Kamis, 03 Februari 2011

PERCAKAPAN 22 ALAM KASAR, ALAM HALUS, DAN ALAM KAUSAL

PERCAKAPAN 22
ALAM KASAR, ALAM HALUS, DAN ALAM KAUSAL
Dalam alam ini ke mana pun engkau memandang, engkau hanya akan menemukan lima unsur dan tidak ada yang lain; di manapun tidak akan ada unsur yang keenam.
________________________________________

Seperti telah dibicarakan sebelumnya, ada tiga jenis akasha atau alam yang juga dapat dianggap sebagai alam semesta. Ketiga alam ini adalah bhutakasha yaitu 'alam kasar', chittakasha yaitu 'alam halus atau alam pikiran', dan chidaakasha yaitu 'alam paling halus dan paling luas' dan disebut 'alam kausal'. Di luar alam-alam ini yang merupakan dasar dari ketiga alam ini ialah prinsip ketuhanan yang dinamakan Brahman atau Tuhan, juga dinamakan atman 'diri sejati yang kekal'. Seorang bakta yang ingin mengetahui prinsip ketuhanan dan menyatu dengan Tuhan, harus memahami ketiga jenis akasha atau alam semesta ini. Bhutakasha terdiri dari lima unsur yaitu eter, udara, api, air, dan tanah. Eter juga disebut akasha, adalah unsur yang pertama; unsur ini sangat halus. Eter tidak mempunyai sifat khusus kecuali bunyi. Unsur berikutnya udara. Udara mempunyai dua sifat, bunyi dan sentuhan. Kemudian api. Api dapat dilihat; ia mempunyai tiga sifat yaitu bunyi, sentuhan, dan bentuk. Sesudah api, ada unsur air. Seperti api, air dapat dilihat; air mempunyai empat sifat yaitu; bunyi, sentuhan, bentuk, dan rasa. Tanah, unsur yang terakhir, mempunyai kelima sifat itu yaitu: bunyi, sentuhan, bentuk, rasa, dan bau. Jelaslah bahwa hanya tiga unsur terakhir yaitu api, air, dan tanah mempunyai bentuk; dua unsur pertama, eter dan udara, mempunyai sifat-sifat yang lain, tetapi tidak mempunyai bentuk.
Semua benda yang ada dalam bhutakasha 'alam yang kasat mata', tidak kekal dan dapat berubah-ubah. Lama-kelamaan semua benda mengalami perubahan dari satu nama dan bentuk ke nama dan bentuk yang lain, lalu berubah lagi, dan seterusnya. Dalam alam bhutakasha segala sesuatu terus bergerak. Baiklah kita mendalami sifat benda yang terdiri dari kelima unsur ini. Misalnya, bermacam-macam atom yang ada pada suatu tempat dan suatu waktu tertentu. Pada waktu itu atom-atom tersebut membentuk suatu wujud tertentu. Karena atom-atom itu bergerak dan berpindah tempat, wujud yang mereka bentuk akan berubah pula. Atom-atom dalam segala benda mengalami perubahan tempat dan keadaan dengan sangat cepat sehingga sulit sekali mengetahui kapan terjadi perubahan dalam benda itu karena setiap saat selalu berubah. Atom-atom yang membentuk badan manusia, seperti atom pada bentuk-bentuk lain, berubah setiap saat, menyebabkan badan mengalami perubahan. Perubahan ini mirip seperti gelombang yang tiada putusnya yang dapat kita lihat di lautan. Gelombang laut tidak berpangkal dan tidak berujung. Titik-titik air dalam satu gelombang menyatu dengan gelombang berikutnya. Gelombang itu sendiri menyatu lagi dengan gelombang lain, begitu seterusnya. Proses perubahan bentuk dan menyatu ini berlangsung terus. Inilah sifat alam yang kasat mata.
Umat manusia juga dapat digambarkan sebagai gelombang, dan makhluk hidup lainnya seperti binatang dan burung dapat dilukiskan sebagai gelombang lain, tumbuh-tumbuhan gelombang lain lagi, demikian pula serangga dan binatang melata. Kekuatan jahat juga dapat digambarkan sebagai gelombang, dan kekuatan Tuhan sebagai gelombang juga. Di dalam alam tidak mungkin kita mengetahui aspek apa dari gelombang yang mana akan menyatu dengan gelombang lain. Karena itu, seperti titik-titik air dalam suatu gelombang di lautan bercampur dan menyatu dalam gelombang lain. Demikian pula mungkin engkau akan menemukan bahwa gelombang yang mengandung sifat-sifat manusia bisa menyatu dengan gelombang lain yang mengandung sifat-sifat makhluk hidup lain. Proses perubahan dan pergantian itu berlangsung terus. Karena itu hidup dapat digambarkan sebagai suatu rangkaian gelombang. Sifat manusia dihubungkan dengan proses berpikir yang menghasilkan serentetan buah pikiran. Proses pemikiran ini tidak kekal, melainkan terus mengalami perubahan. Begitu pula badan mengalami perubahan. Jika kau tidak mengetahui keenam macam perubahan yang terjadi pada kehidupan manusia yaitu lahir, tumbuh, dewasa, menua, jompo, dan mati, engkau akan terkelabui dan mengira bahwa hidup manusia ini kekal. Sumber penyebab kesalahpahaman itu ialah ketidaktahuan.
Dalam alam yang kasat mata atau bhutakasha terdapat milyaran juta matahari, masing-masing mempunyai dunia sendiri; ada planet yang tidak terhitung jumlahnya, besar dan kecil, dan makhluk yang tak tepermanai jumlahnya; dan dalam alam semesta yang tak terhingga luasnya ini, bumi lebih kecil daripada sebutir debu; di atas bumi ini India hanya sebuah negara kecil. Dalam negara kecil ini ada negara bagian yang kecil. Dalam negara bagian yang kecil ini ada distrik kecil. Dalam distrik kecil ini ada dusun kecil. Dalam dusun kecil ini ada rumah kecil yang tidak berarti. Dan dalam rumah kecil ini duduklah tubuh yang amat kecil....Alangkah ganjilnya kalau membayangkan bahwa tubuh yang sekecil itu merasa egois dan membusungkan dada karena merasa penting, mengingat ukurannya yang sangat kecil itu dalam alam semesta yang begitu luas. Bila engkau membayangkan bhutakasha ini dan tempatmu di dalamnya, engkau akan menyadari bahwa badanmu hanyalah sebuah bintik debu yang amat kecil dalam alam raya ini. Dapatkah bintik sekecil itu berharap bisa memahami keseluruhan alam ini? Dapatkah setitik air mengukur lautan? Sedangkan lautan itu sendiri terus menerus mengalami perubahan....demikian pula seluruh bumi....demikian juga segala sesuatu yang lain dalam alam bhutakasha.
Dunia tempat engkau hidup bersifat sementara dan akan berlalu. Bagaimana bisa makhluk yang tidak berarti dan sementara dalam dunia yang tidak kekal ini mencoba memahami eksistensi yang tidak terhingga, tidak terbatas, dan kekal? Untuk memahami eksistensi yang kekal, engkau harus mempunyai tempat yang kekal dalam eksistensi yang kekal itu. Badan, kepribadian, dan individualitas, semuanya bersifat sementara. Semua itu dapat dibandingkan dengan sebuah fatamorgana. Orang ingin memuaskan dahaganya dari fatamorgana. Fatamorgana tampak seperti air, tetapi sebenarnya tidak ada air. Kain tidak dapat dibasahi oleh fatamorgana; ember tidak bisa diisi di tempat fatamorgana itu. Engkau tidak dapat menghilangkan rasa haus di fatamorgana.
Seluruh alam kasat mata yang sangat luas itu, bhutakasha, hanya bagaikan sebuah atom dalam alam chittakasha, alam mental, seperti halnya badanmu tampak seperti atom dalam alam bhutakasha. Dan alam chittakasha yang maha besar ini hanya sebesar atom dalam chidaakasha 'alam kausal'. Bhutakasha yang terbuat dari lima unsur kasar dapat ditangkap oleh kelima alat indera. Tetapi karena semua yang ada dalam bhutakasha terbuat dari lima unsur dan hanya lima unsur itu, bhutakasha itu lembam dan tidak punya kesadaran. Namun di dalamnya terkandung prinsip ketuhanan. Begitu pula prinsip ketuhanan ini dapat ditemukan dalam chittakasha, walaupun chittakasha juga lembam dan tidak sadar karena ia terbuat dari lima unsur yang sama (dalam aspeknya yang halus). Prinsip ketuhanan bersemayam dalam diri manusia, terkandung dalam tubuh yang lembam, dan menghidupkan serta menggiatkan tubuh itu. Demikian pula prinsip ketuhanan itu juga terkandung dalam alam yang kasat mata dan alam mental, yaitu bhutakasha dan chittakasha, dan menghidupkan serta menggiatkan kedua alam itu. Prinsip ketuhanan ini memancarkan sinarnya dari chidaakasha, yang terhalus di antara alam-alam yang tidak terbatas ini. Untuk memahami hal ini, perhatikan bayangan pada cermin. Bayangan atau pantulan itu tidak mempunyai keberadaan sendiri. Ia bergerak hanya bila benda yang dipantulkan bergerak. Segala kesemarakan yang tampak pada benda-benda di dunia ini timbul dari chidaakasha 'alam kausal' lalu dipantulkan oleh 'chittakasha, dan bhutakasha yang berfungsi sebagai cermin. Seperti halnya cahaya matahari dipantulkan oleh bulan, cahaya yang ada pada alam kausal chidaakasha dipantulkan dalam alam mental chittakasha dan kemudian dalam alam kasat mata bhutakasha.
Misalnya engkau ingin menghiasi bayangan dalam cermin. Dapatkah engkau melakukan itu? Bila engkau melihat wajahmu dalam cermin, dapatkah engkau membuat titik pada dahi bayanganmu dalam cermin itu? Tidak, itu usaha yang sia-sia. Engkau membuat titik di tengah-tengah dahi bayanganmu, tetapi begitu engkau bergerak, bayangan itu juga bergerak, dan titik yang tadinya di tengah-tengah dahi sekarang berada di telinga. Bila engkau membalik badanmu, bayangan pun membalik badannya juga dan titik tidak lagi berada di tengah-tengah dahi. Jadi bagaimana caranya agar engkau bisa menaruh titik pada dahi bayangan dalam cermin, sehingga titik itu tetap berada pada dahi, apa pun yang terjadi? Engkau harus menaruh titik pada bendanya sendiri. barulah engkau dapat bergerak ke mana saja atau engkau putar cermin itu, dan titik itu tidak akan berpindah. Ada suatu cerita untuk menjelaskan hal ini.
Dahulu ada seorang seniman yang terkenal di seluruh dunia. Ia mempunyai bakat yang luar biasa dalam melukis orang atau potret. Ia menghadap Krishna yang tinggal di Dwaraka dan mau melukis gambar Krishna. Krishna tersenyum berseri-seri seraya berkata, "Baik, jika engkau ingin melukis gambar-Ku, boleh saja. Tolong beritahu aku apa yang harus aku lakukan." Sang seniman memohon, "Swami, mohon Swami duduk tenang selama satu jam pada satu tempat, saya akan membuat sketsa, kemudian saya selesaikan bagian yang kecil-kecil." Krishna duduk pada satu tempat tanpa bergerak sama sekali. Seniman mulai membuat sketsa permulaan. Tak lama kemudian ia bersujud pada kaki Krishna dan berkata, "Swami, saya sudah menyelesaikan sketsanya." Sambil tersenyum Krishna berkata, "Kapan engkau memberikan gambar-Ku?" Seniman menjawab, "Swami, besok pada saat seperti ini saya dapat menyelesaikan lukisan ini." Sepanjang malam ia berkata terus tanpa kenal lelah untuk menyelesaikan tugas yang sulit itu, melukis gambar Krishna di atas kanvas. Keesokan harinya ketika gambar telah selesai, sang seniman sangat puas dengan hasil kerjanya. Ia membungkus lukisan itu dengan kain yang bagus dan membawanya ke tempat Krishna. Tetapi ketika kain yang pembungkus dibuka, ternyata dalam waktu 24 jam wujud Krishna telah berubah sama sekali. Seniman itu segera meletakkan lukisannya di sebelah Krishna. Ia memandang lukisan itu lalu memandang Krishna. Ia menyadari bahwa sedikit sekali persamaannya, lukisan itu dan berkata, "Saudaraku, rupanya ada beberapa yang kurang cocok." Sang seniman berkata, "Maafkan saya Swami. Baiklah saya coba lagi agar lebih baik. Berikan saya kesempatan lagi." Hal ini terjadi berkali-kali selama sepuluh hari.
Setiap hari seniman itu mengulangi melukis, tetapi tidak mungkin menghasilkan gambar yang cocok. Seniman itu merasa amat malu; ia mengambil keputusan sebaiknya ia pergi saja dari tempat itu dan segera kabur. Di tengah jalan di luar Dwaraka, Narada putra Dewa Brahma, secara kebetulan berjumpa dengan sang seniman yang sedang meninggalkan kota itu. Narada bertanya kepada seniman, "Kelihatannya engkau sangat sedih. Beritahulah saya apa yang membuat engkau murung." Seniman menceritakan semua yang telah terjadi. Narada memberitahu seniman itu, "Ya, Krishna adalah aktor utama dan sutradara utama. Beliau melakonkan seluruh drama ini. Dengan caramu itu engkau tidak akan dapat melukis Beliau. Tetapi jika engkau benar-benar ingin berhasil, dengarkanlah kata-kataku dan ikuti dengan cermat." Seniman itu bersedia melaksanakan petunjuk Narada. Ia kembali ke Dwaraka dan hari berikutnya menemui Krishna sambil membawa gambar yang dibungkus dengan kain yang halus. Ia berkata kepada Krishna, "Swami, akhirnya saya dapat memberikan gambar Swami yang mirip sekali." Seniman itu berkata, "Swami, coba lihat. Gambar ini persis sama dengan Swami. Perubahan apa pun yang terjadi pada wajah dan wujud Swami, gambar yang tampak di sini akan dengan setia memperlihatkan perubahan itu." Kemudian ia siap membuka kain pembungkus dan berkata, "Terimalah ini sebagai lukisan saya yang terbaik." Setelah kain dilepas, ternyata itu sebuah cermin yang bersih.
Jika engkau ingin melukis gambar Tuhan yang kekal dengan alat yang tidak kekal seperti kuas, cat, dan sebagainya, engkau tidak akan berhasil. Dalam alam bhutakasha semuanya bersifat sementara. Semua wujud terus mengalami perubahan. Wujud sementara itu tidak dapat memberikan gambaran Tuhan yang abadi. Jika engkau ingin mempunyai gambaran Tuhan yang bersih dan tidak berubah-ubah, engkau hanya akan dapat memperolehnya dalam hatimu yang suci. Karena itu, mencari Tuhan dalam alam bhutakasha, dengan kata lain, berusaha mengetahui-Nya melalui perwujudan yang berubah-ubah yang ada dalam alam kasat mata ini merupakan khayalan belaka. Eksistensi yang permanen dan tidak berubah tidak bisa diketahui melalui wujud-wujud yang tidak kekal dan selalu berubah. Pengetahuan apa pun yang engkau peroleh dengan cara ini sifatnya sementara. Kebahagiaan apa pun yang engkau dapatkan karena berusaha mengetahui Dia dengan cara ini, hanya akan bersifat sementara. Sifat dasar kelima unsur ini adalah sifat terus menerus berubah. Untuk mencapai keadaan yang kekal, engkau harus mencari di luar kelima unsur itu dan perwujudannya yang berubah-ubah.
Misalkan engkau mengadakan ziarah ke suatu tempat ibadat untuk menghayati Tuhan. Untuk pergi ke tempat itu mungkin banyak kesulitannya. Akhirnya bila engkau sampai di tempat itu dan masuk ke dalam tempat ibadat, engkau berdiri di depan patung dengan perasaan khusyuk. Engkau memandang patung, tetapi segera engkau memejamkan mata dan mengarahkan pandanganmu ke dalam batin. Setelah dengan susah payah mencapai tempat itu untuk melihat patung suci, mengapa sesampainya di sana engkau memejamkan mata dan melihat ke dalam batinmu sendiri? Apakah makna yang lebih dalam pada kejadian ini? Engkau melihat ke dalam dirimu sendiri karena engkau menyadari bahwa untuk memperoleh pandangan mengenai Tuhan yang kekal dan sejati, engkau harus melihat ke dalam hatimu. Kekuatan intuisimu mengetahui bahwa gambar yang diperoleh melalui mata hanya berkesan sesaat, meninggalkan buah pikiran, yang tidak kekal. Setelah menempelkan gambaran ini dalam pikiran, gambaran itu harus dikukuhkan sehingga menghasilkan kesan yang tidak berubah-ubah dalam hati.
Walaupun engkau tidak dapat memperoleh penghayatan Tuhan secara langsung dalam alam yang kasat mata ini, penampakan (Tuhan secara) tidak langsung yang engkau peroleh di situ akan memberimu kebahagiaan sementara. Hanya karena bhutakasha bersifat sementara dan berubah-ubah, engkau tidak boleh menolak kebahagiaan sementara (dari penampakan Tuhan yang tidak langsung) ini, dan kemudian perlahan-lahan, setapak demi setapak, engkau harus maju menuju kebahagiaan yang abadi. Ada tiga tahap dalam perjalanan ini. Pertama, tahap ketidakbenaran dalam ketidakbenaran. Tahap yang kedua disebut ketidakbenaran dalam kebenaran. Tahap yang ketiga adalah kebenaran dalam kebenaran. Tahap yang ketiga adalah kebenaran dalam kebenaran. Ketiga tahap ini dapat disamakan dengan tiga alam itu yaitu alam fisik atau alam yang kasat mata, alam mental atau alam halus, dan alam kausal; tiga alam itu adalah bhutakasha, chittakasha dan chidaakasha.
Ketidakbenaran dalam ketidakbenaran adalah apa yang engkau alami dalam bhutakasha, dalam alam kasat mata panca indera; di sini semua bersifat sementara dan tidak kekal; di sini bukan saja bayangannya yang tidak benar dan khayal, tetapi objek yang dipantulkan, yang berasal dari alam mental juga tidak benar dan khayal. Ketidakbenaran dalam kebenaran adalah keadaan yang engkau dapati dalam chittakasha. Di situ bayangannya bersifat sementara dan tidak benar, tetapi memantulkan yang kekal dan benar. Kebenaran dalam kebenaran didapatkan dalam chidaakasha; di sini tidak ada bayangan khayal dan pantulan khayal; di sinilah terdapat intisari kebenaran karena di dalamnya memancar cahaya atma yang tidak berubah. Engkau dapat memahami hal ini dengan merenungkan hal yang sering Swami katakan, "Engkau bukan satu orang, tetapi tiga....satu yang engkau pikirkan siapa engkau, satunya lagi yang orang lain pikirkan sebagai dirimu, dan yang ketiga adalah dirimu yang sejati.' Satu yang engkau anggap sebagai dirimu adalah badan kasar, bersifat sementara dan tidak benar; bagaimanapun hidupmu sekarang ini, apa pun yang engkau alam dewasa ini semuanya sementara. Baik objek maupun bayangannya adalah sementara dalam hidup yang engkau alami sekarang. Inilah yang menjadi sifat ketidakbenaran. Yang dipikirkan orang lain tentang dirimu, ini berhubungan dengan pikiran dan chittakasha sehingga juga berubah-ubah dan tidak benar, tetapi ia memantulkan kebenaran yang abadi. Yang terakhir ialah dirimu yang sejati, yaitu kebenaran yang tidak berubah-ubah, bersinar dalam alam chidaakasha.
Sepotong es di tanganmu akan mencari hingga kembali menjadi air. Mengapa begitu? Karena mencari adalah sifat es. Begitu pula perubahan dan kesementaraan adalah sifat segala benda yang tampak dalam bhutakasha. Walaupun sementara engkau berusaha memahami bhutakasha, engkau harus memikirkan akasha yang lebih mendalam, lebih halus. Bhutakasha adalah alam yang kasar. Engkau mengalaminya dalam keadaan jaga. Hal yang sama dalam wujudnya yang halus berhubungan dengan chittakasha yang engkau alami dalam keadaan mimpi. Dalam keadaan jaga engkau dapat melihat benda-benda karena pantulan cahaya yang memancar dari matahari dan bulan, tetapi matahari dan bulan dalam alam jaga itu tidak ada dalam alam mimpi. Hanya cahaya yang memancar dari chittakasha yang menyebabkan engkau melihat benda-benda dalam alam mimpi. Pada saat engkau menyingkirkan yang kasar, cahaya yang halus tampak di dalam. Pada siang hari engkau tidak dapat melihat bintang. Tetapi hanya karena engkau tidak bisa melihat bintang, itu tidak berarti bahwa bintang itu tidak ada. Bintang-bintang tetap bersinar walaupun siang, tetapi karena cahaya matahari begitu terang, engkau tidak bisa melihatnya. Ketika cahaya matahari meredup di senjakala, engkau dapat melihat lagi bintang-bintang yang bersinar itu. Di balik yang kasar terdapat yang halus, dan dalam alam halus terdapat pola untuk yang kasar. Pada masa kanak-kanak sudah ada pola usia tua dalam wujud benih, dan dalam usia tua terdapat bekas yang halus masa kanak-kanak.
Ada sesuatu yang lebih tinggi daripada alam yang kasat mata dan alam halus, yaitu chidaakasha. Chidaakasha tidak bergerak; alam ini tidak mengalami perubahan. Di dalamnya terdapat paramjyothi 'terang yang berasal dari sumber cahaya atma'. Karena cahaya atma yang memenuhi segala sesuatu ini bersinar dalam dan melalui chidaakasha maka engkau dapat mengalami chittakasha dan bhutakasha. Jika tidak ada chidaakasha, tidak akan ada alam halus dan alam kasar untukmu, tidak ada chittakasha dan tidak ada pula bhutakasha. Karena itu engkau harus melandasi hidupmu dengan chidaakasha dan bersamaan dengan itu engkau harus menggunakan bhutakasha untuk mencapai chittakasha dan menggunakan chittakasha untuk mencapai chidaakasha. Agar jelas, bayangkanlah lautan, gelombang dan air laut tidak berbeda. Buih dan gelombang juga tidak berbeda. Buih, gelombang, dan laut adalah satu. Ketiganya air. Namun tampak seakan-akan buih, gelombang, dan laut berbeda.
Dalam alam kasat matapun engkau harus mencari unsur yang sama yang melandasi semua pengalaman dan menyatukan bhutakasha, chittakasha, dan chidaakasha. Engkau dapat menghubungkan tiga akasha ini dengan tiga tingkat kesadaran. Bayangkan keadaan jaga sebagai bhutakasha, keadaan mimpi sebagai chittakasha, dan keadaan tidur nyenyak sebagai chidaakasha. Di atas ketiga alam ini, menembusinya, dan menjadi unsur yang sama pada ketiga alam itu, ialah alam keempat, alam turiya; ini merupakan kesadaran tertinggi, yaitu alam transendental. Sushupti yaitu 'alam tidur nyenyak' tidak akan memberikan kebahagiaan yang kekal dan sejati. Hanya setelah engkau kembali ke keadaan jaga dari tidur yang nyenyak, engkau merasa telah menikmati kedamaian. Tetapi dalam turiya 'keadaan kesadaran yang tertinggi' engkau akan dapat menikmati ananda yaitu 'kebahagiaan yang kekal dan sejati' dan selalu merasakan kebahagiaan itu.
Shankara menggambarkan tidur itu sebagai keadaan samadhi. Apa arti samadhi? Biasanya orang salah kira bahwa samadhi itu suatu keadaan emosional tertentu yang membuat orang bertingkah laku tidak normal, seakan-akan berada dalam keadaan sangat gembira atau berada dalam trans. Engkau mengira bahwa samadhi itu sesuatu yang berbeda dengan keadaan jaga, mimpi, atau tidur nyenyak. Tetapi sesungguhnya samadhi merupakan suatu hal yang umum pada ketiga alam itu. Arti samadhi terkandung dalam kata itu sendiri. Sama dan dhi, dua suku kata yang membentuk kata samadhi. Sama artinya 'sama' dan dhi 'berpikir'. Maka samadhi berarti berpikir dengan pikiran tetap atau seimbang. Pikiran tetap seimbang ketika mengalami panas dan dingin, laba dan rugi, pujian dan celaan....itulah samadhi. Karena itu seseorang yang tenggelam dalam samadhi, yang pikirannya dalam keadaan seimbang, akan selalu berada dalam keadaan bahagia, baik ia berada dalam alam bhutakasha 'alam jaga', alam chittakasha 'alam mimpi', atau chidaakasha yaitu 'alam tidur nyenyak'. Setiap orang mendambakan keadaan yang bahagia itu; untuk mencapainya diperlukan banyak latihan rohani. Engkau pun harus memperoleh rahmat Tuhan. Untuk mendapat rahmat-Nya engkau harus memiliki sifat keseimbangan dan melaksanakan banyak kebajikan yang menyenangkan Dia.
Setelah menjelaskan sifat-sifat mulia seorang stithaprajna, Krishna berkata kepada Arjuna, "Arjuna, tidak ada artinya sama sekali engkau mendasari perbuatanmu hanya atas pertimbangan yang menyangkut badan jasmani. Ikutilah perintah-Ku! Lakukan tugasmu sambil sepanjang waktu selalu ingat kepada-Ku. Maka engkau akan dapat menghayati dan menikmati ketuhanan yang ada di mana-mana. Ketuhanan ini adalah kemanunggalan yang mendasari kebhinekaan dalam dunia; jadikanlah itu dasar semua perbuatanmu. Hanya bila engkau dengan tidak hentinya terus-menerus memikirkan ketuhanan maka hati-Ku akan tergerak dan akan terpusatkan kepadamu, "Dalam keadaan apapun pikiran dan perasaan seorang stithaprajna tidak akan mengalami perubahan. Ia telah mengembangkan sikap yang tidak terguncangkan karena senantiasa berpusat kepada Tuhan.
Siapa yang akan heran bila api itu panas? Membakar adalah sifat alami api, seperti dingin adalah sifat alami es. Begitu pula setiap orang yang lahir akan mati; halo ini harus dianggap sangat wajar. Siapa saja yang menyadari kebenaran ini tidak akan mengalami kesedihan. Karena itu di mana pun dan dalam keadaan apapun milikilah keseimbangan pikiran. Apa pun yang terjadi, pusatkan selalu pikiranmu kepada Tuhan. Untuk mengembangkan kemampuan mengingat Tuhan di manapun dan setiap saat, engkau harus memahami benar-benar sifat khas yang penting pada bhutakasha, chittakasha, dan chidaakasha. Perhatikanlah hal berikut ini. Malam hari engkau makan dan beberapa saat kemudian bersiap tidur. Tidak lama kemudian engkau tertidur dan bermimpi. Banyak yang terjadi dalam mimpimu, tetapi setelah bangun, mimpi itu tidak meninggalkan bekas. Dalam keadaan jaga engkau melakukan bermacam-macam kegiatan dan mengalami berbagai hal, tetapi kemudian ketika engkau tidur, kegiatan dalam keadaan jaga diganti oleh kejadian-kejadian dalam alam mimpi. Begitu banyak perubahan terjadi dalam waktu 24 jam.
Ada perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok pada apa yang engkau alami dalam alam mimpi dan yang kau alami dalam alam jaga. Dalam situasi seperti ini apa yang harus engkau yakini dan apa yang harus tidak diyakini? Mungkin engkau bertanya, "Mana yang benar dan mana yang tidak benar? Apakah aku orang yang mengalami semua kejadian dalam alam jaga ini, atau apakah aku orang yang mengalami semua kejadian lainnya dalam alam mimpi?" Wedanta memberikan jawabannya; aku atau diri yang sejati bukan ini dan bukan itu. Aku bukan orang yang mengalami keadaan jaga, bukan pula orang yang mengalami keadaan mimpi, bukan pula orang yang tertidur dalam keadaan tidur nyenyak. Aku melampaui semua ini. Aku adalah kenyataan adikodrati.
Apa yang engkau kira ada sesungguhnya tidak ada. Apa yang engkau percaya tidak ada sebenarnya ada. Bila engkau mencapai kebijaksanaan engkau akan menyadari bahwa hanya ada satu, yang sesungguhnya ada dan merupakan kebenaran abadi. Itulah Brahman, prinsip adikodrati. Tetapi prinsip Brahman ini tidak mudah dicerna oleh orang biasa. Semua yang engkau baca, engkau dengar, dan engkau alami merupakan sifat-sifat bhutakasha. Bertolak dari sini engkau harus berusaha mencapai tujuan. Dari yang berwujud engkau harus meningkat ke yang tidak berwujud, dari yang berubah-ubah meningkat ke yang tidak berubah. Hal ini juga digambarkan sebagai peningkatan dari savikalpa ke nirvikalpa. Savikalpa masih mempunyai sifat. Apapun juga yang melampaui sifat-sifat ini dan melampaui tiga guna (sattva, rajas dan tamas) adalah nirvikalpa. Nirvikalpa tidak mengalami perubahan, tidak tergoyahkan. Mencapai keadaan yang tidak berubah dan tidak tergoyahkan ini merupakan setiap peminat kerohanian. Orang yang tenggelam dalam keadaan ini disebut stithaprajna. Engkau mungkin bertanya-tanya apakah Arjuna telah mencapai tingkat stithaprajna ini. Ya, Krishna sendiri memberikan tingkat kesadaran ini kepada Arjuna; Ia mengubah Arjuna menjadi stithaprjana dan menjadikannya sarana ketuhanan.
Jika seorang bijaksana tidak melakukan kegiatan, ia tidak bisa memberi contoh kepada orang kebanyakan. Di universitas ada direktur pendidikan jasmani dan guru oleh raga. Guru olah raga menerima perintah dari direktur. Selama latihan sang direktur tinggal diam, tetapi guru olah raga berteriak, "Satu...dua...tiga...!" dan melakukan gerakan-gerakan olah raga. Ia harus memberi contoh; hanya dengan demikian orang lain dapat diharapkan akan menirunya. Seperti guru olah raga, stithaprajna, sambil menerima perintah dari direktur batin, memberi contoh sehingga orang kebanyakan dapat mengikuti. Karena itu Krishna mengubah Arjuna menjadi orang yang ideal. Krishna berkata kepadanya, "Aku akan menjadikan engkau alat-Ku untuk melakukan pekerjaan-Ku."
Apakah makna yang lebih mendalam mengapa Krishna melakukan segalanya itu untuk Arjuna? Nama Arjuna berarti orang yang memiliki hati suci. Arjuna senantiasa hidup dalam Krishna. Sering Krishna menyebut Arjuna sebagai Bharata. Nama ini berarti 'orang yang hidup dalam cahaya Tuhan'. Bha artinya 'bercahaya'. Orang hidup dalam cahaya Tuhan adalah Bharata. Aspek yang lebih mendalam pada hubungan Krishna dan Arjuna dapat diketahui dari nama yang diberikan oleh Krishna kepada Arjuna.
Kewajiban Arjuna ialah mengikuti perintah Krishna dengan seksama. Kata Arjuna, "Swami, saya akan mematuhi perintah Swami, apapun perintah itu. Apapun yang Swami suruh, akan saya lakukan. Saya tidak akan menjalankan kehendak saya sendiri, apa saja yang di luar perintah Swami." Stithaprajna tidak memiliki perasaan aku dan punyaku. Ia tidak mempunyai rasa keakuan atau keterikatan. Menerima dan mematuhi setiap perintah Tuhan serta memusnahkan seluruh rasa keakuan dan kepemilikan adalah sifat mulia seorang stithaprajna. Itulah sebabnya mengapa sifat stithaprajna diuraikan panjang lebar dalam bab kedua Bhagawad Gita.
Tetapi sekedar menguraikan sifat-sifat stithaprajna tidak akan banyak manfaatnya, maka Krishna mulai dengan menjelaskan sifat-sifat akasha dan berbagai aspek alam semesta. Arjuna mempunyai kecerdasan otak untuk memahami makna ajaran ini. Setelah diberi penampakan wujud kosmos Tuhan, ia segera memahami maknanya yang lebih dalam. Ia menyadari bahwa itu berarti kemanunggalan antara bhutakasha, chittakasha, dan chidaakasha. Setelah mendapat penampakan wujud kosmos ini, setiap Arjuna memejamkan matanya, ia selalu melihat Krishna sebagai kesan yang tidak terhapuskan di dalam hatinya. Ia menyadari bahwa apa yang ia lihat dengan mata terbuka ialah alam bhutakasha. Kemudian setelah memejamkan mata, apa yang tercatat dalam pikirannya dan ia lihat secara batiniah, berada dalam chittakasha. Kesan abadi penglihatan suci yang tetap ada dalam hatinya berada dalam chidaakasha. Sama halnya dengan tulisan pada kertas; setelah dicetak tidak mungkin dipisahkan lagi dari kertas. Dengan demikian wujud kosmos Krishna menjadi kesan yang langgeng dalam hati Arjuna.
Arjuna adalah manusia ideal, namun ia melakukan segala kegiatan seperti orang kebanyakan untuk menjadi teladan bagi seluruh umat manusia. Di dalam batin ia selalu memusatkan pikirannya kepada Krishna. Arjuna tahu bahwa badan kasarnya hanyalah untuk mematuhi perintah Krishna. Krishna menunjukkan hal ini sebagai sifat ideal seorang stithaprajna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar