Kamis, 03 Februari 2011

PERCAKAPAN 9 NAFSU DAN AMARAH, KEBURUKAN KEMBAR

PERCAKAPAN 9
NAFSU DAN AMARAH, KEBURUKAN KEMBAR
Hanya bila engkau dapat menenangkan pikiranmu engkau akan mampu mengatasi nafsu, dan hanya setelah engkau berhasil menguasai nafsu engkau akan mampu mengendalikan amarah. Karena itu, langkah pertama untuk menaklukkan nafsu dan amarah ialah dengan membebaskan diri dari proses berpikir. Hal ini berlaku baik untuk pengabdi maupun orang awam, namun seperti telah diajarkan dalam Gita, bab Bhakti Yoga, keheningan pikiran sangat penting bagi seorang bhakta.
________________________________________

Pikiran itu sarat dengan energi dan hidup bahkan ia dapat lebih kuat daripada zat atau bahan yang terkuat. Engkau mulai berpikir sejak saat lahir. Bahan yang membentuk pikiranmu sangat halus, bahan itu timbul dari makanan yang kau makan. Karena itu, bila engkau hanya makan makanan yang suci engkau akan memperoleh pikiran yang suci. Bila seseorang dipenuhi dengan pikiran yang suci, segala tindakannya akan suci, dan kata-katanya pun akan suci. Pikiran suci itu ibarat pisau atau pedang yang tajam. Engkau dapat menggunakan pikiran yang baik ini untuk mencari pikiran jahat, perasaan jahat, serta perbuatan yang jahat dan kemudian menghancurkannya.
Sebaliknya, jika engkau makan makanan yang tidak baik, maka perasaan yang tidak baik, perbuatan yang tidak baik, dan pikiran yang tidak baik akan tumbuh subur. Bukan itu saja, tetapi karena makanan yang tidak baik itu badanmu akan menjadi lemah, pencernaan tidak sempurna, dan timbul berbagai gangguan jasmani. Dalam Gita, Tuhan telah menandaskan bahwa baik untuk kesejahteraan duniawi, maupun untuk mengembangkan potensi spiritual yang ada pada manusia, diperlukan badan yang kuat dan suci; untuk ini penting sekali makan makanan yang baik saja, dan yang disucikan dengan mempersembahkannya terlebih dahulu kepada Tuhan sebelum dimakan.
Pikiran dan proses pikiran merupakan wujud manas (mind). Jika pikiran diarahkan kepada keduniawian dan hal-hal yang berhubungan dengan itu, maka proses pikiran terarah kepada kekayaan dan harta benda, karena inilah yang mendasari kehidupan dalam dunia yang kasat mata. Kata kekayaan biasanya menunjukkan milik dan kesenangan duniawi seperti emas, rumah, tanah, dan anak. Kekayaan dalam bentuk lain ialah kemasyhuran, jabatan, dan kedudukan. Tetapi menurut Bhagawad Gita baik harta benda maupun jabatan bukanlah kekayaan yang sejati yang dianggap sebagai kekayaan adalah sifat yang baik, tingkah laku yang baik, dan pengetahuan tentang atma.
Nama dan ketenaran duniawi, harta benda dan keluarga, semuanya bersifat sementara. Semua itu bisa hilang bahkan pada waktu engkau masih hidup; bencana dan kemalangan dapat mengakibatkan musnahnya nama dan kemasyhuran, harta dan keluarga. Apalagi, tidak ada satu pun dari semua ini yang akan mempunyai hubungan dengan engkau setelah engkau meninggal. Tetapi sifat yang baik, tingkah laku yang baik, pengetahuan atma, dan semua sifat-sifat yang mulia akan membantu engkau menuju Tuhan dan manunggal dengan Dia.
Kemasyhuran yang sejati tidak tergantung pada keindahan badan atau daya tarikmu. Bukan pula karena kekayaan atau kemampuan fisikmu, melainkan sifat-sifatmu yang baik. Dalam kitab suci engkau akan menemukan cerita tentang Wishwamitra yang mengandalkan kemampuan fisiknya lalu ingin membalas dendam kepada resi Washishta. Washishta hanya mengandalkan kemampuan Tuhan; ia seorang Brahma Rishi, jiwa agung yang selalu berada dalam kesadaran Tuhan, dan ia menggunakan Brahma tattwa sebagai pelindung gaib, perlindungan yang timbul karena kesadarannya selalu berada dalam prinsip Tuhan.
Ketika digempur dengan panah maut dan senjata Wishwamitra yang pada waktu itu adalah raja berkuasa dan lalim, Washishta tetap tenang. Panah Wishwamitra sama sekali tidak mempan, bagaikan panah yang mengenai gunung batu. Semua senjata Wishwamitra patah ketika mengenai badan Washishta, dan jatuh ke tanah tanpa daya. Sebenarnya kemampuan fisik itu adalah suatu kelemahan. Hanya kemampuan yang dilandaskan pada sifat ketuhanan dan kemampuan kebajikan, merupakan kemampuan yang sejati. Ketika Wishwamitra menyadari hal ini, ia melakukan olah tapa mati raga yang keras agar dapat mencapai tingkat spiritual yang tinggi seperti Washishta. Setelah melakukan tapa brata yang sangat lama, akhirnya ia mencapai pengetahuan Brahman dan Washishta sendirilah yang menyatakan dia sebagai Brahma Rishi.
Kurawa bersaudara berjumlah seratus orang; mereka pun mengandalkan kemampuan fisik, uang, dan kemampuan militer raja-raja yang bersekutu dengan mereka. Akhirnya mereka semua mati dalam peperangan yang mereka timbulkan dan tak ada seorang putra pun yang masih hidup untuk melakukan upacara perabuan jenazah ketika orang tua mereka meninggal. Alangkah buruknya nasib mereka! Durhodhana dan saudara-saudaranya bukannya mencari pertolongan Tuhan, melainkan hanya bergantung pada kemampuan fisik, uang, dan kemampuan-kemampuan pribadi. Sebaliknya, Pandawa bersaudara, berlindung pada Krishna dan hanya memohon rahmat-Nya.
Ketika Arjuna memeluk kaki Krishna dan menyerahkan diri kepada-Nya, Krishna sangat gembira dan mengangkatnya seraya berkata, "Bangkitlah, oh Dhananjaya. Kekuatan sejati terletak pada keyakinan. Pada akhirnya keadilan akan selalu menang dan keserakahan akan selalu musnah; ini adalah kebenaran dharma yang tidak pernah berubah dan berlaku sepanjang masa". Ia menyakinkan Arjuna pada saat pertempuran bahwa siapa pun yang berlindung pada Tuhan akan mendapat rahmat-Nya dan setiap usahanya akan berhasil. Mereka yang menolak perlindungan Yang Mahakuasa, tidak akan mendapat rahmat-Nya dan akhirnya akan mengalami kegagalan serta kehancuran.
Jika engkau ingin mendapat rahmat Tuhan, engkau harus mengendalikan keinginan-keinginan duniawimu. Segala hasil yang timbul dari kegiatanmu dalam alam bhutakasha, dunia fana, tidak lebih nyata dari buah impian belaka. Rumah-rumah besar dan bungalow yang engkau lihat dalam mimpi hilang lenyap seketika pada saat engkau terjaga dan membuka mata. Benda-benda itu tidak nyata dan tak akan pernah menjadi kenyataan. Pengalamanmu dalam mimpi hilang lenyap pada waktu jaga, dan pengalaman di alam juga terhapus dalam alam mimpi.
Dalam Gita Tuhan mengajarkan bahwa Chittakasha adalah bentuk halus bhutakasha dan chidaakasha adalah bentuk chittakasha yang lebih halus lagi. Dari ketiga alam yang saling bertembusan atau saling mencakup ini, yaitu alam kesadaran pada waktu jaga, alam kesadaran mimpi, dan alam kesadaran pada waktu tidur nyenyak, maka chidaakashalah yang paling halus dan memenuhi semuanya. Tetapi yang lebih tinggi dari semua itu adalah Tuhan yang tidak terbatas, Brahman, Paramatma, asas kebenaran yang tertinggi. Asas ini adalah yang terhalus dari yang halus, terkecil dari yang kecil, tetapi juga yang terbesar dari yang besar. Di antara yang kuasa, Tuhanlah yang Mahakuasa. Tidak ada lagi yang lebih besar. Carilah Dia, semayamkanlah Dia di dalam hatimu dan engkau akan selamat. Ketahuilah bahwa yang berkuasa dari yang kuasa ialah atma, dirimu sendiri. Inilah kebenaran Brahman, kebenaran atma.
Mereka yang ingin mencapai kebenaran Brahman yaitu tujuan tertinggi, harus memulai perjalanan mereka dari tahap daasoham seperti yang telah dijelaskan sebelum ini. Pada tahap pertama ini seorang bhakta menganggap dirinya sebagai abdi atau utusan Tuhan, ini adalah tahap dwaita atau dualisme. Lambat laun kata daa dibuang sama sekali dan tinggal soham 'aku adalah Dia'. Dalam proses itu ia masuk ke tahap wishishta-adwaita, tahap utama yang kedua dalam jalan spiritual.
Kemudian bila ia terus melakukan soham, setelah beberapa lama suku kedua pada kata daasoham yaitu so, juga akan hilang dan hanya aham yang akan tinggal. Aham artinya 'aku', diri yang murni tanpa perubahan atau keterbatasan. Proses dari daasoham ke aham hampir menyerupai proses penyembuhan pada luka; kulit keras yang menutupi luka akhirnya lepas dengan sendirinya pada saat luka telah sembuh. Bila daa dan so yang menutupi "aku" yang murni telah lepas maka engkau akan sampai pada tahap terakhir, adwaita atau nondualisme. Maka engkau menyatu dengan kebenaran yang esa, aham aham ..... Aku adalah Aku.
Bila engkau menyatakan, "Aku Brahman, Aku Dia", engkau masih berada dalam tahap wishishtadwaita, masih ada dualisme karena masih terdapat dua yang ada, "Aku" dan "Brahman". Jadi hal ini belum merupakan adwaita yang sempurna, Pertama-tama ketika engkau mengatakan daasoham, daasoham 'Oh Tuhan, aku ini hamba-Mu', Tuhan terpisah dan hamba pun terpisah, status mereka pun jelas berbeda. Sebaliknya bila engkau mengatakan, "Aku Brahman", walaupun masih nampak adanya dualisme, perbedaan antara engkau dan Brahman tidak seperti subyek dan objek yang terpisah, tetapi lebih seperti melihat bayangan atau gambarmu sendiri pada cermin.
Bila ada orang yang berbeda-beda, bila banyak individu yang terpisah tersendiri, maka akan ada banyak pula bayangan atau pantulan cermin yang berbeda-beda. Tetapi dalam tahap wishishtadwaita engkau hanya melihat bayanganmu sendiri di mana-mana, karena engkau adalah semuanya. Diri yang esa terpantulkan menjadi banyak, seperti matahari yang satu tampak sebagai bayangan yang terpisah-pisah dalam sejumlah jambangan yang berisi ari. Jadi dalam tingkat wishishtadwaita engkau sendirian, tidak ada orang lain. Satu-satunya yang masih memisahkan engkau dari Tuhan adalah cermin. Engkau selalu melihat bayanganmu sendiri, dan engkau melihat dirimu sendiri sangat dekat dan berhadapan dengan Tuhan, selalu berdekatan dengan kaki-Nya.
Tetapi bila engkau melihat hanya satu Tuhan yang memenuhi segala sesuatu, lalu apakah perlunya bayangan? Apakah ada tempat di mana tidak ada Dia? Bila seluruh jagat adalah rumah Tuhan Yang Maha ada dimanakah engkau harus mencari pintu untuk memasuki rumah-Nya? Jika ada jalan yang terpisah dan rumah terpisah, maka harus ada pintu yang membuka ke jalan, tetapi sebenarnya sama sekali tidak ada di jalan. Bila Tuhan ada di mana-mana, bagaimana mungkin ada tempat khusus untuk mencari dan menemukan-Nya? Tidak, tidak ada tempat yang khusus bagi-Nya. Bila engkau menyadari bahwa Ia ada di mana-mana setiap saat, maka pengertian yang benar mengenai ketuhanan bukanlah seperti suatu benda yang bayangannya dapat dilihat di berbagai tempat, tetapi merupakan kesadaran bahwa hanya engkau, sang atma, diri yang esa, berada di mana-mana, ada di setiap benda secara utuh. Pengertian inilah, bahwa Tuhan memenuhi segala sesuatu, merupakan satu tiada duanya, disebut adwaita.
Sebagai bagian dari pemujaan keagamaan, dalam doa sering orang mengucapkan, "Ya Tuhan, aku ini pendosa, jiwaku penuh dosa, aku telah berbuat banyak dosa." Tetapi siapakah orang yang berdosa ini? Mungkinkah ada orang yang terpisah dari Tuhan? Mungkinkah ada orang seperti itu? Pertanyaan diri sebagai pendosa dan berbuat dosa ini tidak baik bagimu. Lebih baik engkau berkata, "Aku Shiwa, aku Tuhan, aku kedamaian, aku cinta kasih, akulah ananda 'kebahagiaan murni yang abadi'." Mengusahakan gagasan dan pikiran yang mulia seperti itu dalam dirimu adalah cara yang terbaik untuk mencapai tujuan.
Dalam Bhagawad Gita, pada daftar sifat-sifat mulia yang harus dimiliki oleh seorang bhakta, Tuhan memulai dengan adveshta sarva bhutanam 'janganlah membenci makhluk hidup apa pun'. Jika engkau menghadapi kebahagiaan dan kesengsaraan dengan keseimbangan batin, maka tidak ada lagi masalah kebencian itu. Jika engkau menyadari bahwa seluruh umat manusia dan segala makhluk dijiwai oleh kemampuan adikodrati yang sama, maka tidak akan ada peluang bagi kebencian.
Jika engkau menyadari bahwa Tuhan Yang Maha Esa bersemayam dalam semuanya, maka mana mungkin engkau membenci orang lain? Di manakah yang lain itu? Dalam hubungan ini mungkin engkau bertanya, ditujukan kepada siapakah kalimat adveshta sarva bhutanam itu? Apakah ia dimaksudkan untuk mereka yang telah menyadari prinsip adikodrati yang esa yang ada secara sama dalam diri mereka sendiri dan dalam setiap orang? Tidak!, Jelas bukan untuk mereka. Ajaran ini diberikan untuk mereka yang belum menyadari kebenaran agung akan persatuan semua makhluk.
Engkau akan mengalami kebahagiaan yang luar biasa bila engkau dijiwai oleh sikap daasoham. Engkau akan merasa sangat bahagia karena menghirup madu Tuhan, dan engkau tidak ingin lepas dari keadaan itu. Engkau lalu mengambil kesimpulan bahwa jika engkau beralih dari perasaan sebagai hamba menuju keadaan "Aku Brahman", engkau tidak akan dapat lagi menikmati manisnya madu Tuhan. Gula tidak mengetahui rasa manis dirinya; mungkin engkau beranggapan bahwa jika engkau menyatu dengan gula, engkau tidak akan dapat lagi menikmati manisnya gula itu. Karena engkau mengecap manisnya madu Tuhan dalam tahap daasoham, mungkin engkau lebih suka tetap berada pada tahap menghamba sehingga engkau bisa selalu merasakan manisnya madu Tuhan dan tidak ingin menyatu dengan Dia.
Misalnya, Hanuman mengalami kebahagiaan yang sangat mendalam karena sikapnya yang tak tergoyahkan, "Aku adalah hamba Sri Rama." Tetapi, berapa lamakah perasaan ini dapat berlangsung? Perasaan ini berlangsung selama engkau mendapat rahmat Tuhan dan dekat pada-Nya. Jika pada suatu saat engkau berpisah dari-Nya, maka mungkin sekali engkau akan mengalami penderitaan batin yang tak terhingga. Dalam tahap soham masalah penderitaan batin tidak ada karena dalam keadaan yang berbahagia itu engkau selalu bersama Tuhan dan tidak ada kemungkinan mengalami perpisahan atau penderitaan. Dalam tahap daasoham ada kemungkinan perpisahan antara Tuhan dan hamba-Nya, namun dalam tahap soham rasa kebahagiaan itu tidak akan terhenti karena kemungkinan perpisahan tidak akan timbul.
Jika engkau ingin mencapai kebenaran akhir tentang dirimu dan mengalami kebahagiaan atma, engkau perlu menguasai keinginan atau hawa nafsumu. Pada saat timbul suatu pikiran, engkau harus menyelidiki kualitas pikiranmu itu. Bertanyalah kepada dirimu sendiri, "Apakah pikiran ini berguna atau merusak kemajuan spiritualku?" Sejak permulaan pengabdi harus sangat berhati-hati dan memperhatikan agar gagasan yang buruk tidak menetap dalam pikiran mereka. Bagi kebanyakan orang, tidak mungkin mengosongkan pikiran, tetapi sekurang-kurangnya bila gagasan yang tidak baik timbul, engkau bisa berbuat sesuatu. Jangan biarkan ia mengendap dalam dirimu. Janganlah jika kau berikan tempat berlindung.
Ubahlah segera pikiran yang buruk menjadi pikiran yang baik. Demikian pula engkau harus berusaha untuk melakukan perbuatan yang baik saja, dan gunakan setiap kesempatan untuk mengubah perbuatan yang baik menjadi suatu kebhaktian dengan mengabdikannya kepada Tuhan. Dengan mengubah segala pikiran menjadi pikiran yang mulia dan seluruh pekerjaan menjadi pemujaan kepada Tuhan, engkau akan maju dengan sendirinya pada jalan yang suci. Dengan mengendalikan pikiranmu seperti itu, engkau akan mampu pula mengendalikan amarah yang mungkin timbul. Banyak orang merisaukan hal ini, apa kiranya jalan yang terbaik untuk mengendalikan amarah yang datang dan mencoba menguasai diri mereka.
Inilah cara yang paling baik untuk mengendalikan amarah. Pada saat engkau menyadari bahwa rasa marah timbul dalam dirimu, tertawalah sekeras-kerasnya. Atau pergilah ke kamar mandi lalu mandi dengan air dingin. Boleh juga engkau minum segelas air yang dingin dan menenangkan dirimu di tempat yang sejuk. Pada saat rasa marah timbul akan sangat membantu bila engkau meninggalkan tempat itu dan pergi ke tempat lain. Jika dengan semua cara ini engkau masih belum berhasil mengendalikan amarahmu, berdirilah di depan cermin dan pandanglah wajahmu; setelah melihat wajahmu itu engkau past akan merasa muak sehingga engkau akan dapat segera mengendalikan amarahmu. Inilah beberapa cara untuk menghadapi rasa marah.
Ada satu hal lagi yang dapat kau lakukan bila rasa marah timbul yaitu dengan mencari sebab amarah itu. Dapatkah rasa marah itu dibenarkan? Ingatlah bahwa jika amarahmu akan mencelakakan orang lain, engkau akan berdosa, dan hal ini tentu tidak baik untukmu. Orang biasa sangat sulit melaksanakan cara ini, namun cukuplah kau ingat, jangan terburu-buru menggunakan lidahmu pada waktu marah dan melontarkan kata-kata yang keras. Berpikirlah sebentar. Dalam berbagai cara, rasa marah melemahkan orang yang berusaha melakukan sadhana. Bila engkau berusaha mengendalikan amarahmu pada saat perasaan itu timbul, usaha ini akan menguatkan badanmu dan menyucikan pikiranmu.
Gita menyatakan bahwa orang yang lemah tidak akan pernah mencapai kesadaran diri yang sejati; karena itu, untuk memperoleh pengetahuan atma, penting sekali engkau mengendalikan raga dan dwesha sepenuhnya 'perasaan suka dan kebencianmu' atau 'keinginan dan amarahmu'. Sesungguhnya hal ini sangat perlu bagi setiap orang, tidak hanya bagi pengabdi. Raga dan dweshalah yang bertanggung jawab atas segala sesuatu di dunia ini. Selama engkau sibuk dengan urusan duniawi, terang atma tidak akan menyinari engkau. Karena itu, raga dan dwesha 'rasa tertarik dan rasa tak suka' untuk hal-hal duniawi, harus disingkirkan dari hatimu, kemudian pengetahuan atma dapat tumbuh di situ. Jika engkau memiliki pengetahuan atma dalam hatimu, engkau akan menikmati kedamaian, maka keharuman kedamaian akan tersebar ke sekelilingmu. Sebaliknya, jika engkau diliputi oleh perasaan yang buruk, pikiran yang buruk, dan perbuatan yang buruk, semua itu akan terus mencemari hatimu dan akan meracuni orang lain pula.
Apakah baik atau buruk, pikiran apa pun yang meliputi hatimu dan bercokol di sana akan segera menyebar ke orang-orang di sekitarmu, dan orang-orang ini akan mulai memancarkan perasaan yang sama. Kadang-kadang agak sulit membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Jika engkau memegang sekuntum bunga mawar di tangan kananmu, kesemerbakan bunga itu tidak hanya menyentuh dirimu, tetapi juga orang-orang di sekitarmu. Jika bunga yang sama kau pegang dengan tangan kiri, keharuman-nya akan menyentuh orang-orang itu juga. Mungkin engkau membedakan antara kanan dan kiri, tetapi keharuman tidak ada bedanya sama sekali. Apakah engkau percaya kepada Tuhan atau tidak percaya kepada Tuhan, hal ini hanya berkaitan dengan perasaan dan kepercayaanmu. Bagi Tuhan, jika engkau mempunyai pikiran yang baik, melakukan pekerjaan yang baik, dan mengucapkan kata-kata yang baik, walaupun engkau tidak percaya kepada Tuhan, engkau akan dicintai-Nya. Dalam Gita Tuhan berkata, "Siapa pun dia, jika ia mampu mengendalikan keinginan dan amarahnya, jika ia telah menaklukkan raga dan dwesha, ia Kucintai."
Filsafat India telah dikelompokkan menurut mereka yang percaya kepada Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Weda, dan mereka yang tidak percaya kepada Tuhan dan tidak mematuhi amanat-amanat-Nya. Yang pertama disebut astika, yang belakangan disebut nastika. Namun perbedaan yang sebenarnya antara astika dan nastika didasarkan atas kualitas watak mereka, bukan atas kepercayaan mereka. Astika adalah orang yang percaya kepada diri yang sejati yang esa pada dirinya. Ada juga orang yang tergolong astika-nastika yaitu orang yang bertakwa kepada Tuhan dan berdoa kepada-Nya apabila timbul kesulitan-kesulitan pribadi, tetapi begitu kesulitan itu teratasi dan ia merasa senang lagi, lalu ia lupa akan Tuhan.
Prahlada, putra raja raksasa yang bernama Hiranyakashipu adalah salah seorang abdi Tuhan yang paling hebat dan dapat dianggap seorang astika. Sikap astika ini tidak dipelajari, hal ini ada sejak lahir. Walau dihadapkan pada berbagai kesulitan yang besar, Prahlada dapat terus menikmati kebahagiaan dirinya yang sejati dan mengetahui adanya Tuhan dalam hatinya. Ahlada berarti 'kegembiraan atau kebahagiaan', pra berarti 'berkembang'. Karena itu Prahlada adalah seorang yang selalu bahagia. Jadi, bila engkau selalu memikirkan Tuhan, perasaan bahagia ini akan memancar dengan kecemerlangan yang indah, dan engkau akan menyatu dengan Brahman. Dalam Weda kita dapatkan pernyataan agung ini, "Brahmavid Brahmaiva Bhavati" 'Ia yang mengetahui Brahman sesungguhnya menjadi Brahman sendiri'.
Pertama-tama dalam tahap permulaan engkau harus berusaha mengendalikan raga dan dwesha atau kama dan krodha 'keinginan dan amarah'. Ini akan memungkinkan sifat Tuhan memancar dari dalam dirimu. Sifat yang buruk tidak baik bagi siapa pun. Karena itu, mengendalikan keinginan dan amarah adalah tugas utama bagi setiap pengabdi. Jadikanlah hal ini sadhana yang utama pada awal jalan spiritualmu. Dengan demikian, engkau akan mampu menunaikan hidup yang benar dan mencapai tujuan. Tetapi bila engkau membiarkan keinginan dan amarah tetap bercokol dalam dirimu, maka kegiatan spiritual apa pun yang kau lakukan akan sia-sia dan kehidupanmu pun akan sia-sia belaka.