir dari Denmark dan penyair peraih hadiah nobel, mengatakan : “Didalam fisika dan kimia kita tidak dapat menemukan apapun paling tidak secara marjinal (secara sempit). Membuktikan kehadiran dari kesadaran. Dan kita semua masih mengetahui bahwa ada sesuatu seperti kesadaran, karena secara sederhana kita sendiri memilikinya. Oleh karena itu kesadaran harus menjadi bagian dari alam, atau diungkapkan secara lebih umum, sebuah bagian dari kenyataan. Ini berarti bahwa disamping hukum-hukum fisika dan kimia yang telah menjelaskan teori quantum ada hukum-hukum yang secara lengkap berbeda dengan alam”.
5. Tiga bentuk (Gunas)
Berdasarkan pada kitab-kitab Vedic, seluruh macam spesies kehidupan diciptakan melalui kombinasi dari tiga bentuk dasar dari energi material, didalam Sansekerta disebut Gunas. Disini lagi-lagi terlihat keterbatasan dari bahasa-bahasa lain karena bahasa-bahasa tersebut kekurangan sinonim/persamaan kata yang tepat. Kata yang terdekat mungkin adalah kata bahasa latin modus. Oleh karena itu Gunas adalah semacam modus operandi (yang berarti pelaksanaan) dari energi material.
Mereka disebut :
• Satvva guna(harmoni, kebaikan).
• Rajo-guna (aktifitas, nafsu)
• Tamo-guna (kelambanan, kebodohan).
Tubuh dari spesies individu dapat dibandingkan dengan apartemen atau rumah-rumah yang berbeda ukuran, bentuk dan warna yang secara sementara dihuni oleh jelmaan jiwa. Bentuk tubuh tersebut terbatas (dibawah kendali dari tiga model). Kebebasan pergerakan dan aktifitas memungkinkan kesenangan individu. Pengaruh model pada manusia dijelaskan Bhagavad Gita (8.26-28) : “Seseorang yang melaksanakan tugasnya tanpa berhubungan dengan model material alam, tanpa ego yang salah, dengan keteguhan yang kuat dan antusiasme, dan tidak mempedulikan pada keberhasilan atau kegagalan dikatakan menjadi seorang pekerja dalam model kebaikan. Pekerja yang terikat pada pekerjaan dan hasil kerja, mengharapkan menikmati buah/hasil kerja itu, dan yang rakus, selalu iri, tidak suci, dan tidak digerakkan oleh kebahagiaan dan kesedihan, dikatakan menjadi model nafsu. Pekerja yang selalu sibuk bekerja melawan perintah tegas dari kitab, yang bersikap materialistis, keras kepala, menipu dan ahli dalam menghina orang lain, dan orang yang malas, selalu bersedih dan menunda-nunda dikatakan menjadi pekerja dalam model penolakan”.
6. Reinkarnasi Intenal-Perubahan Tubuh dalam Kehidupan Seseorang
Bentuk kesadaran dan fisik adalah berhubungan secara langsung. Tubuh dan kesadaran dari bayi kecil tentu berbeda dari tubuh dan kesadaran orang muda atau orang tua. Hal tersebut bisa dikatakan bahwa jiwa bepergian/berpindah-pindah selama perkembangan tubuh dari kelahiran sampai kematian melalui tubuh-tubuh yang berbeda dengan kesadaran yang berbeda. Kita mungkin tidak sadar bagaimana kita secara konstan merubah tubuh didalam kehidupan ini karena perubahan ini sangat halus, bertahap dan sulit untuk diamati. Apakah kita memperhatikan ketika anak-anak bagaimana tubuh kita tumbuh? Kita hanya benar-benar mengingatnya hanya ketika kita diingatkan oleh seseorang yang melihat kita setelah periode waktu yang lama. Kenyataan ini juga dinyatakan oleh para pakar Biologi, pakar Antropologi Amerika John. E. Pfeifer (*1914) menulis bukunya mengenai otak manusia (1955) : “Tubuh kita hari ini tidak berisi bahkan satu molekulpun dari tujuh tahun yang lalu”. Walaupun perubahan tubuh ini konstan, jiwa, masih tidak merubah orang yang sama. Marilah kita anggap bahwa kita hari ini berumur tiga puluh tahun tapi kita masih orang yang sama dengan yang berumur lima atau dua puluh tahun. Yang berbeda hanya pada tubuh kasar kita. Tubuh kita saat ini bagaimanapun juga selama beberapa saat berubah. Contoh : kita memperoleh lebih banyak kemampuan, kekuatan dan ilmu pengetahuan, namun kita tetap orang yang sama, kita tidak sedang mencari orang lain. Sifat-sifat, kemampuan, ilmu pengetahuan dan persepsi (dugaan-dugaan) atau reinkarnasi internal.
