Kamis, 03 Februari 2011

PERCAKAPAN 32 KARMA YOGA - TIDAK INGIN MENIKMATI HASILNYA

PERCAKAPAN 32
KARMA YOGA - TIDAK INGIN MENIKMATI HASILNYA
Berulang kali Krishna berkata kepada Arjuna, "Arjuna, lakukan tugasmu. Lakukanlah pekerjaan yang benar. Tetapi jangan ingin menikmati hasil pekerjaanmu itu."
________________________________________
Di dunia ini semua pekerjaan dilakukan untuk memperoleh ganjaran atau dengan kata lain, untuk mendapat hasil. Jika pekerjaan itu tidak mendatangkan hasil, manusia tidak akan bekerja sama sekali. Apakah keberatan Krishna bila Arjuna menginginkan hasil pekerjaannya? Bila semua orang melakukan pekerjaan untuk mendapatkan hasil, apakah arti yang lebih mendalam ajaran Krishna kepada Arjuna untuk bekerja tanpa mengharapkan ganjaran? Tujuan Krishna adalah agar segala karma atau perbuatan yang dilakukan oleh Arjuna diubah menjadi yoga sehingga kegiatan itu membawanya menuju ke persatuan dengan Tuhan. Ajaran Krishna adalah agar perbuatan Arjuna tidak hanya berupa karma, tetapi kegiatan itu harus menjadi sarana bagi Arjuna untuk mencapai tujuan spiritualnya, dengan kata lain agar perbuatannya itu menjadi karma yoga.
Bila engkau melakukan perbuatan dengan kesadaran badan, yaitu bila engkau menyamakan dirimu dengan manusia yang berbuat, maka perbuatan itu tidak akan menjadi karma yoga. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan perasaan ego, merasa bahwa aku yang berbuat, atau dengan rasa keterikatan, yaitu merasa itu perbuatanku, maka semua perbuatan semacam itu hanya akan mengakibatkan kesedihan.
Perbuatan semacam itu hanya menyebabkan keterikatan yang lebih mendalam. Tetapi bila engkau mengubah perbuatanmu menjadi yoga, engkau akan terbebaskan dari ikatan. Bagaimanakah perbuatan itu bisa menjadi yoga? Semua perbuatan yang dilakukan sebagai persembahan kepada Tuhan, tanpa merasa diri sebagai pelaku, akan berubah menjadi yoga.
Berbagai macam kesulitan akan timbul bila manusia bekerja dengan rasa keakuan. Dalam batinmu mungkin engkau merasa, "Akulah yang melakukan pekerjaan ini maka aku harus menikmati hasilnya. Aku bekerja, jadi aku berhak mendapat bayaran. Tentu aku mempunyai hak atas ganjaran dari pekerjaan yang aku lakukan." Perasaan semacam itu hanya akan memperkuat rasa ego, rasa 'aku' dan 'punyaku'. Jika rasa 'aku' dan 'punyaku' makin menjadi-jadi, kebahagiaan atma akan semakin berkurang. Untuk menghancurkan egoisme, Krishna menyuruh Arjuna mengubah segala perbuatannya menjadi yoga.
Bagaimana caranya merubah perbuatan menjadi yoga? Engkau harus bersikap impersonal, tidak terpengaruh oleh perasaan pribadi; engkau harus memusatkan pikiran pada perbuatan dan tidak memikirkan hasilnya, sama sekali tidak berharap memetik hasilnya. Dengan rasa tidak menginginkan hasil itu engkau dapat menyelesaikan tugas apa pun. Misalnya ada contoh Raja Janaka. Dalam kehidupannya beliau menunjukkan bahwa jika manusia melakukan pekerjaan tanpa ingin memetik hasilnya dan tanpa kepentingan pribadi maka hasilnya akan sangat mulia. Sementara memerintah dan memikul tanggung jawab yang berkaitan dengan tugas itu, Raja Janaka melakukan segala kewajibannya dengan bersikap hanya sebagai saksi. Karena melakukan perbuatan tanpa terikat pada hasilnya maka beliau menjadi rajayogi, seorang raja yang suci dan seorang yogi. Setiap perbuatan yang dipersembahkan kepada Tuhan dan dilakukan tanpa kepentingan pribadi menjadi yajnya 'korban suci' dan karena itu dapat disebut yoga. Tetapi jika perbuatan itu dilakukan dengan rasa kepentingan pribadi dan rasa pamrih, maka ia tidak berbeda dengan roga, yaitu penyakit. Sumber penyakit semacam itu adalah keterikatan. Keterikatan menimbulkan kebencian dan kemarahan. Inilah setan-setan yang akan menutup sifat-sifat kemanusiaanmu.
