Kamis, 03 Februari 2011

PERCAKAPAN 6 TIGA TAHAP JALAN SPIRITUAL

PERCAKAPAN 6
TIGA TAHAP JALAN SPIRITUAL
Oh Arjuna! Hanya melalui pengabdian sepenuh hati, engkau dapat memahami Aku, engkau dapat melihat Aku yang sesungguhnya, dan engkau dapat masuk ke dalam Aku serta manunggal dengan Aku."
________________________________________

Dengan berbagai cara, Tuhan telah mengajarkan dalam Gita tentang tiga tahap yang penting pada jalan spiritual. Pada akhir bab ke-11, ketika Krishna memberikan penampakan wujud kosmis-Nya kepada Arjuna, engkau akan menemukan tiga kata ini: jnatum, drashtum, dan praweshtum. Jnatum artinya mengetahui bahwa Tuhan ada di sini. Drashtum artinya melihat Dia secara langsung. Dan praweshtum artinya manunggal dengan Dia. Demikianlah penjelasan tahap-tahap yang harus kau ikuti untuk mencapai tujuan. Jika engkau mencari kebebasan, engkau harus mengambil ketiga langkah ini. Dalam tahap yang pertama yaitu jnatum, engkau belajar dari kitab-kitab suci atau seorang guru bahwa Tuhan benar-benar ada. Tetapi, sekedar mengetahui kebenaran ini tidak akan memberimu kebahagiaan yang tak terbatas. Engkau menemukan bahwa Tuhan ada, tetapi juga menyadari bahwa engkau terpisah dari Tuhan. Ini merupakan dwaita atau dualisme. Dwaita dapat menjadi dasar untuk langkah-langkah berikutnya pada jalan spiritual, tetapi tidak memberikan kepuasan abadi.
Lambat laun keinginanmu meningkat untuk memperoleh darshan yaitu penghayatan dan penglihatan langsung perwujudan Tuhan. bagaimana engkau dapat melihat Tuhan dengan cara ini? Jika engkau hanya mengharapkannya, hal ini tidak mudah terpenuhi. Engkau harus benar-benar merindukan penglihatan ini; engkau harus tak henti-hentinya berhasrat untuk melihat Tuhan. Kini engkau mesti berkeinginan melihat serta menghayati secara langsung wujud atau aspek Tuhan yang mana saja yang telah kau ketahui karena membaca atau mendengarnya. Jika kerinduanmu itu sungguh-sungguh dari hati, maka lambat laun Tuhan akan menampakkan diri-Nya secara amat pribadi kepadamu dalam perwujudan yang nyata, dan memberimu penampakan Tuhan yang kau rindukan. Ada suatu cerita yang menggambarkan hal ini.
Ada seorang anak gembala yang miskin. Ia mempunyai iman yang besar dan berhasrat sekali melihat Tuhan. Pada suatu hari ada seorang pendharma wacana atau seorang harikathadas yang datang ke desanya untuk memberikan ceramah-ceramah spiritual. Ia mengumpulkan pendengar dan menyanyikan keagungan serta kebesaran Tuhan. Anak gembala ini tidak mungkin meninggalkan kerjanya untuk mendengarkan semua dharma wacana karena sepanjang hari ia harus menunggui ternaknya. Tetapi pada malam hari setelah mengandangkan hewannya, ia datang dan ikut menghadiri ceramah. Anak gembala itu mendengarkan dengan penuh perhatian.
Pada suatu malam pendeta itu menjelaskan ciri-ciri khas Dewa Wisnu. Dalam wacananya berulang-ulang ia menggambarkan citra Wisnu secara tradisional sebagai tokoh yang berkulit hitam, memakai tanda putih di dahinya, dan mengendarai garuda putih. Pendeta itu juga menjelaskan bahwa Wisnu selalu bersedia menyelamatkan orang yang berlindung kepada-Nya dengan penuh kepercayaan. Semua penjelasan sang pendeta mengenai sifat-sifat Tuhan menimbulkan kesan yang tak terhapuskan dalam hati anak gembala itu. Pendeta itu juga mengatakan bahwa Tuhan amat menyenangi musik, dan kasih-Nya dapat diraih dengan memanjatkan doa-doa kita kepada-Nya dalam bentuk lagu yang dinyanyikan dengan penuh hormat sebagai curahan kalbu.