7. Reinkarnasi Eksternal-Perubahan Tubuh Pada Saat Kematian
Apa yang terjadi dengan jiwa pada saat kematian dari tubuh fisik kita saat ini ? dengan kata lain : kemana kita pergi ketika meninggal ? apakah kita mempunyai pengaruh pada situasi yang berikutnya ? dapatkah kita memilih masa depan kehidupan kita ? didalam Bhagavad-gita (2.13) kita akan menemukan jawaban-jawabannya: “Ketika jiwa di tubuh ini yang menjelma kemudian lepas, dari masa kanak-kanak kemudian ke usia tua, secara serupa jiwa melewati tubuh lain pada saat kematian. Orang yang bijaksana tidak dibingungkan oleh perubahan seperti ini, lebih jauh Bhagavad-gita menjelaskan bahwa kesadaran pada saat kritis menjelang kematian adalah sangat penting untuk memilih tubuh baru: “Apapun keadaannya, seseorang mengingat ketika dia keluar dari tubuhnya saat ini, kedalam kehidupan berikutnya, dia akan mencapai keadaan itu tanpa kegagalan;
Pada saat kematian, jiwa bersama tubuh halus meninggalkan tubuh kasar atau tubuh fisik. Hal itu adalah tubuh halus dan keinginan-keinginan dan pemikiran-pemikiran kita yang direkam didalamnya dan yang kita sebut pada saat ini yang penting sebagai tujuan dari tubuh kita berikutnya. Perpindahan jiwa ini dari satu tubuh ke tubuh yang lain disebut reinkarnasi eksternal (samsara atau samsriti didalam bahasa sansekerta). Srimad Bhagavatam (Bhagavata Purana) 5.11.5-7 menyebutkan bahwa pikiran terikat oleh indera kesenangan, saleh atau tidak saleh. Kemudian hal itu tertuju pada tiga model dari alam material dan menyebabkan penyesuaian kelahiran dalam berbagai tipe tubuh, lebih tinggi atau lebih rendah. Oleh karena itu, jiwa menderita ketidak bahagiaan atau menikmati kebahagiaan karena pikiran. Kemudian pikiran dibawah pengaruh ilusi menciptakan aktivitas-aktivitas yang saleh dan aktivitas-aktivitas yang tidak saleh lebih jauh karena karma serta jiwa mereka menjadi dikondisikan/dikendalikan oleh aktivitas-aktivitas tersebut. Orang bijak (sadhu) berkata bahwa pikiran adalah penyebab dari perbudakan dan kebebasan tubuh.
Disini dibuktikan bahwa sesuatu yang tidak benar yang menyebarkan ide secara luas bahwa jiwa tidak dapat jatuh dari tubuh manusia lagi, misalnya : mendapatkan tubuh binatang atau tubuh lain yang lebih rendah yang mana jiwa didalamnya mempunyai keinginan bebas dan kemudian juga mempunyai tanggung jawab untuk tindakannya (karma).
