Kamis, 03 Februari 2011

PERCAKAPAN 12 SUCIKAN DIRIMU, USAHAKAN AGAR PERBUATAN, PIKIRAN, DAN PERKATAANMU SELARAS

PERCAKAPAN 12
SUCIKAN DIRIMU, USAHAKAN AGAR PERBUATAN, PIKIRAN, DAN PERKATAANMU SELARAS
Pikiran merupakan titik pusat bagi roda kehidupan, suatu titik sumber dari segala kegiatan duniawi. Agar dapat menembus titik pusat ini dan memperoleh penampakan atma atau diri yang abadi, wairagya amat penting.
________________________________________

Wairagya artinya ketidakterikatan atau pengunduran diri yaitu ketidakterikatan pikiran dan indera dari objek-objek duniawi. Pikiran menutupi diri yang sejati karena itu, kadang-kadang pikiran digambarkan sebagai selubung yaitu selubung kekaburan batin yang menutupi atma. Pikiran sendiri terikat oleh panca indera, dan panca indera tertarik oleh objek-objek indera serta sekaligus terikat olehnya. Karena itu, langkah pertama ialah mengendalikan panca indera, untuk ini ketidakterikatan sangat penting.
Bila engkau sudah tidak terikat pada objek-objek indera, maka panca indera tidak dapat lagi mengikuti pikiran dan perasaanmu. Pikiran serta perasaan yang bebas dari ikatan indera akan menjadi suci dan jernih, ia tidak akan menggunakan pengaruhnya lagi untuk menutupi atma. Bila selubung pikiran itu lenyap maka diri yang sejati akan mendapat penampakan dirinya yang esa. Kemudian engkau akan menyatu dalam kemanunggalan dengan semua yang ada dan menikmati ananda yang merupakan sifatmu yang sejati. Gita telah mengajarkan kepada kita bahwa wairagya 'pengunduran diri' sangat penting untuk menyadari atma.
Hal ini diajarkan juga dalam Yoga Sutra Patanjali yang menyatakan bahwa ketidakterikatan adalah pikiran yang tidak terpengaruh oleh indera dan objek-objek yang menarik indera itu. Pikiran yang demikian itu, karena tidak diperbudak oleh indera dan objek-objek indera adalah suci dan tidak terpengaruh oleh maya. Engkau mencapai kesucian pikiran bila engkau memandang semua objek duniawi sebagai sesuatu yang bersifat sementara dan selalu berubah. Telah dijelaskan dalam Upanishad bahwa makhluk dunia dari yang paling rendah hingga yang paling mulia, bahkan makhluk-makhluk surgawi pun tidak langgeng dan berubah terus. Menyadari hal ini engkau harus melepaskan semua keterikatan kepada objek-objek indera; setiap keterikatan lambat laun pasti akan membelenggumu.
Seperti api akan segera mati bila kayu api dibuang, demikian pula bila objek-objek indera disingkirkan, indera menjadi tidak berdaya. Kitab-kitab suci menyatakan dengan jelas bahwa hanya orang yang menganggap surga sekalipun sebagai sesuatu yang tidak berarti, dan orang yang tidak mempedulikan apapun juga kecuali kesadaran atma adalah seorang wairagya sejati, pertapa yang tulen. Ada suatu cerita dalam Katha Upanishad bahwa ketika Nachiketa, seorang anak laki-laki menghadap Yama, Dewa Kematian, Yama berkata kepadanya, "Aku akan membuat engkau menjadi penguasa penuh atas segala kekayaan dan segala kemampuan yang ada di dunia dan aku akan memberimu seluruh kesenangan surgawi." Nachiketa menjawab, "Dunia ini dan semua loka di akhirat hanya bersifat sementara, semua itu tidak langgeng. Saya tidak ingin yang tidak tetap. Saya hanya ingin mendapat penampakan atma. Saya ingin menghayati kebenaran terakhir yang tidak pernah berubah. Dunia dengan belenggunya dan kesengsaraan yang menyertainya adalah untuk orang-orang yang terlena oleh objek-objek indera. Saya tidak tergiur oleh yang demikian itu."
