Kamis, 03 Februari 2011

PERCAKAPAN 34 SINGKIRKAN KESADARAN BADAN DAN WUJUDKAN KESADARAN TUHAN

PERCAKAPAN 34
SINGKIRKAN KESADARAN BADAN DAN WUJUDKAN KESADARAN TUHAN
Dunia ini dipenuhi oleh Tuhan. Sarat dengan ketuhanan. Dunia ini juga dipenuhi oleh karma atau kegiatan. Karma adalah kekuatan ciptaan, kekuatan hidup, suatu kekuatan yang langsung berasal dari Tuhan.
________________________________________

Bila kekuatan hidup mengambil wujud maka akan terciptalah badan. Hidup yang mengenakan bermacam-macam badan ini juga disebut karma. Badan terbentuk atas dasar sebagai perbuatan yang dilakukan pada kelahiran-kelahiran yang telah lalu. Engkau menerima badan manusia agar dapat menikmati buah perbuatanmu yang lampau; dengan demikian perbuatan mengikatmu pada siklus kelahiran dan kematian. Engkau akan bertanya, jika kita ingin bebas dari keterikatan ini, apakah kita harus mengikuti jalan karma, ataukah kita harus meniadakan karma?? Pertanyaan ini dijawab dengan jelas dalam Bhagawad Gita. Kita harus menempuh jalan karma, yaitu melalui perbuatan.
Seperti telah dikatakan sebelum ini, seseorang menerima badan manusia agar dapat menikmati buah dari perbuatan yang telah dilakukan sebelumnya. Badan berkaitan langsung dengan karma, tidak ada artinya di luar karma. Badan berarti karma dan karma berarti badan. Badan merupakan lapangan untuk segala perbuatan, ia merupakan karmakshetra, tetapi Tuhan adalah lapangan karma yang suci dan mulia. Tuhan adalah Dharmakshetra. Waktu dan tempat karma diatur oleh alam. Maka dalam karma itulah Tuhan, manusia, dan alam menyatu. Segala sesuatu di dunia ini adalah hasil karma. Itulah sebabnya Upanishad menyatakan, “Bersujudlah kepada karma.” Apakah baik atau buruk, kebajikan atau dosa, segala karma adalah perwujudan kekuatan Tuhan. Karena itu seseorang Yogi menerima apapun yang terjadi padanya, baik atau buruk, sebagai kehendak Tuhan dan beranggapan bahwa berbuat baik adalah kewajibannya yang utama.
Engkau harus melakukan segala perbuatanmu dengan tujuan menyucikan hidupmu. Hanya karena rahmat Tuhan engkau mendapat kesempatan berbuat baik dan dengan demikian dapat menyucikan hidupmu. Melalui ajaran Tuhanlah engkau mendapat kesempatan dan petunjuk yang suci ini. Karena itulah kitab suci ini disebut Bhagawad Gita. Gita berarti nyanyian. Nyanyian siapakah itu? Nyanyian Tuhan. Semua yang mendengar nyanyian ini akan dapat mengatasi kesedihan dan penderitaan. Entah di medan pertempuran atau di tempat lain, bila nyanyian suci ini dikidungkan, duka cita akan sirna.
Perbuatan berubah menjadi Yoga bila dilakukan sebagai persembahan kepada Tuhan. Hal ini diungkapkan dalam doa yang diucapkan oleh seorang suci. “Oh Tuhanku yang terkasih, Engkau adalah atma, diriku sendiri. Akal budiku adalah istriMu. Badanku adalah rumah-Mu. Segala kewajibanku sehari-hari adalah persembahanku kepada-Mu. Nafasku adalah pujiku kepada-Mu. Kemana pun aku pergi aku mendekati-Mu. Apapun yang aku ucapkan adalah mantra untuk mengagungkan Engkau. Setiap perbuatan kulakukan sebagai puja bagi-Mu. Orang suci itu adalah seorang yogi yang agung. Ia mempersembahkan setiap perbuatannya kepada Tuhan dan dengan demikian segala perbuatannya menjadi ibadah.
Bila engkau menjadikan perbuatanmu suatu kegiatan yang suci, pantas untuk dipersembahkan kepada Tuhan, maka perbuatannya itu menjadi Anaasakti Yoga. Para Yogi menyadari keagungan anaasakti yoga, karena itu mereka berusaha menyucikan setiap perbuatannya untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Menjelang perang besar, Krishna memerintah Arjuna, “Arjuna, engkau harus bertempur. Tetapi sambil bertempur engkau harus selalu mengingat aku dan jadikan setiap gerakanmu sebagai persembahan kepada-Ku. Itulah yang menyenangkan Aku.” Arjuna mematuhi perintah itu dan bertempur dengan selalu mengingat Krishna.
Agar dapat mencapai tujuan, engkau harus memperoleh kasih Tuhan. Sesungguhnya menyenangkan Tuhan adalah tujuan seorang bakta. Itulah tugasnya yang paling penting; ia harus yakin bahwa setiap perbuatan yang dilakukannya akan menyenangkan Tuhan. Krishna mengajarkan, “Taatilah perintah-Ku dan kerjakan tugasmu.” Dengan mematuhi perintah Tuhan dan bertempur, perbuatan Arjuna menjadi Yajnya 'kurban suci'. Sebagai perbandingan, ada cerita tentang Raja Daksha dalam kitab Bhagawatam. Ia ingin menyelenggarakan Yajnya namun ia tidak mematuhi Shiwa dan menghina Beliau, di samping itu ia juga melanggar perintah para Resi, yaitu orang-orang yang arif dan bijaksana. Ia menyelenggarakan yajnya dengan egoisme dan keterikatan. Rasa keakuannya mengubah yadnya itu menjadi peperangan.
Sekarang engkau mengetahui bahwa karena Arjuna mematuhi perintah Tuhan dan bertempur, perjuangannya menjadi yajnya. Tetapi bagi Daksha yang melakukan yajnya dengan melanggar perintah Tuhan, yajnyanya menjadi peperangan. Apakah perang itu dan apakah yajnya? Segala perbuatan yang dilakukan sebagai persembahan kepada Tuhan menjadi yajnya? Tetapi perbuatan yang dilakukan dengan melanggar perintah Tuhan, yang bertentangan dengan ajaran kitab suci, dilaksanakan dengan rasa keakuan dan kecongkakan, dan dilakukan hanya untuk memperdalam kebencian serta keterikatan....semua perbuatan semacam itu menjadi pertempuran dalam perang, walaupun perbuatan itu sendiri mungkin merupakan yajnya. Bila penderitaan dan kebencian diucapkan, dan kata-kata itu akhirnya menjadi perang mulut, maka akan timbul pertempuran. Biang keladi semua ini adalah keterikatan dan nafsu yang timbul karena menyamakan diri dengan badan.
Krishna berkata, “Arjuna, patuhilah perintah-Ku. Lepaskan dirimu sama sekali dari kesadaran badan ini. Engkau harus berhenti menyamakan dirimu dengan tubuh. Badan itu penuh lendir dan kotoran. Engkau bukan badan ini; badan ini hanya bersifat sementara dan cepat berlalu. Engkau adalah saksi, sang penghuni, atma yang ada dalam dirimu. Badan setinggi enam kaki (±1,8m) ini bukan engkau. Engkau adalah pribadi kosmos; engkau tanpa batas. Badan ini lahir dan mati, tetapi engkau adalah atma yang tidak lahir dan tidak mati. Engkau bukanlah individu yang terbatas, yang dipengaruhi oleh perjalanan waktu. Engkau adalah wujud yang paling cemerlang yang telah menaklukkan dan menguasai waktu. Bedakanlah antara yang kekal dan tidak kekal! Bedakanlah kebijaksanaan dan ketidaktahuan! Bedakan antara kebenaran dan kepalsuan! Sadarilah sifatmu yang sejati. Celaan dan pujian hanya berkaitan dengan tubuh; hal itu tidak kekal. Untung rugi hanya menyangkut perbuatan, bukan atma. Janganlah menghiraukan hal-hal seperti itu. Hadapilah suka dan duka dengan ketenangan yang sama. Hanya dengan bila engkau dapat menyeimbangkan pikiran, engkau akan mampu mencapai tujuan dan menjadi stithaprajna“. Begitulah Krishna mengajarkan kepada Arjuna pengetahuan yang tertinggi, perbedaan antara kebenaran dan ketidakbenaran pengetahuan mengenai yang kekal dan yang tidak kekal.
Tuhan ada di mana-mana. Beliau Maha Tahu, Beliau meliputi segalanya, Maha Kuasa; tidak terbatas pada tubuh. Kekuasaan Beliau tidak terbatas pada karma yang dilakukan pada tubuh. Tuhan itu bukan hanya badan tertentu yang lahir pada jaman Treta dan bernama Rama, atau suatu badan dalam jaman Dwapara yang disebut Krishna. Inkarnasi tersebut hanya merupakan contoh untuk diteladani oleh umat manusia. Tetapi prinsip ketuhanan tidak terbatas pada tubuh tertentu; Tuhan Maha Ada dan Maha Mengetahui. Berulang kali kebenaran ini telah diajarkan kepada umat manusia. Krishna memberitahukan hal ini kepada Arjuna. Krishna berkata, “Arjuna, pada jaman dahulu kala berabad-abad yang lampau, Aku telah mengajarkan Bhagawad Gita kepada Surya, Dewa Matahari. Kemudian Manu mendengarnya dari Surya. Ikshwaktu mengetahui Gita dari Manu, yaitu ayahnya. Kemudian Ikshwaktu mengajarkan Gita ini kepada para raja yang menjadi resi. Setelah itu secara berlahan-lahan, sedikit demi sedikit pengetahuan ini tersembunyi dan pada suatu saat hilang. Tetapi pengetahuan kuno yang suci itu jugalah yang aku ajarkan sekarang ini.”
Ketika Arjuna mendengar hal ini, timbul rasa bingung. Ia mulai berpikir, “Surya adalah tokoh purwakala, sedangkan Krishna lahir pada jaman ini. Bagaimana mungkin Krishna mengajar Surya yang sudah demikian lama berlalu itu?” Pada saat Arjuna berpikir seperti itu, Krishna yang mengetahui pikiran dan hati segala makhluk, segera berbicara. Kata Beliau, “Arjuna, Aku mengerti kebingunganmu.” Dengan tersenyum Beliau melanjutkan, “Ketahuilah Arjuna, Aku bukanlah badan ini. Aku adalah Yang Maha Esa yang tidak dilahirkan. Aku menguasai waktu dan ruang, Aku tidak dibatasi oleh keadaan. Aku ada di segala jaman, sepanjang waktu. Karena engkau mengira bahwa Aku adalah badan ini, engkau mengira bahwa Aku hanya ada dalam jaman dwapara ini. Tetapi sesungguhnya segala jaman berada dalam diriKu.” Krishna melanjutkan, “Arjuna, jangan membatasi Aku pada wujud badan ini dan waktu ini. Badan berubah, tetapi Aku tidak pernah berubah: Aku mengenakan tubuh yang berbeda-beda pada masa yang berbeda untuk melaksanakan karma dan memenuhi misi tertentu.” Pada saat Arjuna mendegar hal ini, timbullah pengertian spiritual dalam dirinya dan ia menyadari prinsip ketuhanan yang kekal dan tidak berubah.
Tidak semua orang bisa mengerti kemahatahuan Tuhan. Bahkan orang yang berminat spiritual pun hanya mendasarkan pandangan mereka pada kegiatan lahiriah seorang Avatar, yaitu kegiatan yang dapat mereka lihat, dan mereka menganggap Beliau sebagai individu, suatu wujud tertentu. Karena mereka menyamakan diri dengan tubuhnya, maka mereka pun menyamakan Tuhan dengan suatu wujud tertentu. Mereka berspekulasi tentang masa depan inkarnasi Tuhan dan tidak menyadari kemaha-adaan serta kemahatahuan Tuhan. Pandangan ini keliru. Krishna memerintah Arjuna, "Jangan berpikiran sempit dan perluaslah wawasanmu. Engkau dapat mulai dengan pengertian wujud pribadi, tapi jangan berhenti sampai di situ. Jangan menghabiskan seluruh hidupmu hanya memikirkan pribadi-pribadi."
"Dari konsep individu engkau harus meningkat kepada konsep masyarakat, yang lebih penting daripada individu. Individualitas dan kepribadian itu terbatas pada nama dan rupa, tetapi pikiranmu harus membumbung tinggi melampaui nama dan rupa. Capailah dan hayatilah prinsip ketuhanan yang sarat dengan darma. Engkau masih memandang segala sesuatu dalam kerangka dwaita atau dwalitas sehingga hidupmu masih mencerminkan sifat mendua itu: engkau terpaku pada nama dan rupa, pada subyek dan obyek.
Berusahalah meningkatkan diri dari dwaita ke wishishtadwaita, dari sifat mendua ke sifat manunggal, sambil tetap mengingat bahwa tujuan akhir yaitu kebijaksanaan tertinggi non-dualisme murni atau kesadaran adwaita. Berusahalah melihat prinsip ketuhanan yang esa di segala tempat dan dalam segala sesuatu hingga engkau menyadari kebenaran akhir bahwa hanya atmalah yang ada, bahwa hanya diri sejatilah yang nyata.
Buddha juga mengajarkan kebenaran yang agung ini. Beliau tidak menyebut Weda atau menggunakan istilah Wedanta, namun Beliau menghayati serta memperlihatkan semangat dan jiwa Weda. Mula-mula Beliau mengatakan, "Buddham sharanam gacchami," "Aku berlindung pada buddhi, kemampuanku untuk menimbang dan membeda-bedakan." Ini berkaitan dengan manusia secara perseorangan dan membicarakan kepribadian yang terbatas. Kemudian perlahan-lahan beliau menambahkan, "Sangham sharanam gacchmi," artinya, "Aku berlindung pada masyarakat." Beliau menyadari bahwa perasaan yang berhubungan dengan individu dan pertimbangan pribadi berorientasi pada kepentingan diri sendiri dan merupakan pandangan yang sempit sehingga manusia tidak mencapai kemajuan rohani yang diharapkan.
Janganlah menganggap pribadi ini segala-galanya; Ia hanya merupakan setetes air dalam lautan. Dalam hal ini juga Krishna juga mengatakan, "Arjuna, lapangkanlah hatimu. Milikilah pandangan yang luas. Masukkanlah seluruh masyarakat dalam wawasanmu." Masyarakat tidak mempunyai wujud tertentu; masyarakat adalah kumpulan pribadi-pribadi. Bila sejumlah besar individu bergabung, mereka menjadi masyarakat. Swami sering berkata, "Perluasan adalah hidup-Ku." Bila engkau meluaskan hidup pribadimu hingga tidak terbatas maka ia menjadi sifat Tuhan: dengan kata lain, kembangkanlah dan luaskanlah wawasan hidupmu sehingga akhirnya mencapai sifat Tuhan. Karena itu Krishna berkata kepada Arjuna, "Hiduplah dalam masyarakat, layanilah masyarakat, dan kembangkanlah pikiran yang luas."
Arti masyarakat dalam suatu negara mungkin berbeda dengan artinya negara lain, dan suatu masyarakat yang disebut dengan nama tertentu berbeda dengan masyarakat dengan nama lain. Jadi engkau akan mendapati bahwa ada keterbatasan dalam masyarakat, dan masyarakat itu sendiri tidak menghantar engkau menuju ketidakterbatasan. Karena itu Sang Buddha menambahkan lagi, Dharma sharanam gacchami," artinya, "Aku berlindung pada dharma, aku berlindung pada kebenaran dan kebajikan." Dharma yang digunakan di sini mempunyai arti yang sangat luas; artinya kekuatan yang menunjang seluruh dunia. Bila engkau mendalami arti umum kata dharma itu, engkau akan menemukan bahwa dharma adalah sifat dasar segala sesuatu; kebenaran utama. Segala sesuatu yang dimaksud di sini adalah atma yang kekal, Tuhan sebagai penghuni. Karena itu, arti darma yang lebih dalam dapat ditemukan pada sifat Tuhan. Berlindung pada darma adalah menjadi satu dengan sifat Tuhan. Telah dikatakan bahwa maya adalah perwujudan Tuhan, tetapi lebih tepat jika dikatakan bahwa darma adalah perwujudan Tuhan. Itulah wujudnya. Itulah sebabnya Krishna menyatakan, " untuk menegakkan darma aku datang berulang-ulang." Darma mengungkapkan sifat ketuhanan yang luas dalam segala aspeknya yang mulia.
Krishna memerintahkan Arjuna, " Majulah melampaui perasaan individu yang sempit ini. Jangan menjadikan badanmu sebagai dasar seluruh hidupmu. Badan hanya merupakan pembungkus , suatu alat. Badan hanyalah wujud yang engkau lihat dengan mata manusiawimu. Luaskanlah wawasanmu. Kembangkanlah pandangan batinmu; capailah pandangan Tuhan. Bila pandanganmu dipenuhi dengan Tuhan, maka seluruh ciptaan akan tampak sebagai Tuhan bagimu. Jadikanlah darma itu sebagai wawasanmu, maka wawasanmu akan menjadi wawasan Tuhan; kemudian engkau akan melihat seluruh ciptaan sebagai Tuhan sendiri. Sebagai pribadi engkau adalah pangeran, termasuk ksatria. Berjuang untuk melindungi keadilan dan bertempur adalah tugasmu. Namun engkau tidak perlu keluar dan mengundang pertempuran. Kurawalah yang telah menyatakan perang terhadap engkau. PetunjukKu kepadamu ialah agar engkau menghormati kewajibanmu, dan sementara melaksanakan tugasmu, patuhilah seluruh perintahKu. Dengan demikian tugasmu akan dijiwai oleh darma."
Ketika memberi pelajaran kepada Arjuna, Krishna memperlihatkan wujud darma yang hakiki. "Arjuna, sifat api adalah membakar, jika api tidak membakar, ia bukan api. Begitu pula es mempunyai sifat dingin. Kalau tidak dingin engkau tidak dapat mengatakan itu es. Atau manis adalah sifat gula. Kalau tidak terasa manis, barang itu mungkin garam, atau tepung, tetapi bukan gula. Begitu pula kematian adalah wajar bagi setiap tubuh manusia. Bila badan manusia mendekati akhir yang menjadi kewajarannya, mengapa engkau merasa sedih dan cemas? sama seperti membakar itu wajar bagi api, dingin itu wajar bagi es, dan manis itu wajar untuk gula, demikian pula kematian wajar bagi setiap tubuh manusia. Tanpa memperlihatkan wujud badan sanak keluargamu itu, bertempurlah, tetapi laksanakan hal itu dengan selalu mengingat sifat-sifat stithaprajna. Bila engkau ingin mencapai kedamaian, engkau harus menghancurkan keakuan dan keterikatanmu, juga engkau harus menjauhkan segala khayalan, tetapi jangan menjauhi Tuhan! Patuhilah segala perintahnya maka engkau akan menyadari sifat sejati umat manusia."
Darma, sifat ketuhanan yang merupakan sifat alamiah dalam diri manusia, akan menghancurkan maya. Swami telah mengatakan bahwa dalam kata manusia (Inggris : man ) huruf m berarti maya dihilangkan, huruf a berarti atma dilihat, dan n berarti nirwana tercapai. Dengan kata lain, dilenyapkan ego atau rasa keakuan, dapatkan penampakan Tuhan, dan manunggallah dengan kebahagiaan atma. . . inilah yang merupakan tugas manusia. Engkau harus terus menerus merenungkan hal ini. Kedamaian tidak bisa ditemukan di pasar. Bukan barang yang bisa dibeli atau dimenangkan seperti kerajaan. Kedamaian sudah ada dalam sifatmu sendiri, ada dalam dirimu. Engkau hanya akan dapat menemukannya bila engkau cari dalam diri sendiri. Karena itu jauhkanlah wawasan lahir dan kembangkan wawasan batin. Wawasan lahir hanya untuk binatang, bukan untuk manusia; manusia sejati memiliki wawasan batin." Karena itu, Krishna memerintahkan kepada Arjuna, " Sucikanlah hidupmu dengan mengembangkan potensi manusia yang mulia ini dan arahkanlah pandangan ke dalam batin!"
Kita telah mendengar cerita Resi Narada yang pada ulanya terus menerus mengalami keresahan. Narada mahir dalam berbagai macam ilmu. Ia menguasai 64 jenis ilmu dan telah menerapkan kemahirannya itu; namun ia tidak merasakan kedamaian dalam hatinya. Ia mulai berpikir, "Mengapa aku resah terus, mengapa aku terus diserang rasa khawatir? Aku telah menguasai segala jenis ilmu. Aku mengetahui semua bidang pengetahuan manusia, namun tetap aku tidak dapat melenyapkan kesedihan hatiku." Ia lalu menghadap Sanat Kurmara dan mohon penjelasan sebab-sebab kesedihan serta kekhawatirannya. Yang pertama ditanyakan oleh Sanat Kumara adalah, "Apakah kepandaianmu?" Narada menjawab, "Saya telah mempelajari dan menguasai segala macam ilmu pengetahuan; tidak ada bidang ilmu yang belum saya kuasai." Kemudian Sanat Kumara berkata, "Baik sekali, jadi engkau telah menguasai ilmu tentang diri sejati, yaitu atmawidya?" Narada menjawab, "Belum, kecuali atmawidya, yang lainnya sudah saya kuasai semua." Lalu Sanat Kumara menjelaskan, "engkau hanya akan mengalami kedamaian batin dengan pengetahuan atma. Hanya bila engkau mengetahui hal itu, engkau dapat meraih yang lain-lain, dan hanya bila engkau telah menguasai ilmu tersebut, engkau akan mengetahui segala sesuatu lainnya... hanya dengan menguasai pengetahuan atmalah engkau dapat dikatakan terpelajar. Kalau tidak demikian, engkau tetap berada dalam alam ketidaktahuan, walaupun engkau telah menguasai berbagai macam ilmu. Apa gunanya menguasai semua ilmu pengetahuan itu tanpa mengetahui satu ilmu yang paling diperlukan?" Ada sebuah contoh.
Pada sebuah desa akan diadakan perkawinan. Nyonya rumah yang akan menyelenggarakan upacara pernikahan itu berkata kepada tetangganya, "Ibu, kami akan mengadakan upacara perkawinan besar-besaran di rumah kami. Kami telah mengundang klub musik Bombay yang sangat terkenal. Di samping itu juga telah kami undang penyanyi-penyanyi ternama. Beberapa tukang masak jempolan akan menyiapkan hidangan untuk peristiwa itu akan kami dirikan tenda yang besar sekali untuk itu. Suatu pesta pernikahan yang sangat hebat. Anda harus hadir. Anda akan sangat gembira menghadiri pesta ini. Suatu perayaan yang sangat unik." Setelah mendengar semuanya itu, tetangganya berkata, "Wah, hebat benar. Pasti saya akan datang." Kemudian ia bertanya, "saya ingin tahu siapa pengantin prianya?" Pertanyaan ini dijawab, "Calon pengantin pria belum ada kepastian."
Untuk suatu pernikahan, calon mempelai pria sangat penting. Jika pengantin pria belum ada, lalu siapa yang akan dinikahkan di tenda itu? Apa gunanya band musik, juru masak, penyanyi dan pendeta, jika tidak ada yang dinakahkan? Pertama calon mempelai pria harus sudah pasti, kemudian yang lain-lain diperlukan. Begitu pula jika tidak ada kedamaian dalam hati, apa gunanya memiliki sekian banyak ilmu? Sanat Kumara berkata kepada Narada, "Hanya dengan memperoleh pengetahuan atma, engkau akan mencapai kedamaian.
Dewasa ini manusia mudah menjadi mangsa raga dan dwesha, yaitu rasa suka dan rasa benci. Ia dikuasai dengan keserakahan dan diliputi oleh keakuan (ego). Lihatlah keadaannya dan apa yang dilakukannya! Ia merasa makhluk yang penting di dunia. Ia mengkhayal bahwa tidak ada orang yang lebih hebat dari padanya. Karena khayalan ini ia tidak mampu lagi mengadakan pertimbangan sehingga bahkan tidak mampu mengerti kebingungannya. Ia beranggapan bahwa ialah yang melakukan segala-galanya. Ia mengira bahwa ia dapat membeli dunia ini dan dapat berbuat sekehendak hatinya. Tetapi buka dialah yang memutar dunia ini. Ia tidak memiliki kekuatan itu, untuk tujuan baik dan jahat. Yang menciptakan dunia ini yang melindungi dunia ini yang menjadi bapak dunia ini yang menjadi ibu dunia ini yang menguasai dunia ini... Beliaulah yang mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk memutar dunia ini. Bagi seluruh alam yang bergerak maupun tidak bergerak, hanya ada satu yang berkuasa. Ini adalah kebenaran amat penting yang harus disadari oleh setiap manusia.
Jangan biarkan dirimu diliputi oleh kegembiraan dan kemarahan sehingga engkau kehilangan rasa damai. Kesedihan, kehilangan, sakit, kekhawatiran, semua itu adalah cobaan untuk membantu engkau mengatasi kelemahan pada dirimu. Cobaan itu akan memperlihatkan engkau kuat iman, tabah, dalam menanggung penderitaan, dan tidak terpengaruh olehnya. Tidak ada gunanya jika engkau hanya lulus ujian yang diadakan oleh badan perguruan engkau harus lulus dan ujian yang diberikan oleh hidup itu sendiri. Telah dikatakan, "Setelah menguasai segala ilmu pengetahuan, hanya orang dungulah yang tidak mengetahui pikirannya sendiri." Ilmu apapun yang telah dikuasai, orang yang jahat tidak akan mendapat sifat yang baik dari pengetahuannya itu. Lalu apakah guna semua ilmunya? Setelah mendapat ilmu-ilmu yang tidak berguna itu ia hanya memperoleh kemampuan berdebat. Mengapa harus mempelajari begitu banyak ilmu yang tidak ada gunanya? Sebaliknya, berusahalah sekuat tenaga mempelajari tentang segala sesuatu yang tidak akan punah; itulah pendidikan yang mempunyai nilai yang kekal. Pengetahuan apakah yang memungkinkan engkau mengetahui hal yang tidak akan mati? Pengetahuan itu adalah pengetahuan atma, pendidikan itu adalah pendidikan atma. Atma tidak mati juga tidak lahir. Setiap makhluk yang lahir akan mengalami perubahan dan akhirnya pasti mati. Seluruh alam ini dan isinya mempunyai wujud tertentu. Karena ia mempunyai bentuk, ia akan mengalami perubahan. Engkau harus berusaha mencapai tingkat itu yang tidak akan mengalami perubahan sama sekali. Untuk itu engkau harus memperoleh pengetahuan tentang diri sejati yang esa, engkau harus mempelajari atma widya.
Pada suatu hari di suatu desa ada seorang tua yang bodoh. Ia meninggalkan desanya dan pergi mengadakan perjalanan yang jauh. Belum pernah ia bepergian dengan kereta api. Bahkan selama hidupnya ia belum pernah melihat kereta api. Sekarang ia menunggu kereta api di stasiun. Kereta api datang dengan beberapa gerbongnya. Orang desa sangat heran melihat kereta api itu." Gerobaknya banyak benar," pikirnya, "Jalannya begitu cepat dan tidak jatuh terguling di atas rel yang begitu sempit, padahal manusia sulit berjalan di atas rel itu". Beratus-ratus orang menunggu akan naik kereta api itu. Barang yang dibawa setiap penumpang sangat banyak. Orang desa itu duduk merenung, "Bagaimana kereta itu bisa mengangkut begitu banyak penumpang dan barang? Mengapa mereka membawa barang begitu banyak? Bersama para penumpang lain ia naik. Setelah menaruh barang-barang mereka di atas rak atau di lantai kereta, para penumpang mulai duduk, mengobrol, serta beristirahat.
Orang desa itu berpikir, "Sungguh kejam orang-orang ini! Mengapa mereka membebani kereta yang malang ini dengan menaruh barang-barang itu lalu duduk santai?" Maka orang tua itu duduk sambil tetap menyunggi bawaannya. Kereta api cukup membawa dia; setidak-tidaknya ia dapat membawa barangnya sendiri dan tidak menambahkan beban pada kereta yang sudah sarat muatan ini. Seorang penumpang bertanya, Pak, mengapa barangnya disunggi? Taruh saja dan Bapak bisa beristirahat." Jawab orang tua itu, "Kalau kereta api itu sudah mengangkut begitu banyak barang, saya tidak ingin menambah bebannya, maka barang saya tetap saya suggi dan akan saya bawa sendiri." Apa pun yang engkau lakukan dengan barang-barangmu, kereta tetap mengangkut dirimu dan barang-barangmu, kereta tetap mengangkut dirimu dan barang yang engkau bawa. Dengan menjinjing barangmu, engkau tidak memperingan beban kereta api itu. Jadi, engkau bisa meletakkan barangmu dan menikmati perjalanan. Orang tua itu memiliki hati yang lembut dan belas kasihan, tetapi ia tidak memiliki akal dan pertimbangan.
Krishna berkata kepada Arjuna, "Walaupun engkau sangat pandai, meskipun engkau mempunyai kemampuan mengendalikan nafsu, sekalipun engkau telah mencapai berbagai prestasi yang hebat dan memiliki berbagai ketrampilan, engkau tetap mengalami kesulitan. Ini dikarenakan engkau belum memahami prinsip ketuhanan. Selama engkau belum memahami ketuhanan, engkau tidak bisa lepas dari penderitaan. Jika engkau ingin melepaskan diri dari kesedihan serta penderitaan dan mendapat rahmat Tuhan, engkau harus mematuhi perintah-Ku. Pertama ingatlah bahwa engkau bukan badan. Alat-alat indera ini tidak ada hubungannya dengan engkau; indera itu berkaitan dengan badan. Gunakanlah badanmu untuk bekerja, tetapi jangan kau samakan dirimu dengan badan, dan kerja itu. Engkau lahir pada badan ini sebagai akibat perbuatanmu yang lampau, yaitu karmamu, dan engkau harus menggunakan badan ini untuk melaksanakan karma. Karena itu bangkitlah! Bangunlah! Kerjakan tugasmu. Lakukan Kegiatan dan persembahkan kepada-Ku. Akulah yang akan menerima akibat perbuatanmu. Jauhkan sifat mementingkan diri, tegakkan keadilan, teguhkanlah imanmu! Itulah darma dari zaman ke zaman. Jika engkau mematuhi perintah-Ku, aku akan melindungi engkau.
"Aku ingin menjelaskan satu hal lagi. Dhrishtarashtra yang buta, ayah pada Kurawa, mempunyai 100 putra, namun seorang pun tidak ada yang hidup untuk melaksanakan upacara perabuannya. Mengapa demikian? Semua anak itu adalah putra Tuhan, tetapi Dhrishtarashtra menganggap semuanya itu putranya. Arjuna, engkau pun adalah saudara mereka. Engkau menipu dirimu sendiri dengan mengira bahwa badan ini adalah milikmu sedangkan sebenarnya bukan milikmu sama sekali. Dengan menganggap engkau adalah badanmu ini, engkau diliputi oleh kebutaan seperti Dhristarashtra. Suatu kedunguan yang luar biasa. Jika engkau tidak melenyapkan kedunguan ini, engkau tidak akan mampu mencapai kebijaksanaan. Engkau harus mengembangkan kemampuan pertimbangan dan penyelidikan batin agar mendapat pengetahuan."
"Di dalam badanmu terdapat hati spiritual, dan dalam hati itu bersemayam Tuhan. Juga dalam tubuhmu ada jiwa. Keduanya, Tuhan dan jiwa tampaknya terpisah dalam badanmu, tetapi bekerja sama, memainkan peran masing-masing dalam drama besar. Keduanya kadang-kadang bersama dan berpisah lagi sebagaimana diatur oleh sutradara yang menulis drama itu. Sutradara menetapkan peran yang berlainan untuk baik dan buruk, kebajikan dan dosa, tetapi sebenarnya hanya ada satu Tuhan yang memainkan semua peran. Dari segi kesadaran badan, ada jiwa di dalamnya dan ada Tuhan dalam hati. Selama engkau mengira dirimu adalah badan, keduanya tetap terpisah dan memainkan peran masing-masing. Segera setelah khayal itu lenyap, keduanya manunggal menjadi satu prinsip ketuhanan yang meliputi segala sesuatu. Bila engkau menyingkirkan khayalan kesadaran badan ini makan engkau menyatukan jiwa dan Tuhan. Lalu engkau akan menetap dalam kesadaran Tuhan dan mengalami kebahagiaan yang abadi."
Dengan ajaran ini Krishna dapat memberi Arjuna pengetahuan yang diperlukan untuk menjadi stithaprajna dan mengajarkan cara-cara untuk mencapai kebahagiaan nondualitas. Beliau berkata, "Arjuna, sadarilah selalu bahwa segala sesuatu yang ada dalam alam semesta ini merupakan eksistensi yang satu itu juga. Jangan biarkan pikiran dan perasaanmu menjauhkan engkau dari rasa kemanunggalan dan ketenangan bathin ini. Lepaskan hatimu dari kesedihan dan kegembiraan, rasa suka dan rasa benci. Jangan terpengauh oleh celaan atau pujian. Perlakukan semua orang sama."
Krishna berkata kepada Arjuna, "Jika engkau mempunyai keyakinan yang teguh bahwa segala sesuatu dalam alam ciptaan ini adalah perwujudan Tuhan maka engkau akan menjadi seorang stithaprajna dan engkau akan mencapai pengetahuan yang tertinggi. Arjuna, laksanakanlah segala perintah-Ku dan jadilah stithaprajna!".