Kenyataan bahwa jiwa menjelma (ber-reinkarnasi) bersama dengan tubuh halus yang juga dinyatakan oleh riset para psikologis. Dengan bantuan dari berbagai metode banyak orang dapat memanggil kembali memori kesadaran mereka dari hidupnya yang dahulu. Hal ini tidak akan mungkin jika pembawa dari memori-memori ini tidak menjelma bersama dengan jiwa. Berdasarkan pada kitab Vedic, memori adalah fungsi kecerdasan, bagian dari tubuh halus. Walaupun pada saat kelahiran, kita melupakan kehidupan kita yang dahulu, adalah mungkin melalui sesuatu yang khusus untuk membangun kembali ingatan dari inkarnasi kita yang dahulu. Ini berarti walaupun tidak selalu bagian per-bagian saling berhubungan. Pada kasus-kasus perkecualian, khususnya pada anak-anak, dibuktikan kemampuan spontan memanggil kembali tanpa pengaruh eksternal dari media atau sang terapi.
8. Definisi istilah “Reinkarnasi”
Reinkarnasi (dari bahasa latin “re”, kembali + “incarnare”, membuat/menjadi daging adalah perpindahan yang berkelanjutan dari jiwa bersama dengan material tubuh halusnya dari material tubuh kasar ke tubuh yang lain, berdasarkan pada karma individu tersebut.
Oleh karena itu Reinkarnasi adalah sebuah proses dan hukum karma yang sedang menuju padanya. Contoh dari berbagai macam karma dan efek-efeknya, akan kamu temukan pada Samsara.
B. Karma-hukum Dibelakang Reinkarnasi.
1. Hukum aksi dan reaksi.
2. Keinginan bebas dan nasib.
3. Karma dari sudut pandang aksi
4. Karma dari sudut pandang reaksi
5. Empat fase karma
6. Tiga macam karma
1. Hukum aksi dan reaksi.
Istilah “karma” tidak terpisahkan dengan reinkarnasi. Ketika mencoba untuk memahami proses reinkarnasi seseorang tidak dapat menghindari istilah ini. “Karma” dari kata bahasa Sansekerta secara maknawi berarti “tindakan, aktivitas, kerja”, dan karena keterbatasan persamaan kata dari bahasa lain yang secara tepat menjelaskan artinya, kata tersebut tidak dianjurkan untuk diterjemahkan. Di barat istilah ini digunakan pertama kali oleh pakar theosophist Rusia Helena P. Blavatsky (1831-1891). Definisinya : “Karma adalah dasar hukum kosmis,............yang mana kamu dalam dunia fisik, mental dan jiwa berhubungan sebab dengan akibatnya. Karena suatu sebab, yang terbesar seperti pergerakan kosmos, atau yang terkecil seperti pergerakan tangan, yang mempunyai akibat yang berkaitan, dan karena tindakan-tindakan yang sama dengan cara yang sama, karma adalah hukum yang tidak dapat dilihat dan tidak diketahui secara bijaksana, dengan berbudi dan dengan berpikir panjang menghubungkan setiap akibat dengan penyebab dan asal mulanya (pemula/pencipta)”.
Didalam hasil pekerjaannya “Perwujudan karma” (1910) pakar anthroposofist Rudolf Steiner menjelaskan karma dengan cara ini:
“........Tanpa pembatasan keinginan bebas manusia, hukum karma bertindak diatas kesatuan, yang mana berasal dari sebab yang datang, seperti hukum aksi dan reaksi”.
Definisi yang mudah dimengerti ini menjelaskan inti dari istilah karma vedic. Perbandingan hukum karma Steiner untuk hukum fisika dan aksi dan reaksi (actio = reactio, hukum mekanik klasik Newton ketiga 1687) adalah sangat tepat walaupun hukum ini hanya mewakili sebagian kecil aspek dari aspek yang jauh lebih tinggi dan hukum karma yang jauh lebih halus. Juga tepat adalah peribahasa yang mana hukum karma dari sebab dan mengakibatkan tindakan-tindakan khususnya pada tingkat individu dan meninggalkan ruang menuju ke kehendak bebas dari seorang pelaku.
Ini adalah sesuatu yang biasanya dilupakan kritik-kritik filosofi timur yang berbeda yang memahami karma sebagai takdir mekanis yang memaksakan manusia untuk secara pasif menunggu apa yang akan dibawa/terjadi di masa depan. Sebelum penemuan Steiner dan Newton orang-orang telah mengetahui perkataan yang menunjukkan pemahaman berkelanjutan dari aksi dan reaksi. Injil juga menyatakan “Seseorang menuai apa yang dia tanam” (Galatskym 6:7) yang menjadi perkataan umum rakyat.
2. Keinginan Bebas dan Nasib
Berdasarkan pada filosofi Vedic, setiap makhluk hidup berpindah dunia material dari satu tubuh ke tubuh lain, setiap makhluk hidup diberikan keinginan bebas untuk bertindak berdasarkan keinginan, ide-ide dan pikirannya. Ketika Shri Khrisna menceritakan Bhagavad-gita pada Arjuna, disalah satu dari ayat terakhirnya (18.63) dia berkata :
“Kemudian saya telah menceritakan padamu ilmu pengetahuan yang masih lebih rahasia. Pertimbangkanlah ini secara sungguh-sungguh dan kemudian lakukan apa yang kamu ingin lakukan”.
Kitab Vedic berkata bahwa keinginan adalah ayah dari pemikiran dan pemikiran adalah ayah dari tindakan. Keinginan sebenarnya berasal dari jiwa, pemikiran berasal dari pikiran (tubuh halus) dan tindakan berasal dari kerja organ-organ indera dari tubuh kasar.
Karena makhluk hidup mempunyai keinginan bebas, walaupun dalam lapangan aktivitas yang terbatas. Filosofi Vedic mengajarkan bahwa keinginan bebas dan takdir atau nasib saling berhubungan satu sama lain. Melalui tindakan-tindakan kita saat ini, menunjukkan keinginan bebas kita, kita menciptakan reaksi karma masa depan kita. Pada saat yang sama kita menuai reaksi dari tindakan-tindakan kita yang dahulu. Oleh karena itu, nasib bukanlah hukuman atas penyerangan pada orang-orang yang tak berdosa (yang mana Tuhan tidak ingin menghentikan ataupun tidak dapat menghentikan). Hukum karma sangat keras karena harus memastikan kebahagiaan/kepuasan dari keinginan-keinginan seluruh makhluk hidup di seluruh dunia material dengan cara seperti ini mereka tidak menentang tapi menyempurnakan dirinya sendiri dan bahkan satu ketidak adilan tidak lepas tanpa dihukum. Pakar rohaniawan Ralph Waldo Emerson (1803-1882) menjelaskannya dengan cara ini (lectures and Biographical Sketches, 1868) :
“Jika kamu mencintai orang-orang dan melayani mereka, kamu akan dihargai. Penghargaan yang tersembunyi berlanjut pada keseimbangan lagi dari keadilan Tuhan. Hukum ini tidak dapat dirubah. Semua tiran (penguasa), pemilik, orang-orang yang memonopoli dunia ini mencoba dalam kesia-siaan untuk menghancurkan keseimbangan ini. Equator masih tetap ditempatnya dan orang-orang serta serangga, matahari, dan planet-planet harus mematuhinya atau dihancurkan oleh reaksi bentukannya”.
Dunia diperintah secara umum oleh hukum-hukum yang teliti dan berlaku-seperti peraturan permainan besar kehidupan-yang menata keinginan-keinginan dan hubungan yang saling menguntungkan diantara individu makhluk hidup. Kemudian masing-masing dari makhluk hidup itu dengan tepat mendapatkan balasannya-tidak lebih dan tidak kurang.
Berdasarkan pada Bhagavad-gita (2.70) aliran keinginan secara terus menerus berasal dari pikiran dari setiap makhluk hidup seperti sungai-sungai yang tak terhitung yang kesemuanya memasuki lautan yang sangat luas. Dengan cara ini timbul satu kesatuan kompleks yang tiada akhir, jaringan multidimensional dari aksi dan reaksi yang mana seseorang tidak dapat memahaminya. Disini jelas pengaruh tangan Tuhan yang tidak kelihatan yang mana didalam wujudNya dari jiwa super (paramatma) yang ada dimana-mana sedang menemani seluruh jiwa individu selama perpindahan mereka melalui berbagai bentuk tubuh. Bhagavad-gita (13.23) menjelaskan aspek keTuhanan ini :
“Walaupun didalam tubuh ini ada yang lainnya, sebuah rohani yang mana Tuhan pemilik kekuasaan yang bertindak sebagai pengawas dan pemberi ijin, dan yang dikenal sebagai jiwa Yang Maha Kuasa”. Oleh karena itu, peranan jiwa Yang Maha Kuasa adalah untuk merekam keinginan-keinginan setiap makhluk hidup yang tidak terhitung dan mneyusun kebahagiaan mereka serta mengamati aktivitas-aktivitas dari makhluk hidup dan mnegijinkan mereka menerima reaksi-reaksi. Campur tangan Tuhan secara langsung ini disebut hukum karma.
3. Karma dari sudut pandang tindakan
Kitab-kitab Vedic berisi informasi pasti dimana tindakan-tindakan yang harus dilakukan jika kita mengharapkan memperoleh hasil-hasil (reaksi) yang benar. Misalnya orang-orang berkata : jika kamu ingin menjadi kaya, kamu harus bertindak seperti ini, jika kamu ingin menjadi terkenal, lakukan ini, jika kamu ingin hidup dengan kehidupan keluarga yang memuaskan, lakukan itu, dll. Jika seseorang berada dalam kehidupan ini sangat sukses,kaya,terpelajar,berpengaruh atau cantik, kita dapat menyimpulkan bahwa dia pasti di kehidupan yang dulu murah hati, rajin dan soleh dan sekarang hanya menuai hasil dari benih-benihnya yang dahulu.
Tapi apa yang dia lakukan dengan aset-aset ini didalam kehidupan yang sekarang ini adalah pertanyaan lainnya-hal itu tergantung pada keinginan bebasnya. Oleh karena itu kita melihat bahwa tidak setiap orang kaya dan berkuasa bertindak secara tepat. Prinsip yang sama berlaku untuk hal-hal yang tidak diinginkan. Kitab-kitab Vedic dapat menasehati kita : jika kamu tidak ingin sakit atau bangkrut, kamu tidak boleh melakukan ini atau itu. Jika kita bertindak berdasarkan pada instriksi-instruksi ini, kita akan mencapai hasil yang diinginkan dengan pasti dalam hal ini atau beberapa dari hidup kita dimasa depan. Reaksi-reaksi yang bermacam-macam mungkin datang cepat atau lambat-beberapa reaksi datang dengan segera dan beberapa yang lainnya datang setelah beberapa hidup.
4. Karma dari Sudut Pandang Reaksi
Ketika kita mengamati dari sisi lain, kita harus mengakui bahwa apapun yang terjadi pada kita di kehidupan ini tidak lain adalah reaksi pada tindakan kita di hidup ini atau pada tindakan kita beberapa hidup yang lalu. Oleh karena itu, bukanlah suatu pilihan buta namun hanya akibat dari tindakan-tindakan kita yang telah kita putuskan untuk dilakukan dari keinginan bebas kita.
Oleh karena itu kadang-kadang terjadi orang yang kehidupannya sangat sholeh dan layak masih tak terlindung dari berbagai macam penderitaan. Dari hal ini seseorang dapat menyimpulkan bahwa dimasa lalu mereka pasti bertindak secara tidak tepat. Biasanya mereka belajar dari hal ini dan memutuskan untuk hidup secara layak/tepat di kehidupan mereka saat ini. Juga seseorang yang kehidupannya penuh kesuksesan menuai buah dari perbuatannya.
Kehidupan materialistis dan rantai aksi dan reaksi tidak dapat dipisahkan. Hal itu seperti film yang panjang dari aksi dan reaksi lamanya kehidupan seseorang adalah seperti beberapa ladangnya. Ketika seorang anak dilahirkan, tubuhnya saat ini dapat dipahami sebagai permulaan dari seri lain dari tindakan-tindakan dan kematian dari orang yang tua sebagai akhirnya. Dari hal ini, jelaslah mengapa seseorang, karena reaksi yang berbeda, dilahirkan di keluarga yang kaya dan seseorang lain dilahirkan di keluarga miskin walaupun mereka dilahirkan pada saat yang sama, pada tempat yang sama dan dibawah keadaan yang sama. Seseorang yang membawa reaksi sholeh dengannya (karma baik) akan mendapatkan kesempatan untuk dilahirkan di keluarga yang kaya atau shaleh dan seseorang yang dibebani oleh rekasi yang tidak shaleh (karma yang jelek) akan dilahirkan di kelas rendah dan keluarga miskin.
5. Empat Fase Karma
“Tanamlah pemikiran dan kamu akan menuai perbuatan, tanamlah perbuatan dan kamu akan menuai kebiasaan, tanamlah kebiasaan dan kamu akan menuai sifat, tanamlah sifat dan kamu akan menuai nasib (peribahasa India). Filosofi Vedic (Padma Purana) menjelaskan bahwa reaksi karma terwujud dalam empat fase berbeda diibaratkankan pada fase pertumbuhan tanaman :
1. Bija (benih) niat dan harapan kita yang sudah ada dalam bentuk halus dan kemudian hal tersebut akan terwujud dalam aktivitas-aktivitas. Lalu untuk menghindari reaksi karma (penderitaan) yang tidak menyenangkan, kita harus memperhatikan pada unsur-unsur/material keinginan kita yang tidak terucapkan sebelum benih-benih tindakan yang mulai tumbuh.
2. Kuta-stha (mulai tumbuh). Perwujudan reaksi setelah keputusan untuk melakukan perbuatan. Mereka adalah unsur keinginan yang sudah mulai tumbuh.
3. Phalonmukha (berbuah). Reaksi yang sudah melahirkan buah (phala). Segera ketika kita melakukan unsur tindakan – baik atau buruk – hanya masalah waktu sebelum hal tersebut mewujudkan reaksi (buah) dalam bentuk kebahagiaan atau penderitaan.
4. parabdha (menuai). Reaksi sudah ditetapkan pada kelahiran kita : keluarga (menjelaskan status sosio-ekonomis kita, kebangsaan, ras), penempatan fisik dan psikis, dll
tiga fase yang lebih dulu didalam bahasa Sansekerta juga diberikan istilah aprarabdha atau reaksi-reaksi yang belum terwujud secara penuh, potensi kebahagiaan dan penderitaan. Fase keempat, pararabdha karma apa yang secara umum disebut “karma”.
Upanishad menjelaskan kategori karma ini :
Sancita (disimpan)
Anarabdha (belum terwujud) = aprarabdha
Prarabdha (sudah terwujud)
Kriyamana (tercipta baru)
6. Tiga Macam Karma
Bhagavd-gita (4.17-18) mengatakan : “liku-liku tindakan sangat sulit dimengerti. Oleh karena itu, manusia seharusnya mengetahui tindakan apa yang tepat, tindakan apa yang dilarang dan tidak bertindak apa. Seseorang yang melihat tindakan yang seharusnya tidak dilakukan, dan tidak melakukan tindakan, adalah orang yang cerdas diantara manusia, dan dia berada di posisi ruhaniah, walaupun berusaha dalam berbagai aktivitas-aktivitas”.
Ayat-ayat ini menjelaskan tiga macam karma. Disini `karma` tidak menyatakan reaksi tapi aksi, aktivitas.
1. Karma aktivitas dalam harmoni dengan hukum alam yang lebih tinggi (dharma) yang juga dijelaskan dalam kitab Weda. Tindakan positif ini membawa reaksi-reaksi positif dalam bentuk kesenangan dan kebahagiaan.
2. Vikarma, aktivitas yang dilarang oleh kitab Prisma karena mereka bertentangan dengan dharma. Tindakan-tindakan negatif ini mengakibatkan penderitaan dan kesenangan.
3. Akarma aktivitas dari alam yang lebih tinggi dan tidak berhubungan dengan unsur hukum alam dan oleh karena itu disebut “inaction / tidak melakukan aksi” mereka tidak membawa reaksi apapun, baik reaksi positif atau negatif, dan kemudian mereka membawa reinkarnasi sampai akhir. Akhir ini akan terjadi ketika “account karmic/nilai karma” kita diakhir kehidupan adalah nol. Hal ini tidak dapat diperoleh, walaupun melalui tindakan paralel dari karma dan Vikrama, ketika seseorang mungkin berfikir, karena mereka dinilai secara independent dari masing-masing yang lainnya.
Penyebab masalah adalah vikrama yang mana pada saat ini ditunjukkan oleh sejumlah besar orang-orang di seluruh dunia, dan yang merupakan ancaman bagi seluruh kemanusiaan karena hal tersebut mempengaruhinya dalam bentuk karma bersama (ringkasan dari karma individual). Ini diwujudkan sebagai perang, epidemi, bencana alam, dll
Kenyataan membuktikan bahwa kita sedang kehilangan pengetahuan hukum karma karena walaupun semua niat baik dan usaha kita meringankan penderitaan namun ada semakin banyak ketidak bahagiaan, baik secara individu dan kelompok, di dunia ini. Akhirnya hanya pengetahuan inilah satu-satunya solusi dari masalah-masalah yang saat ini terjadi. Manusia yang menyadari hal ini akan mamahami bahwa perubahan harus dimulai dari dirinya sendiri
C. Dharma-Etika Kosmik
Jadi bagaimana kita mengetahui apa yang “tepat” dan “apa yang tidak tepat?” pengetahuan ini sangat penting bagi pengambilan keputusan kita. Jika ada hukum, pasti ada bentuk tertulis yang tersedia, jadi setiap orang dapat diperkenalkan dengannya. Setelah itu, orang-orang berkata bahwa penolakan hukum tidak diperbolehkan.
Peraturan-peraturan ini terdaftar didalam kitab, khususnya disebut dharma sastra (kitab-kitab yang menjelaskan dharma). Kitab-kitab itu adalah kitab hukum yang secara serupa menjelaskan bagaimana setiap manusia seharusnya bertindak berdasarkan pada posisi sosial dan spiritualnya. Yang paling terkenal dari kitab-kitab itu adalah Manu-Smriti atau kitab hukum manu. Pesan-pesan mengenai dharma juga berisi Mahabarata (dan bagian yang paling penting, Bhagavad-Gita), Ramayana, Bhagavata dan Purana-purana lain, bibel, Qur`an, dll.
Istilah “dharma” berasal dari akar bahasa sansekerta “dhri” (menjaga, menopang, melindungi kerja). Biasanya hal tersebut diterjemahkan sebagai etika, moral dan prinsip-prinsip keagamaan yang mana walaupun tidak mewakili secara penuh artinya. Dharma adalah hukum atau perintah unsur duniawi (yang menjaga fungsi keharmonisan), kebaikan atau perintah kebenaran. Penjelasan yang lebih dalam mengatakan bahwa dharma adalah alam atau kualitas yang tidak dapat dipisahkan atau bersatu padu. Pada contoh garam yang mana kualitas (dharma) tidak dapat dipisahkan adalah rasa asinnya. Oleh karena itu, kata dharma akan mungkin untuk diterjemahkan sebagai “penyebab utama/terakhir” istilah ini dari filosofi barat yang mengungkapkan alasan untuk adanya sebuah obyek.
Penyebab utama dharma dari sebuah rumah adalah untuk menyediakan perlindungan bagi orang-orang. Rumah yang tidak dapat ditempati mewakili adharma (lawan kata dari dharma). Dharma menjelaskan fungsi hukum karma dan dirinya sendiri didirikan/ditetapkan oleh Tuhan. Sebagai “pilar dharma” disebut empat kualitas yang dijelaskan didalam Bhagavata Purana (1.17.24):
- Pengasih/pemaaf (menolak kekerasan, makan daging, dll)
- Penolakan/mengendalikan indera-indera (menolak mabuk-mabukan/narkoba)
- Kebenaran (menolak perjudian dan spekulasi)
- Kesucian (menolak seks yang dilarang dalam kitab)
Oleh karena hal itu sudah ditetapkan yang mana aktivitas-aktivitas manusia yang baik akan membawa reaksi positif sedangkan aktivitas yang buruk membawa reaksi negatif dalam bentuk penderitaan. Nilai sistem ini berlaku secara universal dan tidak tergantung pada opini individu makhluk hidup. Saya mungkin berfikir bahwa apa yang saya lakukan adalah baik dan juga mampu untuk membenarkannya secara intelektual dan kemudian mengesankan orang lain. Walaupun seandainya aktivitas saya tidak berdasarkan dengan definisi kebenaran universal, saya masih akan menuai reaksi negatif.
Kebebasan berfikir dan bertindak begitu didengung-dengungkan hari ini yang kadang-kadang salah dipahami sebagai kesempatan untuk melakukan apapun yang kita sukai. Benar, kita mempunyai keinginan bebas tapi pada saat yang sama, kita bertanggung jawab untuk aktivitas kita. Tidak ada yang lebih jauh dari kenyataan bahwa ide pelanggaran dharma yang tidak dihukum. Pernyataan dunia kontemporer seharusnya memperingatkan kita untuk tidak meletakkan keuntungan ekonomi (artha) sebelum dharma. Ini adalah keinginan untuk kesenangan indera (disimbolkan dengan uang) yang paling sering menyebabkan pelanggaran dharma.
D. Sanatana-Dharma : Aspek Dharma yang Lebih Tinggi
Dharma menjelaskan cara kehidupan untuk menderita sekecil-kecilnya di dunia ini. Tapi empat macam dasar penderitaan : kelahiran, penyakit, usia lanjut dan kematian-kita tidak dapat menghindari ini karena hal-hal tersebut hadir disetiap dunia material. Hal itu dapat dilihat sebagai institusi penjara dengan berbagai kelompok korektif dengan standart hidup yang lebih baik atau lebih buruk. Untuk mendapatkan grup ketiga dalam grup pertama dapat dianggap sebagai kemajuan pasti namun kita masih dipenjara. Walaupun ada sedikit kelompok narapidana yang suka tinggal di penjara/tahanan, sebagian besar manusia menginginkan kebebasan. Mereka yang berharap menjadi bebas secara sempurna dari seluruh penderitaan diberitahukan oleh kitab Weda mengenai tingkat yang lebih tinggi yang disebut para dharma(dharma tertinggi) atau Sanatana dharma (dharma abadi). Tindakan pada tingkat ini adalah akarma atau bebas dari reaksi apapun. Hal tersebut adalah bhakti, pelayanan kecintaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang dijelaskan secara rinci dalam Bhagavad-gita, Bhagavata Purana (Srimad bhagavatam) dan kitab-kitab rahasia lainnya. Belajarlah dengan senang hati ! “Manusia seharusnya melayani Tuhan Krishna dengan persembahan tanpa keinginan mendapatkan keuntungan material di kehidupan ini ataupun di kehidupan berikutnya. Hal ini akan membawanya bebas dari belenggu karma”. (Gopala-Tapani Upanishad 1.14).