Misalnya engkau tinggal di suatu rumah beberapa lama. Pada suatu saat engkau harus pindah ke tempat lain. Semua barangmu kaukemasi dan kau bawa ke rumah yang baru dengan truk. Biasanya sandal-sandal tua dan sapu-sapu rongsokan pun kau bungkus dan kau bawa semuanya karena engkau merasa memilikinya. Mengapa engkau berbuat seperti itu? Karena engkau telah terikat oleh kelekatanmu pada objek-objek indera itu. Barang-barang tua itu kaukemasi dengan penuh perhatian dan kau bawa karena engkau terikat kepada benda-benda itu, engkau merasa semua itu milikmu. Tetapi ada contoh lain tentang seorang pemimpin perguruan tinggi atau seorang kepala sekolah.
Pada lembaga pendidikan itu tentu ada sejumlah barang yang berharga. Misalnya dalam laboratorium ada alat-alat yang sangat mahal, juga ada banyak meja, kursi, dan beberapa jenis meubel lainnya, jam dinding, dan sebagainya. Bila kepala sekolah ini pensiun atau dipindahkan ke sekolah lain, ia tidak merasa terikat dengan barang-barang berharga yang akan ditinggalkan. Alasannya ialah karena ia tahu betul bahwa tak satu barang pun adalah miliknya. Barang-barang itu adalah milik pengurus, yayasan atau pemerintah. Karena itu, ia meninggalkan sekolah tanpa rasa keterikatan dan tanpa mempedulikan benda tersebut.
Di mana ada rasa "punyaku" atau rasa memiliki, di situ ada penderitaan. Bila engkau tidak punya rasa memiliki engkau tidak akan terikat oleh apa pun dan tidak akan menderita. Karena itu, semua belenggu, penderitaan, dan kesedihan ini hanya disebabkan oleh rasa "keakuan" atau "kemilikan". Seperti halnya kepala sekolah, engkau dapat menggunakan semua benda yang ada di dunia. Benda-benda itu sendiri jangan dibuang dan jangan menghentikan perbuatan serta kegiatanmu. Hal-hal yang dilepas hanyalah keterikatanmu terhadap benda-benda itu dan lepaskan pula keterikatanmu terhadap dunia serta kegiatan-kegiatanmu di dalamnya. Keterikatan ini harus dialihkan dan diubah. Dengan kata lain, janganlah ingin menikmati hasil kegiatanmu. Laksanakan tugasmu tanpa rasa keterikatan sama sekali sambil menyadari cacat cela pada benda-benda itu.
Bila engkau telah mengerti ketentuan-ketentuan yang mengatur dunia dan mengetahui cacat yang merupakan sifat benda duniawi, engkau akan mampu mengatasi keterikatanmu terhadap mereka. Sebelum engkau dilahirkan, siapakah orang tua dan siapakah anak? Sebelum perkawinan, siapakah suami dan siapakah istri? Setelah kelahiranlah ada orang tua dan ada anak. Sebelumnya tidak ada hubungan dan sesudahnya pun tidak akan ada hubungan. Hanya dalam masa transisi yang singkat timbul rasa memiliki dan keterikatan. Semua ini disebabkan oleh kelemahan dalam cara memandang dan cara pendekatanmu. Keterikatan ini timbul karena pikiran yang picik dan pandangan yang sempit.
Segala kesedihan dan penderitaanmu disebabkan oleh perasaan dan sikapmu sendiri. Tidak ada peluang bagi rasa kemilikan bila engkau telah menyadari kelemahan dan kekurangan objek-objek duniawi. Berusahalah memahami asa ketidakterikatan. Engkau haus mencapai suatu tingkat, di saat engkau tidak lagi mempunyai rasa keterikatan atau perbudakan walaupun dalam keadaan mimpi atau keadaan tidur nyenyak sekalipun. Jika dalam keadaan jaga engkau mempunyai rasa keterikatan, keterikatan itu dalam wujud yang halus akan ada pula dalam mimpi dan pada waktu tidur nyenyak. Keadaan dalam alam mimpi dapat diibaratkan seperti bayangan pada cermin. Apa yang kau alami dalam keadaan terjaga, bayangannya akan tampak pada alam mimpi. Karena itu, keadaan pada alam terjaga dan keadaan pada alam mimpi sama seperti benda dan bayangannya. Jika pada alam jaga engkau menempuh jalan yang benar, mengenal kebenaran, dan tingkah lakumu berada pada sinar kebenaran, maka engkau akan menempuh jalan yang benar pula dalam alam mimpi. Agar dapat maju meningkatkan diri dalam alam jaga engkau harus menyadari cacat cela objek-objek indera dan perlahan-lahan mengatasinya dengan cara melepas keterikatanmu pada benda-benda itu.
Karena waktu berjalan terus, segala sesuatu mengalami perubahan. Makanan yang baru dimasak terasa enak dan lezat. Dalam keadaan masih segar makanan itu mempunyai potensi yang sangat baik untuk memberi kemampuan dan kesehatan. Tetapi, setelah berselang dua hari makanan itu akan basi dan beracun. Apa pun juga yang kau anggap baik, berguna, sehat, dan menguntungkan, setelah beberapa lama berubah menjadi sesuatu yang tidak baik, tidak berguna, tidak sehat, dan berbahaya. Begitu pula kita ketahui adanya empat macam pengabdi; aarthi 'yang menderita', aarthaarthi 'yang mengejar anugerah materi', jignasu 'yang menekuni pengetahuan spiritual', dan jnani 'yang bijaksana'. Dengan berlalunya waktu, orang yang sama akan maju melalui semua tahap ini.
Kita juga dapat merenungkan perubahan yang terjadi dalam hidup manusia. Anak yang baru lahir disebut bayi, setelah beberapa tahun ia disebut anak-anak, dua puluh tahun kemudian ia dinamakan orang dewasa, dan tiga puluh tahun berikutnya ia menjadi kakek. Orangnya itu-itu juga, bukan empat orang, tetapi karena waktu terus berlalu, orang itu diberi nama yang berbeda sesuai dengan tahap hidup yang berlainan yang sedang dilaluinya.
Hidup sebagai manusia sulit sekali diperoleh, dan kehidupan ini mengalami banyak perubahan seiring dengan berlalunya waktu. Apabila hal itu berlaku untuk manusia, maka betapa hal ini lebih berlaku bagi semua makhluk dan benda lain di dunia. Jika engkau bertanya, apakah cacat yang paling besar pada manusia, engkau akan mendapati bahwa cacat itu adalah perubahan pada jasmaninya, entah baik entah buruk, perubahan ini tidak dapat dihindarkan. Karena perubahan telah merupakan sifat dari segala sesuatu dalam dunia ini, seyogyanya engkau tidak mengembangkan keterikatan atau rasa "memiliki" sesuatu atau seseorang.
Siapakah ayah? Siapakah ibu? Siapakah anak-anak? Siapakah anggota keluarga? Siapakah teman? Semua ini adalah wujud-wujud yang berubah, engkau tidak bisa memberikan jawaban yang sama selama-lamanya. Bila engkau telah menyadari segala perubahan yang terus terjadi dalam semua hubungan kekerabatan ini maka bagaimana engkau ingin mempunyai keterikatan kepada mereka? Gita telah mengajarkan bahwa kita harus menyadari segala perubahan yang terjadi seiring dengan lewatnya waktu sebagai kelemahan dan cacat yang mendasar. Karena itu kembangkanlah ketidakterikatan sepenuhnya terhadap wujud-wujud yang tidak sempurna yang selalu mengalami perubahan ini, mereka itu tidak langgeng.
Wairagya adalah disiplin penting pertama yang harus dilaksanakan. Yang kedua adalah abhyasa atau pengamalan terus menerus. Pengamalan atau latihan apa yang dapat disebut abhyasa? Salah satu di antaranya adalah tapa 'mati raga'. Pada saat orang mendengar kata tapa ia menjadi agak ketakutan. Ia membayangkan bahwa bertapa itu berarti tinggal di hutan, makan buah-buahan dan umbi-umbian yang ada di sana, dan menantang segala macam resiko serta penderitaan. Sebenarnya hal itu bukan tapa, itu hanya menimpakan hukuman dan penderitaan jasmani pada badanmu.
Bukan badanlah yang harus mengalami penderitaan melainkan pikiran. Tapa adalah upaya menyiksa sifat rajas dan tamas dalam pikiranmu, rasa diri sebagai pelaku, dan rasa memiliki, sehingga hal-hal tersebut lepas dari dirimu. Tapa juga berarti menghilangkan cacat yang terkandung dalam alat indera. Inilah tapa yang sejati. Ada tiga jenis tapa: yang pertama adalah tapa jasmani, yang kedua tapa suara untuk lidah, dan yang ketiga tapa batin.
Tapa jasmani adalah menggunakan badan untuk berbuat baik, termasuk memuja Tuhan dan menyatakan rasa syukurmu dengan melayani para mahatma. Jika engkau mendapat restu mereka, maka rasa keakuan dan rasa kemilikanmu lambat laun akan berkurang. Bila sifat negatif ini berkurang, maka secara otomatis sifat-sifat dan perbuatan yang baik akan berkembang. Engkau akan tertarik pada pergaulan yang baik, kepada satsang. Di sini engkau mulai membaca dan mempelajari Gita, Ramayana, Upanishad, dan kitab-kitab suci agung lainnya.
Selain ini engkau juga akan beramal untuk pendidikan, untuk obat dan rumah sakit, untuk memberi makan orang-orang miskin, dan hal-hl yang baik lainnya, seperti juga kebiasaan beramal secara tradisional seperti menghadiahkan emas, sai, dan tanah, merupakan salah satu cara untuk menggunakan badan dalam kegiatan suci, demikian pula kini engkau tidak akan mengerjakan sesuatu yang merusak atau terlarang, maka engkau tidak menempatkan dirimu di bawah pengaruh rajo dan tamo guna. Engkau melepaskan dirimu dari belenggu rajo dan tamo guna. Engkau melepaskan dirimu dari belenggu kedua sifat ini. Semua ini dapat dianggap sebagai mati raga atau tapa jasmani.
Tapa suara adalah mengucapkan kata-kata yang baik serta mulia. Bahkan pada waktu engkau mengucapkan suatu kebenaran engkau tidak boleh keras atau menusuk perasaan, engkau harus berhati-hati jangan sampai menyakiti hati orang lain. Walau hal itu benar, engkau tidak boleh galak atau melukai orang lain. Dalam hal ini Gita telah mengajarkan bahwa kebenaran itu harus manis dan lemah lembut. Pergunakanlah lidah suci yang telah dianugerahkan Tuhan kepadamu itu untuk memberi kegembiraan dan kebahagiaan serta menolong mereka. Janganlah lidahmu menyebabkan orang lain menderita batin. Pergunakan lidahmu untuk menggambarkan kemuliaan Tuhan. Gunakanlah kata-kata yang sangat bermanfaat bagi orang lain. Engkau harus mampu menjelaskan kepada orang lain semua pengalaman yang baik dan agung yang telah kau miliki. Engkau patut menunjukkan jalan yang benar bila orang lain menempuh jalan yang keliru, dengan menggunakan kata-kata yang baik dan lemah lembut. Jagalah jangan sampai dusta memasuki hatimu atau memasuki pembicaraanmu. Engkau harus benar-benar mahir melaksanakan kebenaran dan tanpa kekerasan.
Jika engkau mengikuti jalan kebenaran, mungkin akan banyak kesulitan yang harus kau hadapi. Ada seorang resi bijaksana yang sedang bertapa. Ia telah bersumpah untuk menempuh jalan kebenaran dan tanpa kekerasan, apa pun yang terjadi. Seorang pemburu kejam yang mendengar hal ini mencoba membujuk pertapa itu agar membatalkan sumpahnya. Pemburu itu mengejar seekor rusa sedemikian rupa sehingga menjangan tersebut lewat di depan resi yang sedang tekun melakukan tapa. Resi itu melihat rusa bersembunyi dalam semak-semak. Si Pemburu datang berlari-lari dan bertanya kepada pertapa itu, "Apakah Anda melihat rusa lewat di sini?" Resi itu berada dalam konflik batin yang hebat. Jika ia mengatakan yang sebenarnya, ia akan mencelakakan rusa itu, tetapi jika ia tidak mengatakan yang sebenarnya, berarti ia melanggar sumpah. Di satu pihak ia akan berdosa karena menyebabkan makhluk lain menderita, di pihak lain ia akan berdosa karena berbohong.
Sang pertapa menemukan jalan yang baik sekali untuk mengatasi dilema ini. Ia menjawab pemburu dengan kata-kata yang membingungkan. Jawabnya: "Mata yang memandang tidak dapat berbicara dan mulut yang bicara tidak dapat melihat. Aku tidak bisa membuat yang melihat itu berbicara dan yang dapat berbicara melihat. Itu suatu kebenaran." Walau pun berada dalam keadaan yang sangat menyulitkan kita tidak boleh mengatakan yang tidak benar, tetapi mungkin kita juga tidak dapat mengatakan yang sebenarnya. Bila engkau melakukan tapa suara, kadang-kadang timbul hal yang sulit seperti ini. Engkau harus melakukan segala usaha agar dapat lolos tanpa mengatakan hal yang tidak benar. Dalam keadaan bagaimana pun jangan berbohong. Jika engkau tidak dapat mengatakan yang sebenarnya lebih baik engkau diam dan tidak berbicara daripada mengatakan yang tidak benar.
Kemudian tapa yang ketiga yaitu tapa batin. Dalam tapa ini engkau harus mengembangkan sifat-sifat yang baik dan kebajikan. Pikiran apa pun yang terlintas dalam benakmu akan tercermin pada wajahmu. Karena itu orang mengatakan bahwa wajah merupakan indeks pikiran. Segala pikiran akan tercermin pada wajahmu. Bila engkau sedang bersedih hati, wajahmu akan memperlihatkan perasaan itu. Bila engkau mempunyai pikiran yang suci wajahmu akan kelihatan riang. Dengan cara ini pengaruh pikiran serta gagasan-gagasannya dapat diketahui dengan mudah.
Hanya bila engkau mempunyai pikiran-pikiran yang suci, perasaan yang suci, dan ide yang suci, hidupmu akan bahagia dan gembira. Kalau pikiranmu sedang kusut, lalu ada orang yang datang untuk berbicara dengan engkau, walaupun engkau berusaha tersenyum, senyummu akan kelihatan tidak wajar dan akan menampakkan perasaan hatimu yang terganggu itu. Jangan sampai engkau terhanyut dalam keadaan seperti itu, usahakan agar hatimu selalu gembira. Bilakah engkau merasa bahagia dan riang? Hanya bila pikiranmu baik dan suci. Agar bisa memiliki pikiran yang baik dan suci, sedapat mungkin engkau harus berlatih mengendalikan pikiran.
Setidak-tidaknya selama beberapa jam sehari engkau harus berlatih untuk diam, tidak berbicara. Dengan demikian pikiranmu akan diistirahatkan dari kegiatan berbicara dan membentuk gelombang pikiran. Konsentrasi kepada Tuhan sambil mengulang-ulang nama-Nya akan menyebabkan kesucian lahir dan batin. Seperti halnya engkau mandi dan membersihkan badan setiap hari, pikiran pun harus dibasuh dan dibersihkan secara teratur agar kesegaran serta kesuciannya pulih kembali. Kini engkau hanya memperhatikan kebersihan jasmani, tetapi kebersihan batin pun tidak kalah pentingnya bagi hidupmu. Pikiran yang baik, perasaan yang baik, dan perbuatan yang baik bersama-sama akan melahirkan kesucian batin.
Sesungguhnya tapa berarti mengusahakan kesatuan fisik, vokal, dan mental dengan mengusahakan satunya perbuatan, perkataan, dan pikiran. Inilah tapa yang sejati. Seorang mahatma, seorang jiwa besar, adalah orang yang mampu menikmati kesatuan dari ketiga hal ini. Jika pikiran, perkataan, dan perbuatan tidak sama maka seseorang tidak bisa dinamakan orang besar. Tapa berarti memusnahkan sifat rajo dan tamo 'sifat yang penuh nafsu dan malas' dengan cara menyatukan kedua sifat itu dengan sifat satwa yang harmonis. Hal ini dapat ditimbulkan dengan mengendalikan tamo guna dengan bantuan rajo guna; dengan jalan itu engkau dapat menikmati keselarasan ketiga sifat yang telah menyatu itu. Akhirnya engkau harus mengatasi pengaruh satwa guna itu sendiri.
Misalnya engkau menginjak duri. Jika engkau ingin mencabut duri itu dari kakimu, engkau tidak perlu mencari alat khusus. Duri yang lain dapat dipakai untuk mencabut yang pertama. Kemudian engkau dapat membuang kedua duri itu. Demikian pula kedua guna yang lebih rendah yang selalu menyusahkan engkau, dapat dilenyapkan dengan duri satwa guna. Sebelum kedua guna itu lenyap, engkau memerlukan satwa guna. Satwa guna dapat digambarkan sebagai rantai emas, rajo guna sebagai rantai tembaga, dan tamo guna sebagai rantai besi. Ketiga rantai itu sama-sama mengikat dirimu. Nilai masing-masing logam mungkin berbeda, namun semuanya mengikat.
Jika seseorang terikat oleh rantai emas, apakah ia akan merasa bahagia? Tentu tidak! Apa pun bahan rantai itu apakah emas, tembaga, atau besi; belenggu tetap belenggu. Karena itu satwa guna sekalipun menyebabkan keterikatan, dan akhirnya engkau harus pula melepaskannya. Engkau harus membebaskan dirimu dari segala ikatan; tetapi sebelum engkau mencapai Tuhan, engkau masih membutuhkan satwa guna. Setelah engkau manunggal dengan Tuhan, satwa guna tidak lagi. Dalam keadaan seperti itu tidak ada lagi masalah tiga guna itu. Hanya bila engkau telah mempersembahkan ketiga sifat itu kepada Tuhan dan mampu melampauinya, engkau akan terbebas dari ikatan rantai itu.
Gita telah mengajarkan bahwa untuk mengendalikan pikiran, abhyasa dan wairagya 'pengamalan yang tiada putusnya dan pengunduran diri' sangat penting. Latihan atau pengamalan tidak hanya berarti melakukan upacara keagamaan setiap hari. Menggunakan badan, pikiran, dan ucapan sedemikian rupa sehingga engkau tidak terjerat dalam keterikatan, itulah yang dimaksud dengan pengamalan. Pengamalan atau latihan artinya mengarahkan seluruh hidupmu untuk mencapai Tuhan. Setiap kata yang kau ucapkan, setiap gagasan yang kau pikirkan, dan setiap kegiatan yang kau lakukan harus suci dan selalu mengarah pada kebenaran. Kebenaran dan kesucian adalah alat yang sejati untuk melaksanakan tapa. Aku menghimbau agar engkau membina sifat-sifat mulia ini sehingga dengan demikian hidupmu akan tersucikan.