Setiap orang demikian halnya bila raga dan dwesha atau dengan kata lain bila rasa suka dan benci mulai muncul dalam dirinya, perasaan itu akan menimbulkan segala kecenderungan yang jahat dan ia akan lupa pada sifat manusianya yang sejati. Karena itu Krishna memerintahkan kepada Arjuna, "Lakukanlah tugasmu tanpa rasa keterikatan. Jangan terpengaruh oleh perasaan pribadi. Bila engkau mengerjakan tugas tanpa disertai kepentingan pribadi, hasil pekerjaan itu tidak akan menyentuh engkau. Begitulah Aku mengatur tiga alam ini. Tidaknya engkau mampu mengatur satu keluarga seperti itu? Berusahalah meyakini bahwa jika engkau tidak mengharapkan ganjaran, engkau akan dapat menyelesaikan tugas-tugas yang besar dan mulia. Tetapi bila engkau mempunyai keterikatan dengan hasil pekerjaan, engkau akan menemui kekecewaan. Jika engkau mendapat hasil yang engkau harapkan, engkau akan gembira sekali. Jika engkau tidak berhasil, engkau bersedih hati. Berusahalah menguasai rasa sedih dan gembira itu. Jadilah seorang stithaprajna, orang yang benar-benar bijaksana. Jangan kau biarkan dirimu hanyut terbawa perasaan gembira dan sedih.
Tidak ada manusia yang tidak melakukan perbuatan. Setiap orang mempunyai badan manusia dengan tujuan yang jelas yaitu untuk bekerja. Untuk menyucikan badan, engkau harus melakukan hanya pekerjaan yang baik. Setiap perbuatan akan menghasilkan buah. Engkau harus menyadari bahwa kebahagiaan yang kau peroleh dalam melaksanakan pekerjaan jauh lebih besar daripada kebahagiaan dalam memetik buah perbuatan itu. Misalnya, suatu keluarga mengadakan puja, yaitu upacara suci. Selama kegiatan itu berlangsung, mereka tidak akan merasa lelah. Walaupun ada diantara mereka yang sedang menderita sakit panas, mereka tidak peduli; mereka asyik sepenuhnya dalam upacara itu. Pada saat-saat itu tidak seorang pun merasa lelah. Tetapi bila engkau mengunjungi keluarga itu setelah upacara tersebut usai, engkau akan melihat mereka semua kecapaian dan lesu.
Engkau mendapatkan kebahagiaan ketika melakukan suatu kegiatan, tetapi engkau tidak mengalami kebahagiaan seperti itu setelah pekerjaan itu selesai. Engkau tertipu oleh rasa bahwa ada kebahagiaan dalam memetik buah perbuatan. Tetapi sesungguhnya tidak ada kegembiraan apapun juga dalam hasil itu. Kebahagiaan yang kau kira kau dapatkan dari hasil perbuatan itu hanyalah bayangan; bayangan kebahagiaan yang sejati; hanya suatu khayalan. Bukan kebahagiaan abadi yang engkau cari. Bila perbuatan itu sendiri bersifat sementara dan fana, hasilnya pun hanya merupakan bayangan belaka.
Barangkali engkau mengira bahwa dengan beramal, ikut dalam berbagai upacara agama, atau dengan bertirakat, engkau akan mendapat mencapai surga. Tetapi Krishna mengatakan bahwa surga itu hanya sementara. Beliau berkata "Arjuna, ada yang lebih besar daripada surga. Aku tidak mengatakan bahwa engkau harus berhenti melakukan kurban suci, tirakad, melakukan upacara agama, dan sebagainya. Engkau harus melaksanakan hal-hal itu sebagai bagian dari tugasmu. Namun kerjakanlah semua tugasmu untuk kesejahteraan dunia. Jangan melakukan perbuatan atas dasar kepentingan pribadi. Lakukan setiap kegiatan dengan ikhlas, tanpa pamrih, dengan mengutamakan kedamaian, kesejahteraan, dan kemakmuran umat manusia. Jangan memikirkan soal mencapai surga; tujukan pikiranmu untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, melampaui surga. Surga hanya dapat dinikmati selama pahala kebajikanmu masih ada. Bila pahala itu habis engkau harus kembali ke bumi. Karena itu hentikanlah keinginanmu akan surga yang bersifat sementara dan tidak kekal. Tumbuhkanlah rasa dekat dan cinta kepada Tuhan. Manunggallah dengan Dia; itulah yang paling penting. Asas ketuhanan jauh lebih mulia daripada surga. Bila engkau mengerti rahasia karma dan melakukan segala perbuatanmu untuk tujuan yang baik, engkau akan dapat mencapai kesucian."
Bhagawad Gita tidak mengajarkan engkau agar engkau menjauhi tugas-tugas duniawi dan menjadi pertapa. Ada orang yang beranggapan bahwa seharusnya Gita tidak diajarkan kepada anak-anak sebab mungkin anak-anak itu akan mengira keduniawian ini harus ditinggalkan dan pergi ke hutan. Banyak orang menderita karena mempunyai pikiran yang keliru semacam itu. Tetapi banyak sekali yang mengajarkan Gita. Apakah mereka semua menjadi pertapa? Apakah mereka itu menjauhi keduniawian? Arjuna yang mendengar ajaran Bhagawad Gita langsung dari Krishna, apakah ia menjadi sanyasin? Arti yang mendalam ajaran Bhagawad Gita harus dimengerti dalam kaitannya dengan sifat manusia yang diungkapkan di dunia dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan ajaran Gita yang terpenting adalah untuk membawa kebijaksanaan yang tertinggi. Bhagawad Gita menjadikan Wedanta falsafat hidup dan meningkatkan kehidupan sehari-hari ke taraf wedanta. Gita tidak hanya mengajarkan falsafah dan kerohanian dalam kehidupan sehari-hari, tetapi Gita juga memasukkan kehidupan sehari-hari dalam falsafah dan kerohanian. Maka kerohanian dan kehidupan sehari-hari saling mengisi.
Kehidupan manusia tidak hanya menyangkut kegiatan sehari-hari dan kegiatan keduniawian; sama sekali tidak dimaksudkan untuk semata-mata memenuhi kebutuhan hidup. Bhagawad Gita mengajarkan kesucian hidup manusia; mengarahkan manusia untuk mencapai tujuannya yang terakhir. Gita mengajarkan manusia cara untuk mencari kehidupan di dunia sedemikian rupa sehingga ia dapat melampaui keadaan manusiawinya dan tidak terikat pada kelahiran selanjutnya. Engkau tidak akan terikat pada perbuatanmu bila lakukan tanpa pamrih, tanpa keinginan menikmati hasilnya. Bhagawad Gita mengajarkan pengalaman Anaasakti yang berarti "mengembangkan ketidakterikatan pada segala kegiatan dan kewajibanmu. Dengan Anaasakti ini perbuatanmu menjadi suci. Gita tidak mengajarkan agar engkau meninggalkan pekerjaan; sebaliknya Gita mengajarkan agar engkau melaksanakan tugas dan segala kegiatan sesuai dengan kedudukan dan fungsi dalam hidupmu. Tetapi engkau harus menjadikan tugas-tugas itu suci dengan mempersembahkannya kepada Tuhan.
Misalkan pekerjaan seorang juru masak. Ia melakukan tugasnya dengan baik dan masakannya akan enak bila perhatiannya ditujukan pada pekerjaan memasak itu. Tetapi kalau ia bekerja dengan hanya memikirkan soal gaji maka ia tidak akan memperhatikan pekerjaannya dan masakannya tidak akan enak. Namun jika ia memasak dengan pikiran Anaasakti, pekerjaannya menjadi pelayanan suci murni yang bermanfaat dan menyucikan, begitu pula bila engkau melakukan tugas, tugas apapun dengan penuh perhatian pada pekerjaan itu, kau lakukan sebagai persembahan kepada Tuhan, dan tanpa keinginan untuk menikmati hasilnya, dengan kata lain jika engkau mengerjakan pekerjaanmu dengan sikap Anaasakti maka pekerjaan itu akan menjadi suci dan mulia. Dengan sikap tidak menginginkan hasilnya, pekerjaanmu akan mantap dan engkau juga terus maju sehingga mencapai tujuan. Tetapi jika engkau mempunyai kepentingan pribadi dalam tugas yang engkau lakukan maka akan terjadi pasang surut pikiranmu akan berubah-ubah tidak mantap, dan keinginanmu akan tumbuh dengan cepatnya.
Krishna menjadikan Raja Janaka sebagai contoh yang ideal karena ia memerintahkan kerajaannya dengan sikap Anaasakti dan tanpa keterikatan sehingga mencapai kesempurnaan. Banyak orang yang hanya mempunyai pandangan keluar. Ada yang sudah mengembangkan pandangan ke dalam. Pandangan ke luar hanya melihat dunia maya di luar. Sedangkan pandangan ke dalam menyucikan pikiran dan mengisi hati sanubari dengan perasaan yang suci. Untuk mendapat pandangan ke dalam, sikap Anaasakti ini harus dikembangkan. Ada sebuah cerita mengenai hal ini.
Pada suatu hari ada seorang resi muda, Resi Suka, yang mengadakan perjalanan di sekitar Kota Mittilapura. Raja Janaka mendengar bahwa Resi Suka sedang berada dalam kerajaannya tetapi tidak tahu dimana tempat tinggalnya. Untuk itu ia mengirim beberapa orang guna menyelidiki tempat tinggal Suka. Hampir seminggu mereka berkeliling dalam kerajaan; akhirnya mereka dapat menemukan Resi Suka di sebuah dangau dalam hutan, dekat Kota Mittilapura. Janaka diiringi beberapa menterinya pergi menemui Suka. Janaka pergi ke sana tidak sebagai raja atau kaisar. Beliau pergi sebagai hamba Tuhan. Sudah lama Janaka meninggalkan rasa keakuannya dan sekarang Beliau bersikap sebagai sadhaka yang sederhana. Resi Suka sedang memberi ceramah kerohanian kepada murid-murid beliau. Dalam pertemuan itu Janaka berdiri sambil mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah petang tiba sebelum Janaka meninggalkan tempat itu Beliau menghampiri Resi Suka dan bertanya, "Swami, bolehkah saya ikut mendengarkan ceramah kerohanian ini setiap hari?" Resi Suka menjawab, "Janaka, kerohanian dan falsafah bukanlah milik pribadi seseorang. Siapa saja yang berminat, siapa saja yang senang mendengarkan ajaran ini, siapa saja ingin mencapai tujuan, berhak mendapat pengetahuan ini. Sudah tentu engkau boleh ikut. Silahkan datang!" Janaka kembali ke istana dan datang setiap hari mendengarkan ceramah itu.
Resi Suka ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Raja Janaka memiliki pandangan ke dalam, sedangkan kebanyakan orang hanya mempunyai pandangan keluar. Dengan tujuan ini beliau pindah ke tempat yang tinggi di dekat Mittilapura. Dari tempat itu tampak seluruh kota; di situ sang resi mendirikan gubuk kecil. Di tempat itu Resi Suka memberi pelajaran tentang Wedanta. Pada suatu hari, karena suatu tugas pemerintahan yang sangat penting, Raja Janaka terlambat datang. Resi Suka sengaja menunda ceramah beliau sampai Janaka datang. Resi Suka tidak memperhatikan orang banyak yang telah berkumpul menunggu ceramah dimulai. Untuk menunjukkan perhatiannya, Resi Suka bertanya pada beberapa orang, ingin mengetahui mengapa Raja Janaka belum datang. Di samping itu beliau menyuruh beberapa orang mencari berita mengapa raja terlambat. Resi sendiri berdiri di pinggir jalan menunggu kedatangan rombongan raja.
Orang-orang yang ada di sana mulai menggerutu. Para jemaah yang tua dan muda belia berbisik-bisik. Salah seorang berkata, "Lihatlah Resi Suka, beliau dianggap orang yang agung yang telah meninggalkan segala sesuatu, namun rupanya tidak benar. Sekarang beliau menunggu Raja Janaka. Semata-mata karena Janaka seorang raja, Resi Suka tidak memperhatikan kita dan sepertinya tidak mau memberi pelajaran kepada kita." Ada lagi yang berkata, "Coba lihat sikap Resi Suka yang aneh ini. Mengapa beliau terlalu mementingkan Raja? Bagi seorang resi, pantaskah membedakan raja atau orang biasa?" Resi Suka mendengarkan seluruh pembicaraan orang-orang itu. Sebenarnya beliau sengaja berbuat demikian untuk memberi pelajaran yang baik kepada mereka. Setengah jam telah berlalu. Dua jam lewat. Resi Suka masih menunggu kedatangan Janaka; sama sekali beliau tidak mau memulai ceramahnya.
Sementara itu orang-orang yang hatinya agak jahat, menunjukkan rasa dengki dan marahnya. Semua perasaan buruk yang ada dalam diri mereka, yang selama ini tersembunyi di dalam hati, sekarang mulai muncul keluar. Itulah yang diinginkan oleh Resi Suka karena hanya bila racun telah keluar dari hati mereka maka ajaran wedanta bisa masuk. Kalau kepala orang itu kosong, barulah ajaran suci bisa dimasukkan. Tetapi bila kepala orang penuh dengan pikiran-pikiran yang kotor, bagaimana ajaran suci bisa masuk? Tanpa lebih dulu mengosongkan kepala dari hal-hal yang buruk, hal-hal yang baik tidak bisa masuk. Maka Resi Suka menginginkan agar segala perasaan yang buruk ini keluar dan diungkapkan. Beliau ingin agar para murid beliau mencurahkan segala kotoran yang ada dalam pikiran dan perasaan mereka. Resi Suka tahu bila dalam pikiran mereka masih ada keterikatan dan perasaan yang buruk, ajaran beliau tidak akan terserap. Karena itu beliau membiarkan mereka mengalami proses pembersihan ini.
Sementara itu Janaka datang dengan cemas dan terburu-buru untuk menghadiri ceramah. Resi Suka melihat kedatangan Janaka. Dari jauh Janaka terlihat karena biasanya raja tidak datang tanpa pengiring. Walaupun Janaka tidak ingin membawa para menteri dan pembantu istana, namun mereka merasa perlu menjaga keamanan raja dan mengantarnya. Sesampainya di tempat ceramah, Janaka bersujud di hadapan guru dengan rendah hati mohon maaf atas keterlambatannya; kemudian raja membentangkan tikarnya dan duduk. Resi Suka segera memulai ceramah beliau. Para jemaah muda telah berkumpul dimana mulai merasa benci. Air muka mereka mulai berubah karena perasaan mereka terhadap Resi Suka dan Janaka. "Lihat Suka!" pikir mereka, "Beliau hanya ingin menyenangkan raja. Itulah ajaran wedantanya".
Resi Suka ingin memberi pelajaran kepada orang-orang yang berkumpul di sana yang mempunyai pikiran buruk seperti itu. Setelah ceramah beliau berjalan beberapa lama, tiba-tiba Resi berhenti dan berkata, "Janaka, lihatlah kerajaanmu. Kebakaran!" Raja Janaka yang dengan mata tertutup dan penuh konsentrasi mendengarkan ajaran suci, tidak memperhatikan kata-kata ini. Janaka memusatkan pikirannya kepada Wedanta, hanya pada Wedanta. Jemaah lain melihat api dan asap mengepul di atas kota. Beberapa dari mereka ingat akan keluarga dan hartanya lalu berlari menuju Mittilapura. Segala keterikatan yang bercokol dalam hati sanubarinya sekarang muncul ke permukaan dan jelas menampakkan diri. Beberapa saat kemudian Resi Suka memberitahu Janaka. "Janaka, api telah merembet ke istanamu." Janaka tidak juga memperhatikan perkataan Resi Suka; Janaka tidak bergerak dari tempat duduknya. Beliau memiliki rasa annasakti yang sejati, sama sekali tidak mempunyai keinginan dan minat pada segala hal yang bersifat duniawi. Minatnya hanya kepada atma; kecuali untuk manunggal dengan atma, Janaka tidak mempunyai keinginan lain.
Di antara mereka yang hadir dalam ceramah itu terdapat beberapa pendeta dan ulama yang terkenal luas. Resi Suka ingin menunjukkan kepada mereka bahwa mungkin mereka itu orang-orang pandai, tetapi mereka belum mampu menghilangkan keterikatannya. Ketika mereka melihat api, mereka ketakutan; mereka memohon kepada Raja Janaka, "Ya, Raja! Ya Raja!" Tetapi Janaka telah masuk dalam keadaan samadhi; beliau berbahagia dalam atma. Tampak kebahagiaan itu terpancar pada wajahnya. Janaka tidak tergoyahkan sedikit pun dari gagasan suci yang merupakan pemusatan pikirannya. Resi Suka mengamati keadaan Janaka dengan perasaan amat gembira. Setelah beberapa lama mereka lari ke Mittilapura kembali dan memberitahukan bahwa sebenarnya tidak ada kebakaran sama sekali. Lalu Resi Suka menjelaskan kepada mereka arti peristiwa yang telah terjadi.
Resi Suka berkata, "Baiklah anak-anakku, aku menunda dan tidak memulai pelajaran selama dua jam bukan karena Janaka itu seorang raja dan orang yang penting. Aku menunda karena Raja Janaka patut dihargai sebagai sishya yang sejati, dan aku merasa perlu menunggu orang seperti beliau karena beliau raja telah menghapuskan keakuan dan kebanggaan, karena memiliki kerendahan hati dan pengabdian, beliau mempunyai hak untuk menunda pelajaran itu. Engkau mendengarkan, tetapi engkau tidak mendengar apa yang dikatakan atau tidak mengamalkannya; karena itu engkau tidak punya kekuasaan seperti itu. Dari pada aku mengajar ratusan orang yang tidak berusaha mengamalkan ajaran ini, lebih baik aku mengajar satu orang yang betul-betul patut diajar, karena ia melaksanakan petuah ini dalam kehidupan sehari-hari. Apa gunanya mengajar orang yang diliputi oleh rasa keterikatan dan keakuan? Sama halnya dengan melempar batu ke dalam air. Bertahun-tahun batu itu berada dalam air, tetapi tidak setitik air pun terisap oleh batu itu. Seandainya pun aku hanya mempunyai satu murid seperti Janaka, bagiku cukup untuk memulai. Untuk apa mempunyai banyak batu yang bersinar tetapi tidak ada gunanya. Kalau ada satu batu permata yang benar-benar berharga, itu sudah cukup. Untuk apa tanah seluas sepuluh are tetapi gersang, cukup sepetak kecil, tetapi subur dan banyak menghasilkan. Jika seorang raja seperti Janaka dapat menjadi suci maka Beliau dapat mengubah seluruh kerajaannya dan menjadikannya kerajaan yang suci, sebagai contoh bagi seluruh dunia," Suka ingin menjadikan Raja Janaka seorang raja yang suci, seorang rajayogi dan bersamaan dengan itu memberikan pelajaran yang berharga kepada murid-murid congkak yang berkumpul di sekelilingnya.
Demikian pula maksud Krishna mengajarkan Gita kepada Arjuna. Arjuna juga seorang yang suci dan membuat dirinya layak menerima pelajaran itu karena watak dan cita-citanya yang luhur. Arjuna dapat menguasai nafsunya; dengan melaksanakan tapa, Arjuna mendapat kekuatan batin. Arjuna mempunyai kemampuan untuk mengatasi keterikatan duniawinya. Ia sangat cerdas dan mempunyai berbagai keahlian. Ia telah menyerahkan dirinya kepada Krishna dengan penuh kerendahan hati. Krishna menganggap Arjuna telah siap untuk menerima kebijaksanaan ini dan ingin menjadikannya seorang stithaprajna. Dengan maksud bahwa bila Arjuna dapat diperbaiki, seluruh dunia akan memperoleh manfaatnya, Krishna bersungguh-sungguh memberikan ajaran suci ini kepada Arjuna. Arjuna mempunyai kemampuan dan kebajikan untuk mencapai tingkat spiritual yang tinggi. Karena itulah ia diberi beberapa gelar.
Arjuna berarti manusia yang murni; nama lain berarti mempunyai hati yang suci; ada lagi yang berarti permata manusia. Ia mempunyai kemampuan yang demikian tinggi sehingga bila ia menghendaki ia dapat berbuat sesuatu yang bisa menggentarkan seluruh dunia; namun perbuatannya Selalu bersih, sesuai dengan darma. Ia memperoleh hak untuk menggunakan senjata yang bahkan tidak dapat dipegang oleh orang lain pada zamannya. Mula-mula senjata tersebut milik Shiwa. Senjata yang sangat ampuh itu, yang merupakan milik Shiwa pada zaman Threta, dan kemudian dimiliki oleh Raja Janaka, menjadi gandiwa pada zaman Dwapara. Dengan rahmat Shiwa, Arjuna mampu memperoleh senjata yang hebat itu. Krishna memilih seorang kesatria utama dan telah menjadi kehendak Beliau bahwa dengan mengajarkan Gita kepada Arjuna, seluruh dunia akan dapat memperoleh manfaatnya.
Seperti makanan, melalui mulut makanan itu kau berikan kepada perut. Lalu dari perut makanan itu beredar ke seluruh tubuh. Maka seperti halnya makanan itu mencapai seluruh bagian badan bila diberikan kepada perut, Gita diajarkan kepada seorang yang suci dan tidak mementingkan diri sendiri seperti Arjuna sehingga ajaran itu mencapai seluruh dunia. Salah satu nama Arjuna adalah Parthiwa yang artinya 'putra bumi'. Engkau semua adalah putra bumi. Karena Arjuna dapat dianggap sebagai tokoh terkenal yang mewakili umat manusia, maka dengan menjadikan dia seorang suci, Krishna merasa bahwa lambat laun seluruh dunia akan dapat diubah.
Dibandingkan dengan perbuatan biasa yang dilakukan dengan anggapan bahwa engkau adalah pelakunya, pekerjaan yang dilakukan tanpa keinginan untuk menikmati hasilnya, yaitu nishkama karma, jauh lebih agung. Anaasakti karma, yaitu perbuatan yang tanpa pamrih sepenuhnya, dilakukan tanpa dipengaruhi oleh perasaan pribadi dan tanpa keterikatan, bahkan jauh lebih agung daripada nishkama karma. Tetapi bila perbuatan itu seluruhnya dipersembahkan kepada Tuhan, bila karma itu menjadi yadnya atau kurban suci, maka perbuatan itu bahkan lebih suci lagi daripada yang lain-lain. Maka Krishna menyuruh Arjuna agar mempersembahkan segala perbuatannya kepada Tuhan. Ketika Arjuna telah mencapai tingkat evolusi ini, yaitu pada waktu Arjuna mempersembahkan seluruh perbuatannya kepada Tuhan, Krishna mulai mengajarkan Gita kepadanya.
Pada tahap pertama setiap manusia harus melaksanakan karma dan giat melakukan tugas sesuai dengan kemampuannya. Kita harus melakukan pekerjaan agar tidak menjadi malas. Orang malas sama sekali tidak berguna bagi masyarakat. Swami tidak senang dan tidak menganjurkan siapa saja bermalas-malasan. Pertama, engkau harus melakukan karma biasa. Kemudian engkau melakukan nishkama karma. Perlahan-lahan engkau mengubahnya menjadi yoga. Akhirnya yoga itu menjadi yajnya. Setelah menjadi yajnya engkau sudah meninggalkan segala-galanya. Mengubah karma menjadi yajnya dan mengubah kerja menjadi ibadah, adalah inti Bhagawad Gita.
Untuk melenyapkan sifat mementingkan diri, egoisme, kecongkakan, kebanggaan, rasa kepemilikan, keterikatan, kebencian, dan sifat-sifat beracun lainnya itulah ajaran Gita dalam wujud beraneka ragam telah membantu bermacam-macam manusia mengembangkan sifat yang suci. Gita dapat diumpamakan sebagai pohon yang mengabulkan segala keinginan. Apa pun yang engkau minta atau inginkan dari Gita akan diberi olehnya. Makna atau pengertian yang diberikan pada ajaran yang berbeda-beda dalam Gita tergantung pada pandangan dan tingkat persiapan spiritualmu. Tidak seorang pun dapat berkata bahwa ia mengetahui arti yang benar suatu ayat tertentu. Tidak seorang pun mempunyai wewenang untuk mengatakan bahwa tafsirnyalah yang benar. Ajaran Gita dapat digunakan oleh peminat kehidupan rohani pada tingkat apa saja. Karena itu Gita dapat dikatakan sebagai jantung hati Wedanta; Gita adalah intisarinya. Gita merupakan peti yang berisi emas; Gita adalah ibarat jalan penuh kembang; Gita memberi kekuatan kepada pencari kebenaran dan pengabdian yang tekun; Gita menolong mereka agar mampu mengarungi lautan kehidupan duniawi ini; Gita membantu mereka mengatasi segala kesulitan dan mencapai tujuan. Orang yang tidak memperdulikan ajaran Gita akan kehilangan kesempatan untuk mengetahui tujuan hidupnya.
Bagaimana pun perasaan seseorang, makna yang akan diperolehnya dari Gita akan sesuai dengan tingkat perkembangan spiritualnya. Misalnya, sebelum pembicaraan ini dimulai, pendeta mengucapkan mantra, "Suklam bhardharam Vishnum...." 'Kepada Wishnu yang berpakaian putih...' Vishnu artinya 'yang memenuhi segala sesuatu'; Beliau ada di mana-mana. Wishnu dikatakan berwarna seperti abu. Beliau juga digambarkan mempunyai warna seperti bulan, kebiru-biruan yang sama artinya dengan warna abu. Wishnu juga digambarkan mempunyai empat tangan dan wajah yang sangat rupawan dan suci. Wajah yang tidak menunjukkan luapan rasa gembira atau sedih. Itulah perasaan orang yang bertakwa dan dengan keadaan seperti itulah mereka berdoa kepada Tuhan. Tetapi orang-orang yang tidak bertakwa mungkin menggunakan kata-kata itu juga, walaupun citra yang mereka gambarkan dengan kata-kata ini mungkin sangat berbeda.
Suklam bhardharam berarti pula 'orang yang membawa pakaian putih'. Dalam keadaan apa pun engkau melihatnya, ini tidak memperlihatkan perasaan apa pun. Ia berwarna abu dan ia mempunayi empat anggota badan. Engkau dapat mengambil sifat-sifat itu lalu merangkumnya dan mengatakan bahwa kata-kata itu menggambarkan keledai. Keledai membawa pakaian putih dari tukang cuci, keledai mempunyai empat kaki, badan berwarna abu, dan wajah yang menarik. Ia tidak bertambat pada suatu tempat, engkau dapat melihatnya mondar-mandir di jalanan, di depan rumah, atau di mana saja. Itulah arti suklam bhardharam yang diberikan oleh orang yang tidak percaya. Apakah kata-kata itu melukiskan Tuhan atau seekor keledai tergantung pada bagaimana engkau memandangnya, apakah engkau seorang bakta atau bukan, dan apakah engkau menaruh perhatian terhadap masalah spiritual atau tidak.
Begitu pula Gita memberikan arti yang berbeda-beda kepada berbagai jenis manusia. Berdasarkan pada keadaan perasaanmu, makna yang engkau dapatkan akan sesuai dengan tingkat yang telah engkau capai dalam kehidupan rohani. Karena itu, Gita adalah pohon besar yang mengabulkan setiap keinginan. Ia merupakan sapi suci, memberikan susu berlimpah-limpah. Engkau dapat menerima ajaran apa pun dari Gita dan makna apa pun yang engkau kehendaki. Di laut terdapat banyak air, tetapi air yang dapat engkau ambil dari pantai tergantung pada besarnya tempat yang engkau bawa. Airnya sama yang berbeda hanya ukuran atau besar tempatnya. Begitu pula mungkin perasaanmu berbeda-beda, tetapi Bhagawad Gita tetap satu. Sifat dasarnya sama bagi semua orang; tujuannya yang suci ialah mengubah kemanusiaan menjadi ketuhanan. Engkau tidak boleh meremehkan kitab suci semacam itu. Engkau harus mendalami Gita dengan rasa bakti yang mendalam dan tekad untuk melaksanakan petunjuknya sepanjang hidupmu. Engkau harus mengidungkan ayat-ayatnya dengan perasaan yang sungguh-sungguh ikhlas dan pengertian yang baik. Dan engkau harus setiap hari mengamalkan sekurang-kurangnya satu atau dua ajaran yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian engkau akan mencapai kesempurnaan dalam hidupmu.