Kamis, 03 Februari 2011

PERCAKAPAN 19 PENGENDALIAN NAFSU ADALAH KUNCI UNTUK MENCAPAI KEBIJAKSANAAN ROHANI

PERCAKAPAN 19
PENGENDALIAN NAFSU ADALAH KUNCI UNTUK MENCAPAI KEBIJAKSANAAN ROHANI

________________________________________

Bila engkau telah mampu menjauhkan diri dari keinginan-keinginan duniawi dan mencapai ketidakterikatan, pencapaian surga yang tertinggi pun tampaknya sepele dan tidak penting bagimu. Arjuna berkata kepada Krishna, "Krishna, walaupun penguasaan dan pemerintahan ketiga dunia diserahkan kepadaku, tidak akan kuterima; Aku tidak berminat pada hal-hal semacam itu". Kata-kata ini menunjukkan betapa mendalamnya ketidak-terikatan yang telah dicapai arjuna setelah menyerahkan dirinya dan siap menerima ajaran Gita. Pada saat itu ia telah membebaskan dirinya dari keduniawian dan mengikatkan diri pada asas transendental yang mengejawantah dan ada di hadapannya sebagai Sri Krishna. Ketidakterikatan seperti itu, tidak terpengaruh oleh dunia dan segala objeknya, dan keterikatan kepada Tuhan, harus kau jadikan tujuanmu juga. Inilah takdir bagi seluruh umat manusia karena dalam evolusi kerohaniannya setiap pribadi lama kelamaan akan mencapai ketidakterikatan, tidak terpengaruh oleh objek-objek indera dan sekaligus memiliki keinginan yang kuat untuk menyadari atma dalam dirinya.
Jika engkau ingin membangun rumah biasa dan kecil sekalipun, engkau sangat berhati-hati membuat fondasi yang benar. Betapa harus lebih berhati-hati bila engkau meletakkan fondasi yang kuat untuk rumah pengetahuan diri yang sejati, rumah atma-jnana. Untuk memberikan landasan yang kuat seperti itulah Krishna dalam mengajarkan Gita kepada Arjuna menandaskan perlunya mengendalikan alat-alat indera dengan mengembangkan sikap tidak terikat pada keduniawian; ini persyaratan yang penting untuk membangun landasan yang kuat. Jika dasarnya tidak kokoh, rumah atma-jnana tidak akan tahan lama; rumah itu akan cepat roboh.
Ketidakterikatan dan sikap menjauhi keinginan duniawi tidak begitu saja muncul menjadi dasar atma-jnana, dasar itu tidak terjadi dalam satu saat. Sifat-sifat ini harus terus dikembangkan dan dilaksanakan bersama dengan pengabdian dan pengendalian indera. Jika engkau hendak menyalakan pelita, engkau memerlukan minyak, wadah untuk minyak itu, dan sumbu. Demikian pula jika engkau ingin menyalakan lampu kebijasanaan, perlu ada ketidakterikatan, pengabdian, dan pengendalian indera. Ketidakterikatan dapat dibayangkan sebagai tempat dan pengabdian minyaknya. Pengendalian indera dapat diumpamakan sebagai sumbu. Setelah menyatukan ketiga unsur itu engkau bisa menyalakan lampu diri sejati di dalam batinmu. Untuk menyalakan lampu ini dalam hati Arjuna, Krishna memperingatkannya bahwa pertama-tama ia harus mengendalikan inderanya.
Tidak semua orang dapat melakukan pengendalian ketat terhadap hawa nafsu atau inderanya. Walaupun mereka berusaha dalam hal ini dan berhasil mengendalikan indera sampai taraf tertentu, orang awan tidak akan meneruskannya karena mereka amat yakin bahwa segala kesenangan yang mereka alami bersumber dari indera dan objek-objek indera. Jika mereka harus sama sekali berhenti menikmati kesenangan, mereka merasa bahwa berakhirlah hidup mereka. Mereka menganggap kenikmatan indera ini satu-satunya sumber kebahagiaan yang sesungguhnya karena ini sesuatu yang langsung mereka alami dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan kebahagiaan dalam pengetahuan atma, pengetahuan suci, satu kali pun tidak pernah mereka rasakan. Bila engkau memegang seekor burung apakah akan engkau lepaskan burung itu untuk mengejar dua burung yang ada dalam semak belukar? Cara berpikir ini menyebabkan mereka beranggapan bahwa gilalah kalau meninggalkan kenikmatan indera yang dialami setiap hari untuk memusatkan perhatian pada atma jnana yang tidak pernah dialami.
Karena itulah engkau temukan banyak orang mencela ajaran ketidakterikatan dan pengendalian indera yang diajarkan dalam Bhagawad Gita. Kata mereka, sungguh tiada gunanya dan tidak cocok untuk orang biasa dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi mereka mencela karena mereka tidak mengerti proses yang sesungguhnya terjadi. Segala kesenangan sementara yang mereka nikmati hanya merupakan sekilas bayangan dalam pikiran yang berasal dari kebahagiaan sejati yang ada di dalam hati. Karena selalu memikirkan orang tertentu atau suatu objek, pikiran meninggalkan tempat peristirahatannya dan mendekati orang atau objek itu seraya mengambil wujudnya, kemudian ia memperdayakan diri sendiri dengan merasa menikmati objek itu. Tapi ini bukan kesenangan sejati, ini hanya kesenangan terbatas yang dikhayalkan oleh pikiran, pantulan dari kegembiraan batin yang sejati yang merupakan sumber segala kegembiraan. Untuk menjelaskan hal ini baiklah kau perhatikan contoh ini.
Bayi kecil suka mengisap jempolnya dan menelan ludahnya. Ia merasa senang karena ia mengira bahwa dari jempolnya keluar susu, tetapi kenyataannya ludah yang dikira susu, keluar dari mulutnya sendiri, bukan dari jempolnya. Ia tertipu karena mengira bahwa sumber kesenangannya berasal dari luar dirinya. Ada lagi contoh lain. Seekor anjing mendapat tulang yang keras. Setelah mendapat tulang, anjing itu sangat senang dan tidak mau membaginya dengan anjing lain, lalu ia membawa tulang itu ke tempat yang sunyi. Di sana ia memandang dan mengagumi tulang itu lalu mulai menggerogotinya. Karena tulang tua, benda itu keras sekali. Dengan penuh semangat dan mengerahkan segala kamampuannya anjing itu terus menggigit hingga sebuah giginya lepas. Darahnya menetes dan mengalir ke tulang. Anjing yakin kalau darah itu keluar dari tulang dan ia sangat menikmati rasanya. Tetapi kenyataannya darah tidak keluar dari tulang, melainkan dari mulutnya sendiri. Tentunya anjing tidak menyadari kebenaran ini; sama halnya dengan bayi tadi, ia tertipu karena mengikuti khayalan pikirannya sendiri.
Begitu pula orang yang diliputi ketidaktahuan mengira bahwa ia mendapat kesenangan dari objek-objek indera, tetapi kesenangan terbatas yang ia alami bukan berasal dari luar dirinya. Kesenangan sejati tetap berada dalam hatinya sendiri, dan kegembiraan batin yang tidak berubah inilah yang memberi kesan pada objek tertentu sehingga objek itu tampak seolah-olah merupakan sumber kesenangan. Dengan demikian ia mengira mendapatkan kesenangan dari benda-benda duniawi, tetapi sesungguhnya kesenangan itu hanyalah pantulan kecil dari kebahagiaan yang tidak terbatas yang tersembunyi dalam dirinya. Karena ia tertipu oleh pikiran bahwa kegembiraan dan kesenangan duniawi itu pengalaman yang sejati dan kebahagiaan yang dapat ia peroleh dari dalam batinnya hanyalah khayalan, ia tidak tertarik sama sekali mencari kebahagiaan rohani dan hanya sibuk mencari kenikmatan duniawi yang ia kira bisa didapatkan dari objek-objek indera.
Jika suatu objek benar-benar memberi kesenangan, semestinya semua orang menyukainya. Tetapi sebagaimana kau ketahui, tidak demikian keadaannya. Jika suatu objek tertentu memberikan kegembiraan dan kesenangan pada beberapa orang, objek itu mungkin tidak disukai oleh orang lain dan tidak memberikan rasa senang. Jika sifat menggembirakan itu benar-benar terkandung dalam objek itu, semestinya semua orang senang padanya. Ada orang yang suka sekali dengan mentimun, sedang orang lain mungkin tidak suka sama sekali. Jika sifat menyenangkan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari mentimun, seharusnya ia akan memberikan rasa senang kepada semua orang, tetapi kenyataannya beberapa orang suka sedangkan orang lain tidak. Mengapa reaksi orang-orang itu berbeda-beda? Mengapa ada barang yang disenangi oleh seseorang dan tidak disenangi oleh orang lain? Ini berarti bahwa kegembiraan yang dialami seseorang tidak berkaitan langsung dengan objek yang secara keliru dikira merupakan sumbernya, melainkan kegembiraan itu bersumber dari dalam batin. Kegembiraan itu hanya merupakan pantulan dari sumber kegembiraan yang tiada habisnya yang ada di dalam batin seseorang.
Perasaan suka dan tidak suka yang sekarang kau rasakan hanya bersifat sementara, tidak kekal. Suatu saat mungkin engkau merasa lapar sekali; ada orang yang menghidangkan makanan untukmu dan pada saat itu engkau rasakan makanan itu sangat enak. Apa yang menyebabkan hidangan itu terasa lezat bagimu? Tidak lain adalah rasa laparmu. Selama perutmu lapar engkau rasakan semua makanan yang disuguhkan sangat lezat. Setelah perutmu kenyang, makanan seenak apa pun yang disediakan bagimu, sama sekali tidak menarik seleramu. Bila engkau lapar, makanan yang sederhana sekalipun akan terasa enak, sangat menyenangkan. Tetapi begitu rasa lapar dipuaskan, makanan yang paling lezat pun tidak akan terasa enaknya. Untuk memahami perubahan ini engkau harus mengetahui bahwa semua rasa suka dan tidak suka itu bersumber pada dirimu, pada pribadi-pribadi; rasa itu tidak berasal dari objek itu. Segala perasaan suka dan duka bersumber pada batin manusia, bukan pada objek di luar dirimu.
Orang biasa mengira kegembiraan atau penderitaan yang dirasakan karena berada di antara orang-orang yang ia senangi atau tidak disenangi, berasal dari mereka itu. Tetapi tidak demikian halnya. Kesenangan dan ketidaksenangannya sendirilah yang menyebabkan kegembiraan dan kesedihannya. Bisa dilihat bahwa jika orang merasa senang sekali dengan orang lain, sangat bersimpati kepadanya, maka bagaimanapun sikap atau perbuatan orang itu, ia tetap menyukai orang itu. Apakah alasan kesetiaan yang tak tergoyahkan ini, rasa sayang yang dimiliki terhadap orang lain, walaupun orang itu mungkin mengatakan atau berbuat sesuatu yang tidak baik? Sebabnya ialah bila engkau senang kepada seseorang, segala perkataan dan perbuatan orang itu akan kau rasakan menyenangkan. Bila engkau menganggap seseorang sangat menyenangkan maka engkau merasa sangat mencintai orang itu, sifat yang disebut cinta ini sebenarnya suatu perasaan keterikatan pada dirimu yang engkau tujukan kepada orang lain. Dalam keterikatan seperti itu baik cinta maupun kegembiraan yang tampaknya ada, berasal dari dirimu sendiri. Apakah orang lain mempunyai perasaan seperti itu atau tidak, perasaan yang engkau alami berasal dari dalam dirimu sendiri; perasaan itu sama sekali bukan merupakan bagian orang lain. Hal serupa dikatakan oleh Yajnawalkya kepada istrinya, Maitreyi, dalam kitab Briha-daranyaka Upanishad. Yajnawalkya berkata kepada Maitreyi, "Istriku tersayang, engkau mencintai aku bukan demi aku melainkan demi dirimu sendiri. Segala yang engkau cintai dan sangat senangi, hanya engkau cintai demi dirimu (yang sejati). Dirimu (yang sejati)-lah yang paling kau sayangi, dan demi dirimu inilah orang lain kau cintai; perasaan cinta yang engkau miliki terhadap orang (atau makhluk) lain, semuanya hanya merupakan sebagian manifestasi dari cinta mendalam yang selalu kau rasakan kepada dirimu (yang sejati)". Jadi di dunia ini setiap orang, siapa pun dia, mencintai orang lain hanya demi dirinya (yang sejati), bukan demi orang lain. Jika ia mencintai suatu objek, ia mencintainya untuk diri (sejati), dan bukan untuk objek itu. Bila cinta murni diri sejati itu dinodai oleh kesadaran badan, terjadilah keterikatan dan sikap mementingkan diri sendiri. Hal itu pasti mengakibatkan penderitaan.
Badan tidak kekal; kematian sudah pasti bagi setiap orang. Walaupun seseorang hidup seratus tahun, suatu saat ia tetap harus menghadapi kematian. Semua orang tahu hal itu. Tetapi anehnya orang yang menghadapi kematian menangisi dan memprihatinkan orang yang sudah mati. Setiap orang pasti akan menghadapi maut, karena itu, setiap orang harus dianggap akan mati. Sekalipun mereka sendiri termasuk akan mati, mereka merasa sedih dan sengsara bila memikirkan seseorang yang sudah mati, seakan-akan kematian merupakan hal yang luar biasa dan tak terduga-duga, bukannya dianggap sebagai akhir yang wajar yang akan menimpa setiap orang. Penderitaan ini, terutama bila orang yang meninggal itu sangat dicintai, tidal lain disebabkan oleh keterikatan. Setelah mengetahui betul-betul bahwa kematian pasti datang, jika engkau masih merasa prihatin kepada badan lain, pastilah karena keterikatan yang berkembang terhadap badan itu. Keterikatan inilah yang menyebabkan segala kesedihanmu. Karena itu, sebab utama kesedihan bila seseorang meninggal adalah keterikatan, bukan cinta.
Pada dasarnya setiap manusia selalu mencari kesenangan. Ia haus kesenangan dan tidak pernah menginginkan kesedihan. Orang selalu menginginkan keuntungan, tidak pernah kerugian. Itulah sifat manusia. Keuntungan, kesenangan, dan kebahagiaan melekat pada sifat manusia; ada pada inti kehidupan manusia. Setiap orang sejak kecil hanya menginginkan kemujuran, bukan penderitaan. Bagi seorang usahawan, hal pertama yang dipikirkannya adalah keuntungan. Di negara bagian Andhra Pradesh, bila pedagang menakar bahan makanan seperti beras, jika bilangan kilogramnya melebihi enam, mereka tidak mengatakan tujuh, melainkan mereka akan berkata, "Enam tambah satu". Sebabnya ialah dalam bahasa Telugu kata tujuh juga berarti menangis. Pemilik toko menggunakan kata lain untuk menghindari mengucapkan kata yang tidak menyenangkan itu. Itulah sebabnya untuk bilangan tujuh ia mengatakan enam tambah satu. Begitulah orang tidak ingin menghadapi kesusahan dan kerugian; ia hanya ingin mendapatkan hasil serta keuntungan dan kebahagiaan yang berasal dari hal itu. Di antara semua keuntungan dan hasil yang bisa diperoleh, yang paling utama, yang memberikan kebahagiaan tertinggi ialah pengetahuan atma. Itulah kebahagiaan yang harus engkau cari dan kau jadikan milikmu.
Lihatlah setangkai bunga mawar; pada saat engkau memandangnya, kegembiraan muncul dari hatimu. Begitu pula bila engkau melihat orang yang cantik atau apa saja yang indah di dunia ini, seketika engkau merasa gembira. Banyak sekali orang yang bertamasya untuk melihat-lihat pemandangan. Mereka ingin mendapatkan kebahagiaan dari pemandangan itu. Karena itu engkau dapat melihat keindahan alam, engkau dapat melihat keindahan pada manusia, dan engkau merasa bahwa ada kebahagiaan dalam keindahan benda-benda itu. Tetapi berapa lamakah kebahagiaan dan keindahan ini berlangsung? Mawar yang engkau petik hari ini, besok sudah mulai kering; keindahannya musnah. Pada saat keindahannya berkurang, kebahagiaan yang tadinya kau peroleh dari bunga itu berkurang juga. Sama dengan jenjang perkembangan hidup manusia, masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, dan masa tua. Masa kanak-kanak dapat dikatakan mencerminkan ketuhanan. Selama masa kanak-kanak orang tidak banyak mengalami kebencian, kecemburuan, kemarahan, dan lain-lain. Yesus berkata bahwa karena anak-anak sesungguhnya tidak mempunyai sifat-sifat buruk, mereka dapat dianggap memiliki sifat ketuhanan. Dalam masa kehidupan itu tidak ada pikiran jahat atau sifat jahat, baik dalam pikiran maupun dalam badan. Anak itu indah karena ia tidak punya perasaan buruk yang timbul dari pikiran buruk. Dalam pertumbuhannya sedikit demi sedikit ia mengembangkan sifat-sifat buruk. Pada saat tumbuhnya sifat-sifat buruk, keindahan anak-anak hilang. Karena itu, dari pikiran jahatlah timbul kata-kata dan perbuatan jahat yang menyebabkan lenyapnya keindahan itu.
Kita melihat bahwa keindahan seseorang berangsur-angsur pudar. Keindahan sementara ini tidak memberikan kebahagiaan abadi. Engkau tahu, keledai yang baru lahir pun sangat indah. Setelah makin besar perutnya pun menjadi besar dan tidak sedap dipandang. Selama tidak ada sifat-sifat buruk, semua kelihatan indah. Karena itu, di dunia ini siapa pun orangnya atau apapun barangnya, engkau akan mendapati bahwa keindahannya terbatas dan kegembiraan yang diperoleh dari objek itu juga terbatas. Kegembiraan dan keindahan selalu berjalan seiring; tidak ada keindahan tanpa kebahagiaan dan tidak ada kebahagiaan tanpa keindahan. Apakah yang mempunyai kebahagiaan abadi dan keindahan abadi dalam dirinya? Tidak lain ialah atma. Atma tidak mengalami pergantian atau perubahan apa pun. Sesungguhnya ia tidak mempunyai bentuk sama sekali; keindahan dan kebahagiaan itu sendirilah bentuknya.
Meskipun kegembiraan secara alami timbul dari lubuk hatimu, engkau mengira engkau mendapatkan kesenangan dari objek indera dan alat-alat penginderaan. Tetapi tidak demikian halnya. Segala kegembiraan berasal dari dalam dirimu sendiri dan engkau keliru mengira bahwa ia berasal dari sesuatu di luar dirimu. Kitab suci menyebutkan Brahmananda 'kebahagiaan amat mendalam yang berasal dari alam surga, alam Brahma, sang pencipta'. Kebahagiaan yang dialami karena adanya persentuhan indera dengan objeknya sangat kecil bila dibandingkan dengan kebahagiaan yang berasal dari Brahmananda. Kebahagiaan dari alat-alat indera dapat digambarkan sebagai setetes air dalam lautan Brahmananda. Tetapi lautan Brahamananda yang sangat luas ini pun hanya sekecil atom bila dibandingkan dengan kebahagiaan yang tidak terbatas yang memancar dari dalam hati nurani. Itulah sumber utama segala kebahagiaan. Hati dapat dibandingkan dengan cahaya yang sangat indah dan cemerlang yang memancarkan sinarnya ke segala penjuru. Berusahalah memahami cahaya rohani yang gemilang ini yang selalu bersinar dan meliputi seluruh alam.
Pada siang hari matahari menyinari bermacam-macam benda di dunia; malam hari pun bersinar walaupun tidak begitu terang. Karena itu engkau dapat mengatakan bahwa matahari dan bulanlah yang menyebabkan terangnya dunia dan benda-benda di dalamnya. Tetapi dalam mimpi engkau juga melihat berbagai macam benda; di manakah matahari dan bulan pada saat itu? Matahari yang engkau lihat pada siang hari, pada waktu jaga, tidak ada dalam keadaan mimpi; juga tidak ada bulan atau cahaya apa pun yang menyinari benda-benda itu. Namun engkau dapat melihat seluruh alam, yaitu alam mimpi. Apakah yang menerangi alam ini? Dalam keadaan tidur nyenyak hanya ada gelap, hanya ada tamo guna. Tidak ada pengetahuan atau kebijaksanaan dalam keadaan itu. Tetapi bagaimana engkau mengetahui gelap itu? Cahaya kesadaran apakah yang memungkinkan engkau melihat dan mengetahui kegelapan itu? Keadaan tidur nyenyak digambarkan sebagai keadaan tidak sadar; alam mimpi digambarkan sebagai alam bawah sadar, dan keadaan jaga sebagai keadaan sadar. Ada keadaan atau tingkat kesadaran ke-empat, yaitu turiya, yang lebih tinggi daripada semua tahap kesadaran ini; turiya dapat digambarkan sebagai keadaan suprasadar.
Pada keadaan turiya engkau dapat melihat segala sesuatu, di mana pun juga, dan menikmati kebahagiaan tertinggi. Cahaya apakah yang menyinari alam kebahagiaan ini dan menyebabkan engkau dapat mengalami sukacita sepenuhnya? Cahaya itu adalah sinar yang memancar dari atma. Cahaya inilah yang menerangi semua alam lain sehingga engkau dapat melihatnya. Dalam Weda para resi telah mengajarkan tentang alam turiya ini. Mereka berkata, "kita dapat melihat alam yang melebihi alam lain, termasuk gelapnya alam tanpa mimpi. Di luar alam tanpa mimpi adalah cahaya atma yang agung yang menerangi alam jaga, alam mimpi, dan alam tanpa mimpi". Supaya dapat sedikit memahami hal ini, perhatikanlah contoh dalam keadaan jaga. Bila engkau memejamkan mata selama satu menit, apakah sebenarnya yang engkau lihat? Engkau akan mengatakan tidak ada apa-apa, hanya gelap pekat. Lalu timbul pertanyaan, "Siapakah yang melihat kegelapan ini?" Karena engkau melihat kegelapan, engkau gambarkan demikian, maka mestinya ada cahaya kesadaran yang memungkinkan engkau melihat kegelapan ini. Itulah cahaya atma, atma jyothi. Hanya melalui cahaya tertinggi inilah cahaya lainnya bersinar.
Pada waktu perayaan Dipawali engkau menyalakan satu lilin dan dari lilin itu engkau menyalakan semua lilin serta lampu lainnya. Nyala pertama merupakan dasar untuk menyalakan lainnya; karena mempunyai nyala pertama inilah maka engkau dapat menyalakan banyak lilin yang lain. Nyala pertama yang menjadi pokok untuk menyalakan yang lain-lain ialah atma-jyothi; lampu-lampu lain yang dinyalakan dengan satu atma-jyothi ini adalah lampu-lampu individual yang menggambarkan setiap makhluk. Beraneka ragam lampu dalam semua makhluk yang tidak terhingga banyaknya dinyalakan dengan bantuan satu atma-jyothi. Karena atma jyothi inilah mata dapat melihat. Ia memancarkan sinar dari dalam dan menerangi segala makhluk, segala benda, dan semua sumber cahaya seperti matahari serta bulan. Mungkin engkau bertanya, karena engkau tidak dapat melihat atma-jyothi ini, bagaimana engkau tahu bahwa ia menerangi semua benda dan sumber cahaya? Contoh sebuah baterai dapat menjelaskan hal ini.
Engkau tidak dapat melihat tenaga listrik yang ada dalam baterai, tetapi kalau tombolnya kau tekan, arus listrik mengalir, engkau dapat melihat nyala dalam bola lampu. Jika tidak ada tenaga listrik dalam baterai, engkau tidak akan dapat menyalakan bola lampu itu. Badan dapat dianggap sebagai lampu listrik yang diatur oleh sel baterai yaitu pikiran; mata adalah bola lampu dan budi adalah knop yang mengaturnya. Dalam baterai pikiran ini tersimpan tenaga istimewa yang bersumber dari atma. Dalam baterai listrik biasa tenaga listrik cepat habis, tetapi arus atma mengalir terus melalui pikiran. Weda menyatakan bahwa pikiran merupakan wadah untuk menyimpan tenaga atma. Sumber tenaga yang tiada habisnya inilah yang memberikan kesenangan sementara bila seseorang melihat benda yang bagus.
Segala kebahagiaan dan kesenangan yang engkau nikmati di dunia ini hanya sementara dan hanya merupakan pantulan dari kebahagiaan yang tidak terhingga yang ada di dalam dirimu. Karena ketidaktahuan engkau mengira bahwa kebahagiaan itu berasal dari objek-objek indera dan mengira bahwa kebahagiaan sementara inilah yang sejati. Tetapi sesungguhnya hanya yang kekallah yang sejati. Kebahagiaan sementara yang dikaitkan dengan benda-benda duniawi bukanlah kebahagiaan sejati. Hanya atmananda, kebahagiaan atma yang abadilah yang sejati, yang lain timbul dan tenggelam. Segala yang engkau lihat dalam alam sadar hilang lenyap dalam alam mimpi. Segala suka duka yang engkau alami dalam alam mimpi engkau tinggalkan ketika engkau kembali ke alam sadar. Orang dan benda yang engkau lihat dalam alam sadar akan tampak sebagai bayangan yang berubah-ubah dalam alam mimpi, kemudian bayangan itu terserap seluruhnya dan lenyap dalam tahap tidur nyenyak. Dengan demikian kebahagiaanmu berubah karena alam ini berubah.
Segala kebahagiaan duniawi yang engkau kira kekal abadi akhirnya akan menyebabkan kesulitan dan mengakibatkan kesedihan. Sebab itu Krishna berkata kepada Arjuna, "Perhatikan hanya kebenaran yang mendasar, maka perwujudannya tidak akan menyusahkan engkau". Dasarnya yang pokok tidak berubah, sedangkan perwujudannya yang tergantung pada dasar itu terus berubah. Jika dasar serta perwujudannya berubah, tidak mungkin engkau hidup. Perhatikan contoh yang sederhana ini.
Bila bepergian dari satu tempat ke tempat lain mungkin engkau menggunakan kendaraan yang berbeda-beda seperti mobil, kereta api, bus, dan lain-lain. Laju mobil cukup cepat, begitu juga bus, atau bahkan berjalan kaki pun kadang-kadang cepat. Apapun yang engkau kendarai, kendaraan itu melaju di atas jalan yang tetap tidak bergerak atau tidak berubah. Misalkan bersamaan dengan lajunya mobil atau bus, jalan ikut bergerak cepat. Apakah yang terjadi. Perjalananmu tidak bisa maju. Agar tujuan dapat dicapai, jalan harus diam. Begitu pula engkau dapat menikmati benda-benda duniawi yang tidak kekal dan terus berubah karena sumber atma, penghuni hatimu, tetap dan tidak bergerak. Tetapi Krishna memperingatkan Arjuna, "Arjuna, dunia ini fana; ia berubah-ubah dan penuh dengan penderitaan. Hidup di dunia yang terus mengalami perubahan dan pergantian ini tidak memungkinkan engkau menikmati kebahagiaan abadi. Lepaskan dia dan carilah pengetahuan rohani; carilah atma. Atma tetap tidak berubah-ubah; dalam atma engkau akan menemukan kebahagiaan yang tiada habisnya yang selama ini kau cari dengan sia-sia di luar dirimu, dalam keduniawian.
Mungkin engkau mengira bahwa jika anak-anak muda yang duduk di sini diajari pengendalian indera atau pengendalian nafsu, mereka akan menjadi manusia lamban yang tidak berdaya. Tetapi tidak ada yang mengajar mereka supaya tidak mempergunakan indera mereka. Mereka hanya diberitahu agar belajar mengendalikan indera mereka sebaik-baiknya. Pada mobil ada rem, kalau ada bahaya engkau menggunakan rem itu untuk menghentikan mobil. Murid-murid harus memperhatikan ini dengan baik. Kalau Swami menyuruh engkau mengendalikan indera dan mengendalikan pikiran, mungkin ada yang bertanya-tanya apakah dengan demikian engkau dapat hidup dan melaksanakan tugas sehari-hari. Swami tidak menyuruh engkau mengendarai mobil dengan menaruh kaki pada rem, tetapi agar engkau menggunakan rem jika perlu mengendalikan mobil, bila ada suatu bahaya. Bila ada bahaya seperti pikiran jahat, perasaan jahat, penglihatan jahat, atau pendengaran jahat, dan sebagainya maka engkau harus mengendalikannya. Jika engkau tidak menggunakan rem sama sekali sudah pasti engkau akan mendapatkan kesulitan. Sapi jantan yang tidak dapat dikendalikan, kuda tanpa tali kekang, mobil tanpa rem, dan manusia tanpa pengendalian hawa nafsu, semuanya berbahaya dan berakibat malapetaka.
"Karena itu Arjuna," kata Krishna, "Kendalikanlah indera serta pikiranmu dan ketahuilah cacat yang melekat pada semua benda duniawi. Maka engkau dapat hidup bahagia di mana pun juga". Wedanta tidak pernah mengajarkan bahwa engkau harus meninggalkan keluarga atau meninggalkan tugas-tugas hidupmu. Gunakanlah inderamu sebaik-baiknya sesuai dengan etika, pada waktunya, serta pada tempatnya. Dalam hubungan inilah Bhagawad Gita mengajarkan disiplin dengan memperhatikan batas-batas dalam segala kegiatan. Jika apa yang engkau lakukan benar dan berada dalam batas-batas kewajaran maka tidak akan membahayakan, tetapi bila dilakukan secara berlebih-lebihan, kegiatan yang naifpun bisa berakibat buruk. Misalnya, makan terlalu banyak dapat mengakibatkan gangguan pencernaan dan mengganggu pikiran. Begitu juga terlalu banyak berpikir akan berbahaya untuk pikiran. Sama pula halnya dengan keterikatan; keterikatan yang berlebihan juga merupakan penyakit jiwa, tetapi keterikatan yang ada batasnya tidak begitu berbahaya. Sebagaimana rem pada mobil digunakan untuk kesejahteraan dan perlindungan penumpang, begitu pula organ-organ indera harus dikendalikan dan digunakan untuk kesejahteraan dan perlindungan penghuni badan. Itulah sebabnya Krishna tak henti-hentinya mengajarkan agar Arjuna melakukan pengendalian indera.
Pengendalian indera ini seperti sumbu lampu hatimu. Hanya memiliki sumbu pengendalian indera tidaklah cukup. Engkau juga harus mempunyai minyak, yaitu bahan bakar lampu; itulah pengabdianmu. Juga harus ada tempat minyak, itulah ketidakterikatanmu. Jika engkau mempunyai tempatnya, minyak, dan sumbu, dengan mudah engkau dapat menyalakan lampu. Meskipun begitu harus ada seseorang yang datang dan menyalakan lampu itu. Seseorang itu adalah Tuhan. Setelah engkau mencapai ketidakterikatan, mempunyai rasa pengabdian, dan dapat mengendalikan indera, Tuhan akan datang dan menyalakan lampu dalam hatimu. Untuk Arjuna, Krihsnalah yang melakukan pekerjaan suci itu yaitu menyalakan lampu dan menampakkan keindahan serta kecemerlangan atma-jyothi dalam hati Arjuna.
Misalkan engkau mempunyai kembang, sebuah jarum, dan benang, apakah semua itu dapat begitu saja menjadi untaian bunga? Tidak. Harus ada orang yang merangkai kembang itu. Mungkin engkau mempunyai emas dan permata, tetapi tanpa bantuan tukang emas, engkau tidak akan mendapat perhiasan yang indah dari bahan tersebut. Walaupun ada kecerdasan dan pengetahuan, tanpa bantuan guru, bagaimana engkau bisa menjadi orang terpelajar? Walaupun ada buku penuh dengan huruf dan engkau melihatnya, tetapi kalau engkau tidak diajari membaca, buku itu tidak ada artinya dan tidak berguna bagimu. Ada atma, ada ajaran spiritual, ada kerinduan akan penerangan batin, tetapi masih harus ada guru untuk menyampaikan ilmu keabadian itu kepadamu. Dalam hal atma vidya, pengetahuan suci tentang diri yang sejati, guru yang datang mengajar engkau adalah guru untuk seluruh dunia, Jagath Guru, Tuhan sendirilah yang akan menuntun engkau untuk mencapai tujuan. Jika engkau siap menyadari kenyataan sejati yang mendasari segala benda duniawi dan menemukan asas ketuhanan dalam dirimu maka engkau memerlukan guru sejati, jagath guru, untuk mengajarkan engkau, dan Beliau pasti akan datang untuk melakukan hal itu. Untuk Arjuna, guru spiritualnya adalah Krishna, dan Beliau mulai mengajarkan pengendalian indera atau pengendalian hawa nafsu kepada Arjuna.
Engkau harus meluangkan waktu untuk merenungkan makna yang mendalam ajaran pengendalian indera dan hawa nafsu yang diajarkan Krishna kepada Arjuna dalam media pertempuran Dharmakshetra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar