Kamis, 03 Februari 2011

PERCAKAPAN 33 MENGEMBANGKAN PANDANGAN BATIN

PERCAKAPAN 33
MENGEMBANGKAN PANDANGAN BATIN
Baik engkau sibuk melakukan pekerjaan di dunia atau telah meninggalkan urusan keduniawian, yang terutama harus kau perhatikan bukanlah pekerjaan yang kau lakukan atau tidak kau lakukan, tetapi apakah engkau telah mampu melenyapkan sampai keakar-akarnya segala kecenderungan yang tersembunyi dalam lubuk hatimu.
________________________________________

Lenyapnya vasana yaitu berbagai kotoran yang tersimpan dalam-dalam pada dirimu adalah tujuan utama segala sadhana 'latihan rohani'. Itu juga merupakan tujuan yoga, yaitu membersihkan dirimu dari raga dan dwesha, kejahatan kembar, yaitu keterikatan dan kebencian yang bercokol dalam dirimu. Jika engkau pergi begitu saja ke hutan atau gua tanpa melakukan latihan rohani yang tepat untuk melenyapkan musuh dalam dirimu, maka suka atau tidak keinginan-keinginan atau musuh tersembunyi itu akan terus menimbulkan pikiran atau perbuatan yang bersifat mengikat dirimu. Kotoran itu tetap berada dalam dirimu sebagai benih dalam hatimu dan menimbulkan pikiran yang penuh dengan rasa suka atau tidak suka, nafsu atau khayalan, akibatnya akhirnya engkau lupa akan sifat manusiawimu yang sebenarnya.
Gita telah mengajarkan bahwa jika engkau mampu melenyapkan keinginan dan kecenderungan yang bercokol dalam hatimu maka engkau dapat dengan leluasa melakukan tugas apa saja tanpa keinginan menikmati hasilnya. Dengan demikian engkau tidak akan terikat oleh karma yang engkau lakukan. Dengan kata lain, engkau akan terbebaskan sama sekali dari hasil kerjamu. Orang yang tidak mengerti kebenaran ini dan akhirnya meninggalkan tugas dan kegiatannya di dunia, akan terperosot ke dalam kelesuan dan kemalasan. Namun Gita telah berulang-ulang mengingatkan bahwa dalam dunia spiritual sama sekali tidak ada sifat bermalas-malas. Gita mengajarkan anaasakti yoga, yaitu yoga melakukan kegiatan tanpa kepentingan pribadi dan tanpa terpengaruh oleh perasaan pribadi. Dalam anaasakti yoga itu engkau sama sekali tidak mengindahkan kepentingan pribadi dan hasil yang timbul dari pekerjaan yang engkau lakukan. Itu berarti bekerja dengan penuh konsentrasi sejauh kemampuan untuk mencapai yang terbaik, tetapi semua perbuatanmu itu kau tujukan untuk melayani serta mengabdi Tuhan dan selalu didasari atas kesadaran Tuhan.
Anaasakti yoga bahkan lebih tinggi daripada nishkama karma yang telah dijelaskan dalam bab kedua dalam Bhagawad Gita. Nishkama karma adalah suatu tahap dengan sifat tidak menginginkan atau mengharapkan hasil pekerjaan yang engkau lakukan. Engkau tidak akan dapat mencapai tingkat nishkama karma selama vasana yang timbul dari perbuatan-perbuatanmu yang lalu tidak menunjang kemajuan spiritual. Pertama engkau harus melenyapkan segala sifat buruk yang berkaitan dengan perbuatan yang tidak baik dan menggantikannya dengan sifat-sifat baik yang berhubungan dengan berbagai perbuatan yang baik. Bila engkau telah mantap dalam tingkat pengabdian tanpa pamrih dan engkau hanya melakukan perbuatan yang baik, engkau dapat melangkah ke tahap nishkama karma. Di sini engkau meninggalkan buah segala perbuatanmu. Sesudah itu dengan sendirinya engkau akan mencapai tingkat anaasakti yoga.
Apakah rahasia yang terkandung dalam melakukan pekerjaan? Gita telah menjelaskan bahwa hanya dengan berbuat baik, melalui sat karma, kecenderungan buruk dapat dihilangkan. Gita menasehatkan agar engkau hanya melakukan perbuatan-perbuatan yang baik untuk menyucikan hatimu. Tetapi lebih dari itu, Gita menyatakan bahwa hati yang betul-betul suci hanya dapat dicapai dengan mempersembahkan segala perbuatanmu kepada Tuhan. Setiap pekerjaan yang engkau lakukan harus dipersembahkan kepada Tuhan; hanya dengan demikianlah hatimu akan suci sepenuhnya. Ada suatu contoh, makanan yang telah dimasak dan disiapkan dengan berbagai cara, tetap merupakan makanan biasa, dan bila kau makan begitu saja, engkau akan terkena akibat yang baik atau buruk dari makanan itu. Tetapi jika sebelum makan, makanan itu dipersembahkan lebih dulu kepada Tuhan, maka makanan itu menjadi prasadam, yaitu makanan yang sudah diberkati, dan menjadi pemberian suci dari Tuhan. Begitu pula semua pekerjaan yang engkau lakukan sepanjang hari termasuk karma biasa. Tetapi bila engkau melakukan pekerjaan itu, pekerjaan sekecil apapun, sebagai persembahan kepada Tuhan dan hasilnya bukan demi kesenanganmu melainkan untuk menyenangkan Tuhan, maka karma itu akan menjadi karma yoga dan juga merupakan yajnya, yaitu kurban suci. Hanya dengan karma yoga semacam itu engkau akan dapat membersihkan dirimu dari segala kecenderungan jahat serta menjadikan hatimu suci.
Bagaimanakah seharusnya kualitas perbuatan yang engkau persembahkan kepada Tuhan? Seberapa suci seharusnya perbuatan itu? Sebelum memberikan sesuatu kepada seseorang, engkau berusaha mengetahui apakah barang itu akan berguna, apakah ada nilainya, apakah suci dan akan dihargai, dengan kata lain apakah benda itu akan diterima dengan senang hati. Bila engkau demikian hati-hati ketika akan memberikan sesuatu kepada orang lain maka betapa engkau harus lebih berhati-hati bila akan mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan sendiri? Betapa persembahan itu harus murni dan suci sekali? Betapa persembahan itu harus menyenangkan dan sesuai dengan kehendak-Nya? Kita tidak boleh mempersembahkan sembarang barang atau sembarang perbuatan kepada Tuhan. Sebelum engkau mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan, pertama-tama engkau harus membersihkannya, menyucikan dan memuliakannya. Dengan demikian persembahan itu akan sesuai bagi Tuhan.
Misalnya engkau ingin mempersembahkan setangkai bunga mawar kepada Tuhan, pertama engkau memilih bunga yang baik dan harus. Kemudian kau bersihkan serangga pada bunga itu. Lalu kau buang duri dan daun-daunnya yang kurang baik. Dengan berbagai cara engkau berusaha membuat persembahan itu seindah dan sesuci mungkin. Setelah itu barulah kau persembahkan kepada Tuhan. Setiap perbuatan yang kau lakukan harus seperti bunga yang kau persembahkan kepada Tuhan. Seperti harumnya bunga, demikian pula hendaknya perbuatanmu harus semerbak dengan keharuman cinta kasih dan kesucian. Seperti keindahan dan kesucian bunga yang engkau persembahkan, begitu pula perbuatanmu harus baik dan suci. Itulah karma yoga yang sejati Bhagawad Gita mengajarkan agar engkau hanya mempersembahkan perbuatan seperti itu kepada Tuhan.
Engkau harus mampu membedakan antara perbuatan yang bijaksana dan perbuatan yang tidak bijaksana. Untuk itu engkau harus mengerti perbedaan antara kebijaksanaan dan kebodohan. Sangkhya menyebutkan tentang perpaduan antara kebijaksanaan dengan kebijaksanaan, artinya meningkatkan kebijaksanaan individu dan menyatukannya dengan kebijaksanaan alam semesta. Setiap orang yang ingin menghayati Tuhan secara langsung harus mengembangkan kebijaksanaan ini dan bersamaan dengan itu juga mengembangkan sejumlah sifat- yang penting. Sifat-sifat khas seorang stithaprajna, yaitu orang yang memiliki kebijaksanaan spiritual, adalah kesabaran, ketetapan hati, kesucian lahir batin, kasih yang tidak mementingkan diri, selalu menyadari kehadiran Tuhan, kerinduan pada Tuhan, dan enam sifat yang dikenal sebagai harta spiritual, yaitu sama 'pengendalian pikiran', dama 'pengendalian indera', uparati 'perasaan yang suci karena telah meninggalkan segala keinginan dan nafsu duniawi, titiksha 'kesabaran, ketabahan dan sifat yang tidak mengindahkan segala hal yang berlawanan seperti suka dan duka, shraddha 'iman yang teguh', dan samadhana 'konsentrasi dan kebahagiaan yang timbul dari ketenangan pikiran'. Kita akan membahas sifat yang pertama yaitu kesabaran.
Kesabaran atau ketabahan merupakan salah satu dari sifat-sifat yang sangat penting yang harus dimiliki dan diamalkan oleh setiap orang. Banyak raja binasa karena meninggalkan sifat kesabaran ini. Bahkan maharesi pun kehilangan pahala spiritualnya karena melalaikan sifat ini. Tidak sedikit orang cerdik pandai hancur karena mengabaikan sifat yang tidak ternilai itu. Kesabaran dapat dianggap sebagai tameng dan baju zirah yang paling penting untuk menghadapi perjuangan hidup. Jika manusia tidak memiliki kesabaran, dengan cepat ia akan kehilangan semua sifat kemanusiaannya. Telah engkau ketahui bahwa sifat sabar itu merupakan ciri khas yang penting pada stithaprajna, seorang yang agung dan memiliki kebijaksanaan abadi; tanpa kesabaran tidak mungkin menjadi atau tetap sebagai stithaprajna.
Keteguhan hati atau dengan kata lain kemauan dan kebulatan tekad merupakan syarat untuk mengembangkan kesabaran. Keteguhan hati ini tidak boleh disamakan dengan sifat keras kepala. Dalam tugas suci, dalam hal-hal yang berhubungan dengan kerohanian, keteguhan dan ketetapan hati adalah suatu kualitas pikiran yang tidak diliputi oleh khayal dan kegoyahan. Hambatan apapun yang dihadapi, kesulitan dan masalah apapun yang timbul, seorang yang mempunyai keteguhan hati tetap bertekad melaksanakan tugas yang telah dilakukannya hingga ia mencapai tujuan. Jika engkau tidak mempunyai keteguhan hati ini maka kesabaran tidak akan mempunyai landasan dan tidak dapat mengikat. Kesabaran dan keteguhan laksana anak kembar, yang satu tidak bisa hidup tanpa yang lain. Tanpa keteguhan hati, kesabaran tidak akan tumbuh, dan tanpa kesabaran, keteguhan akan merosot menjadi kecongkakan.
Sekarang kita ungkap kesucian. Seperti halnya engkau melakukan berbagai perbuatan untuk membersihkan tubuhmu, begitu pula engkau harus melakukan berbagai perbuatan yang baik untuk menyucikan pikiranmu. Melalui perbuatan baik ini engkau dapat melenyapkan keterikatanmu dan perasaan suka atau tidak suka yang mencemari pikiranmu dengan ahamkara. Hanya bila sifat-sifat buruk ini dihilangkan, engkau akan dapat mencapai pengendalian diri. Seperti halnya kura-kura dapat mengeluarkan tangan dan kakinya dari tempurung, atau memasukkannya kembali, engkau pun harus mampu mengendalikan inderamu dan menggunakannya bila diperlukan. Gita telah menegaskan bahwa hal ini pun merupakan sifat yang sangat penting pada seorang stithaprajna.
Dalam bidang kegiatan atau karma itulah seseorang memperlihatkan wataknya dengan jelas dan terungkaplah kualitas atau manusia apa sebenarnya it itu. Itulah sebabnya nishkama karma dianggap sangat penting. Seperti cermin dapat menunjukkan tipe wajahmu, perbuatanmu menunjukkan jenis perasaanmu. Bila engkau berurusan dengan orang lain, dengan mudah engkau dapat mengetahui sifat-sifatnya bila engkau memperhatikan perbuatannya. Mungkin seseorang tampaknya sattvik, tenang, dan lembut. Mungkin juga ia kelihatannya suka berkorban. Mungkin engkau beranggapan bahwa ia seorang yang suci hatinya. Tetapi perbuatannya mungkin menunjukkan hal yang sangat berlawanan. Perbuatannya mungkin menunjukkan sifat binatang atau bahkan sifat setan. Perbuatannya mengungkapkan sifat yang sebenarnya. Sebaliknya orang lain mungkin kelihatan bengis. Ada orang yang kelihatan kaku, kasar, dan kurang etiket atau tata karma, tetapi dalam perbuatannya ia menunjukkan belas kasihan dan sifat-sifat mulia yang lain, maka engkau harus menyimpulkan bahwa ia seseorang yang sattvik. Maka jika engkau ingin mengetahui apakah sifat yang dominan dalam diri seseorang itu sattva, rajas, atau tamas, perhatikanlah tindak tanduknya. Perbuatannya itu akan menunjukkan sifatnya yang sebenarnya.
Gita telah menunjukkan jenis kegiatan yang harus dikerjakan dalam hidup sehari-hari. Gita tidak mengajarkan agar engkau meninggalkan segala-galanya, menjadi sanyasin, dan pergi ke hutan. Melainkan Gita menunjukkan bahwa setiap orang mempunyai tugas dan tanggung jawab yang penting untuk melakukan kegiatan yang berguna di dunia ini. Selanjutnya Gita mengatakan bahwa rahasia hidup manusia ialah mengetahui dan mengikuti jalan dharma, yang artinya melakukan tugas suci tanpa pamrih untuk membantu mengembangkan kesejahteraan sesama manusia. Gita menyatakan bahwa hidup manusia terletak pada perbuatannya. Kalau engkau tidak bekerja, engkau bahkan tidak dapat mempertahankan badanmu. Sebab itu, setiap manusia, baik orang awam maupun pencinta kerohanian, harus melakukan kegiatan dan bekerja. Namun pekerjaan yang engkau lakukan harus pekerjaan yang mulia; pekerjaan itu harus sesuai dengan prinsip dharma.
Engkau harus menjadikan kegiatanmu suatu karma yang bermanfaat bagi orang lain. Engkau harus melakukan kegiatan yang ideal dan mengamalkan kegiatan yang baik itu tanpa kepentingan pribadi. Hanya dengan demikianlah perbuatanmu dapat dianggap bersifat sattvik. Perbuatan yang sattvik itu termasuk nishkama karma. Tidak seorang pun dapat melakukan kegiatan tanpa sesuatu keinginan sama sekali. Engkau harus mengarahkan perbuatan dan keinginanmu untuk mencari dan menghayati Tuhan. Bila orientasi suci itu menjadi dasar segala perbuatanmu maka karma semacam itu tergolong yoga anaasakti. Itulah tingkat karma yang tertinggi yang mengantar engkau langsung ke tujuan. Tetapi pengaruh maya atau khayal tidak akan hilang. Ada dua shakti atau kekuatan yang membentuk maya. Yang satu disebut awarana, yaitu 'kekuatan yang menyelubungi', yang kedua wikshepa yaitu 'kekuatan mengelabui'. Kedua kekuatan ini tidak mempunyai bentuk
Pertama-tama kita tinjau awarana. Awarana adalah kekuatan yang menutupi atau menyelubungi. Bagaimana caranya? Dengan apa kekuatan itu menutup? Bagaimana engkau dapat membuka hal yang ditutupinya? Kalau kekuatan itu tidak mempunyai wujud, dengan apa ia menutupi? Bagaimana menghilangkan tutup itu? Pertanyaan ini tidak dapat dijawab. Maya bersifat gaib dan tidak dapat dijelaskan. Ia menimbulkan khayal dan kebingungan. Misalnya ada sepotong tali terletak di jalan dalam kegelapan engkau akan tertipu dan mengira tali itu seekor ular. Apakah yang menutupi tali itu? Cobalah pikir apa yang terjadi. Seketika engkau merasa ketakutan karena membayangkan ada ular di depanmu. Jadi dalam pikiranmu sendirilah tali itu terselubung oleh gagasan ular sehingga engkau merasa takut. Apakah betul ada ular? Tidak tidak ada ular. Jadi bagaimana mungkin tali itu tertutup oleh ular yang sebenarnya tidak ada dan tidak pernah ada? Itulah yang disebut khayalan.
Dalam keadaan apakah kekuatan khayal itu bisa mempengaruhi engkau? Hanya pada saat senja kala dalam keadaan gelap engkau membayangkan melihat ular yang sebenarnya hanya tali belaka. Dalam kegelapanlah khayal itu muncul dan menyelubungimu. Kenyataannya, tidak ada ular yang menyelubungi tali itu, tetapi khayalan menutupi pikiran seseorang sehingga persepsinya tidak jelas dan membingungkan pengertiannya. Khayalan ini adalah maya. Jika engkau menerangi tempat itu, engkau tidak akan melihat ular, melainkan hanya tali. Jadi dalam keadaan terang, khayal lenyap dan benda sebenarnya nampak. Sesuatu yang ada akan tetap ada, tidak pernah hilang atau berhenti eksistensinya. Ia tetap tidak berubah. Juga tidak ada pergantian sedikit pun pada eksistensi itu. Khayalan yang menyelubunginya yang timbul tenggelam. Wujud yang menyelubungi pikiran itu adalah wikshepa, kekuatan maya yang kedua. Wikshepa adalah proyeksi yang ditimpakan pada dasar yang tidak berubah. Dalam hal ini proyeksi itu ular. Pada saat yang lain proyeksi itu adalah sesuatu yang lain.
Suasana batin, kesedihan dan kesenangan, semua itu timbul tenggelam. Hal itu seperti sanak keluarga yang datang berkunjung tetapi mereka tidak tinggal selamanya. Begitu pula maya ini datang dan pergi sebagai khayal bagi manusia. Khayal dalam pikiranmu yang menyelubungi tali sehingga tali itu tidak nampak, disebut awarana, yaitu kekuatan menyelubungi. Bayangan yang diproyeksikan pikiranmu kepada tali adalah wikshepa, yaitu kekuatan proyeksi pikiran. Dengan memakai lampu engkau akan melihat tali itu, tali dan ularnya hilang. Jadi kedua aspek maya ini timbul dalam kegelapan dan lenyap dalam terang. Apakah dua kekuatan ini, awarana dan wikshepa, datang bersamaan ataukah pada saat yang berlainan? kekuatan menyelubungi dan memproyeksikan mungkin muncul dan lenyap pada saat yang sama, tetapi sebagaimana terjadi pada waktu tidur nyenyak, pada saat hanya kekuatan menyelubungi yang ada, dua kekuatan itu juga dapat datang dan pergi pada saat yang berbeda. Maya tidak dapat dijelaskan atau dipahami. Ia tidak mempunyai permulaan. Tetapi ia dapat hilang selamanya. Bila sinar pengetahuan meneranginya, maya akan lenyap, maka kenyataan tunggal yang tidak berubah-ubah akan tampak. Dengan memberikan ajaran yang agung ini kepada Arjuna, Krishna dapat membebaskannya dari belenggu khayalan serta membuatnya bersinar dengan kecemerlangan diri sejati.
Selama ini engkau hanya memiliki pengertian yang dangkal dan pandangan lahiriah. Namun yang penting adalah pandangan bathin. Hanya pandangan batinlah yang benar dan suci. Engkau tidak melihat kenyataan yang sebenarnya, kesejatianmu, karena engkau hanya memperhatikan penampakan lahiriah yang tidak kekal dan sama sekali lupa pada pandangan batin yang kekal. Tuhan mempunyai misi untuk mengembalikan pandangan batin yang suci itu. Inilah yang dilakukannya bila Beliau datang sebagai Avatar. Krishna berkata, "Anakku, apapun yang engkau lakukan di dunia ini, ketahuilah bahwa semua itu tidak kekal. Pada saatnya engkau akan mengetahui bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak kekal, bersifat sementara; hubunganmu, keterikatanmu, prestasimu, kepribadianmu, semua itu akan lenyap. Segala sesuatu akan hanyut dalam aliran waktu. Jika engkau berusaha berpegang erat dan melekat pada benda-benda yang juga akan hanyut ditelan arus waktu, bagaimana mungkin kau akan terselamatkan dan dapat mencapai kesempurnaan yang tidak terpengaruh oleh arus itu, yang bukan saja tidak akan pernah terkena pengaruhnya, tetapi yang selalu menguasainya. Arjuna, segala hal yang engkau pegang teguh, semuanya sedang hanyut. Yakinilah sedalam-dalamnya bahwa bila engkau mengikatkan diri kepada hal-hal yang bersifat sementara, engkau hanya menyia-nyiakan hidupmu, engkau menyia-nyiakan kesempatan yang telah diberikan kepadamu untuk mencapai keadaan yang kekal yang merupakan kenyataanmu yang sejati. Serahkanlah dirimu kepada Tuhan, berpeganglah pada eksistensi yang kekal, maka engkau pasti akan mendapatkan kebahagiaan yang abadi, kebahagiaan Tuhan.
Dengan cara ini Krishna mendorong Arjuna agar membebaskan dirinya dari keterikatan dan khayal yang mengacaukannya. Krishna berkata, "Arjuna, engkau sendiri harus menyucikan batinmu dan membuka selubung kebodohan yang meliputi dirimu. Ikutlah jalan kebajikan, bekerjalah demi kesejahteraan dunia dan persembahkan setiap perbuatanmu kepadaKu; Aku adalah dirimu yang sejati yang bersemayam dalam hatimu." Tidak ada cara yang mudah ditempuh oleh umat manusia selain jalan karma yoga, "jalan kegiatan". Engkau dapat mengikuti jalan pengabdian hanya bila engkau telah meletakkan dasar yang kuat melalui perbuatan yang baik. Dan hanya setelah engkau menyucikan batinmu serta meningkatkan pengabdianmu, engkau akan dapat menempuh jalan kebijaksanaan dan terus maju menuju ke tingkat yang tertinggi yaitu kesadaran Tuhan. Dalam berkarya itulah manusia meletakkan dasar untuk mencapai alam spiritual yang tertinggi atau untuk menceburkan dirinya ke jurang penderitaan yang terdalam: baik atau buruknya keadaan seseorang tidak dapat dilepaskan dari kaitannya dengan perbuatannya.
Sebagai bagian dari perbuatan itu engkau dapat melakukan yadnya dan yaga, yaitu berbagai macam upacara kurban suci dan ritual keagamaan sesuai dengan ajaran agama, tetapi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya hal itu hanya akan mengantar engkau sampai ke surga. Krishna menjelaskan kepada Arjuna bahwa ada alam yang jauh lebih tinggi dan jauh lebih suci daripada surga. "Janganlah menganggap surga itu tempat yang kekal", kata Krishna. "Bila pahalamu telah habis engkau harus meninggalkan surga dan kembali ke dunia. Surga hanyalah tempat sementara: engkau tidak dapat tinggal di sana selamanya. Mungkin engkau mengira bahwa di surga engkau dapat menikmati kebahagiaan lahir batin, tetapi sebenarnya kebahagiaan yang engkau peroleh di sana hanya lebih besar sedikit daripada kebahagiaan yang engkau alami di dunia. Ada suatu keadaan yang jauh melebihi surga dan jauh lebih suci. Alam atau keadaan itu tidak dapat dicapai dengan jalan menyadari bahwa dirimu yang sejati adalah Tuhan, dengan menghubungkan dirimu dengan Aku, dengan menyatukan dirimu pada Brahman. Untuk mencapai keadaan ini engkau harus menghilangkan hawa nafsu dan tidak mementingkan diri sendiri. Engkau harus melakukan segala kegiatanmu tanpa mengharapkan hasil apapun."
Bila engkau melakukan sesuatu selalu akan ada akibatnya, buah perbuatanmu itu. Tetapi tidak ada aturan yang mengatakan bahwa engkau sendirilah yang harus menikmati hasil perbuatanmu itu. Seorang kakek mungkin menanam pohon buah-buahan dan kakek itu mungkin sudah meninggal sebelum pohonnya berbuah. Tetapi buah pohon itu akan dinikmati oleh cucu-cucunya di kemudian hari. Itulah contoh yang menggambarkan bahwa orang yang melakukan perbuatan tidak menikmati hasil perbuatannya itu, melainkan orang lain yang menikmatinya. Dengan sadar kakek itu menanam pohon tanpa berharap akan menikmati buahnya: dengan pandangan yang luas ia menanam pohon itu di pekarangan agar buahnya dapat dinikmati oleh keturunannya; buah yang kelak sangat mereka sukai. Demikianlah hasil dari perbuatannya yang ikhlas itu dipetik oleh keluarga yang diturunkannya.
Apakah motivasi sang kakek menanam pohon itu? Mungkin ia melakukannya dengan tujuan sedikit agak mementingkan diri, yaitu agar dinikmati oleh keluarganya sendiri. Tetapi sifat mementingkan diri yang melakukan segala sesuatu hanya untuk dinikmati sendiri jauh lebih kasar dan nista daripada kepentingan kakek tadi. Perasaan yang menyebabkan seseorang melakukan kegiatan atau bekerja demi kesejahteraan orang lain selalu lebih tinggi dan lebih mulia daripada perasaan yang menyebabkan seseorang bekerja untuk kepentingannya sendiri sepenuhnya dan dengan harapan agar segala hasil kegiatannya dapat dinikmatinya sendiri. Dalam hal ini pun perbuatan si kakek harus dianggap lebih mulia daripada perbuatan orang yang bekerja untuk dirinya sendiri. Namun ada perbuatan yang jauh lebih tinggi; perbuatan di luar segala kepentingan pribadi, yaitu bila engkau melakukan pekerjaan sebagai persembahan kepada Tuhan. Itulah perbuatan yang paling mulia, dan itulah yang harus engkau lakukan. Engkau harus berusaha melaksanakan segala tugas dan kegiatanmu tanpa kepentingan dan keinginan pribadi, mempersembahkannya kepada Tuhan tanpa keinginan memetik buahnya. Itulah anaasakti yoga.
Bila engkau menggunakan akal budimu untuk merencanakan kegiatan yang buahnya dapat membawa manfaat bagi orang lain, seperti kakek yang menanam pohon untuk dinikmati oleh keturunannya, ini dinamakan buddhi yoga. Dalam buddhi yoga engkau memikirkan akibat perbuatanmu dan dengan demikian mendasarkan perbuatanmu pada daya penalaran budimu. Budi jauh lebih tinggi daripada pertimbangan pikiran dan perasaan rendah yang picik dan mementingkan diri sendiri. Namun di sini pun masih ada kepentingan pribadi. Bila engkau bebas sama sekali dari kepentingan pribadi, sama sekali menginginkan hasil, bekerja secara efektif dengan penuh kesungguhan, tanpa keterikatan atau keinginan, dan mempersembahkan segala kegiatanmu kepada Tuhan, maka engkau melaksanakan anaasakti yoga. Ini jauh lebih tinggi daripada buddhi yoga. Anaasakti yoga tidak mudah dilaksanakan oleh orang awam. Tetapi itu tidak berarti bahwa engkau tidak perlu berusaha mencapainya. Dengan kesungguhan hati dan rahmat Tuhan, hal yang tampaknya tidak mungkin akan dicapai. Jika engkau berlatih dan berusaha terus menerus, engkau akan mampu mencapai tingkat yang tinggi itu, yaitu anaasakti yoga, dalam segala kegiatanmu.
Agar berhasil dalam hal ini, penglihatan batin harus dikembangkan. Untuk mencapai kesadaran batin yang mantap, engkau harus selalu mengingat satu prinsip yaitu, bagaimana pun hebatnya usahamu mencari apakah di dunia fana ini atau dunia impian dan khayalan, atau di dunia apapun lainnya, ke manapun engkau memandang, yang engkau lihat adalah gabungan dan variasi 5 unsur itu dalam wujud kasar atau wujud halus. Kelima unsur itulah yang akan engkau temukan di mana-mana. Tidak ada unsur lain; tidak ada unsur yang keenam. Tetapi kelima unsur ini adalah pantulan cahaya Tuhan yang tidak terbatas. Unsur-unsur itu merupakan aspekNya; dasarnya adalah prinsip ketuhanan yang esa. Bila engkau melakukan segala perbuatanmu dengan kesadaran bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah perwujudan suci dari prinsip ketuhanan, maka kegiatanmu dengan sendirinya menjadi persembahan kepada Tuhan. Bila engkau selalu memiliki pemikiran yang begitu mulia pada waktu melakukan segala kegiatanmu, engkau mengubah pandangan duniawimu yang terbatas menjadi pandangan batin yang membebaskan sehingga menjadi manusia yang suci. Dengan terus menerus merenungkan bahwa prinsip ketuhanan ada di mana-mana, engkau dapat mengembangkan penglihatan batin sehingga dapat mantap dalam anaasakti yoga. Tetapi orang yang mempunyai penglihatan batin sangat jarang; bahkan pendeta dan kaum ulama yang hebat pun hanya mahir dalam prinsip keduniawian. Ada suatu cerita untuk menggambarkan hal itu.
Pada suatu ketika Raja Janaka mengadakan rapat para ulama besar. Banyak sarjana ternama hadir dalam pertemuan itu. Para cendekiawan dan ahli filsafat yang tersohor datang dari segala penjuru kerajaan. Ilmuwan-ilmuwan ternama yang sangat fasih dalam perdebatan berdatangan. Sejumlah orang berilmu yang sangat disegani di seantero dunia karena kehebatan pemikiran dan pembicaraannya, hadir dalam pertemuan yang diadakan di balairung istana. Pertemuan ini dihadiri oleh orang-orang yang berilmu demikian tinggi sehingga sama sekali tidak ada tempat bagi orang biasa. Sidang harian dipimpin oleh Raja Janaka sendiri, dan dari para peserta pilihan, hanya yang paling terkemuka dan punya nama diberi kesempatan berbicara serta menyampaikan pendapat. Dalam pertemuan agung dan mulia ini, Astawakra yang masih remaja mohon ijin hadir. Tetapi siapa akan mengijinkan? Ia tidak mempunyai surat pengantar atau rekomendasi untuk itu. Tidak ada guru besar atau sponsor yang membantunya. Satu-satunya pertolongan yang ia miliki ialah imannya yang mendalam kepada Tuhan.
Siapa pun juga yang percaya dengan teguh kepada Tuhan, tidak akan mendapat kesulitan yang besar. Mungkin ada hambatan untuk sementara, tetapi pada akhirnya ia pasti akan mencapai sukses. Selama tiga hari Astawakra menunggu di pintu istana yang dilalui oleh para peserta yang menuju ke balairung. Sambil menunggu Astawakra memperhatikan semua cerdik pandai yang terkenal di seluruh dunia, yang datang untuk menghadiri pertemuan itu. Walau pun hanya ilmuwan ternama yang diizinkan masuk, Astawakra tidak mau menyerah dan bertekad ingin ikut serta dalam pertemuan "Aku pun mempunyai kesempatan," katanya dalam hati, dan dengan sabar terus menunggu di pintu dari hari ke hari. Ada seorang ulama tua yang memperhatikan dan bersimpati kepada Astawakra. Ulama itu melihat Astawakra berdiri di pintu ketika ia masuk dan keluar setiap pagi dan sore. Cendikiawan tua yang baik hati itu memberitahu Raja Janaka tentang kehadiran pemuda remaja tersebut. Ia memberitahu Raja Janaka bahwa ada orang yang berdiri di luar berhari-hari, ingin ikut dalam pertemuan walaupun ia tidak memiliki kualifikasi yang diperlukan untuk ikut serta. Raja diberitahu bahwa orang itu masih muda belia, kelihatan belum punya pengalaman, dan juga tidak mengenakan tanda-tanda prestasi kesarjanaan, ia juga tidak mempunyai rekomendasi dari cendikiawan manapun juga yang hadir di situ. Pendeknya, orang itu tidak dikenal dan kualifikasinya tidak diketahui, namun ia tetap menunggu dan ingin masuk.
Raja Janaka menyuruh petugas untuk menemui anak muda yang menunggu di luar gerbang, agar di bawa masuk ke balairung. Tidak lama setelah Raja Janaka duduk dan sidang dimulai dengan tertib dalam suasana khidmat, Astawakra memasuki ruangan. Ketika hadirin melihat anak muda yang badannya bengkok-bengkok ini datang untuk ikut serta dalam pertemuan, sebagian besar cendikiawan yang hadir tertawa. Raja Janaka yang memperhatikan Astawakra dengan seksama pada waktu ia masuk, tidak ikut tertawa. Astawakra memandang ke kanan dan ke kiri, lalu tiba-tiba tertawa lebih keras dari orang-orang itu. Ledakan tawa Astawakra yang keras sangat tidak dapat diterima dan amat mengherankan pada cendikiawan; mereka menjadi tidak enak. "Mengapa anak ini menertawakan kita?" Pikir mereka. "Jelas kita punya alasan untuk tertawa jika melihat betapa menggelikan tampang anak itu, tetapi kita ini tidak kelihatan aneh, jadi mengapa ia tertawa?" Mereka sangat keheranan dan merasa jengkel dengan hal yang mereka anggap sebagai kekurangajaran anak itu.
Engkau sering mengalami hal seperti ini di dunia, yaitu bela orang melihat orang lain yang cacat, kelihatan jelek, dan kurang sedap dipandang mata, ia kan menertawakannya. Tingkah laku yang kasar itu adalah tanda ketidaktahuan. Sangat berbeda dengan senyum nais seorang anak yang masih murni. Seorang anak kecil yang digendong ibunya mungkin akan tersenyum pada orang berdiri di belakang sang ibu. Bila anak itu tersenyum, semua orang yang melihatnya akan ikut tersenyum. Senyuman anak seperti itu, yang membuat semua orang ikut tersenyum, timbul dari kesucian hati yang murni. Tetapi dalam balai pertemuan tadi, ketawa para ulama sangat berbeda dengan senyum anak yang masih suci. Balairung itu dipadati oleh ulama yang amat terkenal, para sarjana dengan prestasi ilmiah yang luar biasa, tetapi kepolosan seorang anak tidak dapat dijumpai di situ.
Para hadirin masih bertanya-tanya mengapa anak muda yang aneh yang baru masuk itu tertawa demikian keras. Salah seorang ulama berkata kepada Astawakra, katanya, "Oh orang asing, siapakah engkau? Kami tidak mengenal engkau. Ketika engkau memasuki ruangan, penampilanmu membuat kami tertawa. Engkau membalas tertawa lebih keras lagi. Apa alasanmu tertawa seperti itu. Apa yang lucu pada para cendekiawan kenamaan yang duduk di sini sehingga engkau terus tertawa?" Astawakra menjawab, "Saya datang pada pertemuan ini karena mengira bahwa pertemuan ini adalah suatu pertemuan suci yang diadakan oleh Raja Janaka yang tersohor untuk membicarakan ajaran kitab suci. Kalau saja saya tahu orang-orang macam apa yang hadir dalam pertemuan ini, saya tidak akan bersusah payah datang. Saya telah menunggu dengan sabar selama berhari-hari lalu memasuki ruangan ini dengan perkiraan bahwa para ulama terbesarlah yang hadir. Saya ingin sekali dapat ikut berada bersama orang-orang suci seperti itu. Tetapi sayang, yang saya jumpai hanya tukang-tukang sepatu di sini, orang-orang yang memperbaiki sandal dan bekerja memakai kulit".
Ketika para ulama mendengar kata-kata yang kasar ini, mereka menjadi amat geram, mereka merasa amat terhina oleh perkataan Astawakra. Namun Astawakra melanjutkan berbicara dengan nada yang sama, "Tukang sepatu adalah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan kalian. Tidak lain dari tukang sepatu, orang yang bekerja memakai kulit binatanglah yang akan memikirkan nilai kulit; orang lain tidak akan menghiraukan kulit. Kalian semua menertawakan kulitku dan tentu menganggapnya tidak ada harganya, tidak ada seorang pun dari kalian yang berusaha mengetahui keahlianku. Seharusnya para cendekiawan mampu melihat ke dalam, namun kalian tampaknya hanya memperhatikan bungkus luarnya saja. Jika kalian belum mengembangkan pandangan ke dalam melainkan hanya mengutamakan bagian luar maka kalian sama sekali tidak dapat dinamakan cendikiawan. Jika demikian kalian hanya tukang sepatu, ahli tentang kulit." Demikian kata Astawakra. Para cendekiawan tertunduk malu. Raja Janaka yang memahami benar-benar makna perkataan Astawakra, mempersilahkan ia duduk dan setelah itu memberi banyak penghormatan kepadanya.
Seperti keadaan pada waktu itu, keadaan di dunia ini sekarang pun demikian pula. Bagaimana pun hebatnya seseorang, ia hanya memiliki pandangan lahir atau pandangan luar. Ia tidak berminat mengembangkan pandangan batin. Bila ia meneliti seseorang, ia hanya memperhatikan penampilan fisiknya, kekayaannya, kedudukannya, pendidikan, kersarjanaannya, dan sebagainya. Sebaliknya jika Tuhan meneliti seseorang, Beliau melihat kemurnian hatinya, Beliau memperhatikan kedamaian batinnya. Engkau pun harus mengembangkan pandangan batin seperti itu dan mencari kedamaian hati. Bagaimana pun keadaannya engkau tidak boleh cepat terbawa luapan emosi. Engkau harus memberi waktu sehingga perasaan yang lebih mulia timbul dari dalam dirimu dan terungkap.
Misalnya ada seseorang yang menghina atau menyakiti hatimu; apakah engkau kehilangan karena perbuatannya itu? Janganlah engkau bereaksi dengan luapan emosi. Jika engkau tetap tenang, seluruh kemarahan orang itu dapat tercurah dengan bebas. Tetapi jika engkau mencoba menghalangi perasaan orang itu dengan mencegahnya melepaskan kemarahannya, ini dapat menimbulkan situasi yang berbahaya. Contohnya, ada orang sakit; karena merasa mual maka ia muntah dan mengeluarkan semua isi perutnya. Apa yang menyebabkan ia sakit dan muntah? Tidak lain karena ada kotoran, ada racun yang masuk ke perutnya. Kalau ada kotoran maka akan ada kuman-kuman, akibatnya orang menjadi sakit dan kesehatannya menurun. Karena itu, perlu sekali kau jaga agar tubuhmu jangan sampai kumasukkan kotoran. Badan mempunyai kemampuan untuk segera memuntahkan dan mengeluarkan racun yang masuk. Bila badan bereaksi secara alamiah dengan memuntahkan racun, maka keliru kalau diberikan obat untuk menghentikan muntah. Bila diberi obat, racun itu tidak akan dimuntahkan, melainkan tetap tinggal dalam perut dan segera meracuni seluruh badan. Karena itu semua kotoran harus dibiarkan keluar dan jangan dihalangi dengan pemberian obat. Setelah semua kotoran keluar, barulah diberi obat.
Setelah muntah dan mualnya hilang, orang itu akan merasa sangat lemah. Maka ia akan mengerjakan apa pun yang engkau suruh; pada saat itulah ia akan patuh kepadamu. Jadi itulah cara yang terbaik yang harus dilaksanakan bila seseorang memuntahkan racun. Begitu juga bila seseorang sangat marah dan memuntahkan racun dalam bentuk kemarahan itu. Biarkanlah ia membuat seperti itu; jangan dihalangi. Apapun yang ia ingin ia katakan, biarlah ia keluarkan semuanya. Sampai marahnya keluar semua, engkau harus tetap tenang dan sabar. Mengapa engkau membiarkan dirimu ikut terbawa luapan emosi? Jika engkau tidak merasa jengkel, kesabaranmu akan menimbulkan perasaan damai dan kebahagiaan dalam hatimu. Ini suatu pengalaman surgawi; mengapa engkau tidak ingin menikmati kebahagiaan perasaan seperti itu?
Sifat sabar adalah sifat yang paling penting. Dari semua sifat baik manusia, kesabaran dan ketabahanlah yang paling utama. Swami telah berkali-kali mengatakan bahwa kesabaran dan ketabahan adalah kebenaran, kesabaran adalah kebajikan, kesabaran adalah tanpa kekerasan, kesabaran adalah kebahagiaan. Kesabaran sesungguhnya sama nilainya dengan apapun yang dapat kau jumpai di seluruh alam ini. Jika seseorang memiliki kesabaran dan ketabahan maka ia akan dapat memperoleh semua sifat penting yang lain seperti penguasaan pikiran, penguasaan nafsu, meninggalkan segala keinginan, keteguhan hati, iman, dan konsentrasi. Dalam bahas sansekerta sifat-sifat ini disebut sama, dama, uparati, titiksha, shraddha dan samadhana; semua sifat ini membentuk keadaan batin yang murni. Untuk membersihkan badan engkau menggunakan sabun dan air, bedak, dan berbagai wangi-wangian. Untuk mencapai kesucian batin engkau harus mengembangkan keenam mutiara spiritual tadi dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kesucian batin sangat penting; bahkan jauh lebih penting daripada kesucian badan. Tuhan ada di dalam dan di luar. Seluruh tempat Tuhan harus disucikan dan dikeramatkan, di dalam maupun di luar. Maka Tuhan yang bersemayam dalam dirimu akan melindungi engkau ke mana pun engkau pergi.
Dalam Sankhya Yoga Krishna mengajarkan sifat-sifat yang menjadikan kita seorang stithaprajna, seorang yang ideal, yang mantap dan kokoh dalam kebijaksanaan. Swami telah menyebutkan hal itu, namun beliau akan mengulangnya kembali, yaitu sebagai berikut:

Sama : kedamaian batin.
Dama : pengendalian indera atau nafsu.
Uparati : meniadakan keinginan.
Titiksha : tabah dalam segala keadaan; artinya, betapa pun besar cobaanmu bagaimana pun keadaannya, engkau tetap tabah, tidak terperdayakan dan tidak tergoyahkan.
Shraddha : kepercayaan yang kokoh pada ajaran kitab suci manapun, perkataan guru dan orang-orang suci yang agung yang telah lebih dulu menempuh bidang spiritual.
Samadhana : puas dan senang dalam segala keadaan serta selalu memusatkan pikiran.
Hanya bila engkau dapat memusatkan pikiran (samdhana), engkau dapat mengembangkan ketabahan dan keteguhan (titiksha). Hanya bila engkau memiliki keteguhan hati, engkau dapat mengembangkan iman yang kuat (shraddha). Kalau imanmu kuat, engkau akan mengalami perasaan yang suci dan dapat meniadakan keinginan (uparati). Hanya bila engkau muak pada benda-benda duniawi engkau akan memiliki pengendalian indera (Dama). Maka setelah engkau mencapai pengendalian indera, engkau akan mendapat keadaan batin (sama). Bila ada kedamaian batin maka terdapat kesucian lahir dan batin. Dan bila ada kesucian lahir batin maka timbul kesabaran yang tetap akan menjadi sifatmu, kemudian dengan sendirinya engkau akan berada dalam keadaan tentram dan damai. Karena itu engkau harus berusaha mengembangkan sifat-sifat utama ini karena amat penting untuk mencapai kemajuan rohani.
Dengan hanya menghafalkan ayat-ayat Gita ini engkau tidak akan mencapai kemajuan yang berarti. Di samping menghafal, satu atau dua petunjuk yang diberikan harus dilaksanakan. Hanya dengan demikianlah keharuman Gita akan meresap ke dalam hatimu. Swami mengharapkan agar semua ajaran mulia yang telah engkau dengan dan nikmati setiap hari ini engkau laksanakan sehingga sifat-sifat itu mengakar dalam hatimu dan dapat kau wujudkan sebagai bagian dari hidupmu sehari-hari.