Nah, anak gembala ini selalu membawa bekal makanan untuk makan siang. Setiap hari ia mempersembahkan makanan itu kepada Tuhan dengan ikhlas dan penuh bhakti dan mohon agar Tuhan menyantapnya. Ia mengawali doanya dengan nyanyian, "Oh Tuhan yang hitam, Engkau mengendarai garuda putih, demikian kata orang. Datanglah. Datanglah ke mari dan terimalah persembahanku ini." Anak itu terus memanjatkan doa seperti itu selama seminggu. Ia tidak makan karena Tuhan tidak ikut menyantapkan. Pada akhir minggu badannya menjadi sangat lemah. Di samping badannya yang lemah, ia menderita kesedihan yang mendalam karena merasa bahwa nyanyiannya kurang sempurna sehingga Tuhan tidak berkenan menjawab. Ia begitu yakin bahwa Tuhan tidak mau datang menerima persembahannya karena nyanyiannya kurang sempurna. Karena itu, dengan tekad yang teguh dan bhakti yang besar ia terus berlatih menyanyi dengan harapan pada akhirnya ia pasti akan menerima belas kasihan Tuhan.
Dalam keadaan badan yang lemah ia sampai di hutan. Ia merasa amat lelah, tetapi ia tidak mau makan sebelum persembahannya diterima oleh Tuhan. Kini ia menyanyikan lagunya dengan sangat merdu. Anak gembala ini bernyanyi terus dan memohon agar Tuhan turun menyantap makanan sebagai pemuas lapar-Nya, dan minum minuman yang dipersembahkannya sebagai pemuas dahaga. Ketika ada keselarasan yang sempurna dalam perasaan, nada, dan makna lagu, Tuhan pun datang. Bagaimanakah Tuhan menampakkan diri di depan anak itu? Ia datang sebagai seorang anak pendeta. Anak gembala bertanya kepada anak pendeta yang berdiri di depannya, "Hai kawan, siapakah engkau? Apakah engkau pelancong yang lewat hutan ini?" Anak pendeta menjawab, "Aku ini Narayana. Engkau berdoa untuk melihat Aku, maka Aku datang untuk memberimu darshan." Si anak gembala melanjutkan bertanya dalam nyanyian yang merdu karena ia ingat bahwa Tuhan menyukai suara musik yang merdu. "Tetapi Engkau tidak cocok dengan gambaran tentang Tuhan bahwa Ia hitam, memakai tanda putih pada dahi-Nya, dan mengendarai garuda putih. Pendeta mengatakan bahwa seperti itulah Tuhan, namun rupanya itu tidak benar. Oh, jika engkau adalah Tuhan, lenyapkanlah keragu-raguanku dan perlihatkanlah kepadaku wujud-Mu yang sesungguhnya."
Anak gembala ini telah mendengar gambaran tentang Tuhan; sekarang ia ingin melihat dan menghayati-Nya secara langsung, tepat seperti yang didengarnya dalam ceramah. Tetapi, Tuhan tidak memiliki wujud tertentu; Ia mempunyai seribu mata, seribu telinga, seribu tangan, dan seribu kaki. Tetapi, agar para pengabdi yang merindukan-Nya merasa senang dan puas. Ia mengambil wujud tertentu seperti yang diidam-idamkan. Inilah tahap drashtum ketika seseorang merindukan penampakan Tuhan. Jika penglihatan itu diperoleh, penampakan tersebut tetap bukan wujud Tuhan yang sesungguhnya, tetapi merupakan suatu wujud yang dipilih karena doa permohonan pengabdi. Tuhan menyenangi ketulusan dan perasaan yang benar-benar timbul dari lubuk hati dan karena itu, untuk menyenangkan hati pengabdi-Nya, ia menganugerahkan darshan dalam wujud-Nya yang paling menyenangkan hati pengabdi. Untuk memuaskan hati anak gembala ini Tuhan mengambil wujud Wisnu yang bersinar indah, dan menerima makanan serta minuman yang dipersembahkan dengan penuh cinta kasih oleh anak itu.
Setelah Tuhan pergi, anak gembala itu berpikir, "Mula-mula aku mendengar uraian tentang Dia, dan aku lalu berdoa agar dapat melihat-Nya. Ia sudah datang dan aku bisa melihat-Nya langsung. Tetapi, bagaimana aku dapat mencapai Dia dan tetap bersama Dia?" Hanya dengan mendengar seorang pengabdi tidak akan merasa puas. Ia juga tidak akan mendapat kepuasan sepenuhnya hanya dengan melihat Tuhan. Setelah melihat, ia rindu ingin manunggal sepenuhnya dengan Dia. Hanya setelah itulah pengabdi akan berada dalam kebahagiaan abadi. Dalam kisah gembala ini, Tuhan telah memberikan darshan kepada anak itu lalu menghilang. Tetapi sejak saat itu citra Tuhan seperti yang dilihat anak itu dalam wujud Wisnu, tetap terukir di hatinya. Setelah terbayang wujud yang indah itu dalam mata batinnya, sekarang ia hanya memikirkan bagaimana caranya mencapai Tuhan dan menyatu dengan-Nya. Inilah tahap praweshtum yaitu tahap ketiga.
Sama seperti yang dijelaskan dalam cerita ini baik dengan mendengarkan orang pandai maupun dengan membaca dan mempelajari kitab-kitab suci, engkau memperoleh sedikit gambaran seperti apa sebenarnya Tuhan itu. Tetapi, akhirnya engkau tidak akan merasa puas sampai di sini. Ini masih merupakan tahap dualisme belaka. Engkau harus berusaha melampaui tahap dualisme ini menuju tahap yang disebut Wishishtadwaita atau nondualisme yang terbatas. Yang dimaksud ialah kerinduan yang mendalam untuk melihat dan menghayati Tuhan. Bagaimana caranya agar mendapat penampakan-Nya? Dengan membayangkan dalam hati wujud Tuhan yang mana saja yang telah kau dengar uraiannya, kemudian memikirkan dan merenungkan wujud itu terus menerus. Apa pun yang kau kerjakan, apa pun yang kau lihat, dan apa pun juga yang kau dengarkan, engkau harus menyatu dengan citra yang tergambar di hatimu.
Wujud tertentu dari Tuhan yang telah kau dengar kemudian menjadi gambaran yang selalu terbayang dalam pikiranmu. Bayangkan wujud Tuhan itu kemudian harus kau resapi dengan rasa pengabdian sehingga menjadi terukir di hatimu. Lama kelamaan perasaan ini akan makin mendalam dan makin kuat hingga pada suatu hari engkau akan mendapat penampakan Tuhan yang sesungguhnya. Jadi, mula-mula Tuhan itu dibayangkan, kemudian dirasakan, dan akhirnya dihayati secara langsung. Dengan kata lain wujud pikiran berubah menjadi wujud rasa, yang lalu berubah menjadi pengalaman nyata. Itulah tahap drashtum, yaitu tahap yang kedua pada jalan spiritual. Egkau tidak hanya akan mendapat darshan Tuhan yang telah lama kau rindukan secara pribadi, tetapi engkau juga akan mendapat kesempatan bertatap muka dan berbicara dengan Dia.
Setelah melihat Tuhan demikian dan berbicara dengan Dia secara langsung, engkau akan merasa agak puas. Tetapi jika engkau adalah pengabdi yang sejati, kesempatan emas ini pun belum memberimu kepuasan sepenuhnya. Selanjutnya engkau ingin mencapai Tuhan dan manunggal dengan Dia. Engkau berpikir, "Aku telah mendengar, jnatum, aku telah melihat, drashtum." Perasaan, "aku adalah bagian dari Tuhan," telah terwujudkan dengan melihat Dia. Sebelumnya, pada tahap jnatum, ketika melalui membaca dan mendengar, engkau bisa mengetahui adanya Tuhan, engkau merasa bahwa Tuhan terpisah dengan engkau. Tetapi dalam tahap drashtum, engkau melihat Tuhan dan merasakan bahwa engkau adalah bagian dari Dia. Itulah tahap wishishtadwaita. Tetapi selanjutnya engkau meningkat kepada rasa bahwa "Tuhan dan aku adalah satu, tidak terpisah"; inilah tahap adwaita 'nondualisme yang sempurna'. Pada tahap ini engkau merasa, "Atau aku harus manunggal dengan Dia, atau Dia harus menyatu dengan aku. Kemudian akan terjadilah persatuan yang sempurna."
Selama masih ada sungai yang terpisah jauh dari samudra yang merupakan sumber dan tujuannya, maka sungai itu tetap memakai nama sendiri dan mempunyai identitas sendiri. Tetapi setelah sungai itu menyatu dengan laut, ia mempunyai rasa seperti air laut, mempunyai bentuk seperti samudra, dan memakai nama samudra itu. Bila engkau ingin menyatu dengan Tuhan, engkau harus mempunyai perasaan Tuhan, engkau harus memperoleh wujud Tuhan engkau mempunyai semua sifat Tuhan itu sendiri. Dalam keadaan seperti itu barulah engkau dapat menyatu dengan Tuhan.
Engkau harus merasa bahwa semua sifat Tuhan terwujud dalam dirimu. "Kelapangan hati Tuhan harus menjadi bagian dari diriku. Sifat tidak mementingkan diri sendiri yang merupakan ciri khas Tuhan harus menjadi bagian dari diriku. Cinta kasih Tuhan yang tidak terbatas harus menjadi bagian dari diriku." Jika engkau memiliki perasaan ini maka engkau mencapai tahap "aku dan Dia satu", dan terjadilah kemanunggalan yang sempurna. Engkau harus tak putus-putusnya berusaha mencapai perasaan ini; kerahkan segenap tenagamu untuk mencapainya. Kemudian pada suatu hari engkau akan mencapai tujuan itu. Inilah tujuan akhir umat manusia.
Makhluk hidup mencapai pemenuhan atau tujuan akhir, hanya bila ia mencapai tempat asal kedatangannya. Bahkan dalam kehidupan duniawi pun engkau dapat melihat usaha yang merupakan langkah tahap demi tahap untuk mencapai suatu tujuan. Ambillah contoh berikut. Misalnya sejumlah mangga telah sampai ke pasar dan mangga itu kebetulan buah yang sangat kau sukai. Mungkin ada jenis mangga tertentu yang merupakan kegemaranmu. Temanmu datang dan memberitahukan kepadamu bahwa ada orang di pasar menjual mangga tersebut. Saat engkau mendengar berita ini, engkau mendapat suatu kepuasan; engkau gembira membayangkan mangga itu, walaupun belum mendapat buahnya dan belum merasakannya.
Saat engkau mendapat berita itu engkau bergegas ke pasar untuk mencari mangga itu dan apakah masih ada yang belum terjual. Ya, benar masih ada. Selanjutnya engkau melihat-lihat mangga itu. Ini memberikan lagi suatu kepuasan, namun engkau belum puas betul. Kemudian engkau menaruh mangga pilihanmu dalam tas dan membayarnya. Dalam perjalanan pulang engkau terus membayangkan mangga itu merasa mujur mendapatkan mangga lezat seperti itu dan ingin sekali merasakannya. Mengapa engkau begitu lama membayangkan buah itu? Karena engkau luar biasa menyukai buah itu dan tingkah lakumu untuk mencari dan mendapatkannya membuktikan betapa cintamu kepada buah itu.
Engkau akan merasa sangat gembira bila suatu perasaan yang telah lama kau rasakan menggebu dalam hatimu, lalu mewujud dan dapat kau lihat dengan mata jasmanimu. Sebenarnya apa pun yang engkau lihat di luar, selalu hanya merupakan pantulan pikiranmu. Bila engkau mempunyai suatu keinginan, harapan hati yang sangat kuat itu akan kau wujudkan secara nyata. Maka mangga tadi engkau bawa pulang, engkau cuci bersih-bersih, dan kau kupas. Kemudian engkau mulai makan mangga itu dan menikmati kelezatannya dengan sangat gembira. Sekarang juice mangga yang lezat itu bukan lagi sesuatu yang ada di luar dirimu, melainkan telah menjadi bagian dirimu. Dengan demikian engkau memperoleh kesenangan yang besar sekali dan engkau mengalami kebahagiaan yang tak terhingga.
Apakah alasan kegembiraan yang demikian besar? Coba kita buat urutan prosesnya. Mula-mula engkau tahu bahwa buah yang kau sukai dapat dibeli di pasar. Itu disebut jnatum yaitu mengetahui. Setelah mendengar berita itu engkau tidak berkecil hati melainkan timbul keinginan yang besar untuk memperoleh buah itu dan menikmatinya. Kemudian pergi ke pasar dengan keinginan yang menggebu-gebu untuk melihat buah itu di sana. Akhirnya engkau menemukannya dan memandangi buah itu. Tahap melihat ini disebut drashtum. Setelah melihat, engkau membeli dan memakannya. Tahap ini disebut. praweshtum, masuk dan menjadi satu dengan benda yang kau inginkan.
Apakah engkau mempunyai perasaan sekuat itu terhadap Tuhan? Kerinduan seperti itulah yang harus kau kembangkan. Setelah mendengarkan serangkaian dharma wacana, setelah membaca banyak kitab suci, dan setelah mengetahui bahwa Tuhan ada, engkau harus rindu sekali ingin melihat-Nya; jika tidak demikian segala usahamu akan sia-sia. Engkau harus berusaha sekuat tenaga untuk mendapat penampakan Tuhan secara langsung.
Di sini ada sejumlah siswa dan guru. Seorang siswa yang telah memasuki tingkat pertama tidak akan merasa puas bila tetap berada di tingkat itu. Ia ingin maju ke tingkat yang lebih tinggi. Jika seorang siswa tidak naik kelas, ia akan merasa putus asa dan sedih. Ia akan merasa sangat kecewa dan teman-temannya pun akan mengolok-oloknya. Demikian pula jika pengabdianmu tetap berada pada tahap pertama yaitu tahap dwaita, tanpa ada pengikatan spiritual, engkau akan dianggap rendah oleh sesama pengabdi. Mereka akan berkata, "Lihat kawan kita ini. Ia telah mengikuti ceramah kerohanian begitu lama dan telah membaca semua kitab suci, tetapi apa hasilnya? Ia tidak menunjukkan kemajuan."
Keadaan yang tidak menguntungkan ini, yang tetap saja berada pada tahap pertama, tidak beranjak maju, merupakan ciri khas tamo guna, yaitu sifat yang lembam atau malas. engkau harus menyingkirkan sifat tamas ini dan maju dari tahap dwaita ke tahap berikutnya, yaitu wishishtadwaita. Melalui kontemplasi pada Tuhan yang dilakukan dengan tiada putusnya, engkau harus berusaha mendapat penampakan Tuhan secara langsung dalam wujud yang engkau pilih. Dengan keinginan keras engkau akan mendapatkan kesempatan yang sangat kau dambakan untuk melihat Tuhan dan berbicara dengan Dia, bertatap muka, dan mengabdi kepada-Nya dengan berbagai cara.
Namun demikian engkau belum boleh merasa puas. Engkau harus berjuang agar dapat mencapai tahap selanjutnya. Jangan berhenti, jangan merasa senang atau merasa puas sebelum engkau mencapai tahap akhir, yaitu adwaita, kemanunggalan yang sempurna dengan Dia dan kesadaran akan keEsaan Tuhan. Sekarang ini engkau hanya menginginkan ketenangan jasmani dan berusaha memperoleh kedamaian hati ala kadarnya. Ini kurang bermanfaat. Engkau harus mencapai kedamaian atma yang kekal. Bila engkau menyatu dengan-Nya, engkau adalah kedamaian itu sendiri. Atma adalah perwujudan perdamaian yang abadi. Jiwatman 'sang pribadi' harus menyatu dengan Paramatma "Tuhan yang universal', dengan demikian perjalanan yang panjang akhirnya terselesaikan dan kebahagiaan abadi terwujudkan.
Sebuah sungai berasal dari samudra dan kembali ke samudra. Tetapi bagaimana terjadinya sungai itu? Mula-mula air laut menjadi awan. Setelah air itu berubah menjadi awan terjadilah pemisahan dan dualisme. Awan sendiri, laut pun sendiri. Air laut asin, setelah menjadi awan ia manis. Kemudian awan turun menjadi hujan; engkau dapat menyebutnya hujan cinta karena hujan ini menjadi sungai dan dengan penuh semangat mengalir untuk bersatu kembali dengan samudra. Proses ini dapat dibandingkan dengan tahap wishishtadwaita atau tahap drashtum; di sini timbul kesedihan yang mendalam dan kerinduan yang meluap-luap untuk makin mendekati tujuan akhir. Bila engkau berada pada tahap ini, engkau rindu sekali ingin kembali ke kampung halaman yang telah terpisah dari engkau. Air yang ada di sungai terdorong untuk bersatu kembali dengan laut yang merupakan tempat asalnya. Akhirnya ia mencapai tujuan. Tahap ini disebut adwaita atau praweshtum.
Engkau lahir sebagai manusia dan engkau telah melewatkan sebagian masa hidupmu sebagai manusia biasa. Namun engkau telah memilih untuk menempuh jalan hidup spiritual. Engkau mencari teman yang baik, satsang. Engkau mendengarkan cerita-cerita kitab suci yang memaparkan sifat-sifat suci Tuhan. Tetapi sekarang engkau merasa bahwa semua ini belum cukup. Engkau rindu ingin memperoleh penampakan Tuhan secara langsung. Itu pun belum dapat memuaskan engkau. Hanya dengan mendapat kesempatan melihat dan berbicara dengan Tuhan engkau belum merasa mendapat kebahagiaan yang abadi. Namun bila akhirnya engkau mengalami kemanunggalan sempurna dengan Dia, maka apa yang kau inginkan terkabul sepenuhnya karena engkau menyatu dengan kedamaian dan kebahagiaan abadi, yaitu Tuhan sendiri. Inilah ajaran yang diberikan oleh Krishna kepada Arjuna dalam medan pertempuran Dharmakshetra.
Dalam Gita, Krishna menggunakan beberapa nama untuk Arjuna. Dhananjaya adalah nama yang terakhir diberikan kepadanya. Dalam kehidupan duniawi beberapa gelar dan nama dapat diberikan kepada seseorang. Dalam Gita, Tuhan sendiri dalam wujud Krishna yang memberikan nama yang berbeda-beda kepada Arjuna. Krishna berkata kepada Arjuna, "Oh Arjuna, engkau bukan putra kematian. Engkau adalah ketuhanan itu sendiri. Engkau adalah putra kekekalan." Dalam hidupnya Arjuna mengalami berbagai percobaan yang berat yang dihadapinya dengan gagah berani; untuk itu ia diberi beberapa gelar. Untuk mendapat senjata Gandhiwanya yang ampuh, ia melakukan tapa brata yang ketat dan menghadapi masalah-masalah yang berat; tetapi semua itu dijalaninya dengan ketakwaan, keberanian, dan keyakinan. Ketetapan hatinya dalam menghadapi segala hambatan akhirnya membuahkan ganjaran berupa senjata suci yang diberikan oleh Dewa Shiwa. Dalam proses meraih senjata yang bertuah itu ia pun harus menghadapi tantangan unsur-unsur alam, namun tak ada yang dapat menghambat tekadnya yang teguh untuk mencapai tujuan. Karena ia mampu meraih Dhanu atau busur sakti itu, maka Tuhan memberinya gelar Dhananjaya.
Tetapi dari segi keduniawian ia juga dapat dinamakan Dhananjaya yang artinya orang yang berhasil memperoleh harta benda. Ada suatu cerita mengenai hal ini. Dharmaraja, anak tertua dalam keluarga Pandawa, sebagai raja ingin menyelenggarakan Rajasuya Yaga yaitu suatu upacara pengorbanan agung yang diselenggarakan oleh Adiraja. Pada waktu itu Pandawa dimusuhi oleh Kurawa, putra-putra Dhritarasthra. Di samping itu perbendaharaan Pandawa kosong, mereka tidak mempunyai uang. Dalam kesulitan seperti itu hampir tidak mungkin melangsungkan yaga sehebat itu. Namun, Dharmaraja tetap berkeras hati untuk menyelenggarakannya. Ia berkata kepada Arjuna, "Adikku Arjuna, yaga ini akan memerlukan biaya yang sangat besar. Kita membutuhkan dana yang sangat banyak. Dari mana kita akan memperoleh uang itu?" Arjuna menjawab, "Kakak Dharmaraja, mengapa cemas mengenai uang, bukankah kita mempunyai pohon yang mengabulkan segala keinginan, dalam wujud Krishna? Mengapa kita takut? Kalau Krishna merestui kita, kita akan dapat memperoleh uang, berapa pun juga banyaknya."
Arjuna pergi menemui para raja yang memerintah kawasan sekitarnya untuk memberitahu mereka tentang niat Dharmaraja mengadakan upacara pengorbanan agung itu. Setelah para raja tersebut mendengar hal itu mereka siap membantu Dharmaraja dengan harta mereka, maka Arjuna kembali dengan membawa harta benda tak ternilai jumlahnya sehingga membutuhkan berpuluh-puluh gajah untuk mengangkutnya. Emas, perak, dan permata bertumpuk-tumpuk. Krishna yang telah menciptakan keadaan ini datang dan berbuat seolah-olah Ia tidak tahu apa-apa. Ia bertanya kepada Dharmaraja, "Dari mana engkau mendapatkan harta sebanyak ini? Dari mana saja semua ini? Karena tidak tahu, Dharmaraja menjawab, "Berkat usaha Arjuna saya memperoleh semua ini."
Sejak itu Krishna memanggil Arjuna dengan nama Dhananjaya. Dengan demikian Ia menyembunyikan peranan-Nya sendiri dan mengumumkan kepada dunia bahwa Arjunalah yang berhasil mengumpulkan harta sebanyak itu. Ada beberapa nama lain yang diberikan kepada Arjuna, misalnya Partha 'putra bumi'. Nama-nama ini bukan untuk Arjuna saja. Bila engkau mendengar nama-nama ini engkau dapat menggunakannya untuk dirimu sendiri; setiap nama mengandung arti yang dalam dan menunjukkan betapa besar rahmat Tuhan kepada para pengabdi-Nya. Jadikanlah nama itu bagian dari dirimu; hayatilah dan wujudkanlah artinya dengan menerapkannya dalam kehidupanmu sehari